Trilaksono Nugroho
Drs. Trilaksono Nugroho, MS., adalah Staf Pengajar Administrasi Negara Unibraw yang kini
menjabat Sekretaris Badan Pertimbangan Penelitian FIA Unibraw dan masih aktif sebagai
Sekretaris AIDI Cabang Malang. Memperoleh gelar sarjana dari FIA Unibraw (1985) dan
Magister dari Universitas Padjajaran Bandung pada Bidang Administrasi Negara (1990).
Abstraksi
Reformasi penyelenggaraan pemerintah-an daerah di Indonesia pada dasarnya harus dapat
dipahami sebagai suatu perubahan kearah perbaikan tanpa merusak, atau sedapat mungkin tetap
dapat memelihara kontinyuitas yang telah ada oleh mereka yang memimpin suatu sistem
pemerintahan.
Untuk dapat mewujudkan keleluasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Daerah, maka
arah kebijakan otonomi dae-rah harus mengacu pada : (a) Self Regulat-ing Power, (b) Self
Modifiying Power, (c) Local Political Support, (d) Financial Recources, dan (d) Developing
Brain Power, yang pada dasarnya telah menjiwai pasal-pasal Undang-Undang No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintah Daerah.
Dengan mengacu pada arah kebijakan tersebut, maka daerah akan diberi ruang yang cukup untuk
dapat mengelola kepen-tingannya, sehingga dapat memberi kesem-patan masyarakat daerah
untuk berperan serta dalam proses-proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan, baik di bidang
peme-rintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang sesuai dengan yang dikehendakinya.
Pendahuluan
Dengan telah disahkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Peme-rintah Daerah
mengisyaratkan adanya secer-cah harapan bagi daerah terhadap reformasi penyelenggaraan
pemerintahan Daerah di Indonesia, dari kondisi yang selama ini kurang memberikan ruang yang
cukup bagi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan di daerah, menjadikan daerah sedikit terlepas dari kungkungan Pemerintah
Pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Dalam kaitan dengan implementasi kebi-jakan reformasi penyelenggaraan pemerin-tahan daerah
di Indonesia, yang harus dipa-hami semua pihak adalah makna dan arti reformasi itu sendiri
secara benar, yaitu reformasi sebagai suatu langkah perubahan kearah perbaikan tanpa merusak
atau seraya memelihara dengan diprakarsai oleh mereka yang memimpin suatu sistem. Hal ini
perlu disadari bahwa tanpa reformasi sistem itu bisa goyah, atau dengan kata lain sebaiknya
reformasi itu diprakarsai dari sistem itu sendiri sehingga metode reformasi akan dapat bersifat
gradual, bertahap dan berke-sinambungan (Faisal Tamin, 1998:2).
Dengan adanya berbagai permasalahan otonomi daerah sebagaimana yang telah dikemukakan,
pemerintah melalui Undang-Undang No.22 Tahun 1999 telah memper-luas kewenangan
pelaksanaan otonomi dae-rah dengan menyerahkan sepenuhnya bebe-rapa bidang (desentralisasi
politik dan administratif) urusan pemerintahanan kepa-da Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
Bidang-bidang pemerintahan yang wajib dilak-sanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota
meliputi : Pekerjaan Umum, Kesehatan, Pendidikan dan Kebudayaan, Pertanian, Perhubungan,
Industri dan Per-dagangan, Penanaman Modal, Lingkungan Hidup, Pertanahan, Koperasi, dan
Tenaga Kerja.
Sementara itu kewenangan Pemerintah Pusat terbatas pada penanganan Bidang Politik Luar
Negeri, Hankam, Peradilan, Moneter/ Fiskal dan Agama, serta bidang-bidang tertentu seperti :
Kebijakan Peren-canaan Nasional, Dana Perimbangan, Sis-tem Administrasi Negara, Pembinaan
dan Pemberdayaan Sumberdaya Manusia dan Pemberdayaan Sumber Daya Alam dan teknologi
tinggi yang strategis, Konservasi dan Standarisasi Nasional.
Sedangkan kewenangan Propinsi baik sebagai Daerah Otonom maupun Wilayah Administratif
diberikan batasan kewena-ngan,yaitu hanya menyelenggarakan bidang-bidang urusan
pemerintahan yang tidak mampu ditangani oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Daerah Kota,
atau bidang-bidang urusan Pemerintahan yang sifatnya lintas Daerah Kabupaten/Kota.
Sebagai konsekwensi atas perluasan pe-limpahan kewenangan kepada Daerah Kabu-paten dan
Daerah Kota pada sebagian besar bidang pemerintahan tersebut, membawa konsekwensi
terhadap kesiapan Daerah un-tuk menerima peningkatan tugas dan tang-gung jawab yang harus
diembannya.
perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan
Kelurahan sepenuhnya diserahkan kepa-da Daerah masing-masing.
(4) Pemerintah Daerah terdiri dari Ke-pala Daerah dan Perangkat Daerah lainnya, sedangkan
DPRD bukan lagi sebagai unsur Pemerintah Daerah akan tetapi merupakan kelembagaan mandiri
yang mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah serta dapat sebagai tempat
untuk menyampaikan aspirasi masyarakat agar ke-pentingan-kepentingannya tercermin dalam
kebijakan Pemerintah Daerah.
(5) Kepala Daerah Kabupaten dan Kota dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD,
sedangkan Gubernur selaku Kepala Wilayah Administrasi bertanggung jawab kepada Presiden
akan tetapi selaku Kepala Daerah tetap bertanggungjawab kepada DPRD. Untuk itu Peraturan
Daerah yang di-susun cukup ditetapkan oleh Kepala Daerah dan DPRD tanpa perlu pengesahan
pejabat diatasnya.
(6) Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan,pem-berhentian,
penetapan pensiun, gaji, tunja-ngan dan kesejahteraan, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai
kebutuhan dan ke-mampuan Daerah. Pada bidang keuangan daerah, sumber-sumbernya dapat
berasal dari PAD, Dana perimbangan, Pinjaman daerah dan lain- lain pendapatan yang sah.
(7) Kepada Kabupaten dan Kota diberi-kan otonomi yang luas, sedangkan pada Propinsi
otonominya terbatas. Kewenangan yang ada pada Propinsi adalah otonomi yang sifatnya lintas
kabupaten dan kota. Di samping itu kewenangan pada bidang-bi-dang tertentu yang belum
mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
(8) Wilayah Propinsi ditetapkan pula meliputi wilayah laut sepanjang 12 Mil di-hitung secara
lurus dari garis pangkal pantai, sedangkan Wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan
wilayah laut sebatas 1/3
wilayah laut Propinsi (4 Mil). Dengan ke-wenangan ini memungkinkan Daerah un-tuk menggali
potensi yang berada di lautan dalam upaya meningkatkan PAD.
(9) Kelembagaan Daerah disamping DPRD sebagai lembaga legislatif, dibentuk pula
kelembagaan eksekutif yaitu Kepala Daerah, Sekertaris Daerah, Dinas-Dinas Daerah atau
Lembaga Staf teknis lainnya yang dapat dibentuk berdasarkan kebutu-han Daerah. Sedangkan
kelembagaan yang ada di daerah seperti Pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikotamadya
Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kantor De-partemen dihapus.
C. Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah Dalam Uu. No. 22/1999.
4) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi Negara, sehing-ga tetap terjamin
hubungan yang serasi an-tara Pemerintah Pusat dan Daerah serta an-tar Daerah.
5) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom,
karenanya dalam suatu Daerah Kabupaten dan Kota tidak ada lagi Wilayah Administrasi.
(6) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi ba-dan legislatif
DPRD, baik sebagai fungsi le-gislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas
penyelenggaran Pemerintah-an Daerah.
(7) Pelaksanaan asas Dekonsentrasi dile-takkan pada Daerah Propinsi dalam kedudu-kannya
sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah ter-tentu yang
dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah.
(8) Pelaksanaan tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah,
tetapi juga dari Pemerin-tah dan Daerah kepada Desa dengan diser-tai pembiayaan, sarana dan
prasarana, serta mempertanggungjawabkan kepada yang me-nugaskannya.
Dengan telah dikeluarkannyanya bebera-pa macam Peraturan Pemerintah (PP) pada tanggal 6
Mei 2000, sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah, maka Bentuk dan Susunan Pemerintahan Daerah akan diwujudkan sebagai
berikut :
(1) Di Daerah dibentuk DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan Peme-rintah Daerah sebagai
Badan Ekse-kutif Daerah.
(2) Pemerintah Daerah terdiri atas Kepa-la Daerah beserta perangkat daerah lainnya seperti
Dinas-Dinas Daerah.
(3) Setiap Daerah dipimpin oleh Kepa-la Daerah sebagai kepala eksekutif, yang dalam bertugas
dibantu oleh seorang Wakil Kepala Daerah.
(4) Kepala Daerah Propinsi disebut Gu-bernur yang karena jabatannya me-rangkap sebagai
Kepala Wilayah yang merupakan wakil pemerintah.
membuat Peraturan Desa, menam-pung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta melakukan
pe-ngawasan terhadap penyelengga-raan Pemerintahan Desa.
D. Reorientasi Dan Perspektif Pelaksanaan Otonomi Daerah
Perluasan Otonomi Daerah sebagaimana tercermin dalam kebijakan pemerintah melalui Undang-
Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah merupa-kan suatu peluang untuk
memberdayakan daerah dalam melaksanakan tugas peme-rintahan, pembangunan dan
kemasyarakat-an. Namun demikian dalam pelaksanaannya akan banyak ditemukan masalah dan
kenda-la antara lain sebagai berikut :
(1) Otonomi Daerah yang berarti kepe-milikan kewenangan atau otoritas lokal oleh daerah yang
bersangkutan. Pada hakekat-nya hal ini merupakan pengembalian hak daerah untuk mengambil
inisiatif dan pra-karsa kreatif bagi kepentingan masya-rakat. Dalam hal ini berarti pula secara
administratif dan politis, maka daerah harus dapat secara terkendali dapat menyelengga-rakan
kekuasa-annya tanpa banyak campur tangan Pemerintah Pusat.
Hal ini penting oleh karena untuk meng-hindari bias operasional dari implementasi UU. No.
22/1999 akan muncul baik pada Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Dae-rah. Bias operasional
ini dapat berupa ketidakjelasan atau kerancuan mekanisme dilapangan maupun ketumpang
tindihan fungsional kelembagaan.
(2) Otonomi daerah harus diimplemen-tasikan dalam kerangka orientasi agar dae-rah benar-
benar mampu mengambil inisia-tif dan prakarsa kreatif menuju keberlangsu-ngan dan
keberhasilan pembangunan daerah yang pada gilirannya nanti, inisiatif dan prakarsa kreatif
daerah itu akan dilaksa-nakan sendiri dan penentuan hasilnya juga
persepsi yang sama dari semua pihak, baik para pengambil keputusan dan pelaksana-nya, serta
masyarakat luas terutama masya-rakat di daerah yang nantinya akan merasa-kan hasilnya melalui
pemberdayaan dalam kerangka mencapai masyarakat madani yang diharapkan bersama akan
segera dapat ter-wujud.
Karenanya, pada bagian akhir tulisan ini dapat dikemukakan format disain otonomi daerah
sebagai implikasi dari kebijaksana-an reformasi penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana
diatur dalam UU. No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah sebagai berikut :
(1) Demokratisasi akan berjalan secara lebih transparan penuh keterbukaan dan semakin
menumbuhkan peran dan kemam-puan masyarakat untuk melibatkan dirinya dalam proses
pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pemba-ngunan.
(2) Kemandirian daerah dalam menye-lenggarakan urusan rumah tangganya akan semakin
terwujud sehingga mampu meng-hadapi segenap tantangan, hambatan, gang-guan dan ancaman
yang akan selalu meng-hadang pada masa-masa mendatang.
(3) Terwujudnya efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan yang dapat memberdayakan kemampuan pemerintah daerah dalam me-
nyelenggarakan urusan rumah tangga dae-rahnya.
(4) Pelimpahan kewenangan kepada Daerah dalam penyelenggaraan urusan pe-merintahan akan
diberikan secara luas, mes-kipun masih dalam bingkai negara kesa-tuan. Dalam hal ini distribusi
kewenangan yang jelas kepada Daerah menjadi hal yang penting dibanding jenis urusan itu
sendiri.
(5) Pelimpahan kewenangan harus ter-wujud dengan adanya pendekatan pengam-bilan
keputusan atas sesuatu kegiatan pe-merintahan dan pembangunan pada peme-rintahan Daerah
Kabupaten dan Kota, ter-utama dalam proses-proses pemberian per-
P.
DAFTAR PUSTAKA
Mawhood Philip, Local Government in The Third World, John Wiley & Sons, Toronto, 1983
Gerry Stoker, Governance as Theory : Fife Proposition, The Privatisation of Urban Services in
Europe, 1997.
Faisal Tamin, Reformasi dan Reorientasi Paradigma Otonomi Daerah (Makalah), Seminar HMI
Cab. Malang, 1998.
Henry Teune, Local Government and Democratic Political Development, Annals AAPSS, 1996.
Solinger J. Dorothy, Despite Decentrali-zation : Disadvantages, Dependence and Ongoing
Central Power in the Inland-the Case of Wuhan (Journal), The China Quarterly, 1996.
Syamsuddin Agus, Mengenal Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah (Makalah), Seminar Kadin-PWI Kabupaten Bondowoso,
2000.
Thomas G. Kingsley, Prespectives on Devolution (Journal), The American Planning Assosiation,
Chicago, 1996.
Trilaksono N., Prospek Otonomi Daerah : Implementasi Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah (Makalah), Pentaloka DPRD Kotamadya Pasuruan, 2000.
Moch. Mafud MD. Reformasi Tatanan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Makalah), Seminar
Otonomi Daerah Unibraw, 2000