KEBERHASILAN
2. Pertahanan dan keamanan yang terasa masih menjadi nilai raport merah
SBY adalah rendahnya komitmen mereka terhadap penciptaan sistem
keamanan masyarakat. Tragedi Bom Bali II 1 Oktober (jatuh pada hari
Kesaktian Pancasila) yang diklaim oleh Wapres Yusuf Kalla sebagai
kecolongan tidak terbantahkan. Sebelumnya juga teror bom di Tentena
Poso di wilayah tentara Sulawesi Tengah bukti kegagalan tersebut.
Sementara Dr. Azhari dan Nurdin Top juga tidak akan tertangkap jika cara
kerja aparat penegak hukum tidak professional.
Hal lain yang juga menjadi perhatian adalah buruknya konsepsi strategis
pertahanan dan keamanan, sehingga dalam konsepsi operasional pun juga
mengalami kendala yang relatif serius. Apalagi reformasi kultural di ketiga
lembaga tersebut belum berubah. Masih menggunakan mindset lama, sehingga
menghambat langkah dan jalan bagi suksesnya reformasi sektor pertahanan dan
keamanan di Indonesia.
3. Rasa aman dan damai makin jauh di tengah tingginya pelanggaran HAM,
kekerasan, perusakan lingkungan hidup, serta hukum yang tidak berdaulat.
5. SBY dianggap lamban menyikapi kisruh KPK vs Polri. SBY baru mau
turun setelah rakyat mendesak. Selain itu, menurut mereka, kebijakan
ekonomi yang dilegitimasi SBY juga dinilai berpihak pada kepentingan
kapital, kebijakan energi nasional mengesampingkan aspek kemandirian,
skandal bailout Bank Century yang tak kunjung selesai, penegakkan
supremasi hukum, serta gagalnya SBY mewujudkan Indonesia sebagai
rumah yang aman bagi masyarakatnya.
Sumber : https://patmikumalasari.wordpress.com/2014/01/11/masa-
pemerintahan-presiden-susilo-bambang-yudhoyono/
Jokowi
Dari keempat kebijakan itu, kekuatan militer yang menonjol masih sebatas fisik,
anggaran dan kelembagaan. Kekuatan fisik dalam visi tersebut lebih mengarah
kepada alutsista. Sedangkan anggaran pertahanan akan ditingkatkan 1.5 persen
dari GDP dalam lima tahun. Dan dari sisi kelembagaan akan dibentuk Dewan
Keamanan Nasional yang bertugas mengkoordinasi semua aspek yang berkaitan
dengan fungsi-fungsi keamanan.
Padahal, kalau bicara postur militer di negara manapun terdiri dari tiga elemen.
Selain kekuatan militer seperti jumlah skuadron, juga elemen kemampuan prajurit
dan gelar. Tapi sampai dengan 100 hari rezim ini berjalan, program dua elemen itu
belum disentuh.
Pada elemen kemampuan prajurit, jika hanya melihat kekuatan, tapi karakter
prajuritnya rapuh, maka akan rapuh pula struktur TNI. Untuk memelihara
kompetensi militer harus melalui pendidikan spesialisasi TNI dengan anggaran
besar. Dari sini, TNI betul-betul diharapkan mampu melahirkan prajurit yang ahli.
Ada ahli bom, ahli senjata, ahli pionir, ahli perhubungan, dan sebagainya.
Pemerintah sekarang mesti memastikan agar tidak terjadi lagi tarik-menarik antara
pengembangan pendidikan spesialisasi (dikspes) dengan pendidikan pembentukan
(diktub) TNI. Pada periode sebelumnya, anggaran lebih berpihak kepada diktub.
Pertimbangannya saat itu, tanpa diktub sulit menambah batalyon. Akibatnya,
keahlian personel TNI berkurang.
Pendidikan menembak yang seharusnya ribuan kali, karena tidak ada biaya,
terpaksa hanya puluhan kali. Padahal, untuk menentukan sasaran tembak, seorang
prajurit mesti disiapkan secara matang agar mampu mengidentifikasi sasaran
dalam waktu sangat cepat, yaitu 3-4 detik. Termasuk pelatihan tentang prosedur
mengatasi situasi krisis menghadapi ancaman disintegrasi, yang hari ini tecermin
dalam ancaman pembentukan negara Timor Raya.
Pada elemen gelar, penguatan doktrin sistem pertahanan dan keamanan semesta
(Sishankamrata) yang mendayagunakan seluruh potensi bangsa untuk kepentingan
pertahanan, sejak dulu masih sebatas wacana. Kebijakan keamanan komprehensif
dari human security sampai state security ini diakomudir dalam drat RUU
Keamanan Nasional (Kamnas), yang sejak awal dekade tahun 2000 tak kunjung di
sahkan DPR.
RUU ini telah mengakomodir salah satu visi pertahanan Jokowi dalam kluster
menata kelembagaan dan tata wewenang Polri melalui pemisahan pengambilan
keputusan dan pelaksanaan keputusan, yang hingga saat ini masih tumpang tindih,
dengan menempatkan Polri dalam kementerian negara. Di sela kisruh kasus
Komjen Budi Gunawan, awal 2015, RUU ini sesungguhnya telah dibawa Menhan
ke DPR.
Tapi nampaknya akan bernasib sama seperti periode sebelumnya. RUU ini tidak
menjadi prioritas dalam Prolegnas. Bahkan Presiden sendiri tidak menjadikan
kedudukan Polri itu sebagai prioritas. Termasuk Mendagri-nya menolak RUU ini.
Lebih setuju kalau Polri tetap dalam hirarkis seperti sekarang: berdiri di bawah
presiden. Hal ini tentu mencemarkan visi pertahanan yang presiden usang
sekaligus kontraproduktif dengan semangat Menhan-nya.
Padahal, selain revisi UU Pertahanan dan RUU Rahasia Negara yang telah
diajukan Menhan ke DPR, RUU Kamnas juga mempengaruhi cara negara
menentukan kekuatan gelar yang menempatkan TNI sebagai komponen utama
sistem pertahanan. Dalam doktrin Sishankamrata, mewajibkan TNI
berkemampuan melakukan pre emptive stike, yaitu memukul terlebih dulu dalam
menghadapi musuh dari luar yang akan menyerang.
Belum lagi menghadapi ancaman keamanan yang bisa berkembang dengan sangat
cepat. Misalnya ancaman yang di pagi masih bersifat lokal, tapi berubah menjadi
ancaman nasional pada siang hari. Di sinilah pentingnya kemampuan gelar itu
dalam menerjunkan komponen utama AD, AL dan AU, berserta komponen
cadangan lainnya.
Tapi dalam tempur, doktrin Sishankamrata yang selalu dimulai dari pre emptive
strike, hanya tepat dilakukan oleh TNI AU, bukan TNI AD. Dalam pertempuran
laut teritorial, hanya tepat dilakukan oleh TNI AL. Sementara TNI AD baru
terlibat setelah serangan lawan masuk ke pantai dan darat. Sehingga doktrinnya
memang mengharuskan kita memiliki AL dan AU yang kuat. Dan doktrin AD
adalah menjaga pertahanan pulau-pulau besar.
Dalam gelar membangun TNI sebagai kekuatan maritim regional yang sejalan
dengan kebijakan Poros Maritim pun belum nampak dalam 100 Hari Kabinet
Kerja sekarang ini. Sejauh ini, gelar armada laut yang ideal baru dimiliki wilayah
Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim) yang berpangkalan di
Surabaya.
Mengingat posisinya yang strategis serta karena luas lautan kita sekitar 2/3 dari
total luas wilayah NKRI, jelas harus ada langkah kongkrit dan progresif dalam
memperkuat matra laut, baik di wilayah Barat, Timur, dan Tengah Indonesia.
Sekarang ini gelar kekuatan di armada barat (Armabar) tergantung pada Armatim.
Tidak tuntasnya postur militer Indonesia sebetulnya akibat belum jelasnya cetak
biru pertahanan. Sulit menentukan parameter kenaikan anggaran per tahun dalam
menopang kekuatan militer, kemampuan prajurit dan kemampuan gelar tanpa
cetak biru yang jelas. Padahal dari sanalah sesungguhnya kita bisa mengetahui
arah pengembangan pertahanan.
Sejauh ini cetak biru pertahanan Indonesia baru berada di level kesadaran belum
sampai pada konsep yang jelas dan menyeluruh. Keadaan ini sangat merisaukan,
karena kalau pada tataran konsepnya saja tidak jelas, secara operasional pasti
rapuh.
Sumber : http://indonesianreview.com/kiki-
syahnakri/rapuhnya-visi-pertahanan-jokowi
ERBEDAAN PEMERINTAHAN SBY dan JOKOWI
2. SBY dan Jokowi merupakan sosok yang mampu menguasai media walau dengan cara
yang berbeda. Lihat SBY ketika berbicara, sangat runtut, perlahan, dan fokus disertai
gestur-gestur tertentu untuk meperkuat. Jokowipun walau kelihatan ndeso, tetapi juga
terampil dalam menghadapi media. Supel, apa adanya, dan tetap mempertahankan khas
ke”ndeso”annya. Sungguh menarik sekali.
3. Tidak bisa disangkal jika SBY dan Jokowi memiliki wibawa dan kharisma tersendiri.
Dimanapun mereka berada, mereka pasti selalu dihormati karena wibawa yang mereka
miliki. Hal ini terwujud jelas dari tingkah laku mereka, seperti cara mereka berjalan atau
berbicara. Bahkan Ruhut si Raja Minyak saja sangat mengidolakan SBY.
4. Sekarang hobinya sama…blusukan. Entah siapa meniru siapa, walaupun kadang saya
tertawa sendiri ketika Jokowi masuk gorong-gorong, emang mau diapain gorong-gorong
itu. BTW, kita harus apresiasi cara memimpinnya.
5. 100 hari pertama mereka disambut peristiwa dahsyat. SBY ketika Oktober dilantik, lalu
di bulan Desember terjadi tsunami Aceh. Begitu pula Jokowi, baru aja tiga bulanan
menjabat sudah diuji cobaan berat. Banjir Jakarta yang termasuk banjir terbesar.
Bunderan HI ketika tanggal 1 Januari 2013 dipenuhi orang yang berpesta menyambut
tahun baru eh di tanggal 17 Januari 2013, berubah menjadi lautan. Padahal bunderan HI
jarang kena banjir.
Setiap pemimpin memiliki gaya dan aturan yang berbeda. Ada yang fokus
pada sistem dan ada juga yang langsung mencari dan membuktikan
kebijakan dan sistem yang dibuat oleh pemerintah langsung kepada
masyarakat atau yang sering disebut “blusukan”.
Pada kedua pemimpin negara dan daerah ini juga memiliki perbedaan dalam
cara dan gaya memimpinnya. Presiden SBY dengan gayanya yang khas
dengan mengunjungi masyarakat langsung hingga kepelosok daerah. Ini
dilakukan bukan hanya pada saat dia menjabat presiden, tetapi ketika beliau
masih menjabat menjadi Dandim di TNI juga melakukan hal yang sama
dengan meninjau langsung keadaan masyarakat. Selama masa jabatannya
menjadi presiden, sudah tak terhitung SBY mengunjungi rakyat secara
langsung. Apakah dalam kunjungan atau Safari Ramadhan, kunjungan kerja
ke daerah, mengunjungi korban bencana seperti Aceh, Jogya, di Papua, di
Miangas dan hampir seluruh daerah di tanah air.
Gubernur DKI Jakarta, Jokowi juga melakukan hal yang sama dengan apa
yang dilakukan oleh SBY. Jokowi ketika menjabat sebagai walikota solo juga
sering melakukan “blusukan” langsung kepada rakyatnya. Sehingga warga
solo sangat berat untuk melepas sosok Jokowi ketika hasil KPU menyatakan
bahwa Jokowi memenangkan perolehan suara dalam pemilihan Gubernur
DKI Jakarta. Pada pemerintahannya yang baru sekarang juga Jokowi sangat
intens melakukan tindakan “blusukan” ke masyarakat.
Perbedaan dari kedua pemerintahan ini adalah SBY melakukan kunjungan
langsung kemasyarakat bukan hanya ketika dia memerintah, tetapi sebelum
menjadi presiden beliau juga telah sering melakukannya. Sedangkan Jokowi
melakukannya ketika dia menjadi pejabat pemerintahan sebagai walikota
maupun Gubernur. Tetapi sudah sepatutnya semua pemimpin daerah
maupun pusat melakukan tindakan seperti ini, agar mereka mengetahui
keadaan masyarakat secara langsung dan melihat langsung apakah
kibijakan dan sistem yang dibuat berjalan dengan lancar dan efektif.
Sumber :http://politik.kompasiana.com/2013/01/23/persamaan-dan-
perbedaan-sby-dengan-jokowi-522191.html
Sumber : http://tustiya.blogspot.co.id/2013/06/perbedaan-
pemerintahan-sby-dan-jokowi.html