Blog anak sekolah. semasa berkelana mencari tetes demi tetes ilmu. menggali butir
demi butir pasir kebodohan yang mengubur cahaya masa depan.
Kata Pengantar
Dengan mengucapka puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas
rahmat dan kasih sayangnya kami para penyusun dapat merampungkan makalah sebagai
tugas kelompok mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Dalam Makalah ini kami membahas satu masalah mengenai Otonomi Daerah yang berlaku
di Indonesia yaitu pelaksanaan Otonomi Khusus serta perbandingan dan perbedaannya
dengan Otonomi Daerah biasa. Dengan adanya makalh ini kami berharap semoga dapat
menambah wawasan kami mengenai penyelenggaraan negara. Serta wawasan tentang
politik dan konstitusi.
Banyak kesulitan yang kami hadapi dalam menyusun makalah ini. Maka besar
kemungkinan masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan
masalah. Maka dari itu kami terlebih dahulu memohon maaf yang sebesarnya kepada
pembaca sekaliyan atas adanya kesalahan di dalamnya. Dan kami juga berharap kritik
dari pembaca guna membangun potensi kami sehingga pada tugas karya tulis makalah
selanjutnya dapat menjadi lebih baik dari yang sekarang. Kami berharap semoga
makalh ini bermanfaat bagi kami khususnya dan para pembaca umumnya. Terimakasih
kami ucapkan atas perhatian para pembaca.
Mojokerto, 23 November 2016
Penyusun
Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I: Pendahuluan
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan
Bab II: Pembahasan
1. Perbandingan Otonomi Khusus dan Otonomi Biasa
A. Kewenangan Pemerintahan Daerah Otonomi Biasa.
B. Kewenangan Pemerintahan Daerah Otonomi Khusus
1.) Ibu Kota Jakarta
2.) Nanggroe Aceh Darussalam
3.) Papua
4.) Yogyakarta
C. Perbedaan antara Otonomi Biasa dan Otonomi Khusus
2. Kontribusi dari Daerah Khusus
3. Kesamaan antar Daerah Khusus
4. Kriteria Pemberian Otonomi Khusus di Indonesia
Bab III: Penutup
1. Kesimpulan
2. Saran
Daftar Pustaka
Bab I: Pendahuluan
1. Latar Belakang
Keberadaan Negara Indonesia tidak dapat dipisahkan dari peristiwa Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, karena melalui peristiwa proklamasi tersebut bangsa
Indonesia melalui Soekarno Hatta yang merupakan presiden pertama Indonesia
menyatakan kepada dunia luar atau bangsa lain bahwa sejak saat itu telah muncul
negara baru yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada masa itu para pendiri
bangsa sepakat memilih bentuk negara kesatuan karena bentuk negara kesatuan itu
dipandang paling cocok bagi bangsa Indonesia yang memiliki berbagai keanekaragaman,
untuk mewujudkan paham negara persatuan yaitu negara yang hendak mengatasi segala
paham individu atau golongan dan negara demi mengutamakan kepentingan umum. Untuk
membuktikan apakah benar Indonesia adalah negara kesatuan atau tidak, bisa dilihat
dari Pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ’45) yang menyatakan bahwa Negara
Indonesia ialah negara kesatuan.
Menurut C.F Strong negara kesatuan ialah bentuk negara dimana wewenang legislatif
tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan terletak
pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat mempunyai
wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak
otonomi, tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan
pemerintah pusat. Jadi apabila suatu daerah memiliki wewenang untuk membuat
peraturan bagi daerahnya sendiri, itu tidak berarti bahwa daerah tersebut
berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan tertinggi masih tetap terletak di tangan
pemerintah pusat sehingga dengan demikian maka kedaulatannya tidak terbagi. Ciri
utama negara kesatuan adalah supremasi parlemen pusat dan tiadanya badan - badan
lain yang berdaulat.
Sebagai negara yang hanya memiliki satu pemerintah pusat yang mengatur seluruh
daerahnya, negara kesatuan dapat dibedakan menjadi dua macam sistem, yaitu:
Sistem Sentralisasi
Negara kesatuan sistem sentralisasi adalah bentuk negara dimana pemerintahan pusat
memiliki kedaulatan penuh untuk menyelenggarakan urusan pemerintah dari pusat
hingga daerah, termasuk segala hal yang menyangkut urusan pemerintahan daerah.
Pemerintah daerah hanya bersifat pasif dan menjalankan perintrah dari pemerintah
pusat. Singkatnya pemerintah daerah hanya sebagai pekaksana belaka.
Contoh: Negara yang menerapkan sistem ini adalah Jerman pada masa Hitler.
Sistem Desentralisasi
Negara kesatuan sistem desentralisasi adalah bentuk negara dimana pemerintahan
pusat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara memberikan sebagian
kekuasaannya kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Keikut sertaan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri di sebut
hak otonom.
Dalam sistem pemerintahan ini daerah membuat peraturan yang sesuai dengan kondisi
daerahnya, asal peraturan itu tidak bertentangan dengan peraturan diatasnya.
Pemerintah pusat tidak lagi memegang kekuasaan seluruh urusan pemerintahan,
melainkan hanya urusan urusan pokok saja, seperti urusan pemerintahan umum,
politik, keuangan dan hubungan luar negeri.
Contoh: Negara yang menerapkan sistem ini adalah Indonesia berdasarkan ketentuan
Pasal 18 UUD’45
Pasal 18, 18A dan 18B memberikan landasan konstitusional bagi pelaksanaan
desentralisasi yang menekankan pada asas otonomi, tugas pembantuan dan penekankan
pada pengakuan kekhususan dan keistimewaan satuan satuan pemerintah, hingga
akhirnya Pasal 18 UUD’45 kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah . Berdasarkan Pasal 18B ayat (1) UUD’45, disebutkan
bahwa, ”Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
Dari kutipan diatas berarti terkait otonomi yang dilakukan oleh pemerintah pusat,
terdapat beberapa daerah di Indonesia yang dianggap memiliki kekhususan tersendiri
sehingga otonomi pemerintahan pada daerah tersebut berbeda dengan pemerintahan pada
daerah lain.
2. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang diatas, maka dapat dilihat bahwa adanya
permasalahan-permasalahan yang harus dijawab. Sehingga dalam hal ini kami
merumuskan permasalahannya sebagai berikut :
· Bagaimana perbandingan otonomi khusus dengan otonomi biasa ?
· Apa saja kontribusi – kontribusi yang bisa diberikan oleh daerah – daerah
istimewa tersebut?
· Apa saja yang menjadi kesamaan dari daerah – daerah istimewa tersebut?
· Apa sajakriteria pemberian otonomi khusus di Indonesia?
3. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui beberapa hal
berikut:
· Pengertian dari Otonomi, Otonomi Daerah/Otonomi Biasa, dan Otonomi Khusus.
· Perbandingan dan perbedaan antara Otonomi Biasa dan Otonomi Khusus.
· Kewenangan daerah dalam Otonomi Biasa dan otonomi Khusus.
· Beberapa daerah dengan Otonomi Khusus.
· Kontribusi yang diberikan oleh daerah khusus.
· Kesamaan dari tiap daerah khusus.
· Kriteria dari pemnerian Otonomi Khusus di Indonesia.
·
Bab II: Pembahasan
Dari beberapa uraian diatas maka dapat dilihat berbagai perbandingan yang sangat
berbeda antara pemerintah daerah otonomi biasa dengan pemerintah daerah otonomi
khusus. Namun, seiring perkembangannya, marak terjadi perdebatan antara daerah -
daerah biasa dan daerah istimewa dimana muncul kecemburuan dari daerah – daerah
biasa yang menuntut pemerintah pusat menetapkan otonomi khusus bagi daerahnya.
Sebagai contoh Kalimantan yang menuntut untuk diberikan otonomi khusus.
Ketidakadilan pembangunan dan minimnya kontribusi pemerintah pusat kepada daerah,
melatarbelakangi tuntutan status otonomi khusus seperti Aceh, Yogyakarta, dan
Papua. Pemprov Kalimantan Selatan, Adhariani mengeluhkan dana royalti yang hanya
berupa Rp 400 miliar padahal pemerintah daerah di Kalimantan harus menghadapi
ancaman degradasi lingkungan akibat aktivitas eksploitasi pertambangan. Sama halnya
dengan Bali yang sejak tahun 1999 hingga saat ini, menuntut otonomi khusus dibeikan
kepadanya demi menjaga keagungaan agama Hindu di Bali dan tempatnya yang merupakan
objek wisata.
C. Perbedaan antara Otonomi Biasa dan Otonomi Khusus
Perbedaan antara Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus dapat dilihat dari dua segi,
yaitu :
1. Dari segi berlakunya Otonomi, Secara umum otonomi daerah dalam penerapannya
berlaku pada semua daerah disuatu negara, sedangkan otonomi khusus kewenangannya
tidak semua daerah yang memperolehnya melainkan karena adanya faktor-faktor
tertentu yang menyebabkan daerah tersebut memperoleh otonomi khusus.
2. Dari segi dasar hukum, Otonomi daerah dalam Undang-undang nomor 32tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, diatur apa saja kewenangan, hak dan kewajiban
daerah. Sedangkan otonomi khusus dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang otonomi
khusus yang sesuai dengan daerah tersebut.
2. Saran
Daerah kesimpulan diatas dapat diambil bahwa pemerintahan daerah dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu
memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan, potensi daerah dan
keanekaragaman daerah.
Selain itu keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintahan daerah
juga perlu diupayakan. Kesempatan yang seluas-luasnya perlu diberikan kepada
masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran. Masyarakat dapat memberikan
kritik dan koreksi membangun atas kebijakan dan tindakan aparat pemerintah yang
sekiranya merugikan masyarakat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Karena pada
dasarnya Otonomi Daerah ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh
karena itu, masyarakat juga perlu bertindak aktif dan berperan serta dalam rangka
menyukseskan pelaksanaan Otonomi Daerah.
Begitupula dengan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah
sebaiknya membuang jauh-jauh egonya untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan
kelompoknya dan lebih mengedepankan kepentingan Masyarakat. Pihak tersebut
sebaiknya melaksanakan fungsi dan kewajibannya dengan baik dan tidak
menyalahgunakan kewenangan yang telah diberikan.
Daftar Pustaka
MASUK DAFTAR
Home
Kanal
Nasional
Teknologi
Internasional
Hiburan
Ekonomi
Gaya Hidup
Olahraga
Lainnya
Infografis
Fokus
Foto
Kolom
Video
CNN TV
Aku & Jakarta
Indeks
Download Apps
Ikuti Kami
Syafi'i menyatakan parlemen saat ini masih menunggu pemerintah memberikan definisi
teroris, sekaligus menyertakan penjelasan soal motif dan tujuan politik yang
melatarinya.
"Kami ingin itu dimasukkan. Kita harus berkaca di dunia tak ada yang tanpa motif
dan tujuan politik. Itulah yang seharusnya bisa paripurna sebelum reses kemarin,
pembahasannya jadi dilanjutkan lagi setelah reses," ujar Syafi'i saat berkunjung ke
redaksi CNN Indonesia TV, Jakarta, Kamis (17/5).
Definisi yang disepakati itu nantinya diharapkan bisa membedakan tindakan terorisme
dengan kriminal biasa. Hal itu diperlukan agar tak ada penetapan sewenang-wenang
oleh aparat terhadap orang atau kelompok yang mereka curigai sebagai teroris.
"Kita bisa membaca di seluruh dunia tindakan teror itu tidak ada yang tidak punya
motif dan tujuan poltik, bahkan itu yang membedakan terorisme dengan tindak
kriminal bias. Akhirnya pemerintah menunda lagi," tutur Syafi'i.
Poin-poin Perdebatan Revisi UU Terorisme Jelang FinalisasiKetua Pansus RUU
Terorisme Muhammad Syafi'i (CNN Indonesia/Dika Dania Kardi)
Direktur Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Purwanto
berharap pemerintah dan DPR segera mengesahkan revisi UU Terorisme. Dia berdalih
aturan yang ada saat ini menyulitkan aparat mencegah aksi pelaku teror.
Dia menyinggung rentetan teror bom yang melanda Surabaya dan Sidoarjo, serta
penyerangan kelompok teror di Mapolda Riau.
"Ini semua kelemahan undang-undang kita, di mana kita harus ada bukti permulaan
yang cukup. Dan mereka hanya diawasi karena kurang bukti," kata Wawan di tempat
yang sama pada waktu terpisah.
"Semua target-target hanya dicatat dan disampaikan kepada aparat keamanan yang lain
di dalam komite intelijen pusat. Namun, hanya karena bukti tidak mencukupi, maka
mereka hanya diawasi," kata Wawan.
Wawan menganggap undang-undang perlu direvisi agar aparat bisa mengamankan terduga
teroris dengan berangkat dari indikasi, tanpa perlu menunggu bukti permulaan
seperti yang selama ini terjadi.
Wawan mencontohkan, BIN belakangan sudah mengawasi Dita Oepriapto, pelaku bom
gereja Surabaya yang turut serta mengajak anak dan istrinya beraksi. Dita sebelum
kejadian tak bisa ditindak karena aparat tak punya dasar bukti yang kuat.
"Sampai akhirnya kita mengalihkan kepada yang lain, dialihkan karena sasaran kan
tidak hanya satu, tetapi begitu banyak. Nah, inilah yang masalah. Kalau undang-
undang yang baru nanti revisinya diperkuat insyaallah akan jadi lebih baik," ujar
Wawan.
Dia membantah segala kritik yang menyebutkan teror-teror dalam waktu berdempetan
itu terjadi akibat intelijen kecolongan, dan ada egosektoral antarinstitusi.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam sepakat dengan perlunya revisi pada RUU
Terorisme tersebut. Dia pun mendukung DPR yang mendesak pemerintah memasukkan
definisi terorisme dalam draf RUU sebelum disahkan.
Namun, sambungnya, Komnas HAM mengkritisi draf RUU Terorisme yang mengatur peran
keterlibatan TNI. Choirul menyatakan pihaknya menilai dalam penanganan tindak
pidana terorisme di Indonesia, penempatan TNI adalah hal yang tidak tepat.
Dia lebih setuju pelibatan TNI ditetapkan pada undang-undangnya sendiri dan diatur
pada tingkat skala ancaman tertentu.
Syafi'i menegaskan pelibatan TNI itu sudah disepakati di kalangan anggota DPR untuk
masuk dalam revisi UU Terorisme.
"Sudah selesai, sudah aklamasi, (semua fraksi) sudah setuju," ujar dia.
Ia mengatakan, keterlibatan TNI itu dilaksanakan sesuai tugas pokok dan fungsi yang
telah diatur dalam UU 34/2004. Selanjutnya, untuk pelaksanaan mengatasi aksi
terorisme yang melibatkan TNI akan diatur dalam sebuah peraturan presiden.
Selain soal TNI, Choirul Anam menyatakan pihaknya pun menyorot beberapa poin dalam
RUU Terorisme, yakni soal penyadapan dan penahanan.
"Soal yang lain juga, soal penyadapan. Ini penegakan hukum, kan judulnya RUU Tindak
Pidana terorisme bukan RUU penanggulangan. Yang melakukan penindakan adalah
penyidik, bukan yang lain, bukan intel. Kalau penyelidikan bisa intelijen.
Penyidikan statusnya penegak hukum murni. Kalau dia disadap satu tahun, lalu bisa
diperpanjang satu tahun. Ini buat apa," kata dia.
Lihat juga:Urgensi Revisi UU Terorisme Masih Jadi Perdebatan Publik
Dalam salinan draf RUU Terorisme, Pasal 31 menyebutkan bahwa berdasarkan bukti
permulaan yang cukup, penyidik berwenang salah satunya melakukan penyadapan
terhadap terduga teroris. Penyadapan itu harus sesuai izin tertulis pengadilan dan
dilakukan paling lama satu tahun, serta bisa diperpanjang lagi hingga satu tahun.
"Ini ada dua dimensi yang berbeda... Penyadapan dalam konteks penyidikan itu
pembuktian, bukan dalam membongkar jaringan. Membongkar jaringan itu urusan intel,
bukan tugasnya penyidik. Undang-undang ini campur aduknya di situ paradigmanya,"
kata Choirul.
Komnas HAM, katanya, mendorong rasionalisasi jangka waktu penyadapan dalam rangka
penyidikan, serta meminta penegasan keadaan mendesak yang membuat permintaan izin
ke pengadilan boleh dilakukan dalam tempo tiga hari setelah penyadapan dimulai.
Poin-poin Perdebatan Revisi UU Terorisme Jelang FinalisasiBeberapa saat usai
Mapolda Riau diserang kelompok teror. (ANTARA FOTO/Retmon)
Masukan lain dari Komnas HAM adalah perihal penangkapan dan penahanan terduga
teroris. Komnas HAM, katanya, mendorong pengaturan kewajiban penegak hukum
menetapkan lokasi penahanan terduga yang ditangkap
Choirul menyatakan apa yang tercantum dalam draf RUU Terorisme saat ini untuk
menghindari risiko pelanggaran HAM, serta memastikan akuntabilitas, dan akses
keluarga atau kuasa hukum.
Dalam RUU diatur penahanan bisa dilakukan 14 hari, dan diperpanjang lagi hingga
tujuh hari dengan persetujuan kejaksaan.
"Kalau mereka [penegak hukum] perlu dalam proses penahanan belum cukup [mendapatkan
informasi], mereka tambah [waktu penahanan] sendiri. Dan perdebatannya kalau saya
tidak salah ini lebih tiga bulan. akhirnya kita sepakati 14 hari bisa diperpanjang
7 hari dengan izin," ujar Syafi'i.
Sementara itu soal tempat penahanan, ia mengaku itu tak diatur secara spesifik
dalam draf revisi RUU tersebut.
"Teknis penempatan napinya nanti memang tidak diatur di dalam undang-undang ini.
Kemarin kita cuma minta kepada dirjen lapas supaya sipir dan kalapas yang di
lapasnya ditempatkan tahanan teroris harus memiliki kualifikasi yang khusus," kata
Syafi'i.
(gil)
Bagikan :
revisi uu antiterorisme ruu terorisme pansus ruu terorisme
ARTIKEL TERKAIT
RUU Terorisme Akan Dibawa ke Paripurna Jumat
Nasional7 jam yang lalu
DPR Bakal Gelar Rapat Rabu Depan Bahas RUU Terorisme
Nasional3 hari yang lalu
Pansus Harap Pengesahan RUU Antiterorisme Tak Ditunda Lagi
Nasional3 hari yang lalu
Promoted
Jusuf Kalla Minta Definisi Terorisme Tak Diperdebatkan Lagi
"Yang jelas, pengalaman kemarin, sebenarnya sejak bulan November kita telah
menduga, mencium, merasakan, mendeteksi adanya aktivitas di luar kewajaran. Tetapi
UU No 15 Tahun 2003, sebagai bagian dari persetujuan Perppu nomor 1 Tahun 2002,
yang dibuat setelah Bom Bali, itu ada bagian-bagian yang tidak bisa melakukan
tindakan," kata Seskab, Pramono Anung di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin
(18/1/2016).
BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 25
(1) Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara
tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali
ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
(2) Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk
melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 26
(1) Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap
laporan intelijen.
(2) Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua
atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
(3) Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara
tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
(4) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya
bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan
dilaksanakan penyidikan.
Pasal 27
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar,
yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang
di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Pasal 28
Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras
melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali
dua puluh empat) jam. (b
Masalah Definisi
Isu krusial yang ikut mengemuka bertalian dengan aksi terorisme adalah tentang
nasib revisi UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang
tak jelas juntrungannya. Pihak pemerintah meyakini bahwa revisi peraturan itu telah
memasuki babak akhir. Namun pendapat berbeda justru datang dari parlemen (DPR) yang
masih mempersoalkan definisi terorisme. Inilah pangkal masalahnya sehingga revisi
masih terkatung-katung.
Claire de Than & Edwin Shorts (2003) menyatakan there is by no means one consistent
and enforced of terrorism or of terroris act. Pandangan ini cenderung menunjukkan
bahwa memang tidak mudah untuk mendefiniskan terorisme atau tindakan teroris secara
konsisten. Ada banyak variabel dan motif yang bertalian dengan aksi teror seperti
motif politik, ekonomi hingga ideologi.
Maka memandang terorisme tentunya tidak boleh dibatasi dalam satu motif atau de-
finisi tertentu. Salah satu definisi yang menarik, misalnya dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia/KBBI (2008), terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan
untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan, terutama tujuan
politik.
Definisi tersebut tidak jauh berbeda dengan yang disebutkan Sanford H Kadish (1983)
yang menyebut terorisme sebagai the threat or use of violence for political
purposes by individual or groups, whether acting for, or in opposition to
established governmental authority .
Baik dalam KBBI maupun pendapat yang dikemukakan Kadish jelas ada kesamaan bahwa
dikatakan sebagai terorisme jika tindakannya yang menggunakan kekerasan kemudian
menimbulkan ketakutan yang didasari oleh tujuan politik. Dengan demikian, motivasi
politik menjadi poin penting yang tak terpisahkan ketika berbicara tentang
terorisme dalam konteks ini.
Bertalian dengan itu, saya berpandangan bahwa memasukkan motif politik dalam defi-
nisi terorisme tentu harus dilakukan ekstra-hati-hati. Pertama, ini seakan-akan
menyamakan terorisme dengan kejahatan politik (political crime). Padahal bisa saja
antara keduanya berbeda satu sama lain. Kedua, potensi penyalahgunaannya sangatlah
besar sebab hingga kini belum ada definisi yang baku mengenai kejahatan politik
yang dirumuskan dalam peraturan. Ketiga, belum ada pula parameter mengenai kapan
suatu perbuatan dikategorikan sebagai kejahatan poltik. Keempat, kejahatan politik
itu sendiri masih dibagi dalam 3 bagian lagi: political offender, pseudo political
offender dan political refugee .
Meskipun demikian dalam beberapa literatur yang lain, definisi terorisme tidak
mutatis mutandis bertalian dengan motif politik. Dalam Article 1 (2) of the failed
1937, League of Nations Convention for The Prevention and Punishmentof Terrorism,
misalnya terorisme disebut sebagai criminal acts directed against a state and
intended or calculated to create a state of terror in the mind of particular per-
sons or group or the general public. Definisi ini menempatkan terorisme sebagai ke-
jahatan yang diarahkan kepada negara yang ditujukan sebagai teror, dalam benak
seseorang, kelompok atau masyarakat umum.
Dengan demikian mengulas definisi terorisme tentu sangatlah luas cakupannya. Pada
satu sisi para ahli menggunakan motif politik sebagai salah satu elemen ketika
berbicara tentang terorisme tetapi di sisi yang lain, keberadaan motif politik
dalam terorisme menjadi tidak penting, sepanjang tindakan teror itu menimbulkan
kepanikan, ketakutan dan kerusakan baik kepada individu, kelompok maupun
kepentingan umum.
Saya berpandangan bahwa sebaiknya kita tidak perlu membatasi definisi terorisme
secara sempit dan spesifik melainkan hanya perlu dirumuskan elemen-elemen dari
perbuatan pidananya. Artinya bahwa pembentuk undang-undang hanya perlu merumuskan
secara jelas (lex certa) dan tegas (lex stricta) elemen actus reus maupun mens
rea pelaku. Ketika elemen-elemen tersebut terpenuhi maka pada saat itulah sese-
orang disebut sebagai teroris.
Login Sign Up
Berita · Pusat Data · Klinik · Events · Produk
Search
Kedua, dalam UU 15/2003 dan UU No.9 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme tidak mengatur definisi terorisme. Yang ada, hanyalah beberapa
aturan terkait orang yang melakukan tindakan tertentu dipidana dengan hukuman
tertentu. “Tetapi istilah terorisme itu sendiri tidak didefinisikan,” ujarnya.
Penggunaan frasa teror-isme perlu dikaji mendalam. Pasalnya, frasa isme memiliki
makna paham, konsep pemikiran, dan ideologi. Sehingga, terorisme dapat dimaknai
sebuah paham, konsep pemikiran maupun ideology yang menganut ajaran dan tindakan
teror. Oleh sebab itu, frasa terorisme perlu didefinisikan untuk kemudian
disepakati agar tidak menjadi abu-abu yang ujungnya menimbulkan tindakan
serampangan dalam menentukan seseorang pelaku teroris, atau sebaliknya.
Ia berharap dengan adanya RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, BNPT menjadi
lebih kuat dalam melakukan fungsi koordinasi pencegahan dan pemberantasan terorisme
yang dilakukan oleh instansi lainnya. Menurutnya, bisa menjadi bahaya kalau suatu
lembaga sangat powerfull, tetapi aspek hukumnya tidak jelas dan lengkap berpotensi
serampangan.
“Problem koordinasi antar stakeholder perlu diperjelas, karena di sini lubangnya.
Selama ini terkesan seolah-olah hanya menjadi tugas lembaga tertentu saja,
sementara TNI seolah tidak perlu dilibatkan sama sekali,” ujar politisi Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Anggota Komisi III Taufikulhadi berpandangan, banyak persoalan yang mesti dibenahi
dalam UU 15/2003. Menurutnya efektivitas UU 15/2003 kurang melindungi hak asasi
manusia terhadap orang yang salah tangkap. Selain itu, perlindungan terhadap korban
salah tangkap tak diperhatikan. “Oleh karena itu, RUU ini akan menjadi afektif
bersamaan dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia,” imbuhnya.
Tak hanya itu, politisi Nasional Demokrat (Nasdem) ini mencatat penguatan
koordinasi dalam pelaporan intelijen terkait dugaan adanya upaya melakukan teror.
Ia menilai laporan intelijen tidak serta merta menjadi alat untuk menuding
seseorang terlibat aksi teror. “Itu harus hati-hati, jangan ada lapora kemudian
orang dipersalahkan. Itu harus dipertegas,” ujarnya.
Kirim Komentar
BERITA TERKAIT:
Gawat! Ditengarai Ada Pasal “Guantanamo” di RUU Terorisme
Revisi UU Terorisme Menyasar Hate Speech
Revisi UU Terorisme Berpotensi Menabrak Sistem Peradilan Pidana
Hindari Kriminalisasi Berlebihan dalam Revisi UU Terorisme
Ini Alasan DPR Tolak Kewenangan Interogasi oleh BIN dalam RUU Terorisme
Back »
Governance di Indonesia
Penulis K S - Senin, 15 Januari 20182040
- Advertisement -
Pada tahun 2008, Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) merilis sebuah pedoman
Good Public Governance. Pedoman tersebut tentu bertujuan untuk pembenahan birokrasi
Indonesia dalam mewujudkan Good Governance. Dalam buku panduan GCG, disebutkan
bahwa Good Public Governance (GPG) merupakan sistem atau aturan perilaku terkait
dengan pengelolaan kewenangan oleh para penyelenggara negara dalam menjalankan
tugasnya secara bertanggung jawab dan akuntabel. Dalam penerapannya, GCG
membutuhkan kolaborasi yang baik antara pelenggara negara dengan lembaga negara,
penyelenggara negara dengan sektor bisnis, penyelenggara dengan masyarakat, dan
hubungan negara dengan negara.
Penyelenggara yang dimaksud dalam GPG meliputi ranah eksekutif, ranah legislatif,
ranah yudikatif, bahkan juga lembaga-lembaga nonstruktural.
- Advertisement -
Penerapan Good Public Governance diharapkan mampu menjadi solusi atas permasalahan
tata kelola yang ada di Indonesia. Pada sektor publik, pelaksanaan GPG diharapkan
mampu membentuk penyelenggara negara yang patuh terhadap hukum, sehingga dapat
mencegah terjadinya suap, korupsi, dan sejenisnya. Pada sektor privat, diharapkan
penyelenggara negara dan dunia usaha dapat bersinergi dalam menciptakan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang pada gilirannya akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat.
Pada implementasinya, setiap lembaga negara harus memastikan bahwa asas GPG
diterapkan dalam setiap aspek pelaksanaan fungsinya. Terdapat lima asas Good Public
Governance, di antaranya adalah demokrasi, transparansi, akuntabilitas, budaya
hukum, serta kewajaran dan kesetaraan. Demokrasi mengandung tiga unsur pokok, yaitu
partisipasi, pengakuan adanya perbedaan pendapat, dan perwujudan kepentingan umum.
Tranparansi mengandung unsur pengungkapan (disclosure) dan penyediaan informasi
yang memadai, serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan. Akuntabilitas
mengandung unsur kejelasan fungsi dalam organisasi dan cara
mempertanggungjawabkannya.
Budaya hukum mengandung unsur penegakan hukum (law inforcement) secara tegas tanpa
pandang bulu dan ketaatan terhadap hukum oleh masyarakat berdasarkan kesadaran.
Kewajaran dan kesetaraan mengandung unsur keadilan dan kejujuran, sehingga dalam
pelaksanaannya dapat diwujudkan perlakuan setara terhadap pemangku kepentingan
secara bertanggung jawab.
Peluncuran Pedoman Good Public Governance pada tahun 2008, sudah berjalan kurang
lebih sepuluh tahun. Namun, jika kita kontekstualisasikan dengan kondisi Indonesia
saat ini, masih banyak evaluasi yang dinobatkan untuk pemerintahan Jokowi-JK. Jika
kita mengulas balik pada kasus yang terjadi pada tahun 2017, pertama, yaitu
pengesahan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 2 tahun 2017 tentang
organisasi kemasyarakatan yang tentu mencederai asas demokrasi karena dapat
melakukan pembubaran organisasi kemasyarakatan tanpa proses pengadilan.
Kedua, kasus korupsi megaproyek E-KTP yang merugikan negara sampai 2,3 Triliun yang
mencederai asas transparansi dan akuntabilitas, karena masih maraknya kasus-kasus
korupsi ada di Indonesia, bahkan dilakukan secara kolektif. Ketiga, proses
persidangan Setya Novanto atas tindak pidana korupsi yang penuh dengan drama tentu
mencederai asas budaya hukum, kewajaran, dan kesetaraan karena perlakuan hukum yang
berbelit-belit ketika menghadapi tokoh negara. Selain ketiga kasus tersebut, masih
banyak lagi kasus lain yang terus membuat rakyat Indonesia terus mengerutkan dahi.
Namun, saya yakin apabila seluruh aparatur negara sudah memiliki kesadaran penuh
untuk disiplin dan mengikuti pedoman Good Public Governance yang telah diluncurkan
oleh KNKG, bukanlah hal yang mustahil jika Indonesia dapat menerapkan Good
Governance pada sistem pemerintahannya.
Negara yang merdeka pada tahun 1945 ini masih sangat kental nuansa
politiknya ketimbang nuansa kepentingan kerakyatannya, dimana mayoritas yang
menduduki jabatan strategis merupakan orang-orang politik yang sebenarnya dapat
dikatakan kurang ahli di bidang tersebut. Imbasnya, rakyat kembali dirugikan atas
hal ini, atau ketika kisruh antara dua lembaga negara, yakni KPK dengan Polri yang
dijuluki sebagai duel cicak versus buaya. Mungkin jika menyebutnya bak duel el
classico atau derby Manchester pun bukanlah sebutan yang melebih-lebihkan bukan?
Bahkan kisruh internal yang terjadi pada Kabinet Kerja terkenal dengan
takeline “Kabinet Gaduh” yang mana setiap ada kebijakan yang dikeluarkan pasti
terdapat satu sama lain tidak setuju dan saling menyerang pendapat lain. Tentunya
ini dapat menjadi gambaran bahwa Kabinet milik Jokowi yang digadang-gadang mampu
membawa Indonesia lebih baik lagi kenyataannya justru sebaliknya. Bahkan kegaduhan
juga tidak hanya terjadi di dalam internal pemerintahan saja, melainkan juga antar
lembaga negara.
Kasus KPK dengan Polri pun juga tidak kalah menarik untuk dibahas,
bahkan “pertarungan” dua lembaga negara ini mendapat julukan cicak versus buaya.
Tensinya mungkin sama dengan rivalitas antara Real Madrid dengan Barcelona. Pangkal
permasalahannya adalah ketika Budi Gunawan yang pada saat itu dicalonkan sebagai
orang nomor satu di Korps Bhayangkara mendapat sentakan tajam dari ketua KPK,
Abraham Samad. Bahwasanya Abraham Samad berbicara di hadapan media bahwa BG, sapaan
akrab Budi Gunawan memiliki rekening gendut, yang mana hal tersebut memantik emosi
pihak Kepolisian.
Contoh dari dua kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa Indonesia belum
dapat dikatakan benar-benar menerapkan good governance dengan baik karena apa yang
terjadi di pemerintahan maupun hubungan antar lembaga negara belumlah harmonis.
Prinsip-prinsip good governance pun masih belum sepenuhnya diaplikasikan seperti
prinsip tegaknya supremasi hukum yang diselewengkan jika kita melihat kasus Budi
Gunawan yang sidang pra peradilannya disahkan oleh Hakim Sarpin Rizaldi.