Anda di halaman 1dari 20

PROSES PENERAPAN MODEL INKREMENTAL DALAM FORMULASI

UU NOMOR 5 TAHUN 2018

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Formulasi Kebijakan Publik

Disusun Oleh:

Kelompok 4

Andreas Bayu Darmawan D0116007


Ervan Surya Putra D0116027
Khoirul Anam D0116047
Nareswara Srisunu B.A.S D0116069
Shafira Twinsa Diaz D0116089

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terorisme merupakan suatu tindak pidana atau kejahatan luar biasa yang
menjadi perhatian dunia sekarang ini terutama di Indonesia. Terorisme yang
terjadi di Indonesia akhir-akhir ini memiliki keterkaitan ideologis, sejarah dan
politis serta merupakan bagian dari dinamika lingkungan strategis pada tataran
global dan regional. Kendatipun aksi terorisme yang terjadi di berbagai daerah
dalam beberapa tahun terakhir ini kebanyakan dilakukan oleh orang Indonesia
dan hanya sedikit aktor-aktor dari luar. Namun tidak dapat dibantah bahwa aksi
terorisme saat ini merupakan suatu gabungan antara pelaku domestik dengan
mereka yang memiliki jejaring trans-nasional.
Dalam rangka mencegah dan memerangi terorisme tersebut, sejak jauh
sebelum marakanya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk
terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta
berbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy)
disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan
yang dikategorikan sebagai terorisme.
Dalam mengupayakan pemberantasan tindak kejahatan terorisme maka
pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002. Yang
pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang RI dengan
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Salah satu hal yang melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang tersebut
adalah tragedi bom di Sari Club dan Paddy’s Club Kuta Legian Bali 12
Oktober 2002, yang selayaknya digolongkan sebagai kejahatan terbesar di
Indonesia dari serangkaian teror yang ada. Tragedi tersebut adalah sebuah bukti
nyata bahwa teror adalah aksi yang sangat keji yang tidak memperhitungkan,
tidak memperdulikan dan sungguh-sungguh mengabaikan nilai-nilai
kemanusiaan. Manusia yang tidak tahu menahu akan maksud, misi atau tujuan
pembuat teror telah menjadi korban tidak berdosa (innocent victim). Rakyat
tidak berdosa hanya menjadi ongkos kebiadaban manusia yang tidak
dimenangkan dan tidak disupremasikan aksi teror yang terjadi di Legian Bali.
Hal itu mengingatkan publik pada kejadian Black Tuesday (selasa kelabu),
yaitu peristiwa pengeboman yang telah menghancurkan simbol kapitalisme
Negara Adikuasa AS berupa Menara World Trade Center (WTC) dan simbol
pertahanan AS, Pentagon. Publik global menarik benang merah bahwa tragedi
Bali dan kasus WTC AS adalah produk gerakan kelompok terorisme yang
bermaksud merusak kedamaian global, menghancurkan nilai-nilai peradaban
dan mendagrasikan HAM.
Pada awal bulan Januari 2016 ibu kota Indonesia kembali dikejutkan
dengan aksi terorisme. Serangkaian ledakan dan tembak menembak terjadi di
kawasan M.H.Thamrin. Ledakan pertama terjadi di Kafe Starbucks kemudian
ledakan susulan terjadi di Pos Lantas di depan Plaza Sarinah M. H. Thamrin.
Kejadian tersebut telah menewaskan delapan orang, termasuk empat pelaku
aksi teror berdarah tersebut. Merespon peristiwa bom dan serangan di kawasan
Sarinah, pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan
Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan akan melakukan langkah-
langkah kebijakan terkait politik hukum nasional. Awalnya Luhut Binsar
Pandjaitan menilai perlu menyusun Perppu namun kemudian merevisinya
kembali bahwa tidak perlu ada peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(Perppu) untuk mengatasi persoalan terorisme. Akhirnya Presiden Joko
Widodo memutuskan memperkuat upaya pencegahan aksi terorisme dengan
merevisi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme menjadi UU No. 5 Tahun 2018 setelah terjadinya bom bunuh diri
mengguncang Mapolres Surabaya yang diledakkan oleh kendaraan roda dua
tepat di gerbang Polres.
UU No. 5 Tahun 2018 atas perubahan dari UU No. 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini merupakan bentuk upaya
menjawab berbagai rangkaian peristiwa pengeboman yang terjadi di Indonesia.
UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
dianggap sudah tidak memadai lagi sebagai payung hukum dalam upaya
pemberantasan tindak pidana terorisme di tanah air sehingga banyak kalangan
yang mendesak agar direvisi. Kalangan yang mendesak menginginkan
penegakan hukum tidak hanya dilakukan setelah peristiwa aksi teror terjadi,
sebab aparat penegak hukum tidak bisa menindak mereka yang merencanakan
aksi teror termasuk kegiatan pendoktrinan para calon pelaku teror.
Kebijakan yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana terorisme
di Indonesia ini telah berganti mulai dari perpu hingga berubah menjadi sebuah
undang-undang, yaitu UU No. 5 Tahun 2018. UU No. 5 Tahun 2018
merupakan salah satu penerapan model Inkremental. Hal ini dapat dilihat dari
terbentuknya UU No. 5 Tahun 2018 sebagai hasil perbaikan dari kebijakan atau
undang-undang sebelumnya yang merupakan ciri dari model Inkremental
dalam formulasi kebijakan sebagaimana yang dikemukakan Lindblom.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
meneliti mengenai “Penerapan Model Inkremental Dalam Formulasi UU No.
5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang ingin diteliti
adalah “Bagaimana proses penerapan model inkremental dalam formulasi UU
No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme?”.
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari paper ini adalah
“menjelaskan proses penerapan model inkremental dalam formulasi UU No. 5
Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”.
D. Manfaat
Paper ini diharapkan mampu memberi manfaat, antara lain:
1) Manfaat Teoritis
Memberi pengetahuan dan wawasan terkait proses penerapan model
inkremental dalam formulasi UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.
2) Manfaat Praktis
 Membantu penelitian-penelitian selanjutnya terkait UU No. 5 Tahun
2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
 Memberikan informasi kepada masyarakat terkait terorisme yang
tercantum dalam UU No. 5 Tahun 2018.
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Definisi Terorisme
Menurut Undang-Undang 5 Tahun 2018, terorisme adalah perbuatan
yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan
suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban
yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran
terhadap objek vital yang strategis, Iingkungan hidup, fasilitas publik, atau
fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
B. Model Inkremental
Dalam buku Budi Winarno yang berjudul Kebijakan Publik: Teori,
Proses, dan Studi Kasus (2014), model inkremental/ penambahan merupakan
hasil dari praktik-praktik yang diterima secara luas di kalangan pembentuk
kebijakan publik. Model ini mencoba untuk menyesuaikan dengan realitas
kehidupan praktis dengan mendasarkan pada pluralisme dan demokrasi,
maupun keterbatasan-keterbatasan kemampuan manusia. Landasan pokok
rasional dari model ini adalah bahwa perubahan inkremental memberikan
tingkat maksimalkan keamanan dalam proses perubahan kebijakan. Semua
pengetahuan yang bisa dipercaya didasarkan pada - cara satu-satunya untuk
mengambil keputusan tanpa menimbulkan risiko dengan melanjutkan
kebijakan sesuai dengan arah tujuan kebijakan lama - membatasi
pertimbangan-pertimbangan kebijakan alternatif dengan kebijakan-kebijakan
yang secara relatif mempunyai tingkat perbedaan yang kecil dengan kebijakan
sekarang yang berlaku.
Menurut model ini, kebijakan atau keputusan selalu bersifat serial,
fragmentary, dan sebagian besar remidial. Suatu masalah bisa saja muncul,
namun dapat dipecahkan oleh proses pengambilan keputusan inkremental, dan
sejalan dengan berlalunya waktu bisa menciptakan atmosfer yang lebih
menguntungkan bagi perubahan-perubahan, dan sekaligus memberikan
peluang-peluang tambahan bagi penyesuaian perbedaan di kalangan pembuat
keputusan.
Ringkasnya, Linblom dalam Winarno (2014) ada beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam mempelajari model penambahan (inkrementalisme),
yakni:
1) Pemilihan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran dan analisis-analisis empirik
terhadap tindakan dibutuhkan. Keduanya lebih berkaitan erat dengan dan
bukan berada satu sama lain.
2) Para pembuat keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif
untuk menanggulangi masalah yang dihadapi dan alternatif-alternatif ini
hanya berada secara marginal dengan kebijakan yang sudah ada.
3) Untuk setiap alternatif, pembuat keputusan hanya mengevaluasi beberapa
konsekuensi yang dianggap penting saja.
4) Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan dibatasi kembali secara
berkesinambungan. Inkrementalisme memungkinkan penyesuaian-
penyesuaian sarana-tujuan dan tujuan-sarana sebanyak mungkin sehingga
memungkinkan masalah dapat dikendalikan.
5) Tidak ada keputusan tunggal atau penyelesaian masalah yang dianggap
“tepat”. Pengujian terhadap keputusan yang dianggap baik adalah bahwa
persetujuan terhadap berbagai macam analisis dalam rangka memecahkan
persoalan tidak diikuti persetujuan bahwa keputusan yang diambil
merupakan sarana yang paling cocok untuk meraih sasaran yang telah
disepakati.
6) Pembuatan keputusan secara inkremental pada dasanya merupakan
remidial dan diarahkan lebih banyak kepada perbaikan terhadap
ketidaksempurnaan sosial di masa depan.

Menurut Linblom, di satu sisi, model inkremental bisa dianggap sebagai


sebuah model deskriptif dalam pengertian bahwa kebijakan yang dibuat
melalui apa yang disebut sebuah proses “pemecahan masalah” (a “muddling
through”). Di sisi lain, model ini juga dipandang konservatif terhadap
policy innovation. Sekalipun model ini merupakan pembenaran yang canggih
terhadap kebijakan dan proses pembuatan kebijakan yang mendasarkan pada
“muddling through”, yakni perubahan inkremental, namun sulit untuk
membenarkan menurut asumsi bahwa keputusan-keputusan kebijakan masa
lalu adalah selalu benar, khususnya pada saat terjadi perubahan-perubahan
yang sangat cepat, dan masalah atau persoalan yang sedang didiskusikan tidak
mempunyai preseden.
BAB III

PEMBAHASAN

Proses Model Inkremental dalam Formulasi UU No. 5 Tahun 2018

A. Tahap Pertama: Terbentuknya UU No. 15 Tahun 2003


Tertulis dalam buku Adnan Buyung Nasution, Pergulatan Tanpa Henti:
Pahit Getir Merintis Demokrasi, penyusunan RUU Anti Terorisme sudah
dilakukan sejak akhir 1990-an. Awalnya, pemerintah menyusun rancangan
tanpa mengikutsertakan masyarakat, pakar hukum dan akademisi di luar
pemerintah. Saat sosialisasi rancangan dilakukan, Buyung bersama Hakim
Garuda Nusantara, Mulyana Kusumah dan Indrianto Senoadji menentang keras
konsep tersebut. Menurut Buyung, konsep tersebut bertolak belakang dengan
kepentingan nasional dan melanggar prinsip-prinsip keadilan maupun HAM.
Setahun kemudian, Buyung dan beberapa pakar lainnya diminta
pemerintah sebagai tenaga ahli untuk menyusun rancangan UU Anti Terorisme
yang kedua. Rumusan yang pertama dicabut. Alhasil, sekira tanggal 20 Mei
1999, tim pakar RUU Anti Terorisme mempresentasikan hasilnya dalam
sebuah lokakarya di BPHN.
Dalam RUU Anti Terorisme tersebut, terdapat beberapa hal yang belum
disepakati. Pertama, terkait data intelijen. Kedua, muncul usulan dibentuknya
lembaga khusus atau satuan tugas yang menangani terorisme. Isu ketiga
tentang asas retroaktif, apakah UU Anti Terorisme dapat berlaku surut terhadap
peristiwa atau perkara yang sudah terjadi. Sementara belum ada kesepakatan
mengenai isu-isu ini, terjadi peristiwa Bom Bali I.
Peristiwa bom Bali I terjadi tepatnya di depan Paddy’s Pub dan Sari Club
di jalan Legian, Kuta, Bali, dan sepuluh menit kemudian ledakan kembali
terjadi, tepatnya di Renon, berdekatan dengan kantor Konsulat Amerika Serikat
di Bali pada Sabtu malam, 12 Oktober 2002. Serangan Bom Bali I ini disebut-
sebut sebagai serangan terorisme terparah sepanjang sejarah Indonesia berdiri.
Dengan kejadian yang ada di Bali, maka presiden pada saat itu Megawati
Soekarno Putri meminta Kepolisian untuk menuntaskan kasus yang telah
mencoreng nama Indonesia ini. Bahkan, Megawati memberi deadline
penuntasan kasus ini dalam sebulan.
Enam hari kemudian, tepatnya 18 Oktober 2002, Presiden Megawati
menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan
Perppu Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perppu Nomor 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Akhirnya pada tanggal 4 April 2003, pengesahan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme menjadi undang-undang. Dewan Perwakilan Rakyat
mengesahkan perpu kontroversial ini lewat voting dengan 220 anggota Dewan
dari tujuh fraksi menyetujui, sedangkan dua fraksi menolak. Total anggota
Dewan yang hadir adalah 266 orang. Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
dimana dalam Penjelasan Umumnya menegaskan bahwa penggunaan Perppu
untuk mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme didasarkan
pertimbangan bahwa terjadinya terorisme di berbagai tempat telah
menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil serta menimbulkan
ketidakamanan bagi masyarakat, sehingga mendesak untuk dikeluarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang guna segera dapat diciptakan
suasana yang kondusif bagi pemeliharaan ketertiban dan keamanan tanpa
meninggalkan prinsip-prinsip hukum.
Setelah Perpu No. 1 Tahun 2002 disahkan, serangan bom masih sering
terjadi di Indonesia bahkan hingga kedua perpu tersebut disahkan menjadi
undang-undang. Pada tahun 2003, Perpu No. 1 Tahun 2002 disahkan menjadi
UU No. 15 Tahun. Pengesahan kedua perpu ini menjadi undang-undang
dilandasi oleh beberapa alasan, yaitu:
1) Bahwa peristiwa pemboman di Bali pada tanggal 2 Oktober 2002 telah
menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas
serta mengakibatkan hilangnya nyawa dan kerugian harta benda.
2) Bahwa peristiwa pembomam yang terjadi di Bali telah membawa dampak
yang luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan
Internasional serta mengancam perdamaian dan keamanan Internasional,
sehingga PBB mengeluarkan resolusi Nomor 1438 (2002) dan resolusi
Nomor 1371 (2001).
3) Bahwa untuk memberi landasan hukum yang kuat dalam mengambil
langkah-langkah segera dalam rangka penyelidikan-penyelidikan dan
penuntutan atas peristiwa pemboman yang terjadi di Bali, Presiden Republik
Indonesia telah menetapkan PERPU No. 2 Tahun 2002 tentang
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme, pada
Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober Tahun 2002.

Masih di tahun yang sama dengan pengesahan Perpu No.1 Tahun 2002,
pengeboman pun terjadi di Makassar tepatnya di Restoran McDonald’s Mal
Ratu Indah pada tanggal 5 Desember 2002. Tidak hanya berhenti disitu saja
teror bom yang dilancarkan setelah pengesahan Perpu No.1 Tahun 2002
menjadi UU No. 15 Tahun 2003, awal tahun 2003 terdapat teror bom di
kompleks Mabes Polri Jakarta, bandara Soekarno Hatta, teror bom di Hotel JW
Marriot, ledakan bom di kafe Bukit Sampoddo Indah, Kabupaten luwu, Palopo,
bom di Kedubes Australia tahun 2004 silam, bom di Pamulang, Tangerang,
hingga Bom Bali II pada tahun 2005. Selang beberapa tahun, pada tahun 2009,
teror bom di Jakarta kembali terjadi di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton.
Kemudian, teror bom di Masjid Mapolresta Cirebon pada 15 April 2011, bom
Solo di GBIS Kepunton pada 25 September 2011, bom Solo di Pospam Gladak
Solo, Jawa tengah pada Agustus 2012 dan bom Polres Poso pada 9 Juni 2013.
Pada tahun 2010, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) resmi
dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2010.

Perjalanan UU No. 15 Tahun 2003 selain diwarnai dengan teror bom


yang masih terjadi, juga diwarnai dengan permohonan judicial review oleh
Masykur Abdul Kadir yang merupakan terdakwa Kasus Bom Bali I. Masykur
Abdul Kadir mengajukan permohonan judicial review terhadap UU No. 16
Tahun 2003 tentang Penerapan Perppu No. 2 Tahun 2002 tentang
Pemberlakuan Perppu No. 1 Tahun 2002 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
B. Tahap Kedua: Formulasi UU No. 5 Tahun 2018 atas Revisi UU No. 15
Tahun 2003
Adanya bom di Jalan MH Thamrin pada 14 Januari 2016 membuat
Menko Polhukam, Luhut Binsar Panjaitan, mengemukakan gagasannya untuk
DPR segera merevisi UU No. 15 Tahun 2003. Sehingga pada tanggal 21
Januari 2016 RUU Anti Terorisme masuk Program Legislasi Nasional Prioritas
Tahun 2016. Dalam revisi terdapat sejumlah poin perubahan usulan
pemerintah. Mulai adanya ancaman kekerasan, tindak pidana terorisme, waktu
penahanan dan penangkapan, penyadapan, perlindungan, hak korban serta
pencegahan.
Pada 11 Februari 2016, draf RUU Anti-Terorisme diserahkan ke DPR.
Lalu, DPR membentuk panitia khusus pembahasan RUU Anti Terorisme.
Keberadaan anggota Pansus RUU Anti Terorisme disahkan pada 25 Februari
2016. Selama Panitia Khusus RUU Anti-Terorisme bekerja, Pansus menerima
banyak masukan dari elemen masyarakat sipil serta harus membahas hal-hal
yang kontroversial.
Bahasan yang kontroversial, yang dihadapi oleh Pansus misalnya terkait
kinerja Polri, pasalnya berdasarkan laporan Komnas HAM, ada 122 terduga
teroris yang ditembak mati tanpa bisa dijelaskan apakah orang itu benar
anggota jaringan teroris atau bukan. Selain itu juga tidak satu suaranya
pemerintah terkait ketentuan pelibatan TNI dalam RUU Antiterorisme
menghambat proses pembahasan. Sebelum disepakati masing-masing
pemangku kepentingan pemerintah memiliki konsepnya sendiri-sendiri. Ada
yang ingin RUU Antiterorisme tetap sesuai sengan sistem peradilan pidana
terpadu, ada pula yang pula yang setuju dengan pendekatan militeristik dalam
penanggulangan terorisme. Perdebatan itu tidak selesai dalam tiga kali masa
persidangan. Akhirnya disepakati ketentuan pelibatan TNI sesuai dengan
ketentuan dalam UU TNI. Mekanisme detail pelibatan TNI akan diatur melalui
perpres. Lalu ada pasal guantanamo. Awalnya, Pasal 43A draf Revisi UU
Antiterorisme mengatur soal kewenangan penyidik maupun penuntut untuk
menahan seseorang yang diduga terkait kelompok teroris selama enam bulan.
Pasal 43 A, disebut dengan istilah "Pasal Guantanamo", merujuk pada nama
penjara milik Amerika Serikat di wilayah Kuba, di mana ratusan orang
ditangkap dan disembunyikan karena diduga terkait jaringan teroris. Pasal baru
itu dianggap sarat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan menunjukkan
ketidakmampuan penyidik dalam melakukan pengusutan dalam waktu cepat.
Akhirnya pasal tersebut dihapuskan. Serta yang tersisa adalah bahasan
mengenai definisi terorisme. Kala itu terdapat dua alternatif definisi terorisme.
Perbedaan dari kedua alternatif ini yaitu pada alternatif satu tidak
mencantumkan motif teror dan frase “gangguan keamanan negara”. Sehingga
pada akhirnya dari 10 fraksi anggota Pansus, 8 diantaranya memilih alternatif
definisi terorisme yang kedua.
Seiring dengan pembahasan RUU Anti-Terorisme ini, serangan bom
terus berlangsung. Misalnya, meledaknya bom di Mapolresta Surakarta pada 5
Juli 2016. Bom gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan pada 28 Agustus
2016. Bom Gereja Oikumene, Samarinda dan Bom Vihara Budi Dharma, Kota
Singkawang, Kalimantan Barat masing-masing pada 13 dan 14 November
2016. Kasus terbaru dari teror bom adalah peristiwa bom di Kampung Melayu
pada 24 Mei 2017. Serta, dua hari beruntun serangan di Jawa Timur. Tepatnya
di tiga gereja di Surabaya dan Rusun Wonocolo Sidoarjo pada 13 Mei 2018
dan serangan bom di Mapolresta Surabaya keesokan harinya, pada 14 Mei
2018.
Seiring berbagai kasus teror bom di Indonesia hingga yang terjadi di
Surabaya pada tanggal 14 Mei 2018 menjadi penyulut gagasan untuk merevisi
UU No. 15 Tahun 2003. Sebelumnya bom di Jalan MH Thamrin pada 14
Januari 2016 membuat Menko Polhukam, Luhut Binsar Panjaitan,
mengemukakan gagasannya untuk DPR segera merevisi UU No. 15 Tahun
2003. Kemudian pada 24 Mei 2017 juga terjadi bom bunuh diri di sekitaran
Terminal Kampung Melayu yang membuat Yasonna H Laoly selaku Menkum
HAM kembali meminta adanya revisi undang-undang tersebut karena perlu
adanya payung hukum yang jelas dalam menindakkuasai dan juga jaringan
terorisme (JawaPos.com). Hingga pada akhirnya Presiden Jokowi meminta
DPR segera merampungkan revisi UU tentang Tindak Pidana Terorisme
setelah adanya bom yang terjadi di Surabaya. Harapannya, UU yang baru bisa
mencegah tindakan teroris secara preventif sehingga serangan tidak terjadi.
Perlunya revisi terhadap UU No. 15 Tahun 2003 dikarenakan undang-undang
ini dianggap kurang efektif dalam menangani kasus terorisme karena pihak
yang berwajib hanya bisa menindaklanjuti setelah kasus terorisme terjadi.
Sehingga tidak ada aturan yang memperbolehkan menindaklanjuti kasus
terorisme secara preventif atau sebelum kasus tersebut terjadi.
Selain itu juga ada latar belakang lain yang menjadi alasan perlunya
revisi terhadap UU No. 15 Tahun 2003 yang dikemukakan oleh Mantan Kepala
Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme Kementerian Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenpolhukam) RI, Inspektur Jenderal
(Purn) Ansyaad Mbai. Pada saat menghadiri acara di Balai Pertemuan Metro
Jaya (BPMJ) pada tanggal 24 Mei 2018, beliau atas nama Polri mengajukan
revisi Undang-Undang Terorisme. Alasan kuat beliau mengajukan revisi
adalah Polri telah mendata ada sekitar 600 WNI yang tergabung ke dalam ISIS
di Suriah dan Irak. Mereka semua menurut PBB tergolong dalam FTR (Foreign
Teroris Fighter). Namun dari jumlah FTR tersebut, dinyatakan 100 sudah
meninggal dunia termasuk karena bunuh diri. Selain itu, berita burung
menyatakan kurang lebih 70 WNI sudah pulang ke Indonesia dan hanya dua
(2) yang sudah tertangkap karena sebuah kasus. Selain karena WNI yang
tergabung ke dalam FTR, kecemasan lain yang diungkapkan oleh Ansyaad
Mbai adalah di Indonesia juga terdapat jaringan dari JI, JAT, JAD, dan jaringan
tersebut masih tetap aktif. Meskipun sudah banyak yang ditangkap, sekitar ada
seribu orang lebih, tetapi beliau mengungkapkan masih banyak juga aktif. Hal
itu dikarenakan dahulu orang-orang yang diketahui JI, JAT, JAD tidak bisa
dipidana karena tidak ada payung hukum yang mengatur tindakan preventif
dalam mengatasi terorisme.
Pada akhirnya UU No. 5 Tahun 2018 17. Disahkan pada tanggal 25 Mei
2018 saat diadakan Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Berikut substansi model inkremental dalam UU Nomor 5 Tahun 2018
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-
Undang:
1. Ancaman Kekerasan
Dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 terdapat perluasan definisi
ancaman kekerasan dari yang sebelumnya tercantum dalam UU Nomor 15
Tahun 2003 menjadi “Ancaman Kekerasan adalah setiap perbuatan
secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau
gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana
dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan
rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas atau mengekang
kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat.”
Perubahan ini tampaknya dimaksudkan untuk memperkuat
kepolisian melakukan tindakan pre-empetive (pencegahan dini) dalam
penanganan terorisme. Hal ini dipertegas lagi dengan adanya penambahan
pasal 13A dan 15. Dengan pasal-pasal ini kepolisian dimungkinkan
melakukan penindakan terhadap propaganda tertulis maupun ujaran
kebencian yang merupakan stage awal terjadinya terorisme (http://setara-
institute.org). Selain itu juga diperkuat juga dengan adanya perbaikan
dalam hal ancaman pidana penjara bagi pelaku kekerasan dan ancaman
kekerasan yang tertuang dalam pasal 6 dari yang sebelumnya dipidana
dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, menjadi
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.
2. Tindak Pidana Terorisme
Sebagaimana dalam Pasal 12 Perppu No. 1 Tahun 2002 yang
kemudian diubah menjadi UU No. 15 Tahun 2003 menyatakan bahwa
tindak pidana terorisme dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya
penambahan dalam UU No.5 Tahun 2018 pada pasal 12A ayat (1) dan (2)
selain itu adanya penambahan ancaman pidana 1/3 (satu per tiga) bagi
pelaku tindak pidana terorisme yang melibatkan anak yang tertuang dalam
pasal 16A.
3. Waktu Penahanan dan Penangkapan
Masa penahanan dan penangkapan terduga pelaku atau tersangka
tindak pidana terorisme dalam UU No. 5 Tahun 2018 pasal 25 mengalami
penambahan dari yang sebelumnya seorang tersangka untuk kepentingan
penyidikan dan penuntutan hanya dapat dilakukan dalam waktu 180 hari
atau 6 bulan menjadi 270 hari atau 9 bulan. Sedangkan pada tahap
penangkapan terduga teroris, penyidik memiliki waktu selama 14 hari dari
yang sebelumnya hanya selama 7 hari. Hal ini dibutuhkan agar aparat
sekaligus penyidik memiliki waktu yang cukup untuk menginterogasi
pelaku terduga teror dan menetapkannya sebagai tersangka atau
membebaskannya (Sarwanto, 2018 dan Ihsanuddin, 2018). Namun
demikian dalam pelaksanaan penahanan maupun penangkapan tersangka
Tindak Pidana Terorisme harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip
hak asasi manusia.
4. Penyadapan
Berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2002 (UU No. 15 Tahun 2003)
pasal 31, penyidik hanya diberikan jangka waktu paling lama 1 tahun untuk
melakukan penyadapan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Hal ini
kemudian diperbaiki dengan memberikan perpanjangan satu kali untuk
jangka waktu paling lama 1 tahun, tetapi sebelumnya sebagaimana UU No.
5 Tahun 2018 pasal 31A, dalam keadaan mendesak penyidik dapat
melakukan penyadapan terlebih dahulu terhadap orang yang diduga kuat
mempersiapkan, merencanakan, dan/atau melaksanakan Tindak Pidana
Terorisme dan setelah pelaksanaannya dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) hari wajib meminta penetapan kepada ketua pengadilan negeri yang
wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik.
5. Perlindungan
Perlindungan wajib diberikan oleh negara dari kemungkinan
ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum,
selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara. Dalam pasal 33 UU
No. 5 Tahun 2018 pemberian perlindungan diberikan kepada penyidik,
penuntut umum, hakim, advokat, pelapor, ahli, saksi, dan petugas
pemasyarakatan beserta keluarganya dalam perkara Tindak Pidana
Terorisme. Sedangkan pada aturan sebelumnya hanya diberikan kepada
saksi, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa beserta
keluarganya.
6. Hak Korban
Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2003 hak korban hanya diatur
mengenai dua hal yaitu kompensasi dan restitusi saja, sedangkan dalam UU
No. 5 Tahun 2018 kemudian diperbaiki sehingga korban mendapatkan hak
berupa bantuan medis, rehabilitasi psikososial, rehabilitasi psikologis,
santunan bagi korban meninggal dunia, pemberian restitusi, dan kompensasi
sebagaimana yang terdapat dalam pasal 35A-B dan 36A-B.
7. Pencegahan
Berkaitan dengan pencegahan tindak pidana terorisme, pemerintah
kini melakukan pencegahan yang dilaksanakan melalui kesiapsiagaan
nasional, kontra radikaliasi dan deradikalisasi yang dilandasi prinsip
perlindungan hak asasi manusia. Selain itu dalam pemberantasan
pemberantasan tindak pidana terorisme pemerintah juga melibatkan
lembaga-lembaga lain yakni BNPT dan TNI sesuai dengan tugas atau
perannya masing-masing sebagaimana dalam UU No. 5 Tahun 2018 Bab
VII A-B. Sedangkan pada aturan sebelumnya yang terdapat dalam Bab VII
pasal 43, dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
terorisme, Pemerintah Republik Indonesia melaksanakan kerja sama
internasional dengan negara lain di bidang intelijen, kepolisian dan
kerjasama teknis lainnya yang berkaitan dengan tindakan melawan
terorisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan

Proses penerapan model inkremental dalam formulasi UU No. 5 Tahun


2018 mengalami perjalanan yang cukup panjang yang disertai berbagai peristiwa
yang mengiringinya. Dalam pembentukan kebijakan pemberantasan tindak pidana
terorisme mengalami proses trial and error sehingga perlu adanya perbaikan untuk
menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi pada saat ini.

Substansi dalam perbaikan kebijakan ini, yaitu ancaman kekerasan, tindak


pidana terorisme, waktu penahanan dan penangkapan, penyadapan, perlindungan,
hak korban, dan pencegahan.
DAFTAR PUSTAKA

Website
Erdianto, K. (2018). Pasal-pasal yang Jadi Perdebatan Selama Pembahasan
Revisi UU Antiterorisme. Retrieved from
https://nasional.kompas.com/read/2018/05/14/18531901/pasal-pasal-yang-
jadi-perdebatan-selama-pembahasan-revisi-uu-antiterorisme
Ihsanuddin. (2018) Pasal-pasal Penting yang Perlu Anda Tahu dalam UU
Antiterorisme. Retrieved from
https://nasional.kompas.com/read/2018/05/26/10190871/pasal-pasal-
penting-yang-perlu-anda-tahu-dalam-uu-antiterorisme?page=all
Kuswandi. (2018). Ini Perjalanan Panjang Revisi UU Antiterorisme. Retrieved
from https://www.jawapos.com/nasional/politik/25/05/2018/ini-
perjalanan-panjang-revisi-uu-antiterorisme?amp=1
Lubabah, R. G., Firdaus, R. F. (2018). Hasil akhir deretan pasal yang jadi
sorotan dalam UU Antiterorisme. Retrieved from
https://www.merdeka.com/politik/hasil-akhir-deretan-pasal-yang-jadi-
sorotan-dalam-uu-antiterorisme.html
Sindo, K. (2018). Pasca Bom Surabaya, Revisi UU Antiterorisme Mendesak
Disahkan. Retrieved from
https://nasional.sindonews.com/read/1305538/14/pasca-bom-surabaya-
revisi-uu-antiterorisme-mendesak-disahkan-1526265558
Sulistya, R., Ramadhan, B. (2018). Alasan Polri Ajukan Revisi UU Terorisme
Menurut Ansyaad Mbai. Retrieved from
https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/05/25/p98sei330-
alasan-polri-ajukan-revisi-uu-terorisme-menurut-ansyaad-mbai
Tamtomo, A.B. (2018). INFOGRAFIK: Pasal-pasal Penting dalam UU
Antiterorisme. Retrieved from
https://nasional.kompas.com/read/2018/05/28/14455721/infografik-pasal-
pasal-penting-dalam-uu-antiterorisme

Undang-Undang
Pemerintah Indonesia. 2018. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Menjadi Undang-Undang. Lembaran Negara RI Tahun 2018, No. 6216.
Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme. Lembaran Negara RI Tahun 2002, No. 4232.
Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang. Lembaran Negara RI Tahun
2003, No. 4284. Sekretariat Negara. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai