Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN KASUS

Diare Akut dengan Dehidrasi Ringan pada Ca mamae On Kemoterapi

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam


RS Kepresidenan RSPAD Gatot Soebroto

Disusun oleh :
Karen Aryan Perdana
1102016225

Pembimbing :
DR. Diany, SpPD, FINASIM

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
2018
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Kasus Dengan Judul :
Diare Akut dengan Dehidrasi Ringan pada Ca Mamae On Kemoterapi

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Penyakit Dalam
RSPAD GATOT SOEBROTO – PUSKESAD, Jakarta

Disusun Oleh:
Karen Aryan Perdana
1102016225

Telah disetujui oleh :

Nama Pembimbing Tanda Tangan Tanggal


Pembimbing Pengesahan

DR. Diany, SpPD, FINASIM

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus
yang berjudul “Diare Post Kemoterapi”. Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu
syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik pendidikan profesi dokter di Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta.
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada DR. Diany,
SpPD,FINASIM sebagai dokter pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan,
dan petunjuk, serta kerjasama dari berbagai pihak yang telah membantu penyusunan
laporan kasus ini.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih banyak
kekurangan disebabkan keterbatasan kemampuan penulis, sehingga penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi perbaikan di masa mendatang.
Semoga laporan kasus ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Jakarta, 30 November 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................ i


KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 5
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 5
BAB II LAPORAN KASUS............................................................................................. 6
2.1 Identitas Pasien .............................................................................................. 6
2.2 Anamnesis ...................................................................................................... 6
2.3 Pemeriksaan Fisik .......................................................................................... 7
2.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................. 9
2.5 Resume ........................................................................................................... 10
2.6 Daftar Masalah dan Pengkajian Masalah ....................................................... 10
2.7 Prognosis ........................................................................................................ 11
2.8 Follow Up Bangsal ........................................................................................ 12
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 14
3.1 Kanker Payudara ............................................................................................ 14
3.1.1 Definisi .................................................................................................. 14
3.1.2 Epidemiologi ......................................................................................... 14
3.1.3 Faktor Resiko ........................................................................................ 14
3.1.4 Klasifikasi Kanker Payudara................................................................. 17
3.1.5 Diagnosis............................................................................................... 20
3.1.6 Screening dan Deteksi Awal Payudara ................................................. 26
3.1.7 Penatalaksanaan .................................................................................... 27
3.1.8 Prognosis ............................................................................................... 29
3.1.9 Efek Samping Kemoterapi .................................................................... 29
3.2 Diare akut ....................................................................................................... 35
3.1.1 Definisi .................................................................................................. 35
3.1.2 Epidemiologi ......................................................................................... 35
3.1.3 Patofisiologi .......................................................................................... 35
3.1.4 Terapi Suportif ...................................................................................... 37
3.1.5 Evaluasi dan Penatalaksanaan Dehidrasi .............................................. 37
3.1 Anemia Pada Penyakit Keganasan ................................................................. 39
3.1.1 Definisi .................................................................................................. 39
3.1.2 Patofisiologi .......................................................................................... 39
3
3.1.3 Etiologi .................................................................................................. 40
3.1.4 Tingkatan Anemia ................................................................................. 42
3.1.5 Diagnosis............................................................................................... 42
3.1.6 Penatalaksanaan .................................................................................... 43
BAB IV PEMBAHASAN KASUS .................................................................................... 46
BAB V KESIMPULAN ...................................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 48

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diare adalah masalah klinis yang sering kurang diakui yang secara signifikan
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pasien kanker di seluruh dunia. Prevalensi
dan keparahan diare yang diinduksi kemoterapi sangat bervariasi tergantung pada
pemberian dan dosis kemoterapi terapi. Korelasi langsung antara dosis kumulatif dan
keparahan diare yang diinduksi kemoterapi telah diakui, dengan rejimen dosis tinggi
yang terkait dengan insiden diare yang meningkat (Verstappen et al., 2003). Rejimen
tertentu, terutama yang mengandung 5-fluorourasil dan irinotecan dikaitkan dengan
tingkat diare yang diinduksi kemoterapi hingga 80% dengan sepertiga pasien
mengalami diare berat.1
Efek samping diare yang dialami oleh 10 pasien, 8 (80%) pasien mulai
mengalami diare pada rentang waktu segera sampai 3 hari. Pemberian obat-obat
kemoterapi menyebabkan perubahan pada komposisi flora normal usus, sehingga
terjadi gangguan absorpsi yang melibatkan flora normal. Selain itu, terjadi pula
kerusakan pada sel-sel saluran cerna, perubahan pada motilitas usus dan kerusakan
pada kriptus. Semua perubahan ini terjadi segera saat pemberian obat-obat kemoterapi
dan mengakibatkan terjadi diare.1,2

5
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien


Nama : Ny. A
Usia : 50 tahun
Tanggal Lahir : 13 Oktober 1968
Alamat : Jl. Warakas I GG B no 16, Tanjung Priok
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Masuk RS : 20 Oktober 2018
Dilakukan Pemeriksaan : 29 Oktober 2018

2.2. Anamnesis
Diambil dari : Autoanamnesis, tanggal 29 oktober 2018, Pukul 09.30 WIB
Keluhan utama: Buang air besar cair sejak 3 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Tiga hari sebelum masuk Rumah Sakit, pasien mengeluh buang air besar cair yang
berbentuk cairan, tidak berisi ampas, darah maupun lendir. Pasien mengatakan dalam satu
hari pasien bisa buang air besar sebanyak kurang lebih tujuh kali per hari, dan banyaknya
setengah sampai satu aqua gelas setiap kali keluar. Buang air besar cair berwarna kuning
jernih, warna seperti cucian beras, dan berbau busuk disangkal oleh pasien. Keluhan disertai
lemas, pusing, mual, dan muntah. Pasien mengatakan muntah sejak satu minggu sebelum
masuk Rumah Sakit. Muntah berisi makanan yang dimakan pasien. Muntah berisi darah
disangkal oleh pasien. Pasien mengatakan muntah tidak menentu waktunya, tetapi semakin
mual jika setelah makan. Pasien mengatakan muntah sebanyak kurang lebih setengah gelas
aqua sekali keluar. Pasien juga mengeluh nyeri pada ulu hatinya. Pasien juga mengeluh
demam yang naik turun sejak satu minggu sebelum masuk Rumah Sakit, namun pasien dan
keluarganya tidak mengukur suhu badan pasien sewaktu dirumah. Pasien juga mengatakan
bahwa buang air kecilnya lebih sedikit dari biasanya, dan warnanya lebih pekat, namun tidak
sampai berwarna seperti air teh.
Pasien mengatakan bahwa pasien sedang menjalani kemoterapi untuk kanker
payudaranya. Pasien mengatakan tanggal 12 Oktober 2018 lalu adalah kemoterapi tahap
keempat, dan pasien direncanakan untuk kemoterapi sebanyak enam kali, di RSPAD Gatot
Soebroto. Namun saat pasien ditanya obat kemoterapinya, pasien tidak tahu. Pasien
6
merasakan adanya benjolan pada bawah ketiak kanan pada sembilan bulan yang lalu.
Awalnya benjolan sebesar biji kelereng, dan tidak terasa nyeri. Pasien mengatakan benjolan
bisa digerakkan. Namun benjolan makin lama semakin membesar, dan menimbulkan keluhan
demam yang hilang timbul pada pasien. Pada enam bulan yang lalu, pasien periksa ke dokter
di Rumah Sakit Sukmul Sisma Medika, dan dibiopsi, dengan hasil ca mamae stadium III, dan
dokter menyarankan pasien untuk periksa ke RSPAD Gatot Soebroto. Benjolan dirasakan
pasien semakin mengecil setelah dilakukan kemoterapi.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Pasien memiliki riwayat asma sejak kecil, namun pasien mengatakan jarang kambuh.
Riwayat penyakit darah tinggi, kencing manis, alergi, penyakit jantung disangkal
pasien.
Riwayat Pengobatan
 Pasien mengatakan belum meminum obat apapun untuk keluhannya, tetapi saat ini
pasien rutin meminum obat maltofer tab 1x100mg untuk anemianya.
Riwayat Penyakit Keluarga
 Di keluarga pasien tidak ada yang menderita kanker payudara maupun kanker yang
lainnya.
 Di keluarga pasien juga tidak ada yang menderita kencing manis, darah tinggi, alergi,
asma, penyakit jantung, ginjal, dan keganasan.
Riwayat Sosial-Ekonomi
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pasien tinggal bersama suami serta anaknya.

2.3. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik di Bangsal pada tanggal 29 Oktober 2018. Pukul 09.30 WIB
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Status Gizi : BB : 44 kg
TB : 150 cm
BMI : 17,7 (Berat badan kurang)
Tanda vital : TD : 120/80 mmHg
Nadi : 97 x/menit
Suhu : 36,5OC
Pernapasan : 20x/menit
Kepala : Normocephali
Rambut : Hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
7
Mata : Pupil isokor, refleks cahaya +/+, konjungtiva anemis +/+,sklera
ikterik -/-
Hidung : Sekret -/- , deviasi septum (–)
Telinga : Sekret -/- , liang telinga lapang, nyeri tekan tragus (–)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang
Mulut : Mukosa bibir kering, sianosis (-), coated tongue (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax :
Pulmo Depan Belakang
Inspeksi  Bentuk dada normal  Bentuk dada bagian belakang
 Pernapasan regular, tidak ada normal
dinding dada yang tertinggal  Bentuk scapula simetris
 Jenis pernapasan  Tidak ditemukan bekas luka
abdominothorakal ataupun benjolan
 Otot-otot bantu pernapasan (-)
Palpasi  Tidak teraba adanya pembesaran  Perbandingan gerakan nafas dan
kelenjar getah bening vokal fremitus sama kuat di kedua
 Vokal fremitus sama kuat di lapang paru
kedua lapang paru
 Gerakan nafas sama kuat di kedua
paru
Perkusi  Perkusi terdengar sonor pada  Pada dada kanan dan kiri terdengar
kedua lapang paru sonor

Auskultasi  Suara nafas vesikuler  Suara nafas vesikuler


 Ronkhi - / -  Ronkhi - / -
 Wheezing - / -  Wheezing - / -

Kardiovascular
Inspeksi  Tidak terlihat pulsasi pada ictus cordis
Palpasi  Ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi  Batas kiri jantung terletak pada ICS V lateral linea midclavicularis sinistra
 Batas pinggang jantung terletak pada ICS III linea parasternalis sinistra
 Batas kanan jantung terletak pada ICS V linea parasternalis dextra
Auskultasi  Bunyi jantung I dan II terdengar regular, murmur (-), gallop (-)

8
Abdomen
Inspeksi  Perut datar, tidak terdapat striae, tidak terdapat tanda-tanda peradangan
Auskultasi  Bising usus (+) normoperistaltik
Palpasi  nyeri tekan epigastrium (+), hepar sedikit teraba, indulasi (-)
Perkusi  timpani, shifting dullnes (-)
Ekstremitas
 Superior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-), Petechiae (+), CRT< 2”, motorik 5/5,
teraba benjolan dengan diameter ± 2 cm dengan dalam tidak dapat ditentukan, benjolan
dapat digerakkan, dengan konsistensi keras pada axilla dextra.
 Inferior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-), Petechiae (+), CRT < 2”, motorik 5/5

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Hematologi Hasil Hasil Nilai Rujukan
(20/10/2018) (28/10/2018)
Hematologi Rutin
- Hemoglobin 10.3 8.3 12.0 –16.0 g/dL
- Hematokrit 30 26 37 – 47 %
- Eritrosit 3.4 2.7 4.3 – 6.0 juta/uL
- Leukosit 740 4090 4.800 – 10.800/uL
- Trombosit 65.000 104.000 150.000 – 400.000/uL
- MCV 90 94 80 – 96 fL
- MCH 31 31 27 – 32 pg
- MCHC 34 33 32 – 36 g/dL
Kimia Klinik
- Ureum 30 43 20 – 50 mg/dL
- Kreatinin 0.7 0.5 0.5 – 1.5 mg/dL
- Glukosa Darah (sewaktu) 114 106 70 – 140 mg/dL
- Natrium (Na) 135 138 135 – 147 mmol/L
- Kalium (K) 3.7 3.6 3.5 – 5.0 mmol/L
- Klorida (Cl) 96 95 95 – 105 mmol/L

9
2.5. Resume
Pasien perempuan, 50 tahun datang dengan keluhan buang air besar cair sejak tiga
hari sebelum masuk Rumah Sakit, pasien mengeluh buang air besar cair yang berbentuk
cairan, tidak berisi ampas, darah maupun lendir. Pasien mengatakan dalam satu hari pasien
bisa buang air besar sebanyak kurang lebih tujuh kali per hari, dan banyaknya setengah
sampai satu aqua gelas setiap kali keluar. Buang air besar cair berwarna kuning jernih, warna
seperti cucian beras, dan berbau busuk disangkal oleh pasien. Keluhan disertai lemas, pusing,
mual, dan muntah. Pasien mengatakan muntah sejak satu minggu sebelum masuk Rumah
Sakit. Muntah berisi makanan yang dimakan pasien. Muntah berisi darah disangkal oleh
pasien. Pasien mengatakan muntah tidak menentu waktunya, tetapi semakin mual jika setelah
makan. Pasien mengatakan muntah sebanyak kurang lebih setengah gelas aqua sekali keluar.
Pasien juga mengeluh nyeri pada ulu hatinya. Pasien juga mengeluh demam yang naik turun
sejak satu minggu sebelum masuk Rumah Sakit.
Pasien mengatakan bahwa pasien sedang menjalani kemoterapi untuk kanker
payudaranya. Pasien mengatakan tanggal 12 Oktober 2018 lalu adalah kemoterapi tahap
keempat, dan pasien direncanakan untuk kemoterapi sebanyak enam kali, di RSPAD Gatot
Soebroto. Pasien mengatakan awal didiagnosis kanker payudara enam bulan sebelum masuk
Rumah Sakit, setelah dilakukan biopsi pada benjolan yang dirasakannya berada dibawah
ketiak yang semakin membesar sejak sembilan bulan sebelum masuk Rumah Sakit.
Pada pemeriksaan fisik didapati keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis, tanda-tanda vital dalam batas normal, konjungtiva anemis (+/+), dan pada
pemeriksaan ekstremitas teraba benjolan dengan diameter ± 2 cm dengan dalam tidak dapat
ditentukan, benjolan dapat digerakkan, dengan konsistensi keras pada axilla dextra.

2.6. Daftar Masalah dan Pengkajian Masalah


1. Gastroenteritis akut dengan dehidrasi ringan pada Ca mamae dengan kemoterapi
Keluhan BAB cair sejak 3 hari SMRS, BAB sebanyak 7 kali/hari, BAK sedikit, keluhan juga
disertai pusing, mual dan muntah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan mukosa bibir kering, nyeri tekan epigastrium (+)
- Rencana diagnostik : Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, pemeriksaan tinja lengkap
- Rencana pengobatan : IVFD RL 20 tpm, paracetamol tab 3x500mg, attapulgite tab 1x2
(600mg), injeksi omperazole 1x40mg (IV), Injeksi ondansentron 1x40mg (IV)
- Rencana monitoring : TTV, input dan output cairan, tanda-tanda dehidrasi
- Edukasi : Menjelaskan penyebab dan tatalaksana penyakit

10
2. Anemia pada Ca Mamae dengan kemoterapi
Pada anamnesis pasien mengeluh lemas.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis (+/+), dan pada pemeriksaan
penunjang didapati penurunan pada hemoglobin, hematokrit, eritrosit, leukosit, dan
trombosit.
- Rencana diagnostik : Pemeriksaan darah lengkap ulang
- Rencana pengobatan : Transfusi PRC 500cc, asam folat 3x1g
- Rencana monitoring : TTV, cek lab darah ulang
- Edukasi : Menjelaskan penyebab dan tatalaksana penyakit

2.7 Prognosis
 Quo ad Vitam : dubia ad bonam
 Quo ad Functionam : dubia ad bonam
 Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

11
2.8. Follow Up Harian
30–10-2018 S : Nyeri perut (+), Pusing (+), Lemas, Diare ± P : IVFD RL 500 cc 20
5x, setiap minum susu diare tpm
O : KS: CM, Ku: TSS TD: 110/70mmHg, Ciprofloxacim 2x400mg
N:80x/mnt, RR:20x/mnt, T: 36,5°C Omeprazole inj. 1x40mg
Mata : CA +/+, SI -/- Fluconazole 1x200mg
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/- Ondancentron 3x8mg
Cor : BJ I – II regular, murmur - , gallop - Mycostatic 4x1cc
Abd : datar, bising usus normal, Sucralfat syr. 3x15cc
nyeri tekan (+) pada epigastrium, Transfusi PRC 500cc
A : Gastoenteritis akut Cek DPL ulang post
Anemia post kemoterapi transfusi, GDS, elektrolit
Susu stop
31–10–2018 S : Lemas P : Terapi lanjut
O : KS: CM, Ku: TSS TD: 120/80mmHg, Transfusi PRC 500cc
N:80x/mnt, RR:20x/mnt, T: 36,6°C Cek DPL ulang post
Mata : CA +/+, SI -/- transfusi, GDS, elektrolit
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-
Cor : BJ I – II regular, murmur - , gallop -
Abd : datar, bising usus normal,
nyeri tekan (+) pada epigastrium,
A : Gastoenteritis akut
Anemia post kemoterapi
01–11-2018 S : Lemas, mual P:
O : KS: CM, Ku: TSS TD: 120/80mmHg, Obat pulang :
N:80x/mnt, RR:20x/mnt, T: 36,6°C Mycostatin 3x1cc
Mata : CA +/+, SI -/- Omeprazole tab 2x20mg
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/- Sucralfat tab 3x500mg
Cor : BJ I – II regular, murmur - , gallop - Asam folat 3x1g
Abd : datar, bising usus normal, Neuradex 1x
nyeri tekan (+) pada epigastrium,
A : Gastoenteritis akut
Anemia post kemoterapi

12
Pemeriksaan Penunjang
Hematologi Rutin Hasil Hasil Hasil Nilai Rujukan
(30/10/2018) (31/10/2018) (01/11/2018)
Hemoglobin 8.0 9.8 10.4 12.0 – 16 g/dL
Hematokrit 25 30 31 37 – 47%
Eritrosit 2.6 3.3 3.5 4.3 – 6.0 juta/uL
Leukosit 3570 4650 4810 4.800 – 10.800 / uL
Trombosit 113.000 159.000 149.000 150000 – 40000/uL
MCH 95 91 90 80-96 fl
MCV 31 30 30 27-32 pg

MCHC 31 33 33 32-36 g/dl

Kimia Klinik
Glukosa darah sewaktu 86 70 -140 mg/dl
Natrium 146 135 – 147 mmol/L
Kalium 3.8 3.5 - 5.0 mmol/L
Klorida 102 95 – 105 mmo/L

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Kanker Payudara


3.1.1 Definisi
Kanker adalah sekelompok penyakit yang ditandai oleh pertumbuhan yang tidak
terkendali dan penyebaran sel-sel abnormal yang dapat mengakibatkan kematian (American
Cancer Society, 2002).

3.1.2 Epidemiologi
Insidensi kanker payudara pada usia lebih dari 30 tahun akan semakin tinggi. Kanker
payudara jarang terjadi pada usia dibawah 20 tahun. Angka tertinggi terdapat pada usia 45-66
tahun. Insiden karsinoma mammae pada laki-laki hanya 1% dari kejadian pada perempuan.
Kejadian kanker payudara pada laki-laki dibandingkan dengan wanita 1 : 100. Sedangkan
untuk tumor jinak payudara terdapat perbedaan usia pada setiap kejadian tumor, seperti pada
fibroadenoma mammae sering dijumpai pada perempuan muda, pada tumor filoides terdapat
pada semua usia, kista payudara sering ditemukan pada usia dekade kelima. Distribusi letak
tumor payudara berdasarkan penelitian lebih sering terjadi di kuadran lateral atas (50%),
kemudian sentral subareoral (18%), kuadran lateral bawah (10%), kuadran medial atas (10%)
dan kuadran medial bawah (10%). Payudara sebelah kiri lebih sering terkena bila
dibandingkan sebelah kanan.3

3.1.3 Faktor Resiko


Sampai saat ini, penyebab pasti tumor payudara belum diketahui. Namun, ada beberapa
faktor resiko yang telah teridentifikasi, yaitu :4
a. Faktor usia
Beberapa hasil penelitian melaporkan risiko tumor/kanker payudara
meningkat dengan bertambahnya usia, kemungkinan kanker payudara berkembang
pada usia di atas 35 tahun. Di Indonesia melaporkan bahwa penderita kanker
payudara terbanyak pada usia 40-49 tahun sedang di negara Barat biasanya pada usia
pasca menopause. Pada kelompok kasus yang berumur di bawah 40 tahun
persentasenya lebih rendah (31,1%) dibandingkan dengan yang berumur 40 tahun
atau lebih (68,9%). 4
Bertambahnya usia merupakan salah satu faktor risiko tumor/kanker payudara,
diduga karena pengaruh pajanan hormonal dalam waktu lama terutama hormon

14
estrogen. Anders et al menyatakan bahwa kejadian kanker payudara pada umur 40
tahun sebesar 40% dan umur 30 tahun sekitar 20% sedang pada umur 20 tahun hanya
2%, dan diperkirakan kanker payudara terjadi pada perempuan sekitar umur 40-50
tahun. Penyebab pasti terjadinya tumor/kanker payudara belum diketahui, namun
dasarnya adalah pertumbuhan sel yang tidak normal dalam kelenjar payudara.4
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin perempuan adalah faktor risiko yang paling signifikan untuk
terjadinya tumor pyudara. Walaupun laki-laki juga dapat terkena tumor payudara.
Pada wanita terjadi perubahan dan pertumbuhan sel-sel payudara yang konstan,
terutama karena aktivitas hormon estrogen dan progesteron sehingga memiliki risiko
yang lebih besar untuk mengalami tumor payudara.
c. Faktor genetik
Mutasi gen BRCA1 pada kromosom 17 dan BRCA2 pada kromosom 13 dapat
meningkatkan resiko tumor payudara sampai 85%. Selain itu, gen p53, BARD1,
BRCA3, dan noey2 juga diduga meningkatkan resiko terjadinya kanker payudara.
d. Riwayat keluarga
Wanita yang memiliki keluarga penderita tumor payudara beresiko tiga kali
lebih besar untuk menderita tumor payudara.
e. Pil Kontrasepsi
Di Indonesia penggunaan kontrasepsi hormonal sudah populer di masyarakat
dan persentase pengguna alat kontrasepsi hormonal adalah suntikan (38,5%), pil
(31%) dan implan (12,3%). Kontrasepsi oral yang banyak digunakan adalah
kombinasi estrogen dan progestin dan diduga sebagai faktor risiko meningkatnya
kejadian tumor/kanker payudara di seluruh Indonesia. Salah satu faktor terjadinya
kanker payudara adalah pajanan hormonal terutama hormon estrogen di dalam tubuh.
Pertumbuhan jaringan payudara sangat sensitif terhadap hormon estrogen, oleh karena
itu perempuan yang terpajan hormon ini dalam waktu yang lama akan berisiko besar
terhadap kanker payudara.
Sebenarnya hormon estrogen mempunyai peran penting untuk perkembangan
seksual dan fungsi organ kewanitaan. Namun, pajanan estrogen dalam jangka panjang
berpengaruh terhadap terjadinya kanker payudara karena hormon ini dapat memicu
pertumbuhan tumor. Hingga kini masih terjadi perdebatan mengenai pengaruh
kontrasepsi oral terhadap terjadinya tumor/kanker payudara. Hal ini dipengaruhi oleh
kadar estrogen yang terdapat di dalam pil kontrasepsi, waktu (lamanya) pemakaian
dan usia saat mulai menggunakan kontrasepsi tersebut.5

15
f. Menarche dan menopause
Menarche menandakan perkembangan lingkungan hormonal yang matur pada
wanita muda dan awal dimulainy siklus bulanan dari hormon yang menginduksi
ovulasi, menstruasi dan proliferasisel-sel di payudara dan endometrium. Menarche
yang lebih muda secara konsisten diasosiasikan dengan meningkatnya risiko kanker
payudara.
Kanker payudara kerap terdiagnosis setelah menopause dan sekitar 75% kasus
kanker payudara terjadi setelah usia 50 tahun. Usia awal menopause tidak
berhubungan dengan kejadian tumor payudara pada responden yang menopause. Usia
saat menopause setelah 55 tahun memiliki risiko 2 kali terkena kanker payudara
dibandingkan dengan perempuan yang mengalami menopause sebelum umur 45
tahun. Hal ini disebabkan perempuan lebih lama terpajan oleh hormon estrogen yang
berpeluang untuk terjadinya kanker payudara.5
g. Usia saat kehamilan pertama, jumlah dan jarak kelahiran
Hamil pertama pada usia 35 tahun beresiko dua kali lipat dibandingkan
dengan hamil pada usia kurang dari 20 tahun
Wanita nulipara memiliki risiko yang meningkat setelah usia 40-45 tahun.
Pada kehamilan pertama, terjadi perubahan permanen epitel kelenjar payudara
menjadi lebih terdiferensiasi serta terjadi perubahan sifat biologi sel-sel payudara.
Sel-sel epitel akan memiliki siklus sel yang lebih panjang dan memiliki waktu lebih
lama pada fase G1. Terjadi perbaikan DNA pada fase ini. Semakin tua usia wanita
saat hamil pertama kemungkinan terjadi kesalahan DNA makin besar yang akan
makin meningkat dengan adanya proliferasi sel-sel payudara selama kehamilan.
Semakin pendek jarak kelahiran semakin turun risiko. Terjadi karena pada
kehamilan yang berulang, payudara memiliki waktu yang lebih pendek untuk
mengakumulasi kerusakan DNA sebelum mencapai diferensiasi maksimal.6
h. Laktasi
Terdapat dua mekanisme biologis utama yang dapat memicu efek protektif
terhadap kanker payudara. Menyusui dapat menghasilkan diferensiasi terminal yang
lebih lanjut dari epitel payudara, juga dapat menunda siklus ovulasi setelah
melahirkan. Studi ekologikal menunjukkan bahwa pada populasi yang menyusui
dalam jangka waktu lama, terjadi penurunan insiden kanker payudara.
Prolaktin memiliki peran dalam karsinogenesis payudara dengan cara memicu
proliferasi dan kelangsungan hidup sel, meningkatkan motilitas sel, dan menyokong
vaskularisasi tumor. Namun kadar prolaktin dipengaruhi oleh stres fisik dan

16
emosional sehingga kadarnya pada wanita dengan kanker payudara munkin tidak
menggambarkan kadar prolaktin yang dimiliki sebelum kemunculan penyakitnya.
i. Gaya hidup
Olahraga selama 4 jam setiap minggu menurunkan risiko sebesar 30%.
Olahraga rutin pasca menopause juga menurunkan risiko sebesar 30-40%. American
Cancer Society merekomendasikan olahraga selama 45-60 menit setiap hari.
Konsumsi alkohol dapat meningkatkan risiko kanker payudara karena alkohol
dapat meningkatkan kadar estrogen endogen sehingga mempengaruhi responsivitas
tumor terhadap hormon.

3.1.4 Klasifikasi kanker payudara


1) Non invasive carcinoma
a) Ductal carcinoma in situ
Ductal carcinoma in situ, juga disebut intraductal cancer, merujuk pada sel
kanker yang telah terbentuk dalam saluran dan belum menyebar. Saluran
menjadi tersumbat dan membesar seiring bertambahnya sel kanker di
dalamnya. Kalsium cenderung terkumpul dalam saluran yang tersumbat dan
terlihat dalam mamografi sebagai kalsifikasi terkluster atau tak beraturan
(clustered or irregular calcifications) atau disebut kalsifikasi mikro
(microcalcifications) pada hasil mammogram seorang wanita tanpa gejala kanker.
DCIS dapat menyebabkan keluarnya cairan puting atau munculnya massa yang
secara jelas terlihat atau dirasakan, dan terlihat pada mammografi. DCIS
kadang ditemukan dengan tidak sengaja saat dokter melakukan biopsy tumor
jinak. Sekitar 20%-30% kejadian kanker payudara ditemukan saat dilakukan
mamografi. Jika diabaikan dan tidak ditangani, DCIS dapat menjadi kanker
invasif dengan potensi penyebaran ke seluruh tubuh.7
DCIS muncul dengan dua tipe sel yang berbeda, dimana salah satu sel
cenderung lebih invasif dari tipe satunya. Tipe pertama, dengan perkembangan
lebih lambat, terlihat lebih kecil dibandingkan sel normal. Sel ini disebut solid,
papillary atau cribiform. Tipe kedua, disebut comedeonecrosis, sering bersifat
progresif di awal perkembangannya, terlihat sebagai sel yang lebih besar
dengan bentuk tak beraturan.
b) Lobular carcinoma in situ
Meskipun sebenarnya ini bukan kanker, tetapi LCIS kadang
digolongkan sebagai tipe kanker payudara non-invasif. Bermula dari kelenjar
yang memproduksi air susu, tetapi tidak berkembang melewati dinding lobulus.
17
Mengacu pada National Cancer Institute, Amerika Serikat, seorang wanita
dengan LCIS memiliki peluang 25% munculnya kanker invasive (lobular atau
lebih umum sebagai infiltrating ductal carcinoma) sepanjang hidupnya.7
2) Invasive carcinoma
a) Paget’s disease dari papilla mammae
Paget’s disease dari papilla mammae pertama kali dikemukakan pada
tahun 1974. Seringnya muncul sebagai erupsi eksim kronik dari papilla mammae,
dapat berupa lesi bertangkai, ulserasi, atau halus. Paget's disease biasanya
berhubungan dengan DCIS (Ductal Carcinoma in situ) yang luas dan mungkin
berhubungan dengan kanker invasif. Biopsi papilla mammae akan menunjukkan
suatu populasi sel yang identik (gambaran atau perubahan pagetoid).
Patognomonis dari kanker ini adalah terdapatnya sel besar pucat dan bervakuola
(Paget's cells) dalam deretan epitel. Terapi pembedahan untuk Paget's disease
meliputi lumpectomy, mastectomy, atau modified radical mastectomy, tergantung
penyebaran tumor dan adanya kanker invasif.7
b) Invasive ductal carcinoma
 Adenocarcinoma with productive fibrosis (scirrhous, simplex, NST) (80%)
Kanker ini ditemukan sekitar 80% dari kanker payudara dan pada
60% kasus kanker ini mengadakan metastasis (baik mikro maupun
makroskopik) ke KGB aksila. Kanker ini biasanya terdapat pada wanita
perimenopause or postmenopause dekade kelima sampai keenam, sebagai
massa soliter dan keras. Batasnya kurang tegas dan pada potongan
meilntang, tampak permukaannya membentuk konfigurasi bintang di
bagian tengah dengan garis berwarna putih kapur atau kuning menyebar ke
sekeliling jaringan payudara. Sel-sel kanker sering berkumpul dalam
kelompok kecil, dengan gambaran histologi yang bervariasi.8
 Medullary carcinoma (4%)
Medullary carcinoma adalah tipe khusus dari kanker payudara,
berkisar 4% dari seluruh kanker payudara yang invasif dan merupakan kanker
payudara herediter yang berhubungan dengan BRCA-1. Peningkatan ukuran
yang cepat dapat terjadi sekunder terhadap nekrosis dan perdarahan. 20%
kasus ditemukan bilateral. Karakterisitik mikroskopik dari medullary
carcinoma berupa (1) infiltrat limforetikular yang padat terutama terdiri dari
sel limfosit dan plasma; (2) inti pleomorfik besar yang berdiferensiasi buruk
dan mitosis aktif; (3) pola pertumbuhan seperti rantai, dengan minimal atau
tidak ada diferensiasi duktus atau alveolar. Sekitar 50% kanker ini

18
berhubungan dengan DCIS dengan karakteristik terdapatnya kanker perifer,
dan kurang dari 10% menunjukkan reseptor hormon. Wanita dengan kanker ini
mempunyai 5-year survival rate yang lebih baik dibandingkan NST atau
invasive lobular carcinoma.8
 Mucinous (colloid) carcinoma (2%)
Mucinous carcinoma (colloid carcinoma), merupakan tipe khusus
lain dari kanker payudara, sekitar 2% dari semua kanker payudara yang
invasif, biasanya muncul sebagai massa tumor yang besar dan ditemukan
pada wanita yang lebih tua. Karena komponen musinnya, sel-sel kanker ini
dapat tidak terlihat pada pemeriksaan mikroskopik.
 Papillary carcinoma (2%)
Papillary carcinoma merupakan tipe khusus dari kanker payudara
sekitar 2% dari semua kanker payudara yang invasif. Biasanya ditemukan
pada wanita dekade ketujuh dan sering menyerang wanita non kulit putih.
Ukurannya kecil dan jarang mencapai diameter 3 cm. McDivitt dan kawan-
kawan menunjukkan frekuensi metastasis ke KGB aksila yang rendah dan 5-
and 10-year survival rate mirip mucinous dan tubular carcinoma.
 Tubular carcinoma (2%)
Tubular carcinoma merupakan tipe khusus lain dari kanker
payudara sekitar 2% dari semua kanker payudara yang invasif. Biasanya
ditemukan pada wanita perimenopause dan pada periode awal menopause.
Long-term survival mendekati 100%.
c) Invasive lobular carcinoma (10%)
Invasive lobular carcinoma sekitar 10% dari kanker payudara.
Gambaran histopatologi meliputi sel-sel kecil dengan inti yang bulat, nucleoli
tidak jelas, dan sedikit sitoplasma. Pewarnaan khusus dapat mengkonfirmasi
adanya musin dalam sitoplasma, yang dapat menggantikan inti (signet-ring cell
carcinoma). Seringnya multifokal, multisentrik, dan bilateral. Karena
pertumbuhannya yang tersembunyi sehingga sulit untuk dideteksi.

19
Gambar 1. Klasifikasi Tumor. Kumar V, Abbas KA, Fausto N, Aster JC. The female breast In : Schmitt W,
editor, Robbins and cotran pathologic basis of disease. 7th ed. Philadelphia :Saunders Elsevier, 2005

3.1.5 Diagnosis
Diagnosis tumor payudara dapat ditegakkan dengan berdasarkan anamnesis yang
baik, pemeriksaan fisik dasar dan pemeriksaan penunjang. Sedangkan diagnosis pasti adalah
pemeriksaan histopatologi anatomi.
1. Anamnesa dan pemeriksaan fisik
Keluhan utama yang sering dialami penderita dapat berupa adanya massa
tumor di payudara, rasa sakit, keluar cairan dari puting susu, retraksi puting susu,
retraksi kulit (dimpling) dan “peau d’orange” akibat obstruksi pembuluh limf
kulit/limfedema lokal dan jaringan subkutan oleh sel-sel tumor. Riwayat
timbulnya tumor, adanya faktor resiko untuk terjadinya tumor payudara dan
adanya tanda-tanda penyebaran tumor.9
Adanya massa dapat ditentukan sejak berapa lama, cepat atau tidak
pertumbuhan, disertai rasa sakit atau tidak. Tumor pada keganasan mempunyai
gejala tidak nyeri dan massa yang irreguler serta tumbuh progresif.
Menurut Soeprianto (2003) klinis jinak dan ganas memberikan gambaran
sebagai berikut:
Klinis jinak memberikan gambaran :
a. Bentuk bulat, teratur atau lonjong.
b. Permukaan rata
c. Konsistensi kenyal, lunak
d. Mudah digerakkan terhadap sekitar
e. Tidak nyeri tekan.

20
Klinis ganas memberikan gambaran :
a. Permukaan tidak rata dan berbenjol-benjol
b. Tepi tidak rata
c. Bentuk tidak teratur
d. Konsistensi keras, padat
e. Batas tidak tegas
f. Sulit digerakkan terhadap jaringan sekitar
g. Kadang nyerti tekan
2. Staging
Tabel 1.Cancer Staging. Modified with permission from American Joint Committee on Cancer:
3.AJCC Cancer Staging Manual, 6th ed. New York: Springer, 2002, p 228.
TX Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak ada bukti terdapat tumor primer
Tis Carcinoma in situ
Tis(DCIS) Ductal carcinoma in situ
Tis(LCIS) Lobular carcinoma in situ
Tis(Paget's) Paget's disease dari papilla mammae tanpa tumor (Catatan : Paget's
disease yang berhubungan dengan tumor diklasifikasikan menurut
ukuran tumor)

T1 Tumor ≤ 2 cm
T1mic Microinvasion ≤ 0.1
T1a Tumor > 0.1 cm tetapi tidak lebih dari 0.5 cm
T1b Tumor > 0.5 cm tetapi tidak lebih dari 1 cm
T1c Tumor > 1 tetapi tidak lebih dari 2 cm
T2 Tumor > 2 cm tetapi tidak lebih dari 5 cm
T3 Tumor > 5 cm
T4 Tumor ukuran berapapun dengan perluasan langsung ke dinding dada
atau kulit, seperti yang diuraikan dibawah ini :
T4a Perluasan ke dinding dada, tidak melibatkan otot pectoralis
T4b Edema (termasuk peau d'orange), atau ulserasi kulit [ayudara, atau ada
nodul satelit terbatas di kulit payudara yang sama
T4c Kriteria T4a dan T4b
T4d Inflammatory carcinoma
Kelenjar Getah Bening—Klinis (N)
NX KGB regional tidak dapat dinilai (misalnya sebelumnya telah diangkat)
N0 Tidak ada metastasis ke KGB regional
N1 Metastasis ke KGB aksilla ipsilateral tetapi dapat digerakkan
N2 Metastasis KGB aksilla ipsilateral tetapi tidak dapat digerakkan atau
terfiksasi, atau tampak secara klinis ke KGB internal mammary
ipsilateral tetapi secara klinis tidak terbukti terdapat metastasis ke KGB
aksilla ipsilateral
21
N2a Metastasis ke KGB aksilla ipsilateral dengan KGB saling melekat atau
melekat ke struktur lain sekitarnya.

N2b Metastasis hanya tampak secara klinis ke KGB internal mammary


ipsilateral dan tidak terbukti secara klinis terdapat metastasis ke KGB
aksilla ipsilateral
N3 Metastasis ke KGB infraklavikula ipsilateral dengan atau tanpa
keterlibatan KGB aksilla, atau secara klinis ke KGB internal mammary
ipsilateral tetapi secara klinis terbukti terdapat metastasis ke KGB aksilla
ipsilateral; atau metastasis ke KGB supraklavikula ipsilateral dengan atau
tanpa keterlibatan KGB infraklavikula atau aksilla ipsilateral
N3a Metastasis ke KGB infraklavikula ipsilateral
N3b Metastasis ke KGB internal mammary dan aksilla
N3c Metastasis ke KGB supraklavikula ipsilateral
Kelenjar Getah Bening Regional—Patologia anatomi (pN)
Pnx KGB regional tidak dapat dinilai (sebelumnya telah diangkat atau tidak
dilakukan pemeriksaan patologi)
pN0b Secara histologis tidak terdapat metastasis ke KGB, tidak ada
pemeriksaan tambahan untuk isolated tumor cells (Catatan : Isolated
tumor cells (ITC) diartikan sebagai sekelompok tumor kecil yang tidak
lebih dari 0.2 mm, biasanya dideteksi hanya dengan
immunohistochemical (IHC) atau metode molekuler
pN0(i–) Tidak ada metastasis ke KGB regional secara histologis, IHC (-)
pN0(i+) Tidak ada metastasis ke KGB regional secara histologis, IHC (+), IHC
cluster tidak lebih dari 0.2 mm
pN0(mol–) Tidak ada metastasis ke KGB regional secara histologis, pemeriksaan
molekuler (-) (RT-PCR)
pN0(mol+) Tidak ada metastasis ke KGB regional secara histologis, pemeriksaan
molekuler (+) (RT-PCR)
pN1 Metastasis ke 1-3 KGB aksila, dan atau KGB internal mammary
terdeteksi secara mikroskopis melalui diseksi sentinel KGB, secara klinis
tidak tampak
pN1mi Micrometastasis (> 0.2 mm, < 2.0 mm)
pN1a Metastasis ke 1-3 KGB aksila
pN1b Metastasis ke KGB internal mammary terdeteksi secara mikroskopis
melalui diseksi sentinel KGB, secara klinis tidak tampak
pN1c Metastasis ke 1-3 KGB aksila dan ke KGB internal mammary terdeteksi
secara mikroskopis melalui diseksi sentinel KGB, secara klinis tidak
tampak (jika berhubungan dengan >3 (+) KGB aksila, KGB internal
mammary diklasifikasikan sebagai pN3b)
pN2 Metastasis ke 4-9 KGB aksila, atau tampak secara klinis ke KGB internal
mammary tetapi secara klinis tidak terbukti terdapat metastasis ke KGB
Aksilla
pN2a Metastasis ke 4-9 KGB aksila (sedikitnya 1 tumor > 2 mm)
pN2b tampak secara klinis ke KGB internal mammary tetapi secara klinis tidak
terbukti terdapat metastasis ke KGB aksilla
pN3 Metastasis ke 10 KGB aksila, atau KGB infraklavikula, atau secara klinis

22
ke KGB internal mammary ipsilateral dan terdapat 1 atau lebih
metastasis ke KGB aksilla atau > 3 metastasis ke KGB aksilla tetapi
secara klinis microscopic metastasis (-) ke KGB internal mammary; atau
ke KGB supraklavikular ipsilateral

pN3a Metastasis ke ≥10 KGB aksila (minimal 1 tumor > 2 mm), atau
metastasis ke KGB infraklavikula
pN3b Secara klinis metastasis ke KGB internal mammary ipsilateral dan
terdapat 1 atau lebih metastasis ke KGB aksilla atau > 3 metastasis ke
KGB aksilla dan dalam KGB internal mammary dengan kelainan
mikroskopis yang terdeteksi melalui diseksi KGB sentinel, tidak tampak
secara klinis
pN3c Metastasis ke KGB supraklavikular ipsilateral
Metastasis Jauh (M)
MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak terdapat metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh

Stage Groupings
Stage 0 Tis N0 M0
a
Stage I T1 N0 M0
Stage IIA T0 N1 M0
T1a N1 M0
T2 N0 M0
Stage IIB T2 N1 M0
T3 N0 M0
Stage IIIA T0 N2 M0
T1a N2 M0
T2 N2 M0
T3 N1 M0

23
T3 N2 M0
Stage IIIB T4 N0 M0
T4 N1 M0
T4 N2 M0
Stage IIIC Any T N3 M0
Stage IV Any T Any N M1

4. Pemeriksaan penunjang10
a. Mamografi
Mamografi dapat digunakan sebagai metode pilihan deteksi dini kanker
payudara pada tumor yang tidak teraba saat palpasi. Hasil dari mamografi
dikonfirmasi dengan Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB), Core Biopsy, atau
biopsi bedah.10
Penilaian kasus tumor payudara, American College of Radiology (ACR)
membuat panduan klasifikasi yang disebut Breast Imaging Reporting and Data
System (BI-RADS), yaitu :
a. Kategori 0 : hasil belum dapat dikeluarkan karena diperlukan
pemeriksaan tambahan atau pengulangan
b. Kategori 1 : negatif, tidak ditemukan adanya kelainan, dianjurkan
untuk pemeriksaan rutin
c. Kategori 2 : jinak, dianurkan untuk pemeriksaan rutin
d. Kategori 3 : kemungkinan jinak, dianjurkan untuk pemeriksaan berkala
dengan interval waktu yang lebih singkat. Kemungkinan ganas <2%
e. Kategori 4 : kemungkinan ganas dianjurkan untuk biopsi
f. Kategori 5 : kemungkinan tinggi ganas, dianjurkan untuk biopsi.
Kemungkinan ganas >95%
g. Kategori 6 : terbukti secara biopsi, dianjurkan untuk operasi bila
diperlukan
Diagnosis imaging mamografi, mempunyai kriteria tersendiri untuk
kecurigaan kanker payudara, yang dibagi dalam tanda-tanda mayor dan tanda
minor.
Tanda mayor atau primer :
 Kepadatan lesi atau tumor dengan batas permukaan yang irreguler dan
kabur makin ketengah semakin padat dibandingkan bagian tepi.

24
 Tepi bayangan tumor memberi gambaran menyebar “ speculated “ secara
radier atau bayangan bulat kecil berupa satelit dari tumor.
 Adanya gambaran mikro kalsifikasi spesifik didalam tumor kadang
kelihatan menyebar “ scatered “
 Perbedaan ukuran tumor pada mamografi dibidang klinis. Gambaran klinis
ukurannya jauh lebih besar dari gambaran mamografi.
Tanda minor atau sekunder :
 Adanya perubahan berupa penebalan atau tarikan kulit payudara
 Vaskularisasi yang bertambah dan asimetri
 Kepadatan asimetri pada kedua payudara
 Struktur jaringan fibroglanduler yang tidak teratur disekitar tumor
 Pembesaran kelenjar getah bening axilla pada mamografi terutama dengan
ukuran lebih dari 1 cm.
 Perubahan ketebalan lapisan lemak sub kutis atau dibagian bawah
payudara.
b. Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat membedakan lesi solid dan kistik serta menentukan
ukuran lesi.
5. Biopsi
a. Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB)
Jaringan tumor diaspirasi dengan jarum halus (19-25 G) lalu diperiksa
dibawah mikroskop. Kekurangan kadang tidak dapat menentukan grade tumor
dan kadang tidak memberikan diagnosis yang jelas sehingga dibutuhkan
biopsi lainnya. Dengan ciri-ciri sel ganas yaitu, Sel tumor berinti pleomorfik,
kromatin kasar, membrane inti irregular, sitoplasma eosinofilik/bervakuol.11
b. Core biopsy
Menggunakan jarum yang ukurannya cukup besar, lalu diambil
spesimen silinder jaringan tumor. Kelebihan dapat membedakan tumor yang
noninvasif dan invasif serta grade tumor.
c. Biopsi terbuka
Indikasi dilakukan biopsi terbuka jika pada mamografi terlihat adanya
kelainan yang mengarah ke keganasan, hasil FNAB atau core biopsy yang
meragukan.

25
Biopsi eksisional adalah mengangkat seluruh massa tumor dan
menyertakan sedikit jaringan sehat disekitar massa tumor ini digunakan untuk
kasus yang masih operabel atau stadium dini dan biopsi insisional hanya
mengambil sebagian massa tumor yang sudah inoperabel yang selanjutnya
akan dilakukan pemeriksaan patologi anatomi.11
d. Sentinel node biopsy
Biopsi ini dilakukan untuk menentukan keterlibatan dari kelenjar limf
aksila dan parasternal.
e. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dilakukan dengan potong beku dan/atau
parafin.
Bahan pemeriksaan histopatologi diambil melalui :
 Core biopsy
 Biopsi eksisional untuk tumor ukuran <3cm
 Biopsi insisional untuk tumor operabel ukuran >3cm sebelum operasi
definitif dan inoperabel
 Spesimen mastektomi disertai dengan pemeriksaan kelenjar getah
bening
3.1.6 Screening dan deteksi awal kanker payudara

Kanker payudara tergolong dalam keganasan yang dapat didiagnosis secara dini.
American Cancer Society (ACS) merekomendasikan usaha untuk melakukan diagnosis
dini yaitu dengan :12
a. Periksa payudara sendiri (SADARI) atau breast-self examination
Penelitian menunjukkan 85% dari kasus kanker payudara diketahui atau
ditemukan lebih dulu oleh penderita. Oleh karena itu penting bagi wanita untuk
mengetahui cara memeriksa payudara yang benar agar bila ada suatu kelainan
dapat diketahui segera. SADARI sebaiknya mulai biasa dilakukan pada usia sekitar
20 tahun, minimal sekali sebulan. SADARI dilakukan 3 hari setelah haid berhenti
atau 7 hingga 10 hari dari hari pertama menstruasi terakhir. Untuk wanita yang
sudah menopause, SADARI dilakukan pada tanggal yang sama setiap bulan.
b. Pemeriksaan oleh tenaga kesehatan atau clinical breast examination Pemeriksaan
oleh dokter secara lege artis sebaiknya dilakukan setiap 3 tahun untuk wanita
berusia 20-40 tahun dan setiap tahun untuk wanita berusia lebih dari 40 tahun.

26
c. Mammografi
Wanita berusia 35-39 tahun sebaiknya melakukan satu kali baseline
mammography. Wanita berusia 40-49 tahn sebaiknya melakukan mammografi
setiap 2 tahun dan wanita berusia lebih dari 50 tahun sebaiknya melakukan
mammografi setiap tahun.

3.1.7 Penatalaksanaan
1. Pembedahan
 Mastektomi radikal klasik : pengangkatan seluruh kelenjar payudara dengan
sebagian besar otot pektoralis mayor dan minor, kulit dan kelenjar limfe aksila level
I,II, dan III.13
 Mastektomi radikal dimodifikasi : Pada modifikasi radikal mastektomi cara Patey
M. pectorali mayor tetap dipertahankan dan m.pectoralis minor diangkat. Dengan
cara Auchincloss (Madden) M. pectoralis mayor dan minor ditinggalkan.
Pembedahan ini diikuti dengan diseksi aksila
 Mastektomi simpel : pengangkatan seluruh kelenjar payudara dan puting dan
mempertahankan kelenjar limfe aksila dan otot pektoralis jika tidak ada penyebaran
ke kelenjar aksila. Ini biasa dilakukan untuk mastektomi profilaktif pada kelompok
berisiko tinggi dan pada karsinoma in situ yang rekuren
 Breast conserving treatment (BCT)/ lumpektomi : untuk mengangkat massa dan
jaringan payudara sehat di sekitarnya dengan menjaga tampilan kosmetik payudara.
Indikasi dilakukan BCT adalah tumor stadium Tis, T1, T2 dengan ukuran <3 cm
2. Radioterapi
Digunakan sebagai adjuvan kuratif pada pembedahan BCT, mastektomi simpel,
mastektomi radikal modifikasi, dan terapi paliatif pasca mastektomi, metastasis tulang dan
otak. Pemberian radioterapi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penyinaran dari luar dan
dari dalam. Radiasi dari luar dilakukan bergantung pada jenis prosedur bedah yang dilakukan
dan ada tidaknya keterlibatan KGB. Radiasi dari dalam atau brakiterapi adalah menanam
ahan radioaktif di jaringan payudara sekitar lesi.
3. Terapi hormonal
Diberikan obat-obatan anti-estrogen (tamoksifen,toremifen) analog LHRH inhibitor
aromatase selektif (anastrazol,letrozol), agen progestasional (megasterol asetat), agen
androgen dan prosedur ooforektomi.

27
4. Kemoterapi
Kemoterapi dapat berupa adjuvan dan neoadjuvan. Kemoterapi adjuvan merupakan
kemoterapi yang diberikan pasca mastektomi untuk membunuh sel-sel tumor yang mungkin
tertinggal atau menyebar secara mikroskopik. Kemoterapi neoadjuvan merupakan kemoterapi
yang diberikan sebelum pembedahan untuk memperkecil besar tumor sehingga dapat
diangkat dengan lumpektomi atau mastektomi simpel. Regimen kemoterapi yang paling
sering digunakan yaitu CMF (siklofosfamid, metotreksat dan 5-fluorourasil), FAC
(siklofosfamid,adriamisin, 5-fluorourasil), AC (adriamisin dan siklofosfamid) dan CEF
(siklofosfamid, epirubisin, 5-fluorourasil)14
5. Terapi biologi
Terapi anti ekspresi HER/neu menggunakan pemberian transtuzumab.
Pada kanker payudara stadium 0 dilakukan simpel mastektomi atau Breasy
Conserving Treatment (BCT) yaitu dengan cara hanya mengangkat tumor dan diseksi aksila
dan diikuti dengan radiasi kuratif. Pada kanker payudara stadium I, II, III awak dilakukan
tindakan kuratif. Untuk stadium I dan II dilakukan radikal mastektomi atau radikal
mastektomi modifikasi dengan atau tanpa radiasi dan sitostatika adjuvan. Stadium IIIa
dilakukan simpel matektomi dengan radiasi serta sitostatika adjuvan.14
Pada kanker payudara stadium IIIB/IIIC/localy advanced dan inoperable locally
advanced. Operable locally advanced dilakukan simpel mastektomi atau mastektomi radikal
+ radiasi + kemoterapi adjuvant + hormonal terapi, sedangkan pada inoperable locally
advanced dapat dilakukan radiasi kuratif + kemoterapi + hormonal terapi atau radiasi +
oeprasi + kemoterapi + hormonal terapi atau kemoterapi neoadjuvan + operasi + kemoterapi
+ radiasi + hormonal terapi.
Prinsip pengobatan kanker payudara stadium lanjut metastase jauh stadium IV adalah
bersifat paliatif dan terapi pengobatan primer yang bersifat sistemik yaitu terapi hormonal
dan kemoterapi.

28
3.1.8 Prognosis
Prognosis kanker payudara buruk jika pasien menderita kanker payudara bilateral,
pada usia muda, adanya mutasi genetik dan adanya triple negatif yaitu grade tumor tinggi dan
seragam. Seperti keganasan pada umumnya, prognosis kanker payudara ditunjukkan oleh
angka harapan hidup atau interval bebas penyakit.14
Tabel 2. Tabel Prognosis. Modified with permission from American Joint Committee on
Cancer: AJCC Cancer Staging Manual, 6th ed. New York: Springer, 2002, p 228.
Stadium T N M Presentase harapan hidup 5 tahun
0 Tis N0 MO 100%
I T1 N0 M0 100%
IIA T0 N1 M0
T1 N1 M0 92%
T2 N0 M0
IIB T2 N1 M0 81 %
T3 N0 M0
IIIA T0 N2 M0 67%
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N1 M0
T3 N2 M0
IIIB T4 N0 M0 54%
T4 N1 M0
T4 N2 M0
IIIC T apapun N3 M0 40%
IV T apapun N apapun M1 20%

3.1.9 Efek Samping Kemoterapi


Gejala-Gejala Umum yang Sering Timbul Akibat Kemoterapi
 Depresi sumsum tulang
Sumsum tulang merupakan cairan yang berada di bagian dalam tulang, yang berfungsi
memproduksi sel-sel darah merah, sel-sel darah putih dan trombosit. Sumsum tulang sangat
sensitif terhadap efek dari kemoterapi.23 Penurunan sel-sel darah tidak akan terjadi pada awal
kemoterapi, karena kemoterapi tidak menghancurkan darah yang berada di aliran darah tepi
tetapi darah yang baru saja diproduksi oleh sumsum tulang.15,16
Masing-masing sel darah mempunyai masa hidup yang berbeda-beda. Netrofil yang
merupakan bagian dari sel darah putih yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh mempunyai
umur 6 jam, sedangkan trombosit mempunyai umur 10 hari, dan sel darah merah mempunyai
umur yang terpanjang yaitu 120 hari. Sehingga netrofil akan turun lebih cepat dibandingkan
sel darah merah yaitu satu sampai dua minggu sedangkan sel darah merah sekitar 4 minggu.16

29
Menurut National Cancer Institute USA, keadaan yang perlu diperhatikan yaitu
Neutropenia dimana jumlah netrofil di bawah 1000 sel per meter kubik-jika dibawah 500 sel
per meter kubik disebut severe neutropenia-. Hal ini disebabkan oleh karena tubuh jadi
mudah terkena infeksi. Gejala yang sering menyertai neutropenia antara lain panas, nyeri
tenggorok, batuk, pilek, sesak, nyeri saat buang air kecil, phlebitis. Demam merupakan gejala
yang paling sering muncul sebagai akibat dari infeksi pada keadaan neutropenia yang biasa
dikenal dengan demam neutropenia yang perlu perhatian dan penanganan khusus. Dalam
keadaan ini biasanya kemoterapi akan ditunda kemudian diberikan antibiotik, anti jamur, anti
virus dan obat perangsang pertumbuhan netrofil.16
Perdarahan sebagai akibat dari kekurangan trombosit pada pengobatan kemoterapi
merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Lennan menyebutkan bahwa kadar
trombosit kurang dari 20.000 akan berpatensi signifikan menimbulkan perdarahan spontan
apabila kemoterapi dilanjutkan. Untuk meningkatkan kadar trombosit diperlukan tranfusi
trombosit concentrate, selain tranfusi dapat juga diberikan oprelvelkin untuk merangsang
pembentukan trombosit.17
Anemia merupakan keadaan lain yang juga harus diperhatikan, kadar hemoglobin
dibawah 12 g/dl atau hematokrit kurang dari 37 % merupakan definisi dari anemia. Dalam
keadaan yang berat transfusi sel darah merah diperlukan untuk mengatasi kegawatan,
tindakan lain yaitu dengan memberikan erithropoetin untuk mempercepat pembentukan darah
merah.17
Pada beberapa pusat pendidikan dan protokol kemoterapi menerapkan syarat profil
hematologi yang aman untuk menerima kemoterapi. Kadar hemoglobin minimal 10 g/dl,
hitung leukosit diatas 2000 dan atau jumlah neutropil absolut diatas 1000 serta hitung
trombosit diatas 50.000 dipandang aman untuk pemberian kemoterapi. Persyaratan profil
hematologi ini berbeda di setiap pusat pendidikan atau protokol kemoterapi.
 Mual dan muntah
Efek samping yang juga sering timbul pada pengggunaan kemoterapi adalah mual dan
muntah. Ada beberapa penjelasan mengenai munculnya muntah oleh karena efek samping
kemoterapi. Pertama oleh karena teriritasinya mukosa usus halus sehingga akan merangsang
saraf-saraf tertentu yang akan mengaktifasi vomiting center dan chemoreseptor trigger zone
di otak. Kedua area di otak ini juga dapat diaktifasi oleh karena obstruksi saluran cerna,
peradangan, perlambatan pengosongan lambung yang kesemuanya dapat disebabkan oleh
kemoterapi.15,16

30
Penangulangan mual dan muntah yang disebabkan oleh karena efek samping
kemoterapi antara lain dengan pemberian anti mual dan muntah seperti ondansentron yang
termasuk golongan penghambat serotonin. Selain pemberian preparat anti mual dan anti
muntah dapat juga diberikan ekstrak jahe, akupuntur, akupresure dan terapi relaksasi.15,16
 Kerontokan rambut
Kemoterapi akan menyebabkan kerusakan pada folikel rambut sehingga rambut akan
mudah patah dan rontok. Kerontokan rambut ini secara klinis tidak membahayakan, akan
tetapi dapat mengganggu aspek sosial dan psikologis dari penderita kanker. Kerontokan
rambut ini tidak bersifat permanen sehingga apabila kemoterapi dihentikan maka rambut
akan tumbuh kembali. Penggunaan kompres dingin di kepala untuk pencegahan kerontokan
rambut masih menjadi kontroversi.17
 Kerusakan epitel mukosa saluran pencernaan
Epitel mukosa saluran pencernaan merupakan sel normal tubuh yang sering menerima
dampak kemoterapi oleh karena sel epitel mukosa saluran pencernaan membelah dengan
cepat. Manifestasi klinis dari rusaknya sel epitel mukosa saluran cerna dapat berupa
stomatitis, ulcer, diare dan kolitis.15
Stomatitis merupakan salah satu efek samping kemoterapi yang sering timbul akibat
kemoterapi. Hal ini disebabkan oleh karena rusaknya mukosa akibat dari pemberian
kemoterapi. Biasanya stomatitis muncul setelah dua sampai dengan empat minggu setelah
kemoterapi, dan akan sembuh sempurna setelah kemoterapi dihentikan.15,16
Kerusakan mukosa juga akan menimbulkan gejala diare. Hal yang perlu diperhatikan
adalah gejala dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi akibat diare. 15
 Gangguan jantung, hati dan ginjal
Beberapa kemoterapi meyebabkan gangguan pada otot pada otot jantung. Hal ini dapat
menyebabkan terjadi kegagalan pompa jantung. Untuk menghindari efek fatal dari gangguan
jantung sebelum kemoterapi dimulai biasanya dilakukan pemeriksaan untuk menilai fungsi
jantung seperti EKG, CK, CKMB, dan Ekokardiografi.16,17
Pemecahan sebagian jenis obat kemoterapi terjadi di hati, dan sebagian lagi terjadi di
ginjal, namun disayangkan kemoterapi juga merusak hati dan ginjal. Namun seperti efek
samping yang lainnya, hal ini hanya bersifat sementara. Apabila obat kemoterapi dihentikan
maka fungsi jantung, hati dan ginjal akan kembali normal. Pemeriksaan penunjang ureum dan
kreatinin harus rutin dilakukan untuk memantau fungsi ginjal. Peningkatan ureum diatas 50
mg/dl dan kreatinin diatas 1 mg/dl harus diwaspadai bila akan memberikan kemoterapi.

31
Untuk pemantauan fungsi hati dilakukan pemeriksaan enzim SGOT dan SGPT, apabila
terjadi peningkatan diatas 3-4 kali lipat dari kadar normal perlu dilakukan penyesuaian dosis
atau bahkan penghentian kemoterapi.16,17
 Fatique
Fatique adalah perasaan lelah atau kurang energi. Definisi pasti mengenai fatique
sampai saat ini belum ada kesepakatan. Penyebab dan mekanisme pastinya sampai saat ini
belum diketahui. Namun demikian fatique hampir selalu timbul pada setiap penderita yang
menjalani kemoterapi. Fatique akibat efek samping kemoterapi berbeda dengan kondisi
fatique sehari-hari yang biasanya hilang setelah istirahat. Fatique akibat kemoterapi biasanya
muncul tiba-tiba dan tidak hilang atau berkurang dengan istirahat.16
Gejala fatique berbeda pada setiap individu dan sangat subyektif, tergantung juga pada
jenis obat dan dosis obat kemoterapi yang digunakan. Dapat berlangsung dalam waktu
seminggu atau bahkan sampai sebulan, tetapi biasanya berkurang sesuai sel kanker yang
respon terhadap kemoterapi yang dilakukan.17

 Efek Samping Obat Kemoterapi yang Banyak Digunakan Berdasarkan Golongan


Obat Kemoterapi
Anti-metabolit
- Metotreksat
Metotreksat yang termasuk obat anti-metabolit merupakan salah satu obat kemoterapi
yang banyak digunakan. Selain digunakan untuk mengobati berbagai jenis leukemia,
metotreksat juga banyak digunakan dalam pengobatan kanker payudara, kanker tulang,
kanker kandung kemih.16
Struktur metotreksat menyerupai molekul asam folat dengan perbedaan yang sangat
tipis sehingga disebut analog asam folat yang akan menghambat enzim dihidrofolat reductase
yang bertugas mensintesis DNA. Sebagai anti-metabolit metotreksat akan menghentikan
proses replikasi DNA pada fase S, sehingga akan menghentikan pembelahan sel-sel kanker.16
Untuk mengurangi efek samping biasanya diberikan asam folat untuk mempercepat
perbaikan sel tubuh normal, terutama pada pemberian dosis tinggi preparat yang biasa
digunakan adalah leucovorin.Beberapa efek samping metotreksat antara lain:16
1. Depresi sumsum tulang.
Depresi sumsum tulang dengan berbagai akibatnya merupakan salah satu efek samping
yang sering terjadi pada pengobatan dengan metotreksat. Manifestasi klinis yang timbul

32
akibat adanya depresi sumsum tulang adalah cepat lelah atau bahkan sampai pada keadaan
sesak nafas dan gagal jantung akibat dari anemia oleh karena produksi sel-sel darah merah
yang menurun. Perdarahan juga merupakan salah satu manisfestasi klinis dari depresi
sumsum tulang akibat dari penurunan dari jumlah produksi trombosit. Selain itu yang paling
sering terjadi adalah lebih mudahnya tubuh terkena infeksi sebagai akibat dari penurunan
produksi sel darah putih, sehingga biasanya sebelum dimulai pengobatan dengan metotreksat
penderita terlebih dahulu mendapat beberapa vaksinasi untuk melindungi tubuh dari bahaya
infeksi yang mungkin terjadi selama menjalani pengobatan dengan metotreksat.
2. Kerusakan mukosa.
Kerusakan mukosa akan berakibat berbagai macam manifestasi klinis sesuai dengan
yang terkena seperti misalnya stomatitis dan perdarahan saluran cerna. Bagi penderita peptic
ulcer dan kolitis ulserosa perlu mendapat perhatian khusus.
3. Gagal ginjal akut
Terutama pada penggunaan dosis tinggi/high dose dan penggunaan bersamaan obat
kemoterapi lain yang bersifat nefrotoksik. Untuk mencegah terjadinya gagal ginjal
dibutuhkan hidrasi cairan dan juga perlu dilakukan alkalinisasi urin untuk mengurangi
keasaman urin.
4. Fatigue atau kelelahan.
5. Gangguan hati
Peningkatan enzim hati (transaminase) dan penyakit hati kronis (fibrosis, sirosis).
Pemantauan fungsi hati harus dilakukan untuk mencegah kerusakan hati lebih lanjut.
6. Gangguan sistem saraf
Dapat terjadi kejang terutama pada pasien leukemia akut, pada dosis tinggi/high dose
dapat terjadi stroke–like encephalopathy. Pada penggunaan secara intratekal dapat terjadi
efek samping myelopati dan leukoensepalopati kronis.
7. Kerontokan rambut.
8. Penurunan nafsu makan

Inhibitor enzim topoisomerase I dan II


- Doxorubicin
Doxorubicin banyak digunakan dalam terapi leukemia, limfoma non-Hodgkin kanker
payudara, paru, kandung kemih, sarcoma. Mekanisme doxorubicin adalah dengan
menghambat enzim topoisomerase II yang sangat penting untuk replikasi DNA sel kanker.24
Efek samping doxorubicin yang banyak ditemukan antara lain:15
33
1. Depresi sumsum tulang.
Sama halnya dengan metotreksat, pasien yang menjalani kemoterapi dengan
doxorubicin akan mengalami depresi sumsum tulang yang akan menyebabkan anemia,
leukopenia, dan trombositopeni dengan berbagai macam akibatnya.
2. Nyeri tenggorok dan mulut.
Hal ini disebabkan oleh karena kerusakan mukosa mulut dan tenggorokan, efek
samping ini akan hilang dengan sendirinya setelah sekitar 5 hari paska pengobatan dengan
doxorubicin.
3. Fatique
4. Gangguan pada otot jantung
Biasanya terjadi pada dosis toksik, yaitu sekitar 450-500mg/m2 secara kumulatif.
Namun tidak menutup kemungkinan terjadi pada dosis dibawah itu, sehingga pemantauan
EKG dan ekokardiografi diperlukan selama penggunaan doxorubicin. Penurunan fungsi
jantung yang ditandai dengan penurunan left ventricel ejection fraction(LVEF) sampai
dengan dibawah 10% maka penggunaan doxorubicine harus dihentikan, sedangkan
penurunan LVEF dibawah 30% maka dosis doxorubicine harus dikurangi.
1. Sindroma lisis tumor
2. Kebotakan.
3. Fotosensitif
4. Mudah terjadi phlebitis
5. Perubahan warna air seni

- Epirubicin
Epirubicin merupakan kemoterapi yang bekerja dengan cara mengikat DNA sel kanker,
sehingga sel kanker tersebut tidak bisa berkembang biak. Epirubicin biasa digunakan dalam
kemoterapi kanker payudara, ovarium, usus, dan beberapa keganasan pada anak. Efek
samping yang ditimbulkan oleh epirubicin sama seperti doxorubicin yang telah diuraikan
diatas.16
Agen Alkylating
- Siklofosfamid
Siklofosfamid banyak digunakan dalam terapi leukemia, kanker paru, payudara.
Mekanisme kerja siklofosfamid yang termasuk golongan alkylating dengan cara merusak dan
menghentikan aktifitas DNA, sehingga akan menyebabkan kematian pada sel kanker.

34
Siklofosfamid biasanya diberikan dalam bentuk injeksi intravena dan oral yang diminum
sebelum makan.16
Efek samping yang ditimbulkan oleh karena pemberian siklofosfamid antara lain
adalah:15
1. Penurunan nafsu makan
2. Depresi sumsum tulang
3. Iritasi mukosa kandung kemih dan ginjal
Hal ini dapat dicegah dengan cara hidrasi sebelum pemberian dan dengan penggunaan
preparat mesna.
4. Kebotakan

3.2 Diare Akut


3.2.1 Definisi
Diare akut dapat didefinisikan sebagai perubahan pada frekuensi buang air besar menjadi
lebih sering dari normal atau perubahan konsistensi feses menjadi lebih encer atau kedua
duanya dalam waktu kurang dari 14 hari. Umumnya disertai dengan segala gangguan saluran
cerna yang lain seperti mual, muntah dan nyeri perut, kadang-kadang disertai demam, darah
pada feses serta tenesmus (gejala disentri).18
Diare juga dapat didefinisikan dari berat tinja lebih dari 200gram per hari pada populasi
barat, atau kandungan air pada tinja lebih dari 200cc per hari.
3.2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat diperkirakan angka kejadian diare akut per tahun pada orang
dewasa mencapai 375 juta kasus dengan 900.000 orang di antaranya dirawat di rumah sakit
serta menyebabkan 6.000 orang meninggal dunia. Angka kematian akibat diare akut semakin
tinggi pada kelompok usia lanjut. Di seluruh dunia angka kejadian diare akut per tahun
mencapai 1,5 miliar kasus. Belum ada data yang memadai mengenai angka kejadian diare
akut di Indonesia. 18

3.2.3 Patofisiologi
i. Diare Osmotik
– Diare yang disebabkan karena sejumlah besar bahan makanan yang tidak dapat diabsorpsi
dalam lumen usus sehingga terjadi hiperosmolaritas intra lumen yang menimbulkan
perpindahan cairan dari plasma ke dalam lumen.18

35
– Terjadi pada malabsorpsi karbohidrat, penggunaan garam magnesium ataupun bahan yang
bersifat laksansia .
– Dikatakan diare osmotik bila osmotic gap feses > 125mosmol/kg (normal < 50mosmol/kg) .
– Berhenti bila pasien puasa.
ii. Diare Sekretorik
– Diare yang terjadi bila ada gangguan transpor elektrolit baik absorbsi yang berkurang
maupun sekresi yang meningkat melalui dinding usus. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang
dikeluarkan bakteri.
– Biasanya dengan volume banyak, cair, tidak ada pus/darah.
– Diare sekretorik terjadi misalnya pada kasus kolera (toksin), pengaruh garam empedu, asam
lemak rantai pendek atau penggunaan laksansia non-osmotik. Beberapa hormon intestinal
seperti gastrin, vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare
sekretorik.18
– Diare tetap berlangsung walaupun pasien dipuasakan.
iii. Diare Eksudatif
– Diare yang terjadi akibat proses inflamasi/peradangan yang menyebabkan kerusakan
mukosa baik usus halus maupun usus besar.
– Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri ataupun bersifat non infeksi
seperti gluten sensitive enteropathy, penyakit usus inflamasi (inflamatory bowel disease) atau
akibat radiasi.18
– Oleh karena terjadi kerusakan dinding usus, feses dapat mengandung pus, darah atau
mukus.
– Pada diare eksudatif terjadi juga peningkatan beban osmotik, hipersekresi cairan akibat
peningkatan prostaglandin dan terjadi hiperperistaltik.
iv. Diare Hiperperistaltik / Hipermotilitas
– Diare tipe ini terjadi akibat gangguan motilitas yang menyebabkan waktu transit usus
menjadi lebih cepat.
– Pada usus halus menyebabkan waktu paparan untuk absorpsi berkurang.
– Tipe ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, penyakit usus iritabel (irritable bowel
syndrome), diabetes melitus, dan paska gastrektomi (dumping syndrome). Diare dapat terjadi
melalui lebih dari satu mekanisme patofisiologi. Misalnya, pada infeksi bakteri paling tidak
ada dua mekanisme yang bekerja yaitu peningkatan sekresi dan penurunan absorpsi usus.18

36
3.2.4 Terapi Suportif
Rehidraasi Cairan dan Elektrolit18
 Oral, misalkan: Cairan garam gula, oralit, pedialyte, renalyte.
- Diberikan pada pasien dengan diare akut tanpa komplikasi atau dengan dehidrasi
ringan.
- Larutan rehidrasi oral (LRO), dengan komposisi:
 Natrium 75mmol/L, Klorida 65mmol/L, glukosa anhidrat 75mmol/L, kalium
20mmol/L, sitrat 10mmol/L = 245mmol/L
 Intravena
- Diberikan kepada pasien dengan diare akut dengan komplikasi dehidrasi sedang-berat
dan/atau komplikasi lainnya.
- Resusitasi, dapat digunakan cairan intravena sebagai berikut:
 Ringer laktat
 Ringer asetat
 Rumatan, dapat digunakan kombinasi elektrolit + nutrisi cairan intravena sebagai berikut:
- Ringer laktat
- Ringer asetat > + Dekstrosa + As.Amino
- Normal salin
- Ringer dekstrosa
- Aminofluid, Dan cairan sejenis lainnya
3.2.5 Evaluasi dan Penatalaksanaan Dehidrasi18
(klasifikasi berdasar CDC AS 2008)
i.Dehidrasi minimal
– Kekurangan cairan kurang 3% dari kebutuhan normal/berat badan.
– Terapi:
» Kebutuhan cairan = 103/100 x 30-40cc/kgBB/hari
Atau
» Kebutuhan cairan = pengeluaran [feses + IWL(10% BB)] ditambah 30-40cc/kgBB/hari

ii.Dehidrasi ringan sedang


– Kekurangan cairan 3-9% dari kebutuhan normal/berat badan
– Terapi:
» Kebutuhan cairan = 109/100 x 30-40cc/kgBB/hari

37
Atau
» Kebutuhan cairan = pengeluaran [feses + IWL(10%BB)] ditambah 30-40cc/kgBB/hari
iii.Dehidrasi berat
– Kekurangan cairan di atas 9% dari kebutuhan normal/berat badan
– Terapi:
» Kebutuhan cairan = 112/100 x 30-40cc/kgBB/hari;
Atau
» Kebutuhan cairan = pengeluaran [feses + IWL(10%BB)] ditambah 30-40cc/kgBB/hari .
– Dalam satu jam pertama 50% defisit cairan harus diberikan, setelah itu 3
jam berikutnya diberikan sisa defisit, selanjutnya diberikan sesuai dengan
kehilangan cairan melalui feses (losses).
Untuk menilai derajat dehidrasi seseorang dapat dilihat menurut skor Daldiyono
Tabel 3. Skor Daldiyono
Rasa haus/muntah 1
Tekanan darah sistolik 60-90mmHg 1
Tekanan darah sistolik <60mmHg 2
Frekuensi nadi >120x/menit 1
Kesadaran apatis 1
Kesadaran somnolen, spoor atau koma 2
Frekuensi napas >30x/menit 1
Fasies kolerika 2
Vox kolerika 2
Turgor kulit menurun 1
Washer’s woman hand 1
Ekstremitas dingin 1
Sianosis 2
Umur 50-60 tahun -1
Umur >60 tahun -2
Kebutuhan cairan = Skor/15 x 10% x KgBB x 1 liter
Penanganan diare akut pada pasien dengan kemoterapi
- Diare yang terjadi akibat penggunaan obat kemoterapi (irinotekan, 5-fluorourasil).
- Singkirkan penyebab lainnya, seperti Clostridium difficile, Kandidiasis, Shigella.
- Kemoterapi ditunda atau dihentikan.

38
- Terapi lainnya sesuai dengan tatalaksana diare umum dan simtomatik (Atropin
difenoksilat, loperamid, okreotid, Buscopan®).
3.3 Anemia pada Penyakit Keganasan
3.3.1 Definisi
Anemia adalah suatu defisiensi dari kadar hemoglobin darah ataupun jumlah maupun
volume sel darah merah19. Anemia sering dijumpai pada penderita kanker20. Terjadinya
anemia pada kanker dapat langsung disebabkan oleh efek langsung dari tumor, efek dari hasil
produk tumor dan efek dari pengobatan tumor itu sendiri21. Insiden anemia pada penderita
kanker bervariasi, tergantung pada jenis tumor dan jenis terapi yang diberikan22. Insiden
anemia pada penderita kanker sebesar 50% dan menningkat menjadi di atas 90% pada kanker
stadium lanjut atau kanker yang diobati dengan kemoterapi atau radioterapi20. Peneliti lain
mendapatkan insiden anemia sebesar 78% pada leukemia, 62% pada mieloma multipel dan
42-72% pada limfoma.
Gejala anemia dapat berupa palpitasi, sesak nafas, kelelahan, sulit konsentrasi,
vertigo, dll19,20. Anemia pada kanker dapat menurunkan kualitas hidup penderita dn dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari penderita22. Tujuan pengobatan anemia pada kanker adalah
meningkatkan kadar hemoglobin darah, meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan
hasil pengobatan24. Anemia pada kanker dimasukkan kedalam golongan anemia kronis,
namun belakangan ini ada peneliti yang menggolongkan anemia pada kanker menjadi
golongan tersendiri dan terpisah dari golongan anemia pada penyakit kronis. Dalam seri
kepustakaan inni akan diuraikan tentang patogenese, etiologi, diagnosa dan penatalaksanaan
anemia pada kanker.
3.3.2 Patogenesis
Anemia pada kanker digolongkan kedalam anemia penyakit kronis atau anemia
inflamasi kronis25.
Tabel 4. Anemia penyakit kronis. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Payudara. In :
Haryono SJ, Chaula S, editor.Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidayat de jong. Ed 3. Jakarta : EGC, 2010

1. Anemia inflamasi kronis


a. Infeksi
b. Gangguan jaringan ikat, dll
c. Keganasan
2. Anemia pada uremia
3. Anemia karena kelainan endokrin
4. Anemia penyakit hati

39
Anemia karena penyakit kronis ditandai (i) Hipoplasia ertroid pada sumsum tulang.
(ii) Memendeknya umur eritrosit. (iii) Menurunnya pemakaian kembali zat besi. (iv)
Rendahnya eritropeietin tidak sesuai dengan derajat anemianya dan (v) diperantarai sitokin 26-
27
.
Terjadinya anemia pada kanker dimulai dengan diaktivasinya sistem imun tubuh
mekropage oleh tumor, kemudian mekropage merangsang produksi sitokin barupa
peningkatan interleukin-1 (IL-1) tissue necrosis factor (TNF) dan interferon gamma (IFNγ),
selanjutnya sitokin akan bereaksi dengan limfosit, sel endotel dan fibroblas, akibatnya akan
diproduksi mediator supresor eritrosit langsung pada sel efektor. Selanjutnya akan
menyebabkan terjadinya penurunan produksi eritropoietin, penurunan blast forming unit-
erithrocyte (BFU-E) dan colony forming unit-erothrocyte (CFU-E). Gangguan metabolisme
Fe dan terjadinya pemendekan umur eritrosit. Akhirnya akan terjadi anemia22.
3.3.3 Etiologi
Penyebab anemia pada penderita kanker secara garis besar dibagi 3, yaitu:
1. Efek langsung tumor
Anemia pada kanker yang disebabkan efek langsung tumor bisa berupa kehilangan
darah secara eksogen, perdarahan dalam tumor, anemia karena eritrofagositosis dan
penggantian sumsum tulang21.
Tabel 5. Anemia pada kanker : efek langsung tumor. Muthalib A, Atmakusuma D. Penatalaksanaan anemia
pada pasien dengan kemoterapi. Dalam : Setiati S, eds. Current diagnosis and treatment in internal medicine 2001,
Pusat Informassi dan Penerbitan, Jakarta, 2001, p 127-32

- Kehilangan darah secara eksogen - Kanker Gastrointestinal


(akut atau kronik) - Kanker kepala dan leher
- Kanker genitourinari
- Kanker serviks dan vagina
- Perdarahan intra tumor - Sarkoma
- Melanoma bulky
- Hepatoma
- Kanker ovarium
- Tumor adrenokortikal
- Anemia karena eritrofagositosis - Retikulosis medullari histiositik
- Limfoma histiositik

40
- Neoplasma histiositik lainnya
- Penggantian sumsum tulang - Leukemia
- Limfoma
- Mieloma
- Karsinoma (payudara, prostat)

2. Efek dari hasil produksi tumor


Produk dari tumor Diskrasia sel plasma, leukemia limfositik kronik, limfoma, kanker
prostat, dll dapat menyebabkan anemia.21
Tabel 6. Anemia karena produk kanker. Muthalib A, Atmakusuma D. Penatalaksanaan anemia
pada pasien dengan kemoterapi. Dalam : Setiati S, eds. Current diagnosis and treatment in internal medicine 2001,
Pusat Informassi dan Penerbitan, Jakarta, 2001, p 127-32

Substrat Mekanisme Tumor


- Amiloid - Penggantian sumsum - Diskrasia sel
tulang plasma
- Antibodi - Anemia hemolitik
imun - Leukemia
- Protein prokoagulan - Anemia hemolitik limfositik kronik
mikroangiopati - Limfoma,
adenosarkoma
- Kanker
gastrointestinal
- Kanker prostat

3. Efek dari hasil pengobatan


Pengobatan kanker dengan kemoterapi atau radioterapi dapat menyebabkan anemia.
Terjadinya anemia pada penderita kanker yang menjalani kemoterapi dan radioterapi
terutama disebabkan penekanan/supresi sumsum tulang pada BFU-E dan CFU-E oleh
kemoterapi dan radioterapi tersebut26. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Harison
LB mendapatkan adanya peningkatan presentasi anemia pada penderita kanker setelah
radioterapi dibanding sebelum radioterapi.27
Peneliti lain mendapatkan kejadian anemia pada kanker payudara sebesar 25%
sebelum kemoterapi dan meningkat menjadi 63% setelah kemoterapi.27

41
Menurut Kumar P anemia pada kanker, selain disebabkan anemia penyakit kronis,
dapat pula disebabkan oleh adanya infeksi, autoimun hemolitik, defisiensi besi, defisiensi
asam folat, defisiensi vitamin B1224. Dari semua bentuk anemia pada kanker yang paling
sering ditemukan adalah anemia karena penyakit kronis.25
3.3.4 Tingkatan Anemia
Anemia adalah suatu defisiensi dari kadar hemoglobin darah atau jumlah maupun
volume sel darah merah. Hemoglobin (Hb) dalam batas (dbn) untuk wanita adalah 12-16
gr/dL dan untuk pria 14-18 gr/dL. Anemia pada penderita kanker dibagi dalam beberapa
tingkatan. The national cancer institute dan cooperative oncology groups membagi anemia
menjadi 4 tingkatan.26
- Tingkat 1, ringan (Hb 10 gr/dL sampai < dbn)
- Tingkat 2, sedang (Hb 8-10 g/dL)
- Tingkat 3, serius/berat (Hb 6,5-7,9 g/dL)
- Tingkat 4, life threatening (Hb < 6,5 g/dL)
3.3.5 Diagnosa
Penderita kanker dengan anemia ringan biasanya tanpa gejala klinis atau pada saat
beraktivitas dapat dijumpai takikardi, palpitasi, sesak nafas dan kelelahan ringan. Gejala
klinis pada penderita kanker dengan anemia berat adalah dijumpai sesak nafas dan palpitasi
pada saat istirahat, kelelahan berat dan tidak mampu melakukan aktivitas (exercise
intolerance). Muthalib A, dkk mengelompokkan tanda dan gejala klinis anemia berdasarkan
anemia ringan, sedang, dan berat (tabel 6). Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai tanda-
tanda gagal jantung kongestif.20
Gambaran hematologi anemia pada kanker adalah sama seperti gambaran hematologi
dari anemia pada penyakit kronis yaitu adanya anemia normokrom normositer, serum iron
yang menurun, total iron binding capacity yang menurun, dan serum feritin yang
meningkat19.
Tabel 7. Tanda dan gejala klinis anemia. Muthalib A, Atmakusuma D. Penatalaksanaan anemia pada
pasien dengan kemoterapi. Dalam : Setiati S, eds. Current diagnosis and treatment in internal medicine 2001, Pusat
Informassi dan Penerbitan, Jakarta, 2001, p 127-32

Ringan (Hb >10-12 g/dl) Sedang (8-10 g/dl) Berat (<8 g/dl)
Kelelahan Fatigue Overwhelming
Peningkatan detak jantung Sulit konsentrasi Fatigue / exhaustion
Penurunan perfusi jaringan Detak jantung >100/m Dizziness
Dilatasi sistem vaskuler Berdebar-debar Vertigo

42
Ekstraksi O2 jaringan naik - Dispnu saat aktivitas -Depresi-gangguan tidur
- Pucat -Dispnu saat istirahat
3.3.6 Penatalaksanaan
Anemia pada kanker dapat disebabkan beberapa faktor, sehingga pengobatannya
bersifat individu. Dilakukan penatalaksanaan terhadap penyakit yang mendasari dan
komplikasi yang mungkin timbul seperti inflamasi, penyakit hemolitik, perdarahan akut, dan
defisiensi nutrisional. Pemberian suplemen hematinik berupa besi oral, asam folat, dan
vitamin B12 hanya bermanfaat pada pasien yang terbukti dengan defisiensi nutrisi tersebut.
Tujuan pengobatan anemia pada kanker adalah meningkatkan kadar Hb, meningkatkan
kualitas hidup serta menigkatkan hasil pengobatan dengan pemberian transfusi darah dan
rekombinan human eritropoietin15
- Transfusi darah
Transfusi darah merupakan pilihan utama untuk pengobatan life threateninganemia
dimana transfusi darah dengan cepat dapat mengoreksi gejala-gejala anemia. Di Amerika
Serikat sebanyak 12 juta unit darah ditransfusikan setiap tahun, 1 juta unit diantaranya untuk
penderita kanker. Sampai awal tahun 1980an, transfusi diberikan secara empiris jika kadar
hemoglobin dibawah 10 gr/dl. Oleh karena berpotensi menularkan HIV, transfusi darah
sebaiknya tidak diberikan pada anemia ringan sampai sedang. Transfusi diberikan jika kadar
hemoglobin berkisar antara 7-8 g/dl atau dijumpai tanda dan gejala anemia berat. Penelitian
retrospektif yang dilakukan oleh Estrin JT di Amerika Serikat tahun 1997 terhadap 103
penderita kanker dengan anemia yang menjalani kemoterapi, mendapatkan rata-rata kadar
hemoglobin sebelum transfusi sebesar 7,9 gr/dl20. Tindakan transfusi memiliki rasio tertular
infeksi seperti HIV, hepatitis, sitomegali virus, dan reaksi transfusi seperti reaksi hemolitik,
demam, urtikaria, dll21,22.
- Rekombinan human Eritropoietin
Rekombinan human eritropoietin (rhEPO) adalah rekombinan dari hormon
eritropoietin yaitu suatu hormon yang dapat meningkatkan produksi sel darah merah
endogen. rhEPO efektif terhadap anemia pada kanker sebesar 80%. Disebut respon terhadap
rhEPO jika setelah pengobatan empat minggu terjadi penigkatan kadar hemoglobin ≥ 1
gr/dl23,24.
Dosis rhEPO untuk pengobatan anemia yang disebabkan kanker adalah 150-300
u/kgBB atau 10.000 unit tiga kali seminggu atau 40.000 – 60.000 u setiap minggu (grafik 1).

43
Pada penderita anemia dengan kanker, rhEPO menyebabkan peningkatan kadar ht dan
Hb dibanding hanya dengan pemberian transfusi, dan secara signifikan dapat mengurangi
kebutuhan transfusi (Tabel 7)23.
Suatu penelitian tentang manfaat rhEPO terhadap penderita kanker dengan anemia
yang menjalani kemoterapi yang dilakukan Glapsy J mendapatkan bahwa rhEPO secara
signifikan dapat mengurangi kebutuhan transfusi, meningkatkan Hb dan meningkatkan
kualitas hidup penderita dibanding penderita kanker dengan anemia yang menjalani
kemoterapi tanpa mendapat rhEPO26.
rhEPO dapat mencegah timbulnya anemia pada penderita kanker non anemia yang
menjalani kemoterapi, juga dapat meningkatkan kadar Hb dan mengurangi kebutuhan
transfusi darah24. Pemberian rhEPO untuk pencegahan anemia pada kanker terutama
ditujukan terhadap pasien dengan resiko tinggi mendapatkan transfusi, misalnya terjadi
penurunan Hb ≥2 gr/dl setelah siklus pertama kemoterapi.
Tabel 7. Perbandingan manfaat antara transfusi dengan rhEPO. Groopman J E, Itri L M.
Chemoterapy-Induced anemia in Adults: incidence and treatment. Journal of national cancer
institute 1999 october; 91(19) : 1616-34
Gambaran rhEPO Transfusi
Mekanisme ↑ Produksi sel darah merah Mengganti sel darah merah
Regimen 150 u/kgbb/minggu ditambah 2 unit PRC jika Hb < 8-12
transfusi jika dibutuhkan gr/dl
Cara pemberian Subkutan Intravena
Manfaat ↑ Hb, ↑ Ht, ↑ kualitas hidup ↑ Hb, ↑ Ht, ↑ kualitas hidup
dibanding transfusi saja, ↓ selama 2 minggu
kebutuhan transfuse
Onset of action Beberapa minggu Beberapa jam
Timbulnya efek samping Sama seperti transfuse Dikurangi melalui
penyaringan yang ketat
Efek samping serius Hipertensi Reaksi hemolitik yang
ditularkan melalui darah

Efek samping rhEPO dapat berupa hipertensi dan trombosis. Hipertensi dapat timbul
sekitar 5-10% dari penderita yang membutuhkan terapi rhEPO. Trombosis dapat terjadi jika
dijumpai peningkatan kadar Hb yang cepat. Untuk menghindari terjadinya penigkatan kadar

44
Hb yang cepat, harus dihindari peningkatan Hb >2 g/dl selama satu bulan pengobatan dan
pemberian rhEPO harus dihentikan jika kadar Hb < 15 gr/dl.21

45
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Pasien perempuan, 50 tahun datang dengan keluhan buang air besar cair sejak tiga hari
sebelum masuk Rumah Sakit, eluhan disertai lemas, pusing, mual, dan muntah. Pasien
memiliki keluhan tersebut diatas setelah menjalani kemoterapi satu minggu sebelumnya.
Seperti pada pembahasan teori diatas, kemoterapi memiliki beberapa efek samping seperti
kerusakan epitel mukosa saluran pencernaan.
Epitel mukosa saluran pencernaan merupakan sel normal tubuh yang sering menerima
dampak kemoterapi oleh karena sel epitel mukosa saluran pencernaan membelah dengan
cepat. Manifestasi klinis dari rusaknya sel epitel mukosa saluran cerna dapat berupa
stomatitis, ulcer, diare dan kolitis.15
Stomatitis merupakan salah satu efek samping kemoterapi yang sering timbul akibat
kemoterapi. Hal ini disebabkan oleh karena rusaknya mukosa akibat dari pemberian
kemoterapi. Biasanya stomatitis muncul setelah dua sampai dengan empat minggu setelah
kemoterapi, dan akan sembuh sempurna setelah kemoterapi dihentikan.15,16 Kerusakan
mukosa juga akan menimbulkan gejala diare. Hal yang perlu diperhatikan adalah gejala
dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi akibat diare.
Selain keluhan diare, pasien juga mengeluh lemas dan pada pemeriksaan fisik didapati
konjungtiva anemis. Dan pada pemeriksaan laboratorium didapati penurunan hemoglobin
pasien. Hal tersebut seperti dikatakan dalam teori bahwa kemoterapi dapat mengakibatkan
depresi sumsum tulang.
Sumsum tulang merupakan cairan yang berada di bagian dalam tulang, yang berfungsi
memproduksi sel-sel darah merah, sel-sel darah putih dan trombosit. Sumsum tulang sangat
sensitif terhadap efek dari kemoterapi.23 Penurunan sel-sel darah tidak akan terjadi pada awal
kemoterapi, karena kemoterapi tidak menghancurkan darah yang berada di aliran darah tepi
tetapi darah yang baru saja diproduksi oleh sumsum tulang.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa keluhan yang dialami pasien sangat wajar dialami pasien
dengan tahap menjalani kemoterapi, sesuai pada teori.

46
BAB V
KESIMPULAN
Pada pasien dengan aktifitas kemoterapi sangat mungkin mengalami keluhan yang
dialami oleh pasien diatas, seperti diare, mual, muntah bahkan anemia. Hal tersebut
dikarenakan ada beberapa efek samping dari kemoterapi yang dapat menyebabkan gelaja-
gejala tersebut seperti kerusakan epitel mukosa saluran pencernaan. Epitel mukosa saluran
pencernaan merupakan sel normal tubuh yang sering menerima dampak kemoterapi oleh
karena sel epitel mukosa saluran pencernaan membelah dengan cepat. Manifestasi klinis dari
rusaknya sel epitel mukosa saluran cerna dapat berupa stomatitis, ulcer, diare dan kolitis. Dan
juga depresi sumsum tulang. Sumsum tulang merupakan cairan yang berada di bagian dalam
tulang, yang berfungsi memproduksi sel-sel darah merah, sel-sel darah putih dan trombosit.
Sumsum tulang sangat sensitif terhadap efek dari kemoterapi. Terapi diare pada pasien
kemoterapi dapat dilakukan seperti terapi diare pada umumnya. Dan pada anemia dilakukan
penatalaksanaan seperti anemia penyakit kronis.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Kornblau, S., Catalano, R., Champlin, R.E., Engelking, C., Field, M., Ippolity, C.,
Management of Cancer Treatment-Related Diarrhea. Journal of Pain and Symptom
Management. 2000. 19:118-29
2. Simadibrata, M. Gangguan Motilitas Saluran Cerna Bagian Bawah. Dalam. Ilmu
Penyakit Dalam. Aru W Sudoyo (editor). Ed. ke-5. InternaPublishing. Jakarta. Hlm.
462-464. 2009.
3. IARC. World cancer report 2008. Lyon, International Agency for Research on
Cancer. 2008. Available from: http://globocan.iarc.fr.
4. Oktaviana DN, Damayanthi E, dan Kardinah. Faktor risiko kanker payudara pada
pasien wanita di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta. Indonesia Journal of Cancer.
2012;6(3):105-111.
5. Ferlay J, Bray F, Pisani P, Parkin DM. Globogan 2002. Cancer incidence, mortality
and prevalence. Worldwide IARC. Cancer base No. 5. Version 2.0. Lyon: IARC
Press:2004.
6. Kumar V, Abbas KA, Fausto N, Aster JC. The female breast In : Schmitt W, editor,
Robbins and cotran pathologic basis of disease. 7th ed. Philadelphia :Saunders
Elsevier, 2005. P.270-80, 1120-140.
7. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Payudara. In :
Haryono SJ, Chaula S, editor.Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidayat de jong. Ed 3.
Jakarta : EGC, 2010.
8. Snell RS. Dinding dada, rongga dada, paru, dan rongga pleura. In : Suwahjo A,
Yohanes AL, editor. Anatomi klinis berdasarkan sistem. Jakarta : EGC, 2012.
9. Departemen Kesehatan. Health profile Indonesia 2005. Jakarta: Depkes; 2007.
10. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia 2007. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia: 2008.
11. Price SA. Gangguan sistem reproduksi. In : Hartanto H, editor. Patofisiologi : konsep
klinis proses-proses penyakit. Ed 6. Vol 2. Jakarta : EGC, 2005.
12. Indrati R. Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian kanker payudara
wanita. Universitas Diponegoro. 2005.
13. Tortora GJ, Derrickson B. The reproductive system. In : Roesch B, editor. Principles
of anatomy and physiology.12th Ed. United States of America : JohnWiley and Sons,
2009.

48
14. Sirait AM, Oemiati R dan Indrawati L. Hubungan kontarsepsi pil dengan
tumor/kanker payudara di Indonesia. Indonesia. 2009
15. Cancer care. Understanding and Managing Chemotherapy Side Effects. USA:
Cancer Care National Office; 2012 [cited 2012 December 26]; Available from:
www.cancercare.org
16. Institute NC. Chemotherapy and You. USA: U. S. National Institutes of Health; 2012
[cited 2012 Decemberr 26]; Available from: www.cancer.gov.
17. Ludwig H. Recombinant human erythropoietin is efeective in cancer related anemia,
but is it cost effective?. Available from http://www.medscape
.com/viewarticle/414904
18. Dadang.M, Simadibrata.M, Abdullah.M, Fahrial.A.S, Fauzi.A.Konsensus
Penatalaksanaan Diare Akut Pada Dewasa di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia (PGI).2009: h.1-21
19. Henry D H. Supplemental iron : A key to optimizing the response of cancer-related
anemia ro rhEPO?. The oncologist 1998 Augustust; 3(4): 275-8
20. Saba H I. Anemia in cancer patients: Introduction and overview. Available from :
http://www.moffit.usf.edu/pubs/ccj.v5ns/article.html
21. Muthalib A, Atmakusuma D. Penatalaksanaan anemia pada pasien dengan
kemoterapi. Dalam : Setiati S, eds. Current diagnosis and treatment in internal
medicine 2001, Pusat Informassi dan Penerbitan, Jakarta, 2001, p 127-32
22. Anonymus. Uses of epoetin for anemia in oncology. Available from :
http://www.alcpr.gov/clinic/epcsums/epoetsum.htm
23. Groopman J E, Itri L M. Chemoterapy-Induced anemia in Adults: incidence and
treatment. Journal of national cancer institute 1999 october; 91(19) : 1616-34
24. Bunn H F. Anemia associated with chronic disorder. In: Isselbacher, eds. Harrison’s
principles of internal medicine; 13th ed vol 2, mcgraw-hill, New York, 1994, p 1732-4
25. Abels R. Erythropoietin for anemia in canceer patientas. R W johnson pharmautical
research institute, raritan, New Jersey, 1993, - 1-8.
26. Loughran T. Anemia in Lymphoproliferative disorders. Available from :
http://www.maffit.usf.edu /pubs/ccj/v5ns/article10.html
27. Provan D,O’Shaughnessy D F. Recent advances in hematology. BMJ 1994 April; 318
: 991-9

49

Anda mungkin juga menyukai