Anda di halaman 1dari 27

BAB II

ISI

2.1 Pendahuluan

Carsinoma colon atau kanker usu besar adalah suatu bentuk keganasan yang terjadi
pada kolon, rektum, dan appendix (usus buntu). Di negara maju, kanker ini menduduki
peringkat ke tiga yang paling sering terjadi, dan menjadi penyebab kematian yang utama di
dunia barat.
Mula-mula gejalanya tidak jelas, seperti berat badan menurun (sebagai gejala umum
keganasan) dan kelelahan yang tidak jelas sebabnya. Setelah berlangsung beberapa waktu
barulah muncul gejala-gejala lain yang berhubungan dengan keberadaan tumor dalam ukuran
yang bermakna di usus besar. Makin dekat lokasi tumor dengan anus biasanya gejalanya
makin banyak. Bila kita berbicara tentang gejala tumor usus besar, gejala tersebut terbagi
tiga, yaitu gejala lokal, gejala umum, dan gejala penyebaran (metastasis).
Gejala lokalnya adalah, antara lain :
 Perubahan kebiasaan buang air.
 Perubahan frekuensi buang air, berkurang (konstipasi) atau bertambah (diare)
Sensasi seperti belum selesai buang air, (masih ingin tapi sudah tidak bisa keluar) dan
perubahan diameter serta ukuran kotoran (feses). Keduanya adalah ciri khas dari
kanker kolorektal
 Perubahan wujud fisik kotoran/feses
Feses bercampur darah atau keluar darah dari lubang pembuangan saat buang air
besar, feses bercampur lender.
 Feses berwarna kehitaman, biasanya berhubungan dengan terjadinya perdarahan di
saluran pencernaan bagian atas.
 Timbul rasa nyeri disertai mual dan muntah saat buang air besar, terjadi akibat
sumbatan saluran pembuangan kotoran oleh massa tumor.
 Adanya benjolan pada perut yang mungkin dirasakan oleh penderita.
 Timbul gejala-gejala lainnya di sekitar lokasi tumor, karena kanker dapat tumbuh
mengenai organ dan jaringan sekitar tumor tersebut, seperti kandung kemih (timbul
darah pada air seni, timbul gelembung udara, dan lain-lain), vagina (keputihan yang
berbau, muncul lendir berlebihan, dan lain-lain). Gejala-gejala ini terjadi belakangan,
menunjukkan semakin besar tumor dan semakin luas penyebarannya.

2.2 Etika Profesi Kedokteran

Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu
sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian
baik-buruk dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang
cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah
teori deontologi dan teleologi. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, Deontologi
mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri
(I Kant), sedangkan teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat
hasilnya atau akibatnya (D Hume, J Bentham, JS Mills). Deontologi lebih mendasarkan
kepada ajaran agama, tradisi dan budaya, sedangkan teleologi lebih ke arah penalaran
(reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (aliran utilitarian).1

Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa: “seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang
dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai
dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama.1

KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan
untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya
seorang dokter tidak boleh melakukan:

1. Menggugurkan kandungan (Abortus Provocatus),


2. Mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak
mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Sumpah dokter yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang
berisikan kewajipan-kewajipan dokter dalam berprilaku dan bersikap atau seperti code of
conduct bagi dokter. 1
Kode etik kedokteran Indonesia (KODEKI) dibuat dengan mengacu kepada Kode
Etik Kedokteran Internasional yang berunsurkan tentang kewajiban umum, kewajiban
terhadap pasien, kewajipan terhadap sesame dan kewajipan terhadap diri sendiri. 1

KODEKI berisikan:

1) KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1:
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter. 2
Pasal 2:
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi yang tertinggi. 2
Pasal 3:
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. 2
Pasal 4:
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri. 2
Pasal 5:
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik
hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan
pasien. 2
Pasal 6:
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang
dapat menimbulkan keresahan masyarakat. 2
Pasal 7:
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya. 2
Pasal 7a:
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia. 2
Pasal 7b:
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan
berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam
karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam
menangani pasien. 2
Pasal 7c:
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien. 2
Pasal 7d:
Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.2
Pasal 8:
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha
menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.2
Pasal 9:
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.2

2) KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN

Pasal 10:
Setiap dokten wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien kepada
dokten yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut. 2
Pasal 11:
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah
lainnya. 2
Pasal 12:
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. 2
Pasal 13:
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya. 2

3) KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT

Pasal 14:
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 15:
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis. 2

4) KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI

Pasal 16:
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
Pasal 17:
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran/kesehatan. 2

Bioetika adalah salah satu cabang dari etik normatif di atas. Bioetik atau Biomedical
ethics adalah etik yang berhubungan dengan praktek kedokteran dan atau penelitian di bidang
biomedis.

Beberapa contoh pertanyaan di dalam bioetika adalah : Apakah seorang dokter


berkewajiban secara moral untuk memberitahukan kepada seorang yang berada dalam
stadium terminal bahwa ia sedang sekarat? Apakah membuka rahasia kedokteran dapat
dibenarkan secara moral? Apakah aborsi ataupun euthanasia dapat dibenarkan secara moral?

Pertanyaan bioetik juga dapat menyangkut tentang dapat dibenarkan atau tidaknya
suatu hukum dilihat dari segi etik, seperti: Apakah dapat dibenarkan membuat suatu
peraturan perundang-undangan yang mewajibkan seseorang untuk menerima tindakan medis
yang bersifat life-saving, meskipun bertentangan dengan keinginannya? Apakah dapat
dibenarkan secara etik apabila dibuat suatu hukum yang mengharuskan memasukkan
seseorang sakit jiwa ke dalam rumah sakit, meskipun bertentangan dengan keinginan pasien ?
Apakah dapat dibenarkan membuat suatu peraturan yang membolehkan tindakan medis apa
saja yang diminta oleh pasien kepada dokternya, meskipun sebenarnya tidak ada indikasi ?

Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, selain


mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar di atas, keputusan hendaknya juga
mempertimbangkan hak-hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan mengakibatkan
juga pelanggaran atas kebutuhan dasar di atas terutama kebutuhan kreatif dan spiritual
pasien.1

Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu


keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa rules
dibawahnya. Ke-4 kaidah dasar moral tersebut adalah :

1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian
melahirkan doktrin informed consent;
2. Princip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan
ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan
saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi
buruknya (mudharat);
3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai "primum non nocere" atau
"above all do no harm".
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).

Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka),
privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) dan
fidelity (loyalitas dan promise keeping).1

Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus dijadikan pedoman dalam
mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai
panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct). Sebagaimana diuraikan
pada pendahuluan, nilai-nilai dalam etika profesi tercermin di dalam sumpah dokter dan kode
etik kedokteran. Sumpah dokter berisikan suatu "kontrak moral" antara dokter dengan Tuhan
sang penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan "kontrak kewajiban moral"
antara dokter dengan peer-group-nya, yaitu masyarakat profesinya.

Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban moral yang
melekat kepada para dokter. Meskipun kewajiban tersebit bukanlah kewajiban hukum
sehingga tidak dapat dipaksakan secara hukum, namun kewajiban moral tersebut haruslah
menjadi “pemimpin” dari kewajiban dalam hukum kedokteran. Hukum kedokteran yang baik
haruslah merupakan hukum yang etis.1

2.3 Aspek Hukum

(PERMENKES No.1419/MENKES/PER/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik


Dokter dan Dokter Gigi pasal 17) Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahlu harus memberika penjelasan kepada
pasien tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan dan mendapat persetujuan pasien.3

Pasien berhak menolak tindakan yang dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri
pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang
jelas tentang penyakitnya.

Pemberian obat-obatan juga harus dengan persetujuan pasien dan bila pasien meminta
untuk dihentikan pengobatan, maka terapi harus dihentikan kecuali dengan penghentian
terapi akan mengakibatkan keadaan gawat darurat atau kehilangan nyawa pasien

Dalam Pedoman Penegakkan Disiplin Kedokteran tahun 2008 seorang dokter dapat
dikategorikan melakukan bentuk pelanggaran disiplin kedokteran apabila tidak memberikan
penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information) kepada pasien atau
keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.3,4

2.3.1 Sanksi Hukum Pidana

Pasal 359 KUHP

Barangsiapa karena kelalainnya menyebabkan matinya orang lain , diancam dengan pidana
penjarapaling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.4
Pasal 360 KUHP

(1) Barangsiapa karena kelalainnya menyebabkan orang lain menderita luka berat,diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu
tahun
(2) Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa sehingga
menderita sakit untuk sementara waktu atau tidak dapat menjalankan jabatan atau
perkejaannya selama waktu tertenu diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan atau pidana kurungan enam bulan atau denda paling tinggi empat ribu lima ratus
rupiah.4

2.3.2 Sanksi Hukum Perdata

Pasal 1338 KUH Perdata

(1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
(2) Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
(3) Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. 4

Pasal 1365, 1366 dan 1370 KUHP Perdata dan UU Kesehatan 54 dan 55 mencantumkan
mengenai sanksi terhadap kerugian yang disebabkan oleh kelalaian. 4

Pasal 1365 KUH Perdata

Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. 4

Pasal 1366 KUH Perdata

Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya , tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalainnnya atau kurang
hati – hatinya. 4
Pasal 1370 KUH Perdata

Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain ) dengan sengaja atau kurang hati
– hatinya seseorang, maka suami dan istri yang ditinggalkan, anak atau korban orang tua
yang biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban mempunyai hakuntuk menuntut suatu
ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukanya dan kekayaan kedua belah pihak serta
menurut keadaan. 4

Pasal 54 UU Kesehatan

(1) Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
(2) Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, fungsi, dan tata kerja MDTK ditetapkan oleh
Keppres. 4

Pasal 53 Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

(1) Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakantugas
sesuai dengan profesinya.
(2) Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar
profesi dan mengormati hak pasien.
(3) Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pembuktian, dapat melakukan tindakan medis
terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang
bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai standar profesi dan hak – hak pasien sebagaimana dimaksud dalam
Ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 4

Pasal 55 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan. 4
Pasal 344 KUHP membicarakan sanksi terkait euthanasia:

Pasal 344 KUHP

Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang paling jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun. 4

2.3.3 Hak Pasien atas Informasi  Penyakit dan Tindakan Medis dari Aspek Hukum
Kedokteran.

Merima pelayanan praktik kedokteran mempunyai hak mendapatkan penjelasan


secara lengkap tentang tindakan medis  yang akan diterimanya (Undan-Undang No. 29 tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 52).  Penjelasan tersebut sekurang-kurangnya
mencakup :1

1. Diagnosis dan tata cara tindakan medis


2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
3. Alternatif tindakan lain dan resikonya
4. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. (Pasal 45 ayat 3).

Dalam praktek kedokteran dikenal dua macam euthanasia yaitu:

a. Euthanasia pasif: Ialah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan


memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Alasan yang lazim
dikemukakan dokter ialah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaan pasien, tidak mengurangi keadaan sakitnya yang
memang sudah parah.5
b. Euthanasia pasif:
 Tindakan dokter berupa penghentian pengobatan pasien yang menderita sakit keras,
yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian
pemberian obat ini berakibat mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan ialah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana
yang dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup tinggi, sedangkan fungsi
pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.
 Tindakan upaya dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut
penelitian medis masih mungkin bisa sembuh. Umumnya alasannya adalah
ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi padahal biaya pengobatannya yang
dibutuhkan sangat tinggi. 5
Secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu
bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien atau korban itu
sendiri (voluntary euthanasia). 5

Pasal 344 KUHP. Yang menyatakan : “Barang siapa merampas nyawa orang lain
atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.6 Maka disimpulkan, bahwa
pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan
demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai
perbuatan yang dilarang dan tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang”
sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai
tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut5. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, “
Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun”. 4

Pasal 340 KUHP menyatakan, “ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana
lebih dulu merampas nyawa oranglain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua
puluh tahun”. 4

Pasal 356 (3) KUHP “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan
yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”. 4

Pasal 304 KUHP dinyatakan, “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau
membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah” 4.
Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut
dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”. 4

KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya
euthanasia aktif dan dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja
menghilangkan nyawa seseorang. Akibatnya, dokter sering dipersalahkan dalam tindakan
euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli
apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk
mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang
belum diketahui pengobatannya. 5
Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar
bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan tidak menghendaki kematiannya seperti pasien
yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam
KUHP. Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia antara lain 338, 340, 344,
345, dan 359. Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara
lain pasal 1313, 1314, 1315, dan 1319 KUH Perdata.5 Secara formal tindakan euthanasia di
Indonesia belum memiliki dasar hukum sehingga selalu terbuka kemungkinan terjadinya
penuntutan hukum terhadap euthanasia yang dilakukan.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berperan dalam menghadapi perkembangan iptekdok,
telah menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai “Pernyataan
Dokter Indonesia tentang Informed Consent”. Disebutkan di sana, manusia dewasa dan sehat
rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya.
Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien,
walau untuk kepentingan pasien itu sendiri. Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai
“Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum
tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan pengelola rumah
sakit. Sehingga, tiap dokter dan rumah sakit masih memiliki pandangan dan kebijakan yang
berlainan.5

Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 dan 344
KUHP. 5 Dalam hal ini terdapat apa yang disebut ‘concursus idealis’ yang diatur dalam pasal
63 KUHP, yang menyebutkan bahwa: (1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu
aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-
beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. (2) Jika suatu
perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan
pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Pasal 63 (2) KUHP ini
mengandung asas ‘lex specialis derogat legi generalis’, yaitu peraturan yang khusus akan
mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.

2.4 Prosedur Medikolegal

Persetujuan tindakan medik


Peraturan menteri kesehatan No 585/MenKes/Per/IX/1989 tentang persetujuan tindakan
medis
Pasal 1. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
1. Persetujuan tindakan medik/informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarganya atas adsar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut;
2. Tindakan medik adalah suatu tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien berupa
diagnostik atau terapeutik;
3. Tindakan invasif adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi
keutuhan jaringan tubuh;
4. Dokter adalh dokter umum/spesialis dan dokter gigi/dokter gigi spesialis yang bekerja
di rumah sakit, puskesmas, klinik, atau praktek perorangan atau bersama. 4
Pasal 2. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
1. Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
2. Persetujuan dapat diberi secara bertulis atau lisan
3. Persetujuan sebagaiman dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta
risiko yang dapat ditimbulkannya.
4. Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan
serta kondisi dan situasi pasien.4
Pasal 3. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
1. Setiap tindakan medis yang berisiko tinggi harus dengan persetujuan bertulis yang
ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.4
Pasal 4. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
1. Informasi tentang tindakan medik harus diberi kepada pasien, baik diminta maupun
tidak diminta.
2. Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, kecuali bila dokter
menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau
pasien menolak diberikan informasi. 4
Pasal 5. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
1. Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan medik
yang kan dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik
2. Informasi diberikan secara lisan
3. Informasi harus diberiakn jujur dan benar kecuali bila dokter menilai bahwa hal itu
dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien,
4. Dalam hal dimaksud dalam ayat (3) dokter dengan persetujuan pasien dapat
memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat pasien. 4
Pasal 8. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
1. Persetujuan diberiakan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sedar dan
sehat mental
2. Pasien dewasa yang dimaksud ayat (1) adalah yang telah berumur 21 tahun atau telah
menikah. 4

Panitia Pertimbangan Dan Pembinaan Etik Kedokteran


Peraturan menteri kesehatan No 554/MenKes/Per/XII/1982 tentang Panitia pertimbangan
dan Pembinaan Etik Kedokteran
Pasal 8 Permenkes No 554/MenKes/Per/XII/1982
Panitia Pertimbangan Dan Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK) Pusat dalam persoalan Etik
Kedokteran dan khusunya dalam menangani pelanggaran kode etik masing-masing
bekerjasam dengan IDI atau PDGI.4

Pasal 22 Permenkes No 554/MenKes/Per/XII/1982


(1) P3EK Propinsi dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) mengusulkan
kepada Kakanwil DepKes Propinsi untuk mengambil tindakan yang diperlukan terhadap
dokter atau dokter gigi yang bersngkutan
(2) Kakanwil DepKes Propinsi dapat mengambil tindakan berupa peringatan atau tindakan
administratif terhadap dokter atau dokter gigi sesuai dengan berat ringannya pelanggaran.4
Dalam aspek hukum kesehatan, hubungan dokter dengan pasien terjalin dalam ikatan
transaksi atau kontrak terapeutik. Tiap-tiap pihak, yaitu yang memberi pelayanan (medical
providers) dan yang menerima pelayanan (medical receivers) mempunyai hak dan kewajiban
yang harus dihormati. Dalam ikatan demikianlah masalah Persetujuan Tindakan Medik atau
yang sekarang disebut Persetujuan Tindakan Kedokteran (PTM) ini timbul. Artinya, di satu
pihak dokter (tim dokter) mempunyai kewajiban untuk melakukan diagnosis, pengobatan,
dan tindakan medik yang terbaik menurut jalan pikiran dan pertimbangannya (mereka), dan
di lain pihak pasien atau keluarga pasien memiliki hak untuk menentukan pengobatan atau
tindakan medik apa yang akan dilaluinya.4

Masalahnya adalah, tidak semua jalan pikiran dan pertimbangan terbaik dari dokter
akan sejalan dengan apa yang diinginkan' atau dapat diterima oleh pasien atau keluarga
pasien. Hal ini dapat terjadi karena dokter umumnya melihat pasien hanya dari segi medik
saja, sedangkan pasien mungkin melihat dan mempertimbangkan dari segi lain yang tidak
kalah pentingnya, seperti keuangan, psikis, agama, dan pertimbangan keluarga.

Perkembangan terakhir di Indonesia mengenai PTM adalah ditetapkannya Peraturan


Menteri Kesehatan No. 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik
(informed consent).5

2.5 Informed Consent

Informasi dalam lingkup medis sangat penting bagi memberi peluang kepada pasien
untuk mengetahui tentang status sebenar kesehatan diri dan tindakan yang akan dilakukan
terhadap pasien. Para professional dalam pelayanan kesehatan perlu meningkatkan perhatian
terhadap pentingnya informed consent sebagai sebagian dari prosedur pengobatan atau
clinical trial.

Informed Consent adalah suatu persetujuan mengenai tindakan kedokteran yang akan
dilakukan oleh dokter terhadap pasien. Persetujuan boleh dalam bentuk lisan maupun tertulis.
Informed consent ini juga merupakan sebagian dari prosese komunikasi antara dokter-pasien
tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan. Formulir informed consent
merupakan tanda bukti yang disimpan dalam arsip rekam medis pasien.1

Dalam Undang-Undang Republika Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang


Praktik Kedokteran, telah diatur tentang Informed Consent ini pada Pasal 45 tentang
“Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi” yang isinya antara lain: 
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
 diagnosis dan tata cara tindakan medis.
 tujuan tindakan medis yang dilakukan.
 alternative tindakan lain dan resikonya.
 risikonya dan komplikasi yang mungkin terjadi.
 prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis
maupun lisan. 
5. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan. 3
Dalam penjelasan atas UU Nomor 29 Tahun 2004 tersebut disebutkan bahwa pada
prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan atau penolakan tindakan medis adalah
pasien yang bersangkutan. Namun, apabila pasien yang bersangkutan berada di bawah
pengampuan, persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga
terdekat antara lain suami/istri/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara
kandung. 

Jika sesuatu tindakan medis dilakukan tanpa izin pasien, ia digolongkan sebagai
tindakan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily
assault).Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, sebelum dimulai
tindakan (1), persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan oleh yang memberi
persetujuan dan pembatalan tersebut harus secara bertulis oleh yang memberi persetujuaan
(2).3

Yang dimaksud dengan informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau walinya yang berhak kepada dokter untuk melakukan suatu tindakan medis
terhadap pasien sesudah pasien atau wali itu memperoleh informasi lengkap dan memahami
tindakan itu. Dengan kata lain, informed consent juga disebut persetujuan tindakan medis.
Persetujuan (consent) dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1. expressed, dapat secara lisan atau secara tulisan, dan
2. implied, yang dianggap telah diberikan.
Persetujuan yang paling sederhana ialah persetujuan yang diberikan secara lisan,
misal untuk tindakan-tindakan rutin. Tindakan-tindakan, yang lebih kompleks yang
mempunyai risiko yang kadang-kadang tidak dapat diperhitungkan dari awal dan yang dapat
menyebabkan hilangnya nyawa atau cacat permanen, memperoleh persetujuan yang tertulis
agar suatu saat apabila diperlukan persetujuan itu dapat dijadikan bukti.
Namun, persetujuan yang dibuat secara tertulis tersebut tidak dapat dipakai sebagai
alat untuk melepaskan diri dari tuntutan apabila terjadi suatu yang merugikan pasien. Hal ini
harus diingat karena secara etik dokter diharapkan untuk memberikan yang terbaik bagi
pasien. Apabila dalam suatu kasus ditemukan unsur kelalaian dari pihak dokter, maka dokter
tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Begitu pula dari pihak pasien;
mereka tidak bisa langsung menuntut apabila terjadi hal-hal di luar dugaan karena hams ada
bukti-bukti yang menunjukkan adanya kelalaian. Dalam hal ini, harus dibedakan antara
kelalaian dan kegagalan. Apabila hal tersebut merupakan risiko dari tindakan yang telah
disebutkan dalam persetujuan tertulis, maka pasien tidak bisa menuntut. Oleh sebab itu, untuk
memperoleh persetujuan dari pasien dan untuk menghindari adanya salah satu pihak yang
dirugikan, dokter wajib memberikan informasi sejelas-jelasnya agar pasien dapat
mempertimbangkan apa yang akan terjadi terhadap dirinya. Biasanya informasi itu meliputi:
a. sifat dan tujuan tindakan medik;
b. keadaan pasien yang memerlukan tindakan medis;
c. risiko dari tindakan itu apabila dilakukan atau tidak.
Implied consent adalah peristiwa yang terjadi sehari-hari. Misalnya, seorang ibu
datang ke poliklinik kebidanan dengan keluhan terasa ada yang aneh pada alat-alat genital.
Dalam hal ini, ia dianggap telah memberikan persetujuan untuk dilakukan pemeriksaan sesuai
prosedur. Meskipun demikian, secara etik/santunnya dokter diharapkan meminta persetujuan
lisan.
Implied consent juga dapat terjadi pada keadaan gawat darurat apabila pasien dalam
keadaan tidak sadar, kritis, sementara persetujuan dari wali tidak diperoleh karena tidak ada
di tempat. Dalam hal ini dokter secara etik berkewajiban menolong pasien jika memang
diyakini tidak ada orang lain yang sanggup.
Dalam memberikan informasi tentang tindakan medis yang akan dilakukan, harus
diingat kondisi pasien pada saat itu. Mengingat pasien biasanya datang dalam keadaan yang
tidak sehat, diharapkan dokter tidak memberikan informasi yang dapat mempengaruhi
keputusan pasien karena dalam keadaan yang demikian itu pikiran pasien tersebut mudah
terpengaruh. Atau apabila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk menerima informasi
tersebut, diharapkan wali yang berhak dapat menggantikannya. Apabila wali tidak ada dan
kondisi pasien kritis, maka implied consent dapat diambil sebagai pegangan untuk melakukan
tindakan medis.
Selain terhadap kondisi pasien pada saat ia datang, dokter juga harus dapat
menyesuaikan diri terhadap tingkat pendidikan pasien agar pasien mengerti dan memahami
pembicaraan. Pasien mempunyai hak untuk memperoleh informasi dan dokter berkewajiban
menyampaikan informasi tersebut, baik diminta atau tidak, kecuali jika penyampaian
informasi tersebut akan memperburuk kondisi pasien. Ini sesuai dengan hak dan kewajiban
dokter dan pasien.

Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup
untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga
berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat
terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan
sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila
informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.3

Elemen-elemen informed consent

Suatu informed consent harus meliputi :

1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan penyakitnya
2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa besar
kemungkinan keberhasilannya
3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat apabila
penyakit tidak diobati
4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak terapi.3

Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang mungkin terjadi dalam
penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang dilakukan.
HAL-HAL YANG DIINFORMASIKAN

Hasil Pemeriksaan

Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan.
Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah diberikan,
maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.3

 Risiko

Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi
yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian
yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan
berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien. Jika seorang
dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif
pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika seorang
dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat
dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.3

 Alternatif

Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi.
Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari
beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan
terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan
prosedur, keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.3

 Rujukan/ konsultasi

Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan


dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien
tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu
melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter
lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.3

 
Prognosis

            Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan,
biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak
mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa
yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang
dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari
informed consent. 3

2.6 Rekam Medis

Dalam pelayanan kedokteran/kesehatan, terutama yang dilakukan para dokter baik di


rumah sakit maupun praktik pribadi, peran pencatatan rekam medis (RM) sangat penting dan
sangat melekat dengan kegiatan pelayanan tersebut. Dengan demikian, ada ungkapan bahwa
rekam medis adalah orang ketiga pada saat dokter menerima pasien. Hal tersebut dapat
dipahami karena catatan demikian akan berguna untuk merekam keadaan pasien, hasil
pemeriksaan serta tindakan pengobatan yang diberikan pada waktu itu. Catatan atau rekaman
itu menjadi sangat berguna untuk mengingatkan kembali dokter tentang keadaan, hasil
pemeriksaan, dan pengobatan yang telah diberikan bila pasien datang kembali untuk berobat
ulang setelah beberapa hari, beberapa bulan, bahkan setelah beberapa tahun kemudian.
Dengan adanya rekam medis, ia bisa mengingat atau mengenali keadaan pasien saat diperiksa
sehingga lebih mudah melanjutkan strategi pengobatan dan perawatannya. Namun, kini
makin dipahami bahwa peran rekam medis tidak terbatas pada asumsi yang dikemukakan di
atas, tetapi jauh lebih luas. Oleh karena itu, para tenaga kesehatan masa kini harus memahami
dengan baik hal-hal yang berkaitan dengan rekam medis.5

Dalam Undang-undang Kesehatan, walaupun tidak ada bab yang mengatur tentang
rekam medis secara khusus, secara implisit Undang-undang ini jelas membutuhkan adanya
rekam medis yang bermutu sebagai bukti pelaksanaan pelayanan kedokteran/ kesehatan yang
berkualitas.

Kewajiban dokter untruk membuat rekam medis dalam pelayanan kesehatan


dipertegas dalam UUPK seperti terdapat pada pasal 46: (1). Setiap dokter atau dokter gigi
dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis. (2) Rekam medis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima
pelayanan kesehatan. Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda
tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan. Selanjutnya dalam pasal 79
diingatkan tentang sanksi hukum yang cukup berat, yaitu denda paling banyak
Rp.50.000.000,- bila dokter terbukti sengaja tidak membuat rekam medis.

Dalam Permenkes No. 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang RM, disebut pengertian


RM adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.5

Isi RM

Di rumah sakit didapat dua jenis RM, yaitu:

• RM untuk pasien rawat jalan


• RM untuk pasien rawat inap

Untuk pasien rawat jalan, termasuk pasien gawat darurat, RM memiliki informasi
pasien, antara lain:

a. Identitas dan formulir perizinan (lembar hak kuasa)


b. Riwayat penyakit (anamnesis) tentang :
• keluhan utama
• riwayat sekarang
• riwayat penyakit yang pernah diderita
• riwayat keluarga tentang penyakit yang mungkin diturunkan
c. Laporan pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan laboratorium, foto rontgen, scanning,
MRI, dan lain lain.
d. Diagnosis dan/atau diagnosis banding
e. Instruksi diagnostik dan terapeutik dengan tanda tangan pejabat kesehatan yang
berwenang.5

Untuk rawat inap, memuat informasi yang sama dengan yang terdapat dalam rawat
jalan, dengan tambahan :

• Persetujuan tindakan medik


• Catatan konsultasi
• Catatan perawat dan tenaga kesehatan lainnya
• Catatan observasi klinik dan hasil pengobatan
• Resume akhir dan evaluasi pengobatan.5
Secara umum kegunaan RM adalah:

1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ikut ambil
bagian dalam memberi pelayanan, pengobatan dan perawatan pasien. Dengan membaca
RM, dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang terlibat dalam merawat pasien (misalnya,
pada pasien rawat bersama atau dalam konsultasi) dapat mengetahui penyakit,
perkembangan penyakit, terapi yang diberikan, dan lain-lain tanpa harus berjumpa satu
sama lain. Ini tentu merupa-kan sarana komunikasi yang efisien.
2. Sebagai dasar untuk perencanaan pengobatan/perawatan yang harus diberikan kepada
pasien. Segala instruksi kepada perawat atau komunikasi sesama dokter ditulis agar
rencana pengobatan dan perawatan dapat dilaksanakan.
3. Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit dan pengobatan
selama pasien berkunjung/dirawat di rumah sakit. Bila suatu waktu diperlukan bukti
bahwa pasien pernah dirawat atau jenis pelayanan yang diberikan serta perkembangan
penyakit selama dirawat, tentu data dari RM dapat mengungkapkan dengan jelas.
4. Sebagai dasar analisis, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan kepada
pasien. Baik buruknya pelayanan yang diberikan tercermin dari catatan yang ditulis atau
data yang didapati dalam RM. Hal ini tentu dapat dipakai sebagai bahan studi ataupun
evaluasi dari pelayanan yang diberikan.
5. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun dokter dan tenaga
kesehatan lainnya. Bila timbul permasalahan (tuntutan) dari pasien kepada dokter
maupun rumah sakit, data dan keterangan yang diambil dari RM tentu dapat diterima
semua pihak. Di sinilah akan terungkap aspek hukum dari RM tersebut. Bila catatan dan
data terisi lengkap, RM akan menolong semua yang terlibat. Sebaliknya, bila catatan
yang ada hanya sekedarnya saja, apalagi kosong pasti akan merugikan dokter dan rumah
sakit. Penjelasan yang bagaimanapun baiknya tanpa bukti tertulis, pasti sulit dipercaya.
6. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian dan
pendidikan. Setiap penelitian yang melibatkan data klinik pasien hanya dapat diper-
gunakan bila telah direncanakan terlebih dahulu. Oleh karena itu, RM di rumah sakit
pendidikan biasanya tersusun lebih rinci karena sering digunakan untuk bahan penelitian.
7. Sebagai dasar di dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medik pasien. Bila
pasien mau dipulangkan, bagian administrasi keuangan cukup melihat RM, dan segala
biaya yang harus dibayar pasien/keluarga dapat ditentukan.
8. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta sebagai bahan
pertanggungjawaban dan laporan.5

Data dan infomasi yang didapat dari RM sebagai bahan dokumentasi, bila diperlukan
dapat digunakan sebagai dasar untuk pertanggungjawaban atau laporan kepada pihak yang
memerlukan masa mendatang.

2.7 Prosedur Tindakan Medis

Perawatan penderita tergantung pada tingkat staging kanker itu sendiri. Terapi akan
jauh lebih mudah bila kanker ditemukan pada stadium dini. Tingkat kesembuhan kanker
stadium 1 dan 2 masih sangat baik. Namun bila kanker ditemukan pada stadium yang lanjut,
atau ditemukan pada stadium dini dan tidak diobati, maka kemungkinan sembuhnya pun akan
jauh lebih sulit.
Klasifikasi menurut kanker usus besar menurut Dukes :

 Stadium 1 : Kanker terjadi di dalam dinding kolon


 Stadium 2 : Kanker telah menyebar hingga ke lapisan otot kolon
 Stadium 3 : Kanker telah menyebar ke kelenjar-kelenjar limfa
 Stadium 4 : Kanker telah menyebar ke organ-organ lain.6

Tujuan pengobatan kanker ada dua, yaitu kuratif dan paliatif. Pengobatan kuratif
merupakan upaya yang ditujukan untuk mencapai kesembuhan penyakit kanker. Sementara
pengobatan paliatif ditujukan pada penderita kanker yang sudah tidak memungkinkan
kembali dicapainya kesembuhan.

Di antara pilihan terapi untuk penderitanya, pilihan operasi masih menduduki


peringkat pertama, dengan ditunjang oleh kemoterapi dan/atau radioterapi (mungkin
diperlukan).

Pemeriksaan

Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan abdomen dan rektal

Pemeriksaan Penunjang meliputi :

 Pengujian darah samar


 Enema barium: tumor dan kelainan lain pada kolon memberikan gambaran bayangan
gelap pada gambaran rontgen.
 Kolonoskopi.
 Biopsi: ditemukan adenokarsinoma.
 Ultrasonografi: melihat metastasis kanker ke kelenjar getah bening di hati dan
abdomen.
 CT scan
 Pemeriksaan antigen karsinoembrionik (CEA)6

Indikasi / Penatalaksanaan Medis

Pengobatan pada pasien tergantung pada tahap penyakit dan komplikasi yang
berhubungan. Endoskopi, ultrasonografi dan laparoskopi telah terbukti berhasil dalam
pentahapan kanker kolorektal. Pengobatan medis untuk kanker kolorektal paling sering dalam
bentuk pendukung atau terapi adjuvan. Terapi adjuvan biasanya diberikan selain pengobatan
bedah. Pilihan mencakup kemoterapi, terapi radiasi atau imunoterapi.

Medika Mentosa

1. Kemoterapi
- 5-flurouracil merupakan obat pilihan untuk kemoterapi karsinoma kolon.
- Lemavisole serta leucovorin digunakan untuk pasien stadium 3 pasca operasi.
2. Agen biologic
- Contoh obat yang digunakan adalah bevacizumab (Avastin) dan Panitumumab
(Vectibix).
3. Radioterapi
- Peran radioterapi dalam pengobatan kanker kolon masih terbatas tetapi radioterapi
tetap menjadi modalitas terapi standar. Untuk memperkecil tumor, mencapai hasil
yang lebih baik dari pembedahan, dan untuk mengurangi resiko kekambuhan. Untuk
tumor yang tidak dioperasi atau tidak dapat disekresi, radiasi digunakan untuk
menghilangkan gejala secara bermakna
4. Terapi simptomatik
- Termasuk antibiotic, analgesik dan lain-lain. Antara analgesik yang dugunakan adalah
golongan non steroid seperti aspirin dan ibuprofen dan golongan opiod seperti morfin,
fentanil, oxycodone,codein dan tramadol. Pemberian dimulai dengan analgesik lemah
dosis rendah dan ditingkatkan sesuai kebutuhan pasien.6

Non Medika Mentosa

1. Pembedahan
- Pembedahan masih merupakan terapi pilihan untuk memperpanjang kehidupan
pasien. Prosedur pembedahan pilihan adalah sebagai berikut (Doughty & Jackson,
1993) :
 Reseksi segmental dengan anostomosis (pengangkatan tumor dan porsi usus
pada sisi pertumbuhan, pembuluh darah dan nodus limfatik)
 Reseksi abdominoperineal dengan kolostomi sigmoid isbandin (pengangkatan
tumor dan porsi sigmoid dan semua isban serta sfingter anal )
 Kolostomi sementara diikuti dengan reseksi segmental dan anostomosis serta
reanastomosis lanjut dari kolostomi (memungkinkan dekompresi usus awal
dan persiapan usus sebelum reseksi)
 Kolostomi isbandin atau ileostomi (untuk menyembuhkan lesi obstruksi yang
tidak dapat direseksi). 6

2. Diet
- Berdasarkan kajian, pasien yang mengamalkan pemakanan daging merah, biji-bijian,
lemak dan makanan bergula tinggi lebih rentan untuk kambuh isbanding pasien yang
mengamalkan diet tinggi serat dan protein. 6

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, seorang dokter itu haruslah memastikan dirinya berada dalam
keadaan yang optimum dengan sentiasa menerapkan etika profesi kedokteran yang
berlandaskan konsep dasar moral yaitu prinsip otonomi, prinsip beneficence, prinsip non-
maleficence, dan prinsip justice. Suatu tindakan medis terhadap pasien tanpa memperoleh
persetujuan terlebih dahulu dari pasien tersebut dapat dianggap sebagai penyerangan atas hak
orang lain atau melanggar hukum. Namun, euthanasia dari segi hukum yang antaranya
dibahas pada Pasal 338, 340, 344, 345, dan 359, tetap dianggap sebagai perbuatan yang
dilarang dan tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas
permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana,
yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan
tersebut Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan eutanasia.

Anda mungkin juga menyukai