ISI
2.1 Pendahuluan
Carsinoma colon atau kanker usu besar adalah suatu bentuk keganasan yang terjadi
pada kolon, rektum, dan appendix (usus buntu). Di negara maju, kanker ini menduduki
peringkat ke tiga yang paling sering terjadi, dan menjadi penyebab kematian yang utama di
dunia barat.
Mula-mula gejalanya tidak jelas, seperti berat badan menurun (sebagai gejala umum
keganasan) dan kelelahan yang tidak jelas sebabnya. Setelah berlangsung beberapa waktu
barulah muncul gejala-gejala lain yang berhubungan dengan keberadaan tumor dalam ukuran
yang bermakna di usus besar. Makin dekat lokasi tumor dengan anus biasanya gejalanya
makin banyak. Bila kita berbicara tentang gejala tumor usus besar, gejala tersebut terbagi
tiga, yaitu gejala lokal, gejala umum, dan gejala penyebaran (metastasis).
Gejala lokalnya adalah, antara lain :
Perubahan kebiasaan buang air.
Perubahan frekuensi buang air, berkurang (konstipasi) atau bertambah (diare)
Sensasi seperti belum selesai buang air, (masih ingin tapi sudah tidak bisa keluar) dan
perubahan diameter serta ukuran kotoran (feses). Keduanya adalah ciri khas dari
kanker kolorektal
Perubahan wujud fisik kotoran/feses
Feses bercampur darah atau keluar darah dari lubang pembuangan saat buang air
besar, feses bercampur lender.
Feses berwarna kehitaman, biasanya berhubungan dengan terjadinya perdarahan di
saluran pencernaan bagian atas.
Timbul rasa nyeri disertai mual dan muntah saat buang air besar, terjadi akibat
sumbatan saluran pembuangan kotoran oleh massa tumor.
Adanya benjolan pada perut yang mungkin dirasakan oleh penderita.
Timbul gejala-gejala lainnya di sekitar lokasi tumor, karena kanker dapat tumbuh
mengenai organ dan jaringan sekitar tumor tersebut, seperti kandung kemih (timbul
darah pada air seni, timbul gelembung udara, dan lain-lain), vagina (keputihan yang
berbau, muncul lendir berlebihan, dan lain-lain). Gejala-gejala ini terjadi belakangan,
menunjukkan semakin besar tumor dan semakin luas penyebarannya.
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu
sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian
baik-buruk dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang
cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah
teori deontologi dan teleologi. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, Deontologi
mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri
(I Kant), sedangkan teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat
hasilnya atau akibatnya (D Hume, J Bentham, JS Mills). Deontologi lebih mendasarkan
kepada ajaran agama, tradisi dan budaya, sedangkan teleologi lebih ke arah penalaran
(reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (aliran utilitarian).1
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa: “seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang
dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai
dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama.1
KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan
untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya
seorang dokter tidak boleh melakukan:
KODEKI berisikan:
1) KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1:
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter. 2
Pasal 2:
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi yang tertinggi. 2
Pasal 3:
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. 2
Pasal 4:
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri. 2
Pasal 5:
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik
hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan
pasien. 2
Pasal 6:
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang
dapat menimbulkan keresahan masyarakat. 2
Pasal 7:
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya. 2
Pasal 7a:
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia. 2
Pasal 7b:
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan
berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam
karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam
menangani pasien. 2
Pasal 7c:
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien. 2
Pasal 7d:
Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.2
Pasal 8:
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha
menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.2
Pasal 9:
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.2
Pasal 10:
Setiap dokten wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien kepada
dokten yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut. 2
Pasal 11:
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah
lainnya. 2
Pasal 12:
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. 2
Pasal 13:
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya. 2
Pasal 14:
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 15:
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis. 2
Pasal 16:
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
Pasal 17:
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran/kesehatan. 2
Bioetika adalah salah satu cabang dari etik normatif di atas. Bioetik atau Biomedical
ethics adalah etik yang berhubungan dengan praktek kedokteran dan atau penelitian di bidang
biomedis.
Pertanyaan bioetik juga dapat menyangkut tentang dapat dibenarkan atau tidaknya
suatu hukum dilihat dari segi etik, seperti: Apakah dapat dibenarkan membuat suatu
peraturan perundang-undangan yang mewajibkan seseorang untuk menerima tindakan medis
yang bersifat life-saving, meskipun bertentangan dengan keinginannya? Apakah dapat
dibenarkan secara etik apabila dibuat suatu hukum yang mengharuskan memasukkan
seseorang sakit jiwa ke dalam rumah sakit, meskipun bertentangan dengan keinginan pasien ?
Apakah dapat dibenarkan membuat suatu peraturan yang membolehkan tindakan medis apa
saja yang diminta oleh pasien kepada dokternya, meskipun sebenarnya tidak ada indikasi ?
1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian
melahirkan doktrin informed consent;
2. Princip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan
ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan
saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi
buruknya (mudharat);
3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai "primum non nocere" atau
"above all do no harm".
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).
Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka),
privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) dan
fidelity (loyalitas dan promise keeping).1
Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus dijadikan pedoman dalam
mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai
panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct). Sebagaimana diuraikan
pada pendahuluan, nilai-nilai dalam etika profesi tercermin di dalam sumpah dokter dan kode
etik kedokteran. Sumpah dokter berisikan suatu "kontrak moral" antara dokter dengan Tuhan
sang penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan "kontrak kewajiban moral"
antara dokter dengan peer-group-nya, yaitu masyarakat profesinya.
Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban moral yang
melekat kepada para dokter. Meskipun kewajiban tersebit bukanlah kewajiban hukum
sehingga tidak dapat dipaksakan secara hukum, namun kewajiban moral tersebut haruslah
menjadi “pemimpin” dari kewajiban dalam hukum kedokteran. Hukum kedokteran yang baik
haruslah merupakan hukum yang etis.1
Pasien berhak menolak tindakan yang dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri
pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang
jelas tentang penyakitnya.
Pemberian obat-obatan juga harus dengan persetujuan pasien dan bila pasien meminta
untuk dihentikan pengobatan, maka terapi harus dihentikan kecuali dengan penghentian
terapi akan mengakibatkan keadaan gawat darurat atau kehilangan nyawa pasien
Dalam Pedoman Penegakkan Disiplin Kedokteran tahun 2008 seorang dokter dapat
dikategorikan melakukan bentuk pelanggaran disiplin kedokteran apabila tidak memberikan
penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information) kepada pasien atau
keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.3,4
Barangsiapa karena kelalainnya menyebabkan matinya orang lain , diancam dengan pidana
penjarapaling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.4
Pasal 360 KUHP
(1) Barangsiapa karena kelalainnya menyebabkan orang lain menderita luka berat,diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu
tahun
(2) Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa sehingga
menderita sakit untuk sementara waktu atau tidak dapat menjalankan jabatan atau
perkejaannya selama waktu tertenu diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan atau pidana kurungan enam bulan atau denda paling tinggi empat ribu lima ratus
rupiah.4
(1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
(2) Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
(3) Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. 4
Pasal 1365, 1366 dan 1370 KUHP Perdata dan UU Kesehatan 54 dan 55 mencantumkan
mengenai sanksi terhadap kerugian yang disebabkan oleh kelalaian. 4
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. 4
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya , tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalainnnya atau kurang
hati – hatinya. 4
Pasal 1370 KUH Perdata
Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain ) dengan sengaja atau kurang hati
– hatinya seseorang, maka suami dan istri yang ditinggalkan, anak atau korban orang tua
yang biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban mempunyai hakuntuk menuntut suatu
ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukanya dan kekayaan kedua belah pihak serta
menurut keadaan. 4
Pasal 54 UU Kesehatan
(1) Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
(2) Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, fungsi, dan tata kerja MDTK ditetapkan oleh
Keppres. 4
(1) Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakantugas
sesuai dengan profesinya.
(2) Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar
profesi dan mengormati hak pasien.
(3) Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pembuktian, dapat melakukan tindakan medis
terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang
bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai standar profesi dan hak – hak pasien sebagaimana dimaksud dalam
Ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 4
Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan. 4
Pasal 344 KUHP membicarakan sanksi terkait euthanasia:
Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang paling jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun. 4
2.3.3 Hak Pasien atas Informasi Penyakit dan Tindakan Medis dari Aspek Hukum
Kedokteran.
Pasal 344 KUHP. Yang menyatakan : “Barang siapa merampas nyawa orang lain
atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.6 Maka disimpulkan, bahwa
pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan
demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai
perbuatan yang dilarang dan tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang”
sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai
tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut5. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, “
Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun”. 4
Pasal 340 KUHP menyatakan, “ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana
lebih dulu merampas nyawa oranglain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua
puluh tahun”. 4
Pasal 356 (3) KUHP “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan
yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”. 4
Pasal 304 KUHP dinyatakan, “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau
membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah” 4.
Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut
dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”. 4
KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya
euthanasia aktif dan dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja
menghilangkan nyawa seseorang. Akibatnya, dokter sering dipersalahkan dalam tindakan
euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli
apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk
mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang
belum diketahui pengobatannya. 5
Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar
bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan tidak menghendaki kematiannya seperti pasien
yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam
KUHP. Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia antara lain 338, 340, 344,
345, dan 359. Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara
lain pasal 1313, 1314, 1315, dan 1319 KUH Perdata.5 Secara formal tindakan euthanasia di
Indonesia belum memiliki dasar hukum sehingga selalu terbuka kemungkinan terjadinya
penuntutan hukum terhadap euthanasia yang dilakukan.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berperan dalam menghadapi perkembangan iptekdok,
telah menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai “Pernyataan
Dokter Indonesia tentang Informed Consent”. Disebutkan di sana, manusia dewasa dan sehat
rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya.
Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien,
walau untuk kepentingan pasien itu sendiri. Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai
“Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum
tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan pengelola rumah
sakit. Sehingga, tiap dokter dan rumah sakit masih memiliki pandangan dan kebijakan yang
berlainan.5
Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 dan 344
KUHP. 5 Dalam hal ini terdapat apa yang disebut ‘concursus idealis’ yang diatur dalam pasal
63 KUHP, yang menyebutkan bahwa: (1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu
aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-
beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. (2) Jika suatu
perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan
pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Pasal 63 (2) KUHP ini
mengandung asas ‘lex specialis derogat legi generalis’, yaitu peraturan yang khusus akan
mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.
Masalahnya adalah, tidak semua jalan pikiran dan pertimbangan terbaik dari dokter
akan sejalan dengan apa yang diinginkan' atau dapat diterima oleh pasien atau keluarga
pasien. Hal ini dapat terjadi karena dokter umumnya melihat pasien hanya dari segi medik
saja, sedangkan pasien mungkin melihat dan mempertimbangkan dari segi lain yang tidak
kalah pentingnya, seperti keuangan, psikis, agama, dan pertimbangan keluarga.
Informasi dalam lingkup medis sangat penting bagi memberi peluang kepada pasien
untuk mengetahui tentang status sebenar kesehatan diri dan tindakan yang akan dilakukan
terhadap pasien. Para professional dalam pelayanan kesehatan perlu meningkatkan perhatian
terhadap pentingnya informed consent sebagai sebagian dari prosedur pengobatan atau
clinical trial.
Informed Consent adalah suatu persetujuan mengenai tindakan kedokteran yang akan
dilakukan oleh dokter terhadap pasien. Persetujuan boleh dalam bentuk lisan maupun tertulis.
Informed consent ini juga merupakan sebagian dari prosese komunikasi antara dokter-pasien
tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan. Formulir informed consent
merupakan tanda bukti yang disimpan dalam arsip rekam medis pasien.1
Jika sesuatu tindakan medis dilakukan tanpa izin pasien, ia digolongkan sebagai
tindakan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily
assault).Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, sebelum dimulai
tindakan (1), persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan oleh yang memberi
persetujuan dan pembatalan tersebut harus secara bertulis oleh yang memberi persetujuaan
(2).3
Yang dimaksud dengan informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau walinya yang berhak kepada dokter untuk melakukan suatu tindakan medis
terhadap pasien sesudah pasien atau wali itu memperoleh informasi lengkap dan memahami
tindakan itu. Dengan kata lain, informed consent juga disebut persetujuan tindakan medis.
Persetujuan (consent) dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1. expressed, dapat secara lisan atau secara tulisan, dan
2. implied, yang dianggap telah diberikan.
Persetujuan yang paling sederhana ialah persetujuan yang diberikan secara lisan,
misal untuk tindakan-tindakan rutin. Tindakan-tindakan, yang lebih kompleks yang
mempunyai risiko yang kadang-kadang tidak dapat diperhitungkan dari awal dan yang dapat
menyebabkan hilangnya nyawa atau cacat permanen, memperoleh persetujuan yang tertulis
agar suatu saat apabila diperlukan persetujuan itu dapat dijadikan bukti.
Namun, persetujuan yang dibuat secara tertulis tersebut tidak dapat dipakai sebagai
alat untuk melepaskan diri dari tuntutan apabila terjadi suatu yang merugikan pasien. Hal ini
harus diingat karena secara etik dokter diharapkan untuk memberikan yang terbaik bagi
pasien. Apabila dalam suatu kasus ditemukan unsur kelalaian dari pihak dokter, maka dokter
tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Begitu pula dari pihak pasien;
mereka tidak bisa langsung menuntut apabila terjadi hal-hal di luar dugaan karena hams ada
bukti-bukti yang menunjukkan adanya kelalaian. Dalam hal ini, harus dibedakan antara
kelalaian dan kegagalan. Apabila hal tersebut merupakan risiko dari tindakan yang telah
disebutkan dalam persetujuan tertulis, maka pasien tidak bisa menuntut. Oleh sebab itu, untuk
memperoleh persetujuan dari pasien dan untuk menghindari adanya salah satu pihak yang
dirugikan, dokter wajib memberikan informasi sejelas-jelasnya agar pasien dapat
mempertimbangkan apa yang akan terjadi terhadap dirinya. Biasanya informasi itu meliputi:
a. sifat dan tujuan tindakan medik;
b. keadaan pasien yang memerlukan tindakan medis;
c. risiko dari tindakan itu apabila dilakukan atau tidak.
Implied consent adalah peristiwa yang terjadi sehari-hari. Misalnya, seorang ibu
datang ke poliklinik kebidanan dengan keluhan terasa ada yang aneh pada alat-alat genital.
Dalam hal ini, ia dianggap telah memberikan persetujuan untuk dilakukan pemeriksaan sesuai
prosedur. Meskipun demikian, secara etik/santunnya dokter diharapkan meminta persetujuan
lisan.
Implied consent juga dapat terjadi pada keadaan gawat darurat apabila pasien dalam
keadaan tidak sadar, kritis, sementara persetujuan dari wali tidak diperoleh karena tidak ada
di tempat. Dalam hal ini dokter secara etik berkewajiban menolong pasien jika memang
diyakini tidak ada orang lain yang sanggup.
Dalam memberikan informasi tentang tindakan medis yang akan dilakukan, harus
diingat kondisi pasien pada saat itu. Mengingat pasien biasanya datang dalam keadaan yang
tidak sehat, diharapkan dokter tidak memberikan informasi yang dapat mempengaruhi
keputusan pasien karena dalam keadaan yang demikian itu pikiran pasien tersebut mudah
terpengaruh. Atau apabila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk menerima informasi
tersebut, diharapkan wali yang berhak dapat menggantikannya. Apabila wali tidak ada dan
kondisi pasien kritis, maka implied consent dapat diambil sebagai pegangan untuk melakukan
tindakan medis.
Selain terhadap kondisi pasien pada saat ia datang, dokter juga harus dapat
menyesuaikan diri terhadap tingkat pendidikan pasien agar pasien mengerti dan memahami
pembicaraan. Pasien mempunyai hak untuk memperoleh informasi dan dokter berkewajiban
menyampaikan informasi tersebut, baik diminta atau tidak, kecuali jika penyampaian
informasi tersebut akan memperburuk kondisi pasien. Ini sesuai dengan hak dan kewajiban
dokter dan pasien.
Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup
untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga
berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat
terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan
sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila
informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.3
1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan penyakitnya
2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa besar
kemungkinan keberhasilannya
3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat apabila
penyakit tidak diobati
4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak terapi.3
Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang mungkin terjadi dalam
penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang dilakukan.
HAL-HAL YANG DIINFORMASIKAN
Hasil Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan.
Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah diberikan,
maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.3
Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi
yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian
yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan
berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien. Jika seorang
dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif
pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika seorang
dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat
dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.3
Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi.
Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari
beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan
terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan
prosedur, keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.3
Rujukan/ konsultasi
Prognosis
Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan,
biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak
mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa
yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang
dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari
informed consent. 3
Dalam Undang-undang Kesehatan, walaupun tidak ada bab yang mengatur tentang
rekam medis secara khusus, secara implisit Undang-undang ini jelas membutuhkan adanya
rekam medis yang bermutu sebagai bukti pelaksanaan pelayanan kedokteran/ kesehatan yang
berkualitas.
Isi RM
Untuk pasien rawat jalan, termasuk pasien gawat darurat, RM memiliki informasi
pasien, antara lain:
Untuk rawat inap, memuat informasi yang sama dengan yang terdapat dalam rawat
jalan, dengan tambahan :
1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ikut ambil
bagian dalam memberi pelayanan, pengobatan dan perawatan pasien. Dengan membaca
RM, dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang terlibat dalam merawat pasien (misalnya,
pada pasien rawat bersama atau dalam konsultasi) dapat mengetahui penyakit,
perkembangan penyakit, terapi yang diberikan, dan lain-lain tanpa harus berjumpa satu
sama lain. Ini tentu merupa-kan sarana komunikasi yang efisien.
2. Sebagai dasar untuk perencanaan pengobatan/perawatan yang harus diberikan kepada
pasien. Segala instruksi kepada perawat atau komunikasi sesama dokter ditulis agar
rencana pengobatan dan perawatan dapat dilaksanakan.
3. Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit dan pengobatan
selama pasien berkunjung/dirawat di rumah sakit. Bila suatu waktu diperlukan bukti
bahwa pasien pernah dirawat atau jenis pelayanan yang diberikan serta perkembangan
penyakit selama dirawat, tentu data dari RM dapat mengungkapkan dengan jelas.
4. Sebagai dasar analisis, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan kepada
pasien. Baik buruknya pelayanan yang diberikan tercermin dari catatan yang ditulis atau
data yang didapati dalam RM. Hal ini tentu dapat dipakai sebagai bahan studi ataupun
evaluasi dari pelayanan yang diberikan.
5. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun dokter dan tenaga
kesehatan lainnya. Bila timbul permasalahan (tuntutan) dari pasien kepada dokter
maupun rumah sakit, data dan keterangan yang diambil dari RM tentu dapat diterima
semua pihak. Di sinilah akan terungkap aspek hukum dari RM tersebut. Bila catatan dan
data terisi lengkap, RM akan menolong semua yang terlibat. Sebaliknya, bila catatan
yang ada hanya sekedarnya saja, apalagi kosong pasti akan merugikan dokter dan rumah
sakit. Penjelasan yang bagaimanapun baiknya tanpa bukti tertulis, pasti sulit dipercaya.
6. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian dan
pendidikan. Setiap penelitian yang melibatkan data klinik pasien hanya dapat diper-
gunakan bila telah direncanakan terlebih dahulu. Oleh karena itu, RM di rumah sakit
pendidikan biasanya tersusun lebih rinci karena sering digunakan untuk bahan penelitian.
7. Sebagai dasar di dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medik pasien. Bila
pasien mau dipulangkan, bagian administrasi keuangan cukup melihat RM, dan segala
biaya yang harus dibayar pasien/keluarga dapat ditentukan.
8. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta sebagai bahan
pertanggungjawaban dan laporan.5
Data dan infomasi yang didapat dari RM sebagai bahan dokumentasi, bila diperlukan
dapat digunakan sebagai dasar untuk pertanggungjawaban atau laporan kepada pihak yang
memerlukan masa mendatang.
Perawatan penderita tergantung pada tingkat staging kanker itu sendiri. Terapi akan
jauh lebih mudah bila kanker ditemukan pada stadium dini. Tingkat kesembuhan kanker
stadium 1 dan 2 masih sangat baik. Namun bila kanker ditemukan pada stadium yang lanjut,
atau ditemukan pada stadium dini dan tidak diobati, maka kemungkinan sembuhnya pun akan
jauh lebih sulit.
Klasifikasi menurut kanker usus besar menurut Dukes :
Tujuan pengobatan kanker ada dua, yaitu kuratif dan paliatif. Pengobatan kuratif
merupakan upaya yang ditujukan untuk mencapai kesembuhan penyakit kanker. Sementara
pengobatan paliatif ditujukan pada penderita kanker yang sudah tidak memungkinkan
kembali dicapainya kesembuhan.
Pemeriksaan
Pengobatan pada pasien tergantung pada tahap penyakit dan komplikasi yang
berhubungan. Endoskopi, ultrasonografi dan laparoskopi telah terbukti berhasil dalam
pentahapan kanker kolorektal. Pengobatan medis untuk kanker kolorektal paling sering dalam
bentuk pendukung atau terapi adjuvan. Terapi adjuvan biasanya diberikan selain pengobatan
bedah. Pilihan mencakup kemoterapi, terapi radiasi atau imunoterapi.
Medika Mentosa
1. Kemoterapi
- 5-flurouracil merupakan obat pilihan untuk kemoterapi karsinoma kolon.
- Lemavisole serta leucovorin digunakan untuk pasien stadium 3 pasca operasi.
2. Agen biologic
- Contoh obat yang digunakan adalah bevacizumab (Avastin) dan Panitumumab
(Vectibix).
3. Radioterapi
- Peran radioterapi dalam pengobatan kanker kolon masih terbatas tetapi radioterapi
tetap menjadi modalitas terapi standar. Untuk memperkecil tumor, mencapai hasil
yang lebih baik dari pembedahan, dan untuk mengurangi resiko kekambuhan. Untuk
tumor yang tidak dioperasi atau tidak dapat disekresi, radiasi digunakan untuk
menghilangkan gejala secara bermakna
4. Terapi simptomatik
- Termasuk antibiotic, analgesik dan lain-lain. Antara analgesik yang dugunakan adalah
golongan non steroid seperti aspirin dan ibuprofen dan golongan opiod seperti morfin,
fentanil, oxycodone,codein dan tramadol. Pemberian dimulai dengan analgesik lemah
dosis rendah dan ditingkatkan sesuai kebutuhan pasien.6
1. Pembedahan
- Pembedahan masih merupakan terapi pilihan untuk memperpanjang kehidupan
pasien. Prosedur pembedahan pilihan adalah sebagai berikut (Doughty & Jackson,
1993) :
Reseksi segmental dengan anostomosis (pengangkatan tumor dan porsi usus
pada sisi pertumbuhan, pembuluh darah dan nodus limfatik)
Reseksi abdominoperineal dengan kolostomi sigmoid isbandin (pengangkatan
tumor dan porsi sigmoid dan semua isban serta sfingter anal )
Kolostomi sementara diikuti dengan reseksi segmental dan anostomosis serta
reanastomosis lanjut dari kolostomi (memungkinkan dekompresi usus awal
dan persiapan usus sebelum reseksi)
Kolostomi isbandin atau ileostomi (untuk menyembuhkan lesi obstruksi yang
tidak dapat direseksi). 6
2. Diet
- Berdasarkan kajian, pasien yang mengamalkan pemakanan daging merah, biji-bijian,
lemak dan makanan bergula tinggi lebih rentan untuk kambuh isbanding pasien yang
mengamalkan diet tinggi serat dan protein. 6
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, seorang dokter itu haruslah memastikan dirinya berada dalam
keadaan yang optimum dengan sentiasa menerapkan etika profesi kedokteran yang
berlandaskan konsep dasar moral yaitu prinsip otonomi, prinsip beneficence, prinsip non-
maleficence, dan prinsip justice. Suatu tindakan medis terhadap pasien tanpa memperoleh
persetujuan terlebih dahulu dari pasien tersebut dapat dianggap sebagai penyerangan atas hak
orang lain atau melanggar hukum. Namun, euthanasia dari segi hukum yang antaranya
dibahas pada Pasal 338, 340, 344, 345, dan 359, tetap dianggap sebagai perbuatan yang
dilarang dan tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas
permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana,
yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan
tersebut Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan eutanasia.