Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam Berdarah Dengue/DBD (Dengue Hemorrhagic Fever/DHF) adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis
demam, nyeri otot, dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi
pembesaran plasma yang ditandai dengan hemokosentrasi (peningkatan
hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Demam Berdarah Dengue
(DBD) merupakan penyakit yang ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan
nyamuk Aedes. 1
Menurut World Health Organizations (virus dengue adalah penyebab serius
morbiditas dan kematian dikebanyakan daerah tropis dan subtropis di dunia:
terutama Tenggara dan Asia Selatan, Amerika Tengah dan Selatan, serta Karibia.
Ada sekitar 2,5 miliar orang yang berisiko di dunia untuk infeksi virus dengue.
Hampir 100 negara dan wilayah memiliki risiko untuk infeksi virus dengue dalam
negeri. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama
dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun
1968 hingga tahun 2009, tercatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus
DBD tertinggi di Asia Tenggara. 2
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2014,
sampai pertengahan bulan Desember tercatat penderita DBD di 34 provinsi di
Indonesia sebanyak 71.668 orang, dan 641 diantaranya meninggal dunia. Angka
tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yakni tahun 2013 dengan
jumlah penderita sebanyak 112.511 orang dan jumlah kasus meninggal sebanyak
871 penderita. 3
Di Indonesia, penyakit DBD merupakan salah satu penyakit yang masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat dan endemis di sebagian kabupaten/kota.
Program pencegahan dan pemberantasan DBD telah berlangsung lebih kurang 43
tahun dan berhasil menurunkan angka kematian dari 41,3% pada tahun 1968
menjadi 0,87% pada tahun 2010, tetapi belum berhasil menurunkan angka
2

kesakitan. Kematian akibat penyakit DBD di Kota Semarang berdasarkan golongan


umur terbanyak pada golongan umur 1-4 tahun dengan 10 kematian atau 37%,
sedangkan jumlah kematian terendah pada kelompok umur 15-19 tahun dan 25-29
tahun. Kelompok usia anak sekolah masih merupakan kelompok usia dominan. 3
Berdasarkan profil kesehatan Banda Aceh tahun 2013, Banda Aceh berada di
urutan ke 3 sebagai kota dengan incidence rate tertinggi di Aceh. Tercatat ada 120
kejadian DBD selama tahun 2013 per 100.000 penduduk. Untuk daerah tertinggi
yaitu Aceh Tengah sebesar 182 kasus per 100.000 penduduk dan paling rendah
yaitu Gayo Lues dengan 0 kasus. Untuk kota Banda Aceh, Kecamatan tertinggi
penderita DBD yaitu kecamatan Baiturahman dengan 65 kasus, sedangkan
kecamatan Lampaseh sebagai kecamatan terendah penderita DBD dengan 9 kasus.
Berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan telah dilakukan dalam
pemutusan rantai penularan DBD, antara lain: Pemberantasan Sarang Nyamuk
DBD (PSN-DBD), gerakan 3M (menguras, menutup, mengubur), Pemeriksaan
Jentik Berkala (PJB), abatisasi efektif, fogging atau pengasapan pada semua lokasi
kasus terjangkit, dan penyuluhan kesehatan. Penyuluhan adalah pembelajaran yang
melibatkan beberapa bentuk komunikasi, termasuk meningkatkan pengetahuan,
dan mengembangkan keterampilan hidup, yang kondusif untuk kesehatan individu
dan masyarakat. Diharapkan melalui penyuluhan, masyarakat dapat semakin sadar
akan pentingnya menjaga lingkungan untuk mengurangi keberadaan dari nyamuk
Aedes aegypti. 4
Materi yang disampaikan dalam penyuluhan, biasanya mengandung materi
mengenai kesehatan lingkungan, peningkatan kesadaran masyarakat untuk selalu
menerapkan hidup bersih dan sehat, kegiatan menutup, menguras dan mengubur
(3M), cara memberantas dan mengontrol vector nyamuk dll. Pemberian penyuluhan
ini sebaiknya dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten dalam hal kesehatan
masyarakat dan DBD, baik dari dinas kesehatan, dokter dan perawat secara individu
serta masih banyak lagi. 5
Pada penelitian yang dilakukan oleh Rizal, menunjukkan adanya hubungan
yang bermakna antara pengetahuan masyarakat yang telah mendapatkan
penyuluhan dengan kejadian DBD di kota Kendari. Dimana semakin tinggi
pengetahuan seseorang untuk mengurangi keberadaan tempat perindukan nyamuk
3

Aedes aegypti, maka semakin rendah angka kejadian DBD. Berdasarkan hal ini,
maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan penyuluhan dengan kejadian
Demam Berdarah Dengue di Kota Banda Aceh.

1.2 Rumusan masalah


Bagaimana hubungan antara penyuluhan dengan kejadian demam berdarah
dengue di kota Banda Aceh?

1.3 Tujuan penelitian


Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara penyuluhan dengan kejadian
demam berdarah dengue di kota Banda Aceh.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Bagi pelayanan kesehatan
Memberikan sumbangan kepada puskesmas dan dinas kesehatan
berupa informasi mengenai kejadian demam berdarah dan hubungannya
dengan penyuluhan, sehingga dapat meningkatkan kualitas kegiatan promotif
dan preventif terhadap demam berdarah.
2. Bagi populasi penelitian
Memberikan tambahan pengetahuan kepada masyarakat tentang DBD
dan mengenali faktor yang dapat mengurangi kejadian DBD di lingkungan
mereka, termasuk salah satunya adalah kegiatan penyluhan yang diberikan.
3. Bagi bidang penelitian
Sebagai landasan bagi penelitian selanjutnya, khususnya penelitian-
penelitian yang bertujuan untuk menurunkan prevalensi kejadian demam
berdarah melalui kegiatan penyuluhan.

1.5 Hipotesis
Adanya hubungan antara penyuluhan dengan prevalensi kejadian demam
berdarah di kota Banda Aceh.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Berdarah


2.1.1 Pengertian
Demam berdarah dengue adalah penyakit yang terutama terdapat pada anak
dan remaja atau orang dewasa dengan tanda–tanda klinis berupa demam, nyeri otot
dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, dengan/tanpa ruam, dan
limfadenopati, demam bifasik, sakit kepala yang hebat, nyeri pada pergerakan bola
mata, gangguan rasa mengecap, trombositopenia ringan, dan petekie spontan yang
biasanya memburuk setelah 2 hari pertama. 6

2.1.2 Epidemiologi
Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di
daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain
Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang terinfeksi
diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di rumah sakit
dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun. Diperkirakan 2,5 miliar orang
atau hampir 40% populasi dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang
memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan nyamuk setempat. 2

Gambar 2.1 Peta persebaran DBD di dunia 2


WHO memperkirakan sekitar 50 juta kasus infeksi DBD setiap tahunnya.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah
5

air. Indonesia menempati urutan tertinggi kasus DBD tahun 2011 di ASEAN,
dengan jumlah kasus 156.086 dan kematian 1.358 orang. Pada tahun 2012 kasus
DBD di Indonesia menurun dengan jumlah kasus 49.486 dan jumlah kematian 403
orang. 7
Berdasarkan profil kesehatan kota Banda Aceh tahun 2013, Banda Aceh
tercatat sebagai kota dengan angka kejadian DBD di Aceh dengan angka kejadian
120 kasus per 100.000 penduduk. Sedangkan secara rata–rata, tercatat untuk
provinsi Aceh terdapat 40 kasus per 100.000 penduduk. 4

Incidence Rate DBD


200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0

Incidence Rate DBD

Gambar 2.2 Incidence Rate DBD per 100.000 Penduduk di Provinsi Aceh Tahun
2013 4

Untuk kota Banda Aceh, tercatat kecamatan Baiturahman sebagai


kecamatan tertinggi angka penderita DBD dengan 65 penderita. Sedangkan
kecamatan Lampaseh sebagai kecamatan dengan angka penderita DBD terendah,
yaitu sebesar 9 kasus. 4
6

Chart Title
35

30

25

20

15

10

Laki-laki Perempuan

Gambar 2.3 Grafik Jumlah Kasus DBD Menurut Puskesmas Di Kota Banda Aceh
Tahun 2013 4

2.1.3 Etiologi
Penyakit DBD adalah yang disebabkan oleh virus dengue dari famili
Flaviviridae, genus Flavivirus. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk
Aedes yang terinfeksi virus dengue. Virus dengue penyebab DBD dan sindrom syok
dengue termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang
dikenal sebagai genus Flavivirus, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu : DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. 8
Vektor utama demam dengue adalah Aedes aegypti. Penularan penyakit
dilakukan oleh nyamuk betina, karena hanya nyamuk betina yang menghisap darah.
Penghisapan darah dilakukan dari pagi sampai petang dengan dua puncak waktu
yaitu setelah matahari terbit (08.00-10.00) dan sebelum matahari terbenam (15.00-
17.00). 9

2.1.4. Patofisiologi
Dua teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary
heterologous infection theory) dan hipotesis immune enhancement. Menurut
hipotesis infeksi sekunder, akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang
berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu dan menyebabkan
7

kenaikan titer tinggi IgG antidengue. Replikasi virus dengue mengakibatkan


terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem
komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. 10,11

Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan
membedakan antara Demam Dengue dengan Demam Berdarah Dengue ialah
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma,
terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Pada kasus berat,
syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan
menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya
nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai
akibat kebocoran plasma ke daerah ekstravascular melalui kapiler yang rusak. 11
Trombositopenia
Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai
normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang
dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan
pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit.
Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor
dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen,
kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau
secara terpisah. 11
Sistem Koagulasi dan Fibrinolisis
Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan
fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan Fibrinogen Degradation
Products (FDP). Ada beberapa hal yang terjadi, antara lain : (1) Pada DBD Stadium
akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis. (2) Disseminated intravascular
Coagulation (DIC) secara potensial dapat juga terjadi pada DBD tanpa syok. (3)
Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan fungsi
trombosit dan trombositopenia, sedangkan perdarahan masif ialah akibat kelainan
mekanisme yang lebih kompleks seperti trombositopenia, gangguan faktor
8

pemberkuan, dan kemungkinan besar oleh faktor DIC. (4) Pada kasus dengan
kekurangan antitrombin III, respons pemberian heparin akan berkurang. 11
Sistem Komplemen
Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar
C3, C3 proaktivator, C4, dan C5, baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak.
Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit.
Aktivasi komplemen menghasilkan anafilaktoksin C3a dan C5a yang mempunyai
kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan merupakan
mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan
volume plasma, dan syok hipovolemik.11

2.1.5 Perjalanan Penyakit dan Manifestasi Klinis


Setelah masa inkubasi, penyakit ini diikuti oleh tiga fase, yaitu febris, kritis,
dan recovery 2

Gambar 2.4 Perjalanan Penyakit DBD.2

Fase Febris
Pasien akan mengeluh demam yang mendadak tinggi. Kadang-kadang suhu
tubuh sangat tinggi hingga 40oC dan tidak membaik dengan obat penurun panas.
Fase ini biasanya akan bertahan selama 2-7 hari dan diikuti dengan muka
9

kemerahan, eritema, nyeri seluruh tubuh, mialgia, atralgia, dan nyeri kepala.
Beberapa pasien mungkin juga mengeluhkan nyeri tenggorokan atau mata merah
(injeksi konjungtiva). 2,11,12 Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada
permulaan penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba hingga 2-4 cm di
bawah arcus costae. Pada sebagian kecil dapat ditemukan ikterus.2,11
Fase Kritis
Pada saat demam mulai cenderung turun dan pasien tampak seakan-akan
sembuh, maka hal ini harus diwaspadai sebagai awal kejadian syok. Saat demam
mulai turun hingga dibawah 37,5-38oC yang biasanya terjadi pada hari ke 3-7,
peningkatan permeabilitas kapiler akan terjadi dan keadaan ini berbanding lurus
dengan peningkatan hematokrit. Periode kebocoran plasma yang signifikan secara
klinis biasanya terjadi selama 24-48 jam.2,11 Terdapat tanda kegagalan sirkulasi:
kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar
mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba. Saat
terjadi syok berkepanjangan, organ yang mengalami hipoperfusi akan mengalami
gangguan fungsi (impairment), asidosis metabolik, dan Koagulasi Intravaskular
Diseminata (KID). 2,10,11
Fase Penyembuhan (Recovery)
Jika pasien dapat bertahan selama 24-48 jam saat fase kritis, reabsorpsi
gradual cairan ekstravaskular akan terjadi dalam 48-72 jam. Keadaan umum pasien
membaik, nafsu makan kembali, gejala gastrointestinal berkurang, status
hemodinamik meningkat, dan diuresis normal. Jumlah leukosit biasanya akan
meningkat segera setelah demam turun, namun trombosit akan meningkat
kemudian.2

Gambar 2.5 Fase perjalanan penyakit DBD 2


10

2.1.6 Kriteria Diagnosis


Diagnosis DBD sesuai dengan kriteria WHO 2011: 13,14
Kriteria klinis :
 Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-
menerus selama 2-7 hari.
 Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, ptekie, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan melena.
 Pembesaran hati.
 Syok, ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan
nadi (< 120 mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan
pasien tampak gelisah.
Kriteria laboratorium :
 Trombositopenia (< 100.000/mikroliter).
 Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit > 20% dari nilai
dasar atau menurut standar umur dan jenis kelamin.

2.1.7 Tatalaksana
Menurut WHO, berdasarkan manifestasi klinis dan kondisi lainnya, pasien
dapat dibagi tiga kategori: rawat jalan (kelompok A), membutuhkan penanganan di
rumah sakit/rawat inap (kelompok B), dan membutuhkan penanganan emergensi
atau urgensi (kelompok C).2
Kelompok-A
Pasien rawat jalan harus diobservasi setiap hari untuk mencegah progresi
hingga melewati periode kritis. Pasien dengan Ht stabil dapat dipulangkan setelah
dirawat dan diberikan edukasi untuk segera kembali ke rumah sakit apabila warning
signs muncul. Apabila warning signs muncul maka tindakan selanjutnya adalah:
 Memotivasi minum Oral Rehydration Solution (ORS), jus buah, dan
cairan lain yang mengandung elektrolit dan gula untuk mengganti cairan
yang hilang akibat demam.
 Memberikan parasetamol bila pasien merasa tidak nyaman akibat
demam. Interval pemberian parasetamol sebaiknya tidak kurang dari
enam jam.
11

 Petugas kesehatan harus setiap hari memantau temperatur, asupan dan


keluaran cairan, urin output (volume dan frekuensi), warning signs, tanda
perembesan plasma atau perdarahan, hematokrit, jumlah leukosit, dan
trombosit (kelompok-B).2
Kelompok-B
Apabila pasien memiliki warning signs maka hal yang harus dilakukan
adalah:
 Periksa Ht sebelum pemberian cairan. Berikan larutan isotonik seperti
normosalin 0,9%, RL. Mulai dari 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, lalu
kurangi menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan kurangi lagi menjadi
2-3 ml/kg/jam atau kurang sesuai respon klinis.
 Nilai kembali status klinis, ulangi Ht. Bila Ht sama atau meningkat
sedikit, lanjutkan dengan jumlah sama (2-3 ml/kg/jam) selama 2-4 jam.
Bila tanda vital memburuk dan Ht meningkat drastis, tingkatkan
pemberian cairan 5–10 ml/kg/jam selama 1-2 jam. Nilai kembali status
klinis, ulang Ht, dan periksa kecepatan cairan infus berkala.
 Berikan volume intravena minimum untuk menjaga perfusi dan urin
output 0,5 ml/kg/jam selama 24-48 jam. Kurangi jumlah cairan infus
berkala saat kebocoran plasma berkurang, yakni saat akhir fase kritis. Hal
ini bisa diketahui dari urin output dan/atau asupan minum cukup dan Ht
menurun.
 Pasien dengan warning signs harus diobservasi hingga fase kritis lewat.
Parameter yang harus dimonitor adalah tanda vital dan perfusi perifer
(tiap 1-4 jam hingga lewat fase kritis), urin output (tiap 4-6 jam), Ht
(sebelum dan setelah pemberian cairan, selanjutnya tiap 6-12 jam),
glukosa darah, dan fungsi organ sesuai indikasi. 2
Kelompok-C
Pasien membutuhkan tatalaksana emergensi dan urgensi apabila mengalami
DBD berat untuk memudahkan akses intensif dan transfusi darah. Resusitasi cairan
dengan kristaloid isotonik secepatnya sangat penting untuk menjaga volume
ekstravaskular saat periode kebocoran plasma atau larutan koloid pada keadaan
12

syok hipotensi. Tujuan akhir resusitasi cairan adalah meningkatkan sirkulasi sentral
dan perifer dan meningkatkan perfusi organ. 2

2.1.8 Komplikasi
Komplikasi DBD yang dapat terjadi antara lain kelainan ginjal akibat syok,
edema para, gagal jantung akut, syok berkepanjangan, asidosis metabolik,
perdarahan hebat, hipoglikemia, hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia dan
kematian.2,14

2.2 Penyuluhan
2.2.1 Definisi
Penyuluhan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan cara
menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak saja
sadar, tahu dan mengerti , tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang
ada hubungannya dengan kesehatan. Adapun tujuan dari penyuluhan kesehatan
adalah terbentuknya perilaku sehat pada individu, keluarga, kelompok, dan
masyarakat yang sesuai dengan konsep hidup sehat baik fisik, mental, dan sosial
sehingga dapat menurunkan angka kesehatan dan kematian.15

2.2.2 Jenis Kegiatan


Pengembangan vaksin untuk penyakit DBD masih sulit, karena proteksi
terhadap 1-2 virus dengue akan meningkatkan risiko penyakit DBD menjadi lebih
berat 16. Oleh karena itulah, maka pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD
dilakukan secara promotif dan preventif, dengan pemberantasan nyamuk vektor
(hewan perantara penularan). Pemberantasan vektor dapat dilakukan pada stadium
dewasa maupun stadium jentik. 17
1. Pemberantasan vektor stadium dewasa
Pemberantasan vektor penyakit DBD pada waktu terjadi wabah sering
dilakukan fogging atau penyemprotan lingkungan rumah dengan insektisida
malathion yang ditujukan pada nyamuk dewasa. Caranya adalah dengan
menyemprot atau mengasapkan dengan menggunakan mesin pengasap yang dapat
dilakukan melalui darat maupun udara. Namun kegiatan ini tanpa didukung dengan
13

aplikasi abatisasi, dalam beberapa hari akan meningkat lagi kepadatan nyamuk
dewasanya, karena jentik yang tidak mati oleh pengasapan akan menjadi dewasa,
untuk itu dalam pemberantasan vektor stadium dewasa perlu disertai aplikasi
abatisasi. 5
2. Pemberantasan vektor stadium jentik.
a. Pemberantasan jentik dengan insektisida.
Insektisida yang digunakan untuk memberantas jentik Aedes aegypti disebut
larvasida yaitu Abate. Abate 1 % diketahui sebagai larvasida yang paling aman
dibanding larvasida lainnya, dengan rekomendasi WHO untuk dipergunakan
sebagai pembunuh jentik nyamuk yang hidup pada persediaan air minum penduduk,
sehingga kegiatannya sering disebut abatisasi. Untuk pemakaiannya dengan setiap
1 gram Abate 1 % untuk setiap 10 liter air. Abate setelah ditaburkan ke dalam air
maka butiran pasirnya akan jatuh sampai ke dasar dan racun aktifnya akan keluar
serta menempel pada pori-pori dinding tempat air, dengan sebagian masih tetap
berada dalam air. Tujuan abatisasi adalah untuk menekan kepadatan vektor
serendah-rendahnya secara serentak dalam jangka waktu yang lebih lama, agar
transmisi virus dengue selama waktu tersebut dapat diturunkan. Sedang fungsi
abatisasi bisa sebagai pendukung kegiatan fogging yang dilakukan secara bersama-
sama, juga sebagai usaha mencegah letusan atau meningkatnya penderita DBD. 5
b. Pemberantasan jentik tanpa insektisida.
Cara pemberantasan vektor stadium jentik tanpa menggunakan insektisida
lebih dikenal dengan pembersihan sarang nyamuk. Kegiatan ini merupakan upaya
sanitasi untuk melenyapkan kontainer yang tidak terpakai, agar tidak memberi
kesempatan pada nyamuk Aedes aegypti untuk berkembang biak pada kontainer
tersebut. 5
Tindakan pembersihan sarang nyamuk meliputi tindakan menguras air
kontainer secara teratur seminggu sekali, menutup rapat kontainer air bersih, dan
mengubur kontainer bekas seperti kaleng bekas, gelas plastik, barang bekas
lainnya yang dapat menampung air hujan sehingga menjadi sarang nyamuk (dikenal
dengan istilah tindakan ‘3M’). 18
14

2.3 Kerangka Teori

Vektor

Keadaan klinis
pasien

Pendidikan dan
pekerjaan
Penyuluhan Demam Berdarah
Fogging Dengue

Perilaku
masyarakat

Keadaan
Lingkungan

Gambar 2.6 Kerangka Teori


15

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Desain Penelitian


Jenis penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross
sectional, yaitu variabel sebab (variabel independen) maupun variabel akibat
(variabel dependen) dilakukan secara sekaligus dalam waktu bersamaan.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan di 11 puskesmas yang tersebar pada 9
kecamatan di kota Banda Aceh pada bulan Mei – Juli 2016.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kecamatan dan desa yang tercatat
mengalami kasus Demam Berdarah Dengue di kota Banda Aceh.

3.3.2 Sampel Penelitian


Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh kecamatan dan desa yang tercatat
mengalami kasus Demam Berdarah Dengue di kota Banda Aceh yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik
probability sampling yang dilakukan dengan metode total sampling. Pengambilan
sampel dengan cara melakukan survey ke puskesmas yang berada di kecamatan dan
desa serta pengambilan kasus atau responden yang ada di kecamatan atau desa
tersebut, dimulai Mei-Juli 2016.
Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah:
1. Kriteria inklusi
a. Semua Pasien DBD yang terdiagnosa oleh dokter puskesmas
b. Semua pasien DBD yang terdapat di 11 puskesmas dan 9 kecamatan.
c. Penyuluhan yang dilakukan oleh instansi resmi organisasi pemerintah
atau non pemerintah.
16

d. Penyuluhan yang dihadiri oleh minimal 20 orang peserta.


e. Bersedia menjadi responden penelitian.

2. Kriteria eksklusi
a. Semua pasien yang terdiagnosa oleh dokter di rumah sakit
b. Penyuluhan yang diberikan oleh penyuluh yang tidak berkompeten,
misal ceramah tengku di mesjid.

3.3.3 Besar Sampel


Jumlah sampel adalah seluruh populasi penelitian yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Apabila jumlah sampel penelitian tidak mencukupi jumlah
minimal maka penelitian diperpanjang selama 1 bulan. 19

3.4 Kerangka Konsep


Variabel Independen Variabel Dependen

Penyuluhan Prevalensi kejadian


Demam Berdarah
Dengue

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.5.1 Identifikasi variabel penelitian


Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen (bebas) dan
variabel dependen (terikat). Variabel independen adalah variabel yang
mempengaruhi timbulnya variabel dependen (terkait). Variabel dependen
merupakan variabel yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Variabel-
variabel tersebut adalah sebagai berikut:
1. Variabel independen pada penelitian ini adalah Penyuluhan Demam Berdarah
Dengue.
2. Variabel dependen pada penelitian ini adalah Prevalensi Kejadian Demam
Berdarah Dengue.
17

3.5.2 Definisi Operasional


1. Penyuluhan Demam Berdarah Dengue adalah kegiatan pendidikan yang
dilakukan dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan,
sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti , tetapi juga mau dan
bisa melakukan suatu anjuran untuk mengurangi angka kejadian DBD dan
menciptakan kehidupan yang lebih sehat. Alat ukur yang digunakan adalah
daftar pertanyaan yang disusun oleh peneliti.
2. Prevalensi kejadian Demam Berdarah Dengue adalah angka yang
menunjukkan jumlah orang yang sakit pada periode tertentu, tidak peduli
apakah pasien tersebut sudah menderita DBD sebelumnya ataupun baru saja
terdiagnosis. Alat ukur yang digunakan adalah data prevalensi kejadian DBD
yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh dan setiap
puskesmas kecamatan pada tahun 2015.

3.6 Alat/Instrumen Penelitian


Alat-alat dan bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
Daftar pertanyaan yang disusun oleh peneliti

3.7 Teknik Pengumpulan Data

3.7.1 Data Primer


Data primer merupakan data yang dikumpulkan secara langsung oleh peneliti
terhadap sasaran penelitian. Selanjutnya, data tersebut diolah, dianalisis, disajikan,
dan dilaporkan oleh peneliti.(20) Bentuk data primer pada penelitian ini berupa
pertanyaan yang diberikan peneliti kepada kepala puskesmas dan kepala desa sesuai
dengan daftar pertanyaan yang disusun peneliti.

3.7.2 Data Sekunder


Data sekunder merupakan data yang didapatkan oleh pihak lain yang telah
memiliki data tersebut atau telah melakukan penelitian terkait hal tersebut. Pada
penelitian ini data sekunder yang dipakai oleh peneliti adalah :
18

1. Data jumlah pasien DBD pada tahun 2015 oleh Dinas Kesehatan Kota
Banda Aceh
2. Data jumlah pasien DBD pada tahun 2015 oleh 11 puskesmas yang
terdapat pada 9 kecamatan di kota Banda Aceh

3.8 Prosedur Penelitian

Pengambilan dan pengelompokkan sampel


berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi

Mengunjungi puskesmas dan melakukan tanya


jawab dengan kepala puskesmas

Pengumpulan Data

Analisis Data

Gambar 3.2 Alur prosedur kerja

3.9 Pengolahan Data Penelitian


Sebelum analisis data dilakukan, maka peneliti melakukan pengelolaan
data,yaitu:
1. Editing, yaitu peneliti mengecek dahulu dengan cara membaca kembali
butir-butir pertanyaan dalam lembar pertanyaan dan memperbaiki jika
terdapat hal-hal yang salah. Data-data yang perlu diperhatikan meliputi
kelengkapan data, kejelasan data, kesempurnaan data, keseragaman
data, dan kesesuaian data.
2. Coding, yaitu memberi kode pada data untuk memudahkan pengolahan
data.
19

3. Transfering, yaitu data yang telah diberi kode disusun secara berurutan
dari responden pertama sampai responden terakhir untuk dimasukkan
ke dalam tabel sesuai dengan sub variabel yang diteliti.
4. Tabulating, yaitu memasukkan data ke dalam tabel dan angka-angka
sehingga dihitung jumlah kasus berdasarkan kategori. Setelah data
terkumpul, dilakukan pengelolaan dengan menempatkan skor tertinggi
dan terendah untuk menentukan distribusi frekuensi.
5. Cleaning, yaitu mengevaluasi kembali data yang telah diolah untuk
menghindari kesalahan.

3.10 Analisis Data

3.10.1 Analisis univariat


Analisis univariat digunakan untuk memperoleh distribusi frekuensi dan
proporsi dari variabel yang diteliti dan dipaparkan secara numerik, grafik maupun
tabel silang. Adapun rumus yang digunakan sebagai berikut.

𝑓1
𝑃= × 100%
𝑛

keterangan:
P = Persentase
f1 = Frekuensi teramati
n = Jumlah responden

3.10.2 Analisa bivariat


Analisis bivariat digunakan untuk mencari hubungan atau korelasi antara
variabel dependen dan variabel independen, dalam analisis ini dapat dilakukan
pengujian statisitik salah satunya dengan uji T-Test Student.

Anda mungkin juga menyukai