Anda di halaman 1dari 8

SUMPAH DOKTER INDONESIA

DAN
KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA

HERMANSYAH

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Lafal sumpah dokter sesuai dengan Deklarasi Geneva (1948) telah diterjemahkan
ke dalam Bahasa Indonesia oleh majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara Departemen
Kesehatan RI dan Panitia Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Lafal sumpah ini diucapkan pertama kali oleh lulusan Fakultas Kedokteran UI pada tahun
1959. lafal sumpah ini kemudian dikukuhkan dengan Peraturan Pemerintah No. 26 tahun
1960.

Sumpah dokter di Indonesia diucapkan pada suatu upacara di Fakultas Kedokteran


setelah Sarjana Kedokteran (S.Ked) lulus ujian profesinya. Acara ini dihadiri oleh
pimpinan fakultas, senat fakultas, pemuka agama, para dokter baru beserta keluarganya.
Sebelum para dokter baru mengucapkan butir-butir lafal sumpah tersebut, bagi yang
beragama Islam mengucapkan : Wallahi, Wabillahi, Wathallahi, Demi Allah, saya
bersumpah”, bagi yang beragama Katolik mengucapkan juga “Demi Allah saya
bersumpah”, bagi yang beragama Kristen Protestan : “Saya berjanji”, bagi yang
beragama Budha : “Om Atah Parama Wisesa Om Shanti Shanti Om” dan bagi yang
beragama Hindu : “Mai Kasm Khanahan”. Setelah para dokter baru mengucapkan lafal
sumpahnya, mereka menandatangani berita acara sumpah dokter beserta saksi-saksi.

Jika dibandingkan Lafal Sumpah Hippokrates dengan Lafal Sumpah Dokter


Indonesia, maka dapat dilihat bahwa Lafal Sumpah Dokter Indonesia mengandung
intisari yang berakar dari Lafal Sumpah Hippokrates. Lafal Sumpah Hippokrates itu
mengandung butir-butir yang berkaitan dengan larangan melakukan euthanasia aktif,
abortus provocatus, dan melakukan pelecehan seksual. Juga mengandung kewajiban
melakukan rujukan jika tidak mampu dan memelihara rahasia pekerjaan dokter.

Pada Musyawarah kerja Nasinal Etik kedokteran ke-2 yang diselenggarakan di


Jakarta 14-16 Desember 1981 oleh Departemen Kesehatan RI telah disepakati beberapa
perubahan dan penyempurnaan lafal sumpah dokter, sehubungan dengan berkembangnya
bidan kesehatan masyarakat. Lafal sumpah dokter tersebut berbunyi sebagai berikut :
” Demi Allah saya bersumpah/berjanji”, bahwa :
•Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.
•Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan
kedokteran.
Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila,
sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter.
Saya akan menjalankan tugas saya dengan mengutamakan kepentingan
masyarakat.
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya
dan keilmuan saya sebagai dokter.
Saya akan tidak mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu
yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam.
Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita.
Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh
oleh pertimbangan keagamaan, kesukuan, perbedaan kelamin, politik kepartaian,
atau kedudukan sosial dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita.

Saya akan menghormati setiap jidup insani mulai saat pembuahan.


Saya akan memberikan kepada guru-guru dan bekas guru-guru saya
penghormatan dan pernyataan terima aksih yang selayaknya.
Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagaimana saya sendiri ingin
diperlakukan.
Saya akan menaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan
kehormatan diri saya.

Tiap pembuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan makhluk
insani, baik fisik maupun psikik, tidak boleh diberikan kecuali untuk kepentingan
penderita.
Upaya dokter dalam pelayanan kedokteran ialah menyembuhkan pasien, atau
mengurangi penderitaannya dan setidak-tidaknya menggembirakannya, jika harapan
untuk sembuh telah tipis. Selain itu harus diperhatikan bahwa penderitaan fisik dengan
faktor psikik sangat erat, oleh karena itu pendekatan yang dilakukan seharusnya holistik.
Dokter harus mampu mempertebal keyakinan pasien bahwa ia dapat sembuh dan
mengalihkan perhatian pasien yang depresi atau cemas ke hal yang memeberi harapan
dan menimbulkan optimisme.

Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan


setiap penemuan atau tehnik baru yang belum teruji kebenarannya.
Penemuan baru atau pengobatan baru yang telah diuji kebenarannya melalui
penelitian klinik perlu disebarluaskan melalui presentasi di forum ilmiah atau publikasi di
majalah-majalah kedokteran, dengan tujuan memperoleh tanggapan sejawat sebelum
dipraktekkan dalam pelayanan kedokteran.
KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA (KODEKI)

Sejak awal sejarah umat manusia, sudah dikenal hubungan kepercayaan anatra dua
insan yaitu manusia penyembuh dan penderita. Dalam zaman modern, hubungan ini
disebut transaksi atau kontrak terapetik antara dokter dan pasien. Hubungan ini dilakukan
secara konfidensial, dalam suasana saling percaya mempercayai dan hormat
menghormati.

Sejak terwujudnya praktek kedokteran, masyarakat mengetahu dan mengakui


adanya beberapa sifat mendasar yang emlekat secara mutlak pada diri seorang dokter
yang baik dan bijaksana, yaitu kemurnian niat, kesungguhan kerja, kerendahan hati serta
integritas ilmiah dan moral yang tidakdiragukan.

KODEKI terdiri dari 4 kewajiban :

Kewajiban Umum
Kewajiban dokter terhadap penderita
Kewajiban dokter terhadap teman sejawat
Kewajiban dokter terhadap diri sendiri
1. Kewajiban Umum

–Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah


Dokter.
–Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran yang
tertinggi.
–Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh perimbangan keuntungan pribadi.

Perbuatan berikut dipandang bertentangan dengan etik:

Setiap perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri.


Secara sendiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuannya dan keterampilan
kedokteran dalam segala bentuk, tanpa kebebasan profesi.
Menerima imbalan selain dari pada yang layak sesuai dengan jasanya, kecuali
dengan keikhlasan, sepengetahuan dan atau kehendak penderita.

Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan makhluk
insani, baik jasmani maupun rohani, hanya diberikan untuk kepentingan penderita.
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan
menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji
kebenarannya.
Seorang dokter hanya memberi keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan
kebenarannya.

Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus mengutamakan/


mendahulukan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan
kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), serta
berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya.
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan
bidang lainnya serta masyarakat, harus memelihara saling pengertian sebaik-
baiknya.

2. Kewajiban dokter terhadap penderita

–Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup


makhluk insani.
–Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
keterampilannya untuk kepentingan penderita.
–Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka
ia wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang mempunyai keahlian dalam
penyakit tersebut.

–Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada penderita agar senantiasa


dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau
dalam masalah lainnya.
–Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia.
–Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.

3. Kewajiban dokter terhadap teman sejawat


–Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
–Setiap dokter tidak boleh mengambil alih penderita dari teman sejawatnya tanpa
persetujuan.

4. Kewajiban dokter terhadap diri sendiri


–Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
–Setiap dokter hendaknya mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap
setia kepada cita-citanya yang luhur.
THE INDONESIAN PHYSICIAN OATH AND INDONESIAN MEDICAL
CODE OF ETHICS

BY
HERMANSYAH

The Indonesian Physician OATH

Hippocrates OATS
Word Medical Association (WMA)
Declaration of Geneva 1948

The Indonesian Physician OATH

The Indonesian Physician’s OATH content :


Duties to the patients.
Duties to the colleagues.
Duties to the teacher.
Against abortion.
Against Euthanasia.
Duties to keep secret what has been confided.
The Indonesian Physician OATH
•I swear or promise that I will exercise the art of medicine as well as I can at the
service of my fellow human being.
•I will care for the sick, enhance health, and alleviate suffering.
•I will put the interest of the patient first and respect his ideas and attitudes.
•I will not harm the patient. I will listen and inform him adequately.
•I will keep secret what has been confided to me.

6. I will enhance my medical knowledge and that of others.


7. I recognized the limits of may possibilities.
8. I will take an open assessable stance, and I know my responsibility to society.
9. I will encourage the availability and accessibility of health care.
10. I will not abuse of my medical knowledge, not even under pressure.
11. I will honour the profession of the physician.
The Indonesian Medical Code of Ethics (KODEKI) it consists of 4 main
issues :
1. Duties to the general issues related to professional conduct.
2. Duties to the patients.
3. Duties to the others members of profession of medicine (colleagues).
4. Duties to her/himself.

The duties of doctor to the patients

Patients must be able to trust doctors with their lives and well-being. To justify
that trust, we as a profession have a duty to maintain a good standard of practice
and care and to show respect for human life. In particular as a doctor you must :
Make the care of your patients your first concern.
Treat every patient politely and considerately.
Respect patients dignity and privacy.

Listen to patients and respect their views.


Give patients information in a way they can understand.
Respect the rights of patients to be fully involved in decisions about their care.
Keep your professional knowledge and skills up to date.
Recognized the limits of your professional competence.
Be honest and trustworthy.
Respect and protect confidential information.
Make sure that your personal beliefs do not prejudice your patient care.

Act quickly to protect patients from risk if you have good reason to believe that
you or a colleague may not be fit to practice.
Avoid abusing your position as a doctor
Work with colleagues in the ways that best serve patients interests.
In all matters you must never discriminate unfairly against your patients or
colleagues. And you must always be prepared to justify your actions to them.

Case I. Hinduism and Sikhism

Mrs. S is a married 35 year old Hindu woman expecting her fourth child. She has 3
daughters and on several occasions has expressed her desire to have a son. Because of her
age she is referred for amniocentesis to rule out genetic anomalies. A healthy female fetus
is reported, whereupon Mrs. S request a termination of pregnancy. The pregnancy is now
at 20 weeks. Mr. and Mrs. S are referred for counseling.
For Hindus and Sikhs the single most important ethical consideration surrounding
the start of life is their belief karma, that the fetus is not developing into a person but,
rather, is already a person from the moment of conception. Abortion at any stage of fetal
development is thus judged to be murder. However, abortion is accepted by Hindus ans
Sikhs if essential to preserve the life of the mother. Furthermore, the religious prohibition
of abortion is sometimes at odds with the cultural preference for sons. For Mr. and Mrs.
S, the desire for a son outweighs the stance of their religion against abortion.

Case 2. Islam

An 18 year old Muslim man sustains severe head injures in a traffic accident while
riding his motorcycle. He is declared brain dead. The transplant coordinator approaches
the grieving mother to obtain consent for organ donation. At first the patient mother is
shocked at this approach. She then politely says that she would like to wait for her family
to arrive before making decision.

Organ transplantation is practiced in almost all Muslim countries. This generally


involves kidney donations from living relatives, but cadaveric donation is increasing. The
Qur’anic affirmation of bodily resurrection has determined many religious and moral
decisions regarding cadavers. Mutilation, and thus cremation, is strictly prohibited in
Islam. However, carrying out autopsies, although uncommon in Muslim countries, is
permitted under certain circumstances, for example when there is suspicion of foul play.
Similarly, many muslim scholars have permitted cadeveric organ donation.

Case 3. Islam

A 38 year old muslim woman is found to have a rapidly growing carcinoma of the
breast. She requires surgery and postoperative chemotherapy. She is 5 weeks into her first
pregnancy and is advised to terminate the pregnancy before the chemotherapy.
The general Islamic view is that, although there is some from of life after
conception, full human life, with its attendant rights, begins only after the ensoulment of
the fetus. On the basis of interpretations of passages in the Qur’an and of sayings of the
Prophet, most Muslim scholars agree that ensoulment occurs at about 120 days after
conception, other scholars, perhaps in the minority, hold that it occurs at about 40 days
after conception.

Case 4. Chinese

Mr. Y is a 75 year old Chinese Canadian who has been admitted to the intensive
care unit because of respiratory failure. He has a long history of respiratory problems.
Mechanical vebtilation is started. Mr. Y is oriented to time, person and place. He spends
much of his time reading and enjoys his family’s visits. Attempts to wean him from the
ventilator have failed, consequently, he is facing a situation of permanent dependence on
the breathing machine.
In the Confucian social hierarchy, the elderly sick person can expect to be cared for
by his or her family. The patient is relieved of a large share of personal responsibility,
including decision-making, even though he or she may be rational and competent.
Furthermore, from a Confucian point of view, which is governed by the rule of filial piety
and protection, a parent should not be given the news of a terminal illness. It is
considered morally inexcusable to disclose any news that may cause further harm to
one’s parent.

Anda mungkin juga menyukai