Disusun Oleh:
Kelompok 4
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terorisme merupakan suatu tindak pidana atau kejahatan luar biasa yang
menjadi perhatian dunia sekarang ini terutama di Indonesia. Terorisme yang
terjadi di Indonesia akhir-akhir ini memiliki keterkaitan ideologis, sejarah dan
politis serta merupakan bagian dari dinamika lingkungan strategis pada tataran
global dan regional. Kendatipun aksi terorisme yang terjadi di berbagai daerah
dalam beberapa tahun terakhir ini kebanyakan dilakukan oleh orang Indonesia
dan hanya sedikit aktor-aktor dari luar. Namun tidak dapat dibantah bahwa aksi
terorisme saat ini merupakan suatu gabungan antara pelaku domestik dengan
mereka yang memiliki jejaring trans-nasional.
Dalam rangka mencegah dan memerangi terorisme tersebut, sejak jauh
sebelum marakanya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk
terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta
berbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy)
disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan
yang dikategorikan sebagai terorisme.
Dalam mengupayakan pemberantasan tindak kejahatan terorisme maka
pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002. Yang
pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang RI dengan
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Salah satu hal yang melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang tersebut
adalah tragedi bom di Sari Club dan Paddy’s Club Kuta Legian Bali 12
Oktober 2002, yang selayaknya digolongkan sebagai kejahatan terbesar di
Indonesia dari serangkaian teror yang ada. Tragedi tersebut adalah sebuah bukti
nyata bahwa teror adalah aksi yang sangat keji yang tidak memperhitungkan,
tidak memperdulikan dan sungguh-sungguh mengabaikan nilai-nilai
kemanusiaan. Manusia yang tidak tahu menahu akan maksud, misi atau tujuan
pembuat teror telah menjadi korban tidak berdosa (innocent victim). Rakyat
tidak berdosa hanya menjadi ongkos kebiadaban manusia yang tidak
dimenangkan dan tidak disupremasikan aksi teror yang terjadi di Legian Bali.
Hal itu mengingatkan publik pada kejadian Black Tuesday (selasa kelabu),
yaitu peristiwa pengeboman yang telah menghancurkan simbol kapitalisme
Negara Adikuasa AS berupa Menara World Trade Center (WTC) dan simbol
pertahanan AS, Pentagon. Publik global menarik benang merah bahwa tragedi
Bali dan kasus WTC AS adalah produk gerakan kelompok terorisme yang
bermaksud merusak kedamaian global, menghancurkan nilai-nilai peradaban
dan mendagrasikan HAM.
Pada awal bulan Januari 2016 ibu kota Indonesia kembali dikejutkan
dengan aksi terorisme. Serangkaian ledakan dan tembak menembak terjadi di
kawasan M.H.Thamrin. Ledakan pertama terjadi di Kafe Starbucks kemudian
ledakan susulan terjadi di Pos Lantas di depan Plaza Sarinah M. H. Thamrin.
Kejadian tersebut telah menewaskan delapan orang, termasuk empat pelaku
aksi teror berdarah tersebut. Merespon peristiwa bom dan serangan di kawasan
Sarinah, pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan
Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan akan melakukan langkah-
langkah kebijakan terkait politik hukum nasional. Awalnya Luhut Binsar
Pandjaitan menilai perlu menyusun Perppu namun kemudian merevisinya
kembali bahwa tidak perlu ada peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(Perppu) untuk mengatasi persoalan terorisme. Akhirnya Presiden Joko
Widodo memutuskan memperkuat upaya pencegahan aksi terorisme dengan
merevisi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme menjadi UU No. 5 Tahun 2018 setelah terjadinya bom bunuh diri
mengguncang Mapolres Surabaya yang diledakkan oleh kendaraan roda dua
tepat di gerbang Polres.
UU No. 5 Tahun 2018 atas perubahan dari UU No. 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini merupakan bentuk upaya
menjawab berbagai rangkaian peristiwa pengeboman yang terjadi di Indonesia.
UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
dianggap sudah tidak memadai lagi sebagai payung hukum dalam upaya
pemberantasan tindak pidana terorisme di tanah air sehingga banyak kalangan
yang mendesak agar direvisi. Kalangan yang mendesak menginginkan
penegakan hukum tidak hanya dilakukan setelah peristiwa aksi teror terjadi,
sebab aparat penegak hukum tidak bisa menindak mereka yang merencanakan
aksi teror termasuk kegiatan pendoktrinan para calon pelaku teror.
Kebijakan yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana terorisme
di Indonesia ini telah berganti mulai dari perpu hingga berubah menjadi sebuah
undang-undang, yaitu UU No. 5 Tahun 2018. UU No. 5 Tahun 2018
merupakan salah satu penerapan model Inkremental. Hal ini dapat dilihat dari
terbentuknya UU No. 5 Tahun 2018 sebagai hasil perbaikan dari kebijakan atau
undang-undang sebelumnya yang merupakan ciri dari model Inkremental
dalam formulasi kebijakan sebagaimana yang dikemukakan Lindblom.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
meneliti mengenai “Penerapan Model Inkremental Dalam Formulasi UU No.
5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang ingin diteliti
adalah “Bagaimana proses penerapan model inkremental dalam formulasi UU
No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme?”.
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari paper ini adalah
“menjelaskan proses penerapan model inkremental dalam formulasi UU No. 5
Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”.
D. Manfaat
Paper ini diharapkan mampu memberi manfaat, antara lain:
1) Manfaat Teoritis
Memberi pengetahuan dan wawasan terkait proses penerapan model
inkremental dalam formulasi UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.
2) Manfaat Praktis
Membantu penelitian-penelitian selanjutnya terkait UU No. 5 Tahun
2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Memberikan informasi kepada masyarakat terkait terorisme yang
tercantum dalam UU No. 5 Tahun 2018.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Definisi Terorisme
Menurut Undang-Undang 5 Tahun 2018, terorisme adalah perbuatan
yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan
suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban
yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran
terhadap objek vital yang strategis, Iingkungan hidup, fasilitas publik, atau
fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
B. Model Inkremental
Dalam buku Budi Winarno yang berjudul Kebijakan Publik: Teori,
Proses, dan Studi Kasus (2014), model inkremental/ penambahan merupakan
hasil dari praktik-praktik yang diterima secara luas di kalangan pembentuk
kebijakan publik. Model ini mencoba untuk menyesuaikan dengan realitas
kehidupan praktis dengan mendasarkan pada pluralisme dan demokrasi,
maupun keterbatasan-keterbatasan kemampuan manusia. Landasan pokok
rasional dari model ini adalah bahwa perubahan inkremental memberikan
tingkat maksimalkan keamanan dalam proses perubahan kebijakan. Semua
pengetahuan yang bisa dipercaya didasarkan pada - cara satu-satunya untuk
mengambil keputusan tanpa menimbulkan risiko dengan melanjutkan
kebijakan sesuai dengan arah tujuan kebijakan lama - membatasi
pertimbangan-pertimbangan kebijakan alternatif dengan kebijakan-kebijakan
yang secara relatif mempunyai tingkat perbedaan yang kecil dengan kebijakan
sekarang yang berlaku.
Menurut model ini, kebijakan atau keputusan selalu bersifat serial,
fragmentary, dan sebagian besar remidial. Suatu masalah bisa saja muncul,
namun dapat dipecahkan oleh proses pengambilan keputusan inkremental, dan
sejalan dengan berlalunya waktu bisa menciptakan atmosfer yang lebih
menguntungkan bagi perubahan-perubahan, dan sekaligus memberikan
peluang-peluang tambahan bagi penyesuaian perbedaan di kalangan pembuat
keputusan.
Ringkasnya, Linblom dalam Winarno (2014) ada beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam mempelajari model penambahan (inkrementalisme),
yakni:
1) Pemilihan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran dan analisis-analisis empirik
terhadap tindakan dibutuhkan. Keduanya lebih berkaitan erat dengan dan
bukan berada satu sama lain.
2) Para pembuat keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif
untuk menanggulangi masalah yang dihadapi dan alternatif-alternatif ini
hanya berada secara marginal dengan kebijakan yang sudah ada.
3) Untuk setiap alternatif, pembuat keputusan hanya mengevaluasi beberapa
konsekuensi yang dianggap penting saja.
4) Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan dibatasi kembali secara
berkesinambungan. Inkrementalisme memungkinkan penyesuaian-
penyesuaian sarana-tujuan dan tujuan-sarana sebanyak mungkin sehingga
memungkinkan masalah dapat dikendalikan.
5) Tidak ada keputusan tunggal atau penyelesaian masalah yang dianggap
“tepat”. Pengujian terhadap keputusan yang dianggap baik adalah bahwa
persetujuan terhadap berbagai macam analisis dalam rangka memecahkan
persoalan tidak diikuti persetujuan bahwa keputusan yang diambil
merupakan sarana yang paling cocok untuk meraih sasaran yang telah
disepakati.
6) Pembuatan keputusan secara inkremental pada dasanya merupakan
remidial dan diarahkan lebih banyak kepada perbaikan terhadap
ketidaksempurnaan sosial di masa depan.
PEMBAHASAN
Masih di tahun yang sama dengan pengesahan Perpu No.1 Tahun 2002,
pengeboman pun terjadi di Makassar tepatnya di Restoran McDonald’s Mal
Ratu Indah pada tanggal 5 Desember 2002. Tidak hanya berhenti disitu saja
teror bom yang dilancarkan setelah pengesahan Perpu No.1 Tahun 2002
menjadi UU No. 15 Tahun 2003, awal tahun 2003 terdapat teror bom di
kompleks Mabes Polri Jakarta, bandara Soekarno Hatta, teror bom di Hotel JW
Marriot, ledakan bom di kafe Bukit Sampoddo Indah, Kabupaten luwu, Palopo,
bom di Kedubes Australia tahun 2004 silam, bom di Pamulang, Tangerang,
hingga Bom Bali II pada tahun 2005. Selang beberapa tahun, pada tahun 2009,
teror bom di Jakarta kembali terjadi di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton.
Kemudian, teror bom di Masjid Mapolresta Cirebon pada 15 April 2011, bom
Solo di GBIS Kepunton pada 25 September 2011, bom Solo di Pospam Gladak
Solo, Jawa tengah pada Agustus 2012 dan bom Polres Poso pada 9 Juni 2013.
Pada tahun 2010, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) resmi
dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2010.
BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan
Website
Erdianto, K. (2018). Pasal-pasal yang Jadi Perdebatan Selama Pembahasan
Revisi UU Antiterorisme. Retrieved from
https://nasional.kompas.com/read/2018/05/14/18531901/pasal-pasal-yang-
jadi-perdebatan-selama-pembahasan-revisi-uu-antiterorisme
Ihsanuddin. (2018) Pasal-pasal Penting yang Perlu Anda Tahu dalam UU
Antiterorisme. Retrieved from
https://nasional.kompas.com/read/2018/05/26/10190871/pasal-pasal-
penting-yang-perlu-anda-tahu-dalam-uu-antiterorisme?page=all
Kuswandi. (2018). Ini Perjalanan Panjang Revisi UU Antiterorisme. Retrieved
from https://www.jawapos.com/nasional/politik/25/05/2018/ini-
perjalanan-panjang-revisi-uu-antiterorisme?amp=1
Lubabah, R. G., Firdaus, R. F. (2018). Hasil akhir deretan pasal yang jadi
sorotan dalam UU Antiterorisme. Retrieved from
https://www.merdeka.com/politik/hasil-akhir-deretan-pasal-yang-jadi-
sorotan-dalam-uu-antiterorisme.html
Sindo, K. (2018). Pasca Bom Surabaya, Revisi UU Antiterorisme Mendesak
Disahkan. Retrieved from
https://nasional.sindonews.com/read/1305538/14/pasca-bom-surabaya-
revisi-uu-antiterorisme-mendesak-disahkan-1526265558
Sulistya, R., Ramadhan, B. (2018). Alasan Polri Ajukan Revisi UU Terorisme
Menurut Ansyaad Mbai. Retrieved from
https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/05/25/p98sei330-
alasan-polri-ajukan-revisi-uu-terorisme-menurut-ansyaad-mbai
Tamtomo, A.B. (2018). INFOGRAFIK: Pasal-pasal Penting dalam UU
Antiterorisme. Retrieved from
https://nasional.kompas.com/read/2018/05/28/14455721/infografik-pasal-
pasal-penting-dalam-uu-antiterorisme
Undang-Undang
Pemerintah Indonesia. 2018. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Menjadi Undang-Undang. Lembaran Negara RI Tahun 2018, No. 6216.
Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme. Lembaran Negara RI Tahun 2002, No. 4232.
Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang. Lembaran Negara RI Tahun
2003, No. 4284. Sekretariat Negara. Jakarta.