Anda di halaman 1dari 10

1.

Ketahanan dan Keamanan

Ukuran keberhasilan atau kegagalan menjadi sangat penting dalam mengevaluasi


Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Disatu pihak, kedudukan Presiden SBY,
memiliki legitimasi dan kredibilitas yang cukup tinggi. Dipihak lain, Presiden
SBY telah berupaya merealisasikan sebagian janji-janji dalam berbagai program
pembangunan nasional.

KEBERHASILAN

1. Dalam ketahanan dan keamanan, keberanian menyeret sebagian koruptor-


koruptor, baik pejabat pemerintah di daerah maupun di pusat terhadap
lembaga legislatif dan eksekutif telah dilakukan. Perang melawan korupsi
dalam kabinet SBY terlihat jelas dan menggembirakan. Instrumen hukum
UU No.31/1999 tentang Korupsi, UU No.36/2003 Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), dan Instrumen presiden 2005, tentang Tim Pemberantas
Korupsi (Timtas-TIPIKOR) yang memiliki kewenangan luar biasa.
Sebagai satu contoh, Gubernur Aceh, Abdullah Puteh dihukum 10 tahun
adalah bukti komitmen tersebut.

2. Kesungguhan penegakan keamanan dan ketahanan itu, juga bisa terlihat


atas keberhasilan penandatanganan MoU antara pemerintah RI dengan
GAM, 15 Agustus 2005 di Helsinki. Meskipun MoU tidak sederajat
dengan Perjanjian Internasional, praktek di lapangan telah memperlihatkan
kedua pihak mematuhinya. Pemusnahan senjata oleh GAM dengan
pengawasan Aceh Mission Monitoring (AMM) terus dilaksanakan.
Pemberlakuan amnesti terhadap tahanan praktek juga telah dilakukan.
Ribuan TNI non-organik sebagian telah dikembalikan dari Aceh ke daerah
masing-masing. Akibat penandatanganan MoU situasi keamanan,
kedamaian dan masyarakat Aceh telah pulih. Keberhasilan ini mustahil
dapat dicapai sekiranya kedua belah pihak tidak memiliki komitmen. Telah
lama TNI bercokol di Aceh dan jelas-jelas kebijakan tersebut kontra
produktif terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM secara internasional
dan nasional.

3. Masalah politik dan keamanan cukup stabil dan tampak konsolidasi


demokrasi dan keberhasilan pilkada Aceh menjadi catatan prestasi.
Namun, potensi demokrasi ini belum menghasilkan sistem yang pro-rakyat
dan mampu memajukan kesejahteraan bangsa Indonesia.Tetapi malah
mengubah arah demokrasi bukan untuk rakyat melainkan untuk kekuatan
kelompok.
KEGAGALAN

1. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2009,


pemerintah dan DPR tidak berhasil menetapkan satu pun undang-undang
bidang pertahanan nasional.

2. Pertahanan dan keamanan yang terasa masih menjadi nilai raport merah
SBY adalah rendahnya komitmen mereka terhadap penciptaan sistem
keamanan masyarakat. Tragedi Bom Bali II 1 Oktober (jatuh pada hari
Kesaktian Pancasila) yang diklaim oleh Wapres Yusuf Kalla sebagai
kecolongan tidak terbantahkan. Sebelumnya juga teror bom di Tentena
Poso di wilayah tentara Sulawesi Tengah bukti kegagalan tersebut.
Sementara Dr. Azhari dan Nurdin Top juga tidak akan tertangkap jika cara
kerja aparat penegak hukum tidak professional.

Kita percaya, sistem hukum terpadu tentang pencegahan dan penanggulangan


terorisme diperlukan, tetapi kejahatan teorisme juga belum tentu akan berkurang.
Sejatinya UU NO.15/2003, tentang Tindak Pidana Terorisme sesungguhnya tidak
memadai. Untuk itu Presiden SBY perlu mengusulkan UU Keamanan dan
Intelejen Nasional cukup proporsional dan tepat momennya. Tiadanya institusi
yang kredibel dalam mengkoordinasikan berbagai aparat pemerintah dan penegak
hukum dalam menanggulangi terorisme menyisakan soal ancaman keamanan
sebagai masalah utama. Namun, tidak salah jika kita menengok Amerika,
Malaysia dan Singapore. Terlindunginya masyarakat dari rasa aman, tentram
merupakan segi-segi positif dari adanya instrumen hukum tersebut. Kinerja aparat
keamanan khusunya dalam pencegahan terorisme perlu ditingkatkan melalui para
TNI-POLRI dan Intelejen tanpa harus menaksirkan KOTER. Validitas Keppres
tentang kebijakan menaikkan BBM 100% oleh pemerintah secara sepihak hanya
logis dalam tatanan kepentingan ekonomi nasional. Namun, kenaikan BBM yang
dibarengi oleh kenaikan harga-harga bahan pokok itu artinya justru
menyengsarakan masyarakat. Sampai saat ini, pemerintah belum mampu
memperlihatkan upaya untuk meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat
melalui jumlah pengangguran.

1. Kegagalan pemerintah SBY dalam menciptakan rasa aman dan tentram


masyarakat tak terhindarkan melalui pembagian kompensasi BBM sebesar
Rp 300.000 KK per bulan terhadap masyarakat miskin. Kenaikan itu
menjadi tidak berarti, mengingat harga bahan pokok menjadi naik pula.
Lagi pula, kenaikan harga BBM sungguh telah memicu kegelisahan
masyarakat. Memang niat memberikan kompensasi BBM terhadap orang-
orang miskin tidak diragukan nilai baik dan manfaatnya. Akan tetapi,
upaya untuk mensejahterakan masyarakat sesuai pasal 33 dan 34 UUD
1945 menjadi tidak kena sasaran bilaman tidak dipersiapkan secara
matang.
Bukti lemahnya persiapan itu tidak sekedar ditentukan oleh rumusan kemiskinan
dan data-data yang akurat di lapangan. Tapi juga dampak-dampak negatif dari
pemberian uang tunai tidak menjamin sama sekali. Bencana sosial ini tampak
dalam penderitaan dan kesengsaraan masyarakat miskin. Sampai saat ni tidak
kurang dari empat orang tewas dalam prosespengambilan kompensasi BBM.
Beberapa kepala desa dan kepala RT yang juga tewas ditusuk dan juga bunuh diri.
Jika disana puluhan penegak hukum dalam konteks pemberantasan korupasi,
terorisme dan mensejahterakan masyarakat. Dengan kata lain, nilai raport merah
SBY-YK tidak akan berubah jika dikemudian hari tidak mengalami perubahan.

1. Reformasi Sektor Pertahanan dan Keamanan selama kurang lebih tujuh


tahun di Indonesia meski mengalami kemajuan yang relative baik, tapi
masih membutuhkan kerja-kerja politik yang serius bagi proses SSR yang
lebih baik. Masalah oportunisme elit sipil dan penolakan dari internal
masing-masing lembaga sektor keamanan dan pertahanan tersebut masih
mendominasi permasalahan bagi penguatan negara demnokratis, dan
profesionalisme lembaga-lembaga tersebut. Setidaknya bila kita mengacu
pada tiga kerangka peran, yakni: sektor pertahanan dan keamanan, sektor
sosial-politik, dan sektor ekonomi, dapat dilihat bagaimana perjalanan
SSR di Indonesia berjalan tertatih-tatih. Dari ketiga kerangka peran
tersebut, lembaga-lembaga sektor pertahanan dan keamanan masih masih
dilingkupi oleh ketiga kerangka peran tersebut. Artinya masih belum
profesional dalam merumuskan peran masing-masing, meski sudah
merevisi doktrin. Masih ada yang harus dipertegas pada peran dan fungsi
dari masing-masing lembaga. Salah satunya misalnya penempatan TNI
dan Polri yang belum pas dalam struktur pemerintahan. Apakah di bawah
atau di dalam Departemen Pertahanan untuk TNI, atau apakah di bawah
Presiden, masuk ke salah satu departemen, atau bahkan menjadi
departemen tersendiri.

2. Ketidak tegasan dan konsistenan inilah yang menyebabkan banyak sekali


cela bagi TNI, Polri, maupun lembaga intelejen melalui perundang-
undangan yang dihasilkan untuk melakukan kerja atau fungsi-fungsi di
luar kewajibannya.

Hal lain yang juga menjadi perhatian adalah buruknya konsepsi strategis
pertahanan dan keamanan, sehingga dalam konsepsi operasional pun juga
mengalami kendala yang relatif serius. Apalagi reformasi kultural di ketiga
lembaga tersebut belum berubah. Masih menggunakan mindset lama, sehingga
menghambat langkah dan jalan bagi suksesnya reformasi sektor pertahanan dan
keamanan di Indonesia.

1. Penegakan hukum berjalan di tempat. Kasus-kasus besar selalu diakhiri


dengan drama transaksional. Bahkan tebang pilih menjadi gaya penegakan
hukum pemerintah di bawah komando SBY. Kegagalan itu diwakili
Kementerian Hukum dan HAM dalam pembebasan 29 napi koruptor atas
nama remisi (HUT RI dan Lebaran).

2. Sektor kelautan juga dinilai masih banyak terjadi pencurian-pencurian


sumber daya alam Indonesia seperti ilegal fishing.

3. Rasa aman dan damai makin jauh di tengah tingginya pelanggaran HAM,
kekerasan, perusakan lingkungan hidup, serta hukum yang tidak berdaulat.

4. Pemerintahan SBY-Boediono gagal melakukan agenda reformasi peradilan


militer melalui Revisi Undang-undang No. 31 Tahun 1997. Pemerintahan
SBY tidak memiliki niatan dan upaya sungguh-sungguh untuk mendorong
transparansi dan akuntabilitas di sector keamanan.

5. SBY dianggap lamban menyikapi kisruh KPK vs Polri. SBY baru mau
turun setelah rakyat mendesak. Selain itu, menurut mereka, kebijakan
ekonomi yang dilegitimasi SBY juga dinilai berpihak pada kepentingan
kapital, kebijakan energi nasional mengesampingkan aspek kemandirian,
skandal bailout Bank Century yang tak kunjung selesai, penegakkan
supremasi hukum, serta gagalnya SBY mewujudkan Indonesia sebagai
rumah yang aman bagi masyarakatnya.

6. Pemerintah SBY juga telah gagal melindungi kekayaan rakyat berupa


minyak dan gas bumi, barang tambang maupun yang lainnya tidak banyak
dinikmati oleh rakyat, tapi oleh segelintir orang, termasuk pihak asing
melalui regulasi dan kebijakan yang tidak pro rakyat. Pemerintah SBY
juga gagal memberantas korupsi dan mafia hukum. Iironinya banyak
dilakukan oleh para pejabat yang berlangsung makin massif dan sistemik.
Sekitar 148 kepala daerah sekarang ini jadi tersangka korupsi, dan
diantaranya adalah 17 Gubernur. Kasus korupsi melahirkan korupsi baru
melalui mafia hukum yang bisa mengatur Kepolisian, Kejaksaan,
Kehakiman dan pengacara. Itulah yang membuat banyak kasus korupsi
yang tidak terungkap. Kasus skandal Bank Century atau mafia Perpajakan
adalah salah satunya.

Sumber : https://patmikumalasari.wordpress.com/2014/01/11/masa-
pemerintahan-presiden-susilo-bambang-yudhoyono/
Jokowi

Visi Jokowi di bidang pertahanan negara pada pilar membangun kedaulatan


politik memuat empat penekanan kebijakan. Tapi keempatnya itu saya analisis
hanya terfokus pada aspek membangun kekuatan militer semata.

Dari keempat kebijakan itu, kekuatan militer yang menonjol masih sebatas fisik,
anggaran dan kelembagaan. Kekuatan fisik dalam visi tersebut lebih mengarah
kepada alutsista. Sedangkan anggaran pertahanan akan ditingkatkan 1.5 persen
dari GDP dalam lima tahun. Dan dari sisi kelembagaan akan dibentuk Dewan
Keamanan Nasional yang bertugas mengkoordinasi semua aspek yang berkaitan
dengan fungsi-fungsi keamanan.

Padahal, kalau bicara postur militer di negara manapun terdiri dari tiga elemen.
Selain kekuatan militer seperti jumlah skuadron, juga elemen kemampuan prajurit
dan gelar. Tapi sampai dengan 100 hari rezim ini berjalan, program dua elemen itu
belum disentuh.

Pada elemen kemampuan prajurit, jika hanya melihat kekuatan, tapi karakter
prajuritnya rapuh, maka akan rapuh pula struktur TNI. Untuk memelihara
kompetensi militer harus melalui pendidikan spesialisasi TNI dengan anggaran
besar. Dari sini, TNI betul-betul diharapkan mampu melahirkan prajurit yang ahli.
Ada ahli bom, ahli senjata, ahli pionir, ahli perhubungan, dan sebagainya.

Pemerintah sekarang mesti memastikan agar tidak terjadi lagi tarik-menarik antara
pengembangan pendidikan spesialisasi (dikspes) dengan pendidikan pembentukan
(diktub) TNI. Pada periode sebelumnya, anggaran lebih berpihak kepada diktub.
Pertimbangannya saat itu, tanpa diktub sulit menambah batalyon. Akibatnya,
keahlian personel TNI berkurang.

Anggaran pembelian alutsista bisa bertahap. Tapi anggaran pelatihan dan


pendidikan tidak boleh dikurangi. Dulu saya sudah sampaikan hal ini kepada
Panglima TNI yang saat itu dijabat oleh Jenderal Djoko Santoso. Saya ingatkan
kala itu jangan mengembangkan satuan. Sebab akan menambah beban biaya.
Memelihara tentara dalam jumlah besar tapi kualitasnya jelek, itu berbahaya.

Pendidikan menembak yang seharusnya ribuan kali, karena tidak ada biaya,
terpaksa hanya puluhan kali. Padahal, untuk menentukan sasaran tembak, seorang
prajurit mesti disiapkan secara matang agar mampu mengidentifikasi sasaran
dalam waktu sangat cepat, yaitu 3-4 detik. Termasuk pelatihan tentang prosedur
mengatasi situasi krisis menghadapi ancaman disintegrasi, yang hari ini tecermin
dalam ancaman pembentukan negara Timor Raya.

Pada elemen gelar, penguatan doktrin sistem pertahanan dan keamanan semesta
(Sishankamrata) yang mendayagunakan seluruh potensi bangsa untuk kepentingan
pertahanan, sejak dulu masih sebatas wacana. Kebijakan keamanan komprehensif
dari human security sampai state security ini diakomudir dalam drat RUU
Keamanan Nasional (Kamnas), yang sejak awal dekade tahun 2000 tak kunjung di
sahkan DPR.

RUU ini telah mengakomodir salah satu visi pertahanan Jokowi dalam kluster
menata kelembagaan dan tata wewenang Polri melalui pemisahan pengambilan
keputusan dan pelaksanaan keputusan, yang hingga saat ini masih tumpang tindih,
dengan menempatkan Polri dalam kementerian negara. Di sela kisruh kasus
Komjen Budi Gunawan, awal 2015, RUU ini sesungguhnya telah dibawa Menhan
ke DPR.

Tapi nampaknya akan bernasib sama seperti periode sebelumnya. RUU ini tidak
menjadi prioritas dalam Prolegnas. Bahkan Presiden sendiri tidak menjadikan
kedudukan Polri itu sebagai prioritas. Termasuk Mendagri-nya menolak RUU ini.
Lebih setuju kalau Polri tetap dalam hirarkis seperti sekarang: berdiri di bawah
presiden. Hal ini tentu mencemarkan visi pertahanan yang presiden usang
sekaligus kontraproduktif dengan semangat Menhan-nya.

Padahal, selain revisi UU Pertahanan dan RUU Rahasia Negara yang telah
diajukan Menhan ke DPR, RUU Kamnas juga mempengaruhi cara negara
menentukan kekuatan gelar yang menempatkan TNI sebagai komponen utama
sistem pertahanan. Dalam doktrin Sishankamrata, mewajibkan TNI
berkemampuan melakukan pre emptive stike, yaitu memukul terlebih dulu dalam
menghadapi musuh dari luar yang akan menyerang.

Belum lagi menghadapi ancaman keamanan yang bisa berkembang dengan sangat
cepat. Misalnya ancaman yang di pagi masih bersifat lokal, tapi berubah menjadi
ancaman nasional pada siang hari. Di sinilah pentingnya kemampuan gelar itu
dalam menerjunkan komponen utama AD, AL dan AU, berserta komponen
cadangan lainnya.

Tapi dalam tempur, doktrin Sishankamrata yang selalu dimulai dari pre emptive
strike, hanya tepat dilakukan oleh TNI AU, bukan TNI AD. Dalam pertempuran
laut teritorial, hanya tepat dilakukan oleh TNI AL. Sementara TNI AD baru
terlibat setelah serangan lawan masuk ke pantai dan darat. Sehingga doktrinnya
memang mengharuskan kita memiliki AL dan AU yang kuat. Dan doktrin AD
adalah menjaga pertahanan pulau-pulau besar.

Dalam gelar membangun TNI sebagai kekuatan maritim regional yang sejalan
dengan kebijakan Poros Maritim pun belum nampak dalam 100 Hari Kabinet
Kerja sekarang ini. Sejauh ini, gelar armada laut yang ideal baru dimiliki wilayah
Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim) yang berpangkalan di
Surabaya.

Pangkalan yang dibangun pemerintah kolonial Belanda ini memiliki fasilitas


cukup komplit dan berstandar internasional. Bukan hanya karena memiliki
fasilitas perbaikan kapal tempur, tapi juga berbagai fasilitas canggih. Di antaranya
adalah arena latihan menembak berbasis komputer berupa Virtual Arms Solution
FTS D-425, Submarine Training Center dan sebagainya.

Mengingat posisinya yang strategis serta karena luas lautan kita sekitar 2/3 dari
total luas wilayah NKRI, jelas harus ada langkah kongkrit dan progresif dalam
memperkuat matra laut, baik di wilayah Barat, Timur, dan Tengah Indonesia.
Sekarang ini gelar kekuatan di armada barat (Armabar) tergantung pada Armatim.

Tidak tuntasnya postur militer Indonesia sebetulnya akibat belum jelasnya cetak
biru pertahanan. Sulit menentukan parameter kenaikan anggaran per tahun dalam
menopang kekuatan militer, kemampuan prajurit dan kemampuan gelar tanpa
cetak biru yang jelas. Padahal dari sanalah sesungguhnya kita bisa mengetahui
arah pengembangan pertahanan.

Sejauh ini cetak biru pertahanan Indonesia baru berada di level kesadaran belum
sampai pada konsep yang jelas dan menyeluruh. Keadaan ini sangat merisaukan,
karena kalau pada tataran konsepnya saja tidak jelas, secara operasional pasti
rapuh.

Pemerintah tampaknya masih kebingungan harus dimulai dari mana. Padahal,


celah finalisasi cetak biru berjangka panjang dunia pertahanan kita sinyalnya
sudah muncul dari momentum RUU Pertahanan, RUU Kamnas dan RUU Rahasia
Negara yang diajukan Menhan ke DPR. Tapi sekarang ini energi pemerintah
tampaknya terlalu banyak diarahkan untuk menuntaskan kasus Budi Gunawan.
***

Sumber : http://indonesianreview.com/kiki-
syahnakri/rapuhnya-visi-pertahanan-jokowi
ERBEDAAN PEMERINTAHAN SBY dan JOKOWI

 1. Keduanya sama-sama orang Jawa yang menjadi pemimpin dan sangat


diharapkan banyak orang, apalagi keduanya didukung kekuatan media sehingga yang
tadinya underdoq menjadi updog Ketika SBY maju pertama kali, dia kurang
diperhitungkan. Tetapi ketika dia dicitrakan jenderal pemberani dengan melawan
kesemena-menaan, sosok tertindas dan diperlakukan tidak adil oleh Presiden Megawati,
langsung posisi tawarnya sebagai calon presiden naik. Begitu pula Jokowipun datang
sebagai politikus baru tingkat nasional tetapi blow up media mampu menaikkan citra mas
Jokowi. Jokowi lahir dari pencitraan positif, lahir dari citra sukses memimpin rakyatnya
yang pada akhirnya dipilih oleh rakyatnya sebesar 99%. Meskipun sama-sama lahir dari
“bantuan” media tetapi ada sedikit perbedaan Jokowi tampil sebagai pribadi yang dicintai
rakyatnya bukan karena kasihan atau iba akibat diperlakukan tidak adil.

2. SBY dan Jokowi merupakan sosok yang mampu menguasai media walau dengan cara
yang berbeda. Lihat SBY ketika berbicara, sangat runtut, perlahan, dan fokus disertai
gestur-gestur tertentu untuk meperkuat. Jokowipun walau kelihatan ndeso, tetapi juga
terampil dalam menghadapi media. Supel, apa adanya, dan tetap mempertahankan khas
ke”ndeso”annya. Sungguh menarik sekali.

3. Tidak bisa disangkal jika SBY dan Jokowi memiliki wibawa dan kharisma tersendiri.
Dimanapun mereka berada, mereka pasti selalu dihormati karena wibawa yang mereka
miliki. Hal ini terwujud jelas dari tingkah laku mereka, seperti cara mereka berjalan atau
berbicara. Bahkan Ruhut si Raja Minyak saja sangat mengidolakan SBY.

4. Sekarang hobinya sama…blusukan. Entah siapa meniru siapa, walaupun kadang saya
tertawa sendiri ketika Jokowi masuk gorong-gorong, emang mau diapain gorong-gorong
itu. BTW, kita harus apresiasi cara memimpinnya.

5. 100 hari pertama mereka disambut peristiwa dahsyat. SBY ketika Oktober dilantik, lalu
di bulan Desember terjadi tsunami Aceh. Begitu pula Jokowi, baru aja tiga bulanan
menjabat sudah diuji cobaan berat. Banjir Jakarta yang termasuk banjir terbesar.
Bunderan HI ketika tanggal 1 Januari 2013 dipenuhi orang yang berpesta menyambut
tahun baru eh di tanggal 17 Januari 2013, berubah menjadi lautan. Padahal bunderan HI
jarang kena banjir.

6. Sama-sama berjanji 100 hari melakukan langkah-langkah strategis dan sama-sama


belum berhasil (pendapat pribadi). Banyak pengamat menilai seratus hari pemerintahan
SBY telah gagal. Kritik pedas dilontarkan, karena selama seratus hari pemernitahannya
tidak memberikan fondasi dan terobosa yang jelas untuk lima tahun kedepan. Untuk
Jokowi saya kira tidak bisa dikatakan gagal, karena memang sebagian sudah
dilaksanakan walaupun belum menyeluruh. Janji pelayanan kesehatan dan pendidikan
yang layak, pemakain seragam daerah, kebijakan Mass Rapid Transit (MRT), mengatasi
kemacetan merupakan beberapa program 100 hari. Apalagi belum sempat bekerja
banyak banjir Jakarta membuat perhatian fokus di banjir. Semoga kedepan semakin
membaik.

Sekarang tentang perbedaannya.


1. Postur badan pastinya banyak bedanya. Walaupun sama-sama tinggi, tapi
satu endut satunya kurus

2. SBY dalam berkomunikasi pandai dalam pemilihan kata, Jokowi apa


adanya.

3. SBY mampu menyandera dan mengarahkan partainya, Jokowi sepertinya


belum mampu mengarahkan partai pendukungnya.

4. SBY kemana-mana sama si Ibu, Jokowi lebih senang sendiri.

5. Jokowi kalau bicara atau pidato orang matanya melek memperhatikan,


SBY ….ah paling gitu-gitu aja normatif…guyon.com
Tentunya masih banyak persamaan dan perbedaan….ini cuma jadi bahan
selingan aja. Yang setuju silahkan yang tidak setuju nggak boleh marah.
Mau nambahi juga boleh…

Setiap pemimpin memiliki gaya dan aturan yang berbeda. Ada yang fokus
pada sistem dan ada juga yang langsung mencari dan membuktikan
kebijakan dan sistem yang dibuat oleh pemerintah langsung kepada
masyarakat atau yang sering disebut “blusukan”.
Pada kedua pemimpin negara dan daerah ini juga memiliki perbedaan dalam
cara dan gaya memimpinnya. Presiden SBY dengan gayanya yang khas
dengan mengunjungi masyarakat langsung hingga kepelosok daerah. Ini
dilakukan bukan hanya pada saat dia menjabat presiden, tetapi ketika beliau
masih menjabat menjadi Dandim di TNI juga melakukan hal yang sama
dengan meninjau langsung keadaan masyarakat. Selama masa jabatannya
menjadi presiden, sudah tak terhitung SBY mengunjungi rakyat secara
langsung. Apakah dalam kunjungan atau Safari Ramadhan, kunjungan kerja
ke daerah, mengunjungi korban bencana seperti Aceh, Jogya, di Papua, di
Miangas dan hampir seluruh daerah di tanah air.
Gubernur DKI Jakarta, Jokowi juga melakukan hal yang sama dengan apa
yang dilakukan oleh SBY. Jokowi ketika menjabat sebagai walikota solo juga
sering melakukan “blusukan” langsung kepada rakyatnya. Sehingga warga
solo sangat berat untuk melepas sosok Jokowi ketika hasil KPU menyatakan
bahwa Jokowi memenangkan perolehan suara dalam pemilihan Gubernur
DKI Jakarta. Pada pemerintahannya yang baru sekarang juga Jokowi sangat
intens melakukan tindakan “blusukan” ke masyarakat.
Perbedaan dari kedua pemerintahan ini adalah SBY melakukan kunjungan
langsung kemasyarakat bukan hanya ketika dia memerintah, tetapi sebelum
menjadi presiden beliau juga telah sering melakukannya. Sedangkan Jokowi
melakukannya ketika dia menjadi pejabat pemerintahan sebagai walikota
maupun Gubernur. Tetapi sudah sepatutnya semua pemimpin daerah
maupun pusat melakukan tindakan seperti ini, agar mereka mengetahui
keadaan masyarakat secara langsung dan melihat langsung apakah
kibijakan dan sistem yang dibuat berjalan dengan lancar dan efektif.

Sumber :http://politik.kompasiana.com/2013/01/23/persamaan-dan-
perbedaan-sby-dengan-jokowi-522191.html

Sumber : http://tustiya.blogspot.co.id/2013/06/perbedaan-
pemerintahan-sby-dan-jokowi.html

Anda mungkin juga menyukai