Anda di halaman 1dari 21

Kelana Semesta

Blog anak sekolah. semasa berkelana mencari tetes demi tetes ilmu. menggali butir
demi butir pasir kebodohan yang mengubur cahaya masa depan.

Kamis, 25 Mei 2017


MAKALAH OTONOMI DAERAH DAN OTONOMI KHUSUS

Kata Pengantar
Dengan mengucapka puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas
rahmat dan kasih sayangnya kami para penyusun dapat merampungkan makalah sebagai
tugas kelompok mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Dalam Makalah ini kami membahas satu masalah mengenai Otonomi Daerah yang berlaku
di Indonesia yaitu pelaksanaan Otonomi Khusus serta perbandingan dan perbedaannya
dengan Otonomi Daerah biasa. Dengan adanya makalh ini kami berharap semoga dapat
menambah wawasan kami mengenai penyelenggaraan negara. Serta wawasan tentang
politik dan konstitusi.
Banyak kesulitan yang kami hadapi dalam menyusun makalah ini. Maka besar
kemungkinan masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan
masalah. Maka dari itu kami terlebih dahulu memohon maaf yang sebesarnya kepada
pembaca sekaliyan atas adanya kesalahan di dalamnya. Dan kami juga berharap kritik
dari pembaca guna membangun potensi kami sehingga pada tugas karya tulis makalah
selanjutnya dapat menjadi lebih baik dari yang sekarang. Kami berharap semoga
makalh ini bermanfaat bagi kami khususnya dan para pembaca umumnya. Terimakasih
kami ucapkan atas perhatian para pembaca.
Mojokerto, 23 November 2016

Penyusun

Daftar Isi

Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I: Pendahuluan
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan
Bab II: Pembahasan
1. Perbandingan Otonomi Khusus dan Otonomi Biasa
A. Kewenangan Pemerintahan Daerah Otonomi Biasa.
B. Kewenangan Pemerintahan Daerah Otonomi Khusus
1.) Ibu Kota Jakarta
2.) Nanggroe Aceh Darussalam
3.) Papua
4.) Yogyakarta
C. Perbedaan antara Otonomi Biasa dan Otonomi Khusus
2. Kontribusi dari Daerah Khusus
3. Kesamaan antar Daerah Khusus
4. Kriteria Pemberian Otonomi Khusus di Indonesia
Bab III: Penutup
1. Kesimpulan
2. Saran
Daftar Pustaka
Bab I: Pendahuluan
1. Latar Belakang
Keberadaan Negara Indonesia tidak dapat dipisahkan dari peristiwa Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, karena melalui peristiwa proklamasi tersebut bangsa
Indonesia melalui Soekarno Hatta yang merupakan presiden pertama Indonesia
menyatakan kepada dunia luar atau bangsa lain bahwa sejak saat itu telah muncul
negara baru yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada masa itu para pendiri
bangsa sepakat memilih bentuk negara kesatuan karena bentuk negara kesatuan itu
dipandang paling cocok bagi bangsa Indonesia yang memiliki berbagai keanekaragaman,
untuk mewujudkan paham negara persatuan yaitu negara yang hendak mengatasi segala
paham individu atau golongan dan negara demi mengutamakan kepentingan umum. Untuk
membuktikan apakah benar Indonesia adalah negara kesatuan atau tidak, bisa dilihat
dari Pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ’45) yang menyatakan bahwa Negara
Indonesia ialah negara kesatuan.
Menurut C.F Strong negara kesatuan ialah bentuk negara dimana wewenang legislatif
tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan terletak
pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat mempunyai
wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak
otonomi, tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan
pemerintah pusat. Jadi apabila suatu daerah memiliki wewenang untuk membuat
peraturan bagi daerahnya sendiri, itu tidak berarti bahwa daerah tersebut
berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan tertinggi masih tetap terletak di tangan
pemerintah pusat sehingga dengan demikian maka kedaulatannya tidak terbagi. Ciri
utama negara kesatuan adalah supremasi parlemen pusat dan tiadanya badan - badan
lain yang berdaulat.
Sebagai negara yang hanya memiliki satu pemerintah pusat yang mengatur seluruh
daerahnya, negara kesatuan dapat dibedakan menjadi dua macam sistem, yaitu:
Sistem Sentralisasi
Negara kesatuan sistem sentralisasi adalah bentuk negara dimana pemerintahan pusat
memiliki kedaulatan penuh untuk menyelenggarakan urusan pemerintah dari pusat
hingga daerah, termasuk segala hal yang menyangkut urusan pemerintahan daerah.
Pemerintah daerah hanya bersifat pasif dan menjalankan perintrah dari pemerintah
pusat. Singkatnya pemerintah daerah hanya sebagai pekaksana belaka.
Contoh: Negara yang menerapkan sistem ini adalah Jerman pada masa Hitler.
Sistem Desentralisasi
Negara kesatuan sistem desentralisasi adalah bentuk negara dimana pemerintahan
pusat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara memberikan sebagian
kekuasaannya kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Keikut sertaan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri di sebut
hak otonom.
Dalam sistem pemerintahan ini daerah membuat peraturan yang sesuai dengan kondisi
daerahnya, asal peraturan itu tidak bertentangan dengan peraturan diatasnya.
Pemerintah pusat tidak lagi memegang kekuasaan seluruh urusan pemerintahan,
melainkan hanya urusan urusan pokok saja, seperti urusan pemerintahan umum,
politik, keuangan dan hubungan luar negeri.
Contoh: Negara yang menerapkan sistem ini adalah Indonesia berdasarkan ketentuan
Pasal 18 UUD’45
Pasal 18, 18A dan 18B memberikan landasan konstitusional bagi pelaksanaan
desentralisasi yang menekankan pada asas otonomi, tugas pembantuan dan penekankan
pada pengakuan kekhususan dan keistimewaan satuan satuan pemerintah, hingga
akhirnya Pasal 18 UUD’45 kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah . Berdasarkan Pasal 18B ayat (1) UUD’45, disebutkan
bahwa, ”Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
Dari kutipan diatas berarti terkait otonomi yang dilakukan oleh pemerintah pusat,
terdapat beberapa daerah di Indonesia yang dianggap memiliki kekhususan tersendiri
sehingga otonomi pemerintahan pada daerah tersebut berbeda dengan pemerintahan pada
daerah lain.

2. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang diatas, maka dapat dilihat bahwa adanya
permasalahan-permasalahan yang harus dijawab. Sehingga dalam hal ini kami
merumuskan permasalahannya sebagai berikut :
· Bagaimana perbandingan otonomi khusus dengan otonomi biasa ?
· Apa saja kontribusi – kontribusi yang bisa diberikan oleh daerah – daerah
istimewa tersebut?
· Apa saja yang menjadi kesamaan dari daerah – daerah istimewa tersebut?
· Apa sajakriteria pemberian otonomi khusus di Indonesia?

3. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui beberapa hal
berikut:
· Pengertian dari Otonomi, Otonomi Daerah/Otonomi Biasa, dan Otonomi Khusus.
· Perbandingan dan perbedaan antara Otonomi Biasa dan Otonomi Khusus.
· Kewenangan daerah dalam Otonomi Biasa dan otonomi Khusus.
· Beberapa daerah dengan Otonomi Khusus.
· Kontribusi yang diberikan oleh daerah khusus.
· Kesamaan dari tiap daerah khusus.
· Kriteria dari pemnerian Otonomi Khusus di Indonesia.

·
Bab II: Pembahasan

1. Perbandingan Otonomi Khusus dan Otonomi Biasa


Otonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata outos dan nomos. outos berarti
“sendiri” dan nomos berarti “perintah”. Sehingga dapat diartikan otonomi yaitu
memerintah sendiri (Local self goverment).
Otonomi adalah sebuah tatanan ketatanegaraan, bukan hanya tatanan administrasi
Negara. Sebagaimana tatanan ketatanegaraan, otonomi berkaitan dengan dasar-dasar
bernegara dan susunan organisasi Negara. Paling tidak, ada dua arahan dasar susunan
ketatanegaraan dalam perumahan Indonesia merdeka yaitu demokrasi dan
penyelenggaraan negara berdasarkan atas hukum. Otonomi bukan sekedar pemencaran
penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai efesiensi dan efektivitas pemerintahan.
Otonomi mengandung arti jumlah atau besarnya tugas, kewajiban, hak dan wewenang
serta tanggung jawab urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah
Pusat kepada Pemerintah Daerah otonomi untuk menjadi isi rumah tangga Daerah.
Otonomi daerah terkandung unsur kemampuan untuk mewujudkan apa-apa yang menjadi
tugas, hak dan wewenang serta tanggung jawabnya memperhatikan, mengurus dan
mengatur rumah tangga daerah sendiri. Dalam bagian terdahulu telah dikemukakan
beberapa cara untuk mengukur kemampuan termaksud. Otonomi daerah itu juga merupakan
bagian dari pembagian tugas penyelenggaraan kepentingan umum antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah.Dilihat dari segi ini unsur kemampuan harus ada pada
pihak yang membagi dan yang menerima bagian tugas, artinya kemampuan jajaran
pemerintah pusat juga harus turut diperhitungkan karena akan mempengaruhi
pelaksanaannya.
Berdasarkan UU Pemerintahan Daerah, otonomi daerah adalah wewenang daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sama halnya dengan otonomi
umum, pengertian dan definisi dari otonomi khusus tidak jauh berbedan dengan
otonomi daerah, hanya saja dalam hal ini kewenangan yang diberikan lebih bersifat
khusus, dan hanya diberikan kepada daerah ‘tertentu’ untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri sejalan dengan hak dan
aspirasi masyarakat di daerah tersebut. Kewenangan ini diberikan agar daerah
tertentu tersebut dapat menata daerah dan bagian dari daerah tersebut agar lebih
baik lagi di bidang tertentu sesuai dengan keistimewaan atau kekhususan daerahnya.
Apabila dibandingkan, otonomi khusus ditawarkan melebihi otonomi daerah biasa
karena otonomi ini diberikan kepada daerah tertentu didasari berbagai aspek-aspek
penting seperti aspek politik, ekonomi, maupun sosial-budaya. Diberikannya otonomi
khusus kepada daerah tertentu membutuhkan pertimbangan yang sangat matang, karena
suatu negara sangat bergantung pada pendapatan daerah tertentu karena suatu negara
sangat bergantung pada pendapatan daerah tersebut. Dari segi berlakunya otonomi
biasa, kewenangan yang dimiliki otonomi daerah berlaku untuk semua daerah,
sedangkan kewenangan berlakunya otonomi khusus tidak dimiliki oleh semua daerah,
melainkan karena adanya factor-faktor tertentu yang menyebabkan daerah tertentu
memperolehnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa dana yang diberikan kepada daerah
istimewa tentu berbeda dengan dana yang diberikan kepada daerah biasa. Dasar hukum
dari otonomi daerah adalah UU Pemerintahan Daerah, sedangkan daerah-daerah yang
diberikan otonomi khusus memiliki UU khusus yang tersendiri sesuai dengan
daerahnya.
Perbedaan utama dan mendasar dari otonomi khusus dan otonomi biasa terletak pada
letak kewenangan pemerintahannya dimana terdapat beberapa ketentuan yang sangat
berbeda antara otonomi biasa dan otonomi khusus sesuai dengan keistimewaan
daerahnya, hal ini didasari karena otonomi khusus menitikberatkan pemberian
kewenangan khusus demi aspirasi dan hak-hak masyarakat setempat sedangkan otonomi
biasa lebih berlaku umum. Di bawah ini akan terlihat perbedaan mendasar antara
kewenangan-kewenangan yang dimiliki pemerintahan daerah terhadap otonomi biasa yang
dimiliki daerahnya, dengan pemerintah daerah terhadap otonomi khusus yang dimiliki
daerahnya.
Berikut adalah kewenangan dari masing-masing jenis otonomi.
A. Kewenangan Pemerintahan Daerah Otonomi Biasa.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan
pemerintahan. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan
dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan tersebut
meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam,
dan sumber daya lainnya. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan
wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan
pemerintahan.
Pemerintah Daerah juga diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara
lain berupa kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan
pemerintah yang diserahkan. Kemudian juga berupa kewenangan memungut dan
mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari
sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya.
Selain itu juga berupa hak untuk mengelola kekayaan Daerah dan mendapatkan sumber-
sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan. Dengan pengaturan
tersebut, dalam hal ini pada dasarnya Pemerintah menerapkan prinsip uang mengikuti
fungsi. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan
kerja sama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan
efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan. Kerja sama tersebut
dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan
keputusan bersama. Dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerja sama
dengan pihak ketiga. Kewenangan-kewenangan sebagaimana dijelaskan diatas ini
berlaku umum dengan daerah lainnya.
B. Kewenangan Pemerintahan Daerah Otonomi Khusus
Kewenagan ini diberikan secara berbeda-beda antar daerah khusus. Hal ini didasarkan
pada setiap aspek-aspek di daerah tersebut yang juga berbeda. Berikut adalah
beberapa kewenangan khusus yang dimiliki oleh daerah khusus.
1.) Ibu Kota Jakarta
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Provinsi DKI Jakarta)sebagai satuan
pemerintahan yang bersifat khusus dalam kedudukannya sebagai Ibu kotaNegara
Kesatuan Republik Indonesia dan sebagai daerah otonom memiliki fungsi dan peran
yang penting dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Oleh karena itu, perlu diberikan kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung
jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk itulah Pemerintah
Pusatmengeluarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi
Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
UU ini mengatur kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu kota Negara. Aturan
sebagai daerah otonom tingkat provinsi dan lain sebagainya tetap terikat pada
peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah.
Beberapa hal yang menjadi pengkhususan bagi Provinsi DKI Jakarta antara lain:
1. Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Provinsi DKI Jakarta adalah daerah khusus yang berfungsi sebagai Ibu kota
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus sebagai daerah otonom pada tingkat
provinsi.
3. Provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab
tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahandan sebagai tempat kedudukan perwakilan
negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional.
4. Wilayah Provinsi DKI Jakarta dibagi dalam kota administrasi dan kabupaten
administrasi.
5. Anggota DPRDProvinsi DKI Jakarta berjumlah paling banyak 125% (seratus dua
puluh lima persen) dari jumlah maksimal untuk kategori jumlah penduduk DKI Jakarta
sebagaimana ditentukan dalam undang-undang.
6. Gubernur dapat menghadiri sidang kabinet yang menyangkut kepentingan Ibu
kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gubernur mempunyai hak protokoler,
termasuk mendampingi Presidendalam acara kenegaraan.
7. Dana dalam rangka pelaksanaan kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu
kota Negara ditetapkan bersama antara Pemerintah dan DPR dalam APBN berdasarkan
usulan Pemprov DKI Jakarta.
2.) Nanggroe Aceh Darussalam
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 (UUPA) menegaskan bahwa Aceh adalah daerah
provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
Ada beberapa kekhususan kewenangan yang terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yaitu antara lain pembagin daerah yang terdiri dari kabupaten/kota,
kecamatan, mukim, kelurahan dan gampong. Kemudian rencana persetujuan internasional
yang berkaitan langsung dengan pemerintahan Aceh yang dibuat oleh pemerintah pusat
dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
Pemerintah Aceh juga dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga atau badan di luar
negeri kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah. Dalam naskah kerja sama tersebut
dicantumkan frasa pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pemerintah Aceh pun dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan
seni, budaya dan olahraga internasional. Untuk rencana pembentukan undang-undang
oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh
dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Kemudian
penduduk Aceh dapat membetuk partai politik lokal yang memiliki hak untuk mengikuti
pemilu guna memilih anggota DPRA dan DPRK, mengusulkan pasangan calon gubernur dan
wakil gubernur, calom bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil
walikota di Aceh. Aceh pun memiliki pengadilan sendiri yaitu pengadilan Syari’at
Islam yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Syar’iyah, yang terdiri dari Mahkamah
Syar’iah Aceh sebagai pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Syar’iah berwenang
memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang Ahwal
al-syakhisyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum
pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dengan hukum acara yang ditetapkan
berdasarkan Qanun. Tidak hanya itu, Aceh juga berhak untuk memiliki bendera,
lambang dan hymne daerah.
3.) Papua
Status Otonomi Khusus bagi provinsi Papua saat ini didasarkan pada UU No. 21 Tahun
2001. Undang-undang tersebut ditetapkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri. Undang-undang tersebut mulai berlaku pada tanggal 21 November 2001.
Pemberlakuan otonomi khusus pada provinsi Papua didasarkan atas 2 hal yaitu
kesenjangan pembangunan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Salah satu kekhususan kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Papua dan
Papua Barat adalah pada bentuk dan susunan pemerintahannya. Pemerintahan Provinsi
Papua terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif
dan Pemerintahan Provinsi sebagai badan eksekutif, padahal daerah lainnya
berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tidak menggunakan istilah “badan legislatif dan
badan eksekutif”. Dalam sistem otonomi daerah, kekuasaan yang dipencarkan hanyalah
kekuasaan eksekutif saja sehingga tidak terdapat pembagian atau pemisahan kekuasaan
di daerah. Pemerintah daerah yang terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD merupakan
satu-kesatuan pemerintahan dan bukanlah bentuk pembagian atau pemisahan kekuasaan.
Selain itu, provinsi papua juga dapat membentuk peraturan daerah khusus(Perdasus)
yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan
persetujuan Majelis Rakyat Papua(MRP).[12] Kekhususan lainnya yang dimiliki oleh
Provinsi Papua yang mengarah kepada bentuk Negara federal adalah dengan berlakunya
ketentuan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa Papua dapat memiliki
bendera dan lagu daerah.
4.) Yogyakarta
Secara Yuridis Konstitusional, pemerintahan daerah istimewa Yogyakarta dibentuk
secara legal formal berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta setelah melalui beberapa kali perubahan Undang- Undang.
Keistimewaan DIY ini didasari atas sejarah kesultanan yang sejak dahulu turun
temurun dibudidayakan di DIY. Kewenangan khusus dari Pemerintahan DIY ini
tercantum pada Undang Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dalam hal
ini urusan keistimewaan kewenangan Pemerintahan DIY meliputi tata cara pengisian
jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, Kelembagaan
Pemerintah Daerah DIY, Kebudayaan, Pertanahan dan Tata ruang, yang mana
penyelenggaraan kewenangan dalam urusan keistimewaan tersebut didasarkan pada
nilai-nilai kearifan local dan keberpihakan. Ketentuan lebih lanjut terhadap hal
ini diatur dalam Perdais, namun sayangnya hingga saat ini Perdais belum selesai
dibuat oleh pemerintah DIY.

Dari beberapa uraian diatas maka dapat dilihat berbagai perbandingan yang sangat
berbeda antara pemerintah daerah otonomi biasa dengan pemerintah daerah otonomi
khusus. Namun, seiring perkembangannya, marak terjadi perdebatan antara daerah -
daerah biasa dan daerah istimewa dimana muncul kecemburuan dari daerah – daerah
biasa yang menuntut pemerintah pusat menetapkan otonomi khusus bagi daerahnya.
Sebagai contoh Kalimantan yang menuntut untuk diberikan otonomi khusus.
Ketidakadilan pembangunan dan minimnya kontribusi pemerintah pusat kepada daerah,
melatarbelakangi tuntutan status otonomi khusus seperti Aceh, Yogyakarta, dan
Papua. Pemprov Kalimantan Selatan, Adhariani mengeluhkan dana royalti yang hanya
berupa Rp 400 miliar padahal pemerintah daerah di Kalimantan harus menghadapi
ancaman degradasi lingkungan akibat aktivitas eksploitasi pertambangan. Sama halnya
dengan Bali yang sejak tahun 1999 hingga saat ini, menuntut otonomi khusus dibeikan
kepadanya demi menjaga keagungaan agama Hindu di Bali dan tempatnya yang merupakan
objek wisata.
C. Perbedaan antara Otonomi Biasa dan Otonomi Khusus
Perbedaan antara Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus dapat dilihat dari dua segi,
yaitu :
1. Dari segi berlakunya Otonomi, Secara umum otonomi daerah dalam penerapannya
berlaku pada semua daerah disuatu negara, sedangkan otonomi khusus kewenangannya
tidak semua daerah yang memperolehnya melainkan karena adanya faktor-faktor
tertentu yang menyebabkan daerah tersebut memperoleh otonomi khusus.
2. Dari segi dasar hukum, Otonomi daerah dalam Undang-undang nomor 32tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, diatur apa saja kewenangan, hak dan kewajiban
daerah. Sedangkan otonomi khusus dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang otonomi
khusus yang sesuai dengan daerah tersebut.

2. Kontribusi dari Daerah Khusus


Salah satu alasan Aceh menjadi istimewa karena perannya dahulu dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Akar nasionalisme yang
dimiliki masyarakat Aceh sudah mulai tumbuh sejak abad ke-15 M, pada saat Sultan
Ali Mughayat Syah mempersatukan kerajaan-kerajaan yang ada di Aceh dalam satu
kedaulatan kerajaan Aceh Darussalam. Rasa kesatuan yang dibangun Aceh saat itu
tidak hanya dalam wilayah Sumatera, tapi juga Pahang dan tanah Melayu lainnya
tunduk dalam kesatuan kerajaan Aceh di bawah kepemimpinan seorang Sultan. Jiwa
nasionalisme yang tertaman dalam diri orang Aceh, ternyata tidak hanya telah
berhasil membangun Aceh dalam satu peradaban yang menggumkan. Akan tetapi semangat
nasionalisme itu kembali diperlihatkan dalam sejarah perjuangan merebut kemerdekaan
Indonesia dari penjajahan kolonial Belanda. Untuk rasa kebangsaan ini, masyarakat
Aceh rela berkorban jiwa raga, terjun ke medan perang mempertahankan Indonesia
hingga ke luar Aceh seperti yang kita kenal dengan perang Medan Area. Nasionalisme
Aceh terhadap bangsa tidak hanya berhenti sampai di situ. Berapa banyak hasil alam
Aceh yang disumbangkan kepada negara seperti minyak, gas bumi, tambang, pertanian,
perkebunan (kelapa sawit karet coklat pala dan cengkeh), yang setiap tahunnya Aceh
tidak kurang dari Rp 30 triliun menyumbangkan hasil alamnya untuk negara selama
hampir 30 tahun.
Sama halnya dengan Aceh, Yogya pun telah memberikan kontribusinya sejak dulu kala,
dimana Kasultanan dan Pakualaman yang merupakan kerajaan yang eksis pada masanya
telah mendapat pengakuan dari dunia internasional baik pada masa penjajahan
Belanda, Inggris maupun Jepang dalam memperjuangkan kemerdekaan di Indonesia.
Sebenarnya pada masa itu Yogyakarta telah siap menjadi sebuah negara sendiri yang
merdeka, namun nasionalisme berbicara lain sehingga Yogya bersatu dengan Indonesia
menjadi Negara Kesatuan. Sedangkan peran Papua terkait dengan peran masyarakat adat
yang masih ada dan harus dijaga serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam
pertambangan di Papua. Tidak ada satupun yang tidak mengetahui mengenai
berlimpahnya tambang emas di Papua yang mana apabila dimanfaatkan bukan tidak
mungkin Indonesia menjadi negara yang sangat kaya.

3. Kesamaan antar Daerah Khusus


Berikut ini adalah contoh kesamann dari Daerah Aceh dan Yogya.
Aceh dengan perjuangan nasionalismenya, Yogya dengan Kasultanan dan Pakualaman yang
sudah mendunia, serta Papua dengan emas dan masyarakat adatnya sebenarnya memiliki
persamaan meskipun keistimewaannya apabila ditelaah begitu beragam. Persamaannya
itu adalah ketiga-tiganya memiliki sejarah yang sama dimana baik Aceh, Papua dan
Yogya merupakan jajahan Belanda. Keinginan untuk merdeka dari ketiga daerah
tersebut pada masa itulah yang merupakan salah satu alasan Indonesia bisa merdeka
sampai sekarang. Mungkin dalam hal ini, masih ada pertentangan mengenai apakah
Papua atau yang dulunya disebut Irian Barat memiliki aspek historis yang sama
dengan Aceh dan Yogya. Namun perlu diingat bahwa dalam kutipan pidato Bung Karno di
Kota Baru Jayapura tanggal 4 Mei 1963 telah menegaskan bahwa Irian Barat adalah
termasuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mana dalam pidato tersebut, Bung
Karno menegaskan,”Irian Barat sejak 17 Agustus 1945 sudah masuk dalam wilayah
Republik Indonesia. Orang kadang-kadang berkata, memasukan Irian Barat ke dalam
wilayah Ibu Pertiwi. Salah! Tidak! Irian Barat sejak daripada dulu sudah masuk ke
dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia…”
Maka dengan demikian telah terlihat adanya kesamaan historis antara ketiganya, dan
perlu diingat pada masa menjelang kemerdekaan Indonesia, bisa saja Aceh, Yogya
maupun Papua untuk memerdekakan diri. Aceh karena kegigihan dan kerajaannya, Yogya
karena kesultanannya, Papua karena wilayahnya yang bisa saja dapat memisahkan diri
dari Indonesia, namun karena keinginannya pada masa itu untuk bersatu menjadi
sebuah negara yang memiliki landasan historis yang kental itulah yang membuat
ketiga daerah tersebut mempunyai persamaan kehendak untuk bersatu menjadi sebuah
negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 yaitu Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

4. Kriteria Pemberian Otonomi Khusus di Indonesia


Pemberian otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah dari beberapa daerah
merupakan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang cukup umum ditemui dalam
pengalaman pengaturan politik di banyak negara. Pengalaman ini berlangsung baik di
dalam bentuk negara kesatuan yang didesentralisasikan, maupun dalam format
pengaturan federatif. Pemberian otonomi khusus dikelompokan dalam beberapa bagian
diantaranya:
1. Dalam hal historis, yakni mendapatkan pengakuan khusus
dari negara karena asal usul kesejarahan suatu daerah.2.
2. Dalam hal politik diantaranya:
· Mendapatkan pengakuan khusus dari negara karena untuk mengurangi konflik
berkepanjangan yang terjadi didalam daerah, baik Suku, Ras, Agama dan lainnya.
· Mendapatkan pengakuan khusus dari negara agar daerah tidak memisahkan diri
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia atau dengan kata lain menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Dalam hal sosial-cultural diantaranya:
· Mendapatkan pengakuan khusus dari negara karena untuk menghargai budaya
kental dari suatu daerah, seperti Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang sangat kental
kebudayaan islam dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.
· Mendapatkan pengakuan khusus dari negara karena adanya kekhususan dibidang
tertentu padadaerah tersebut seperti pariwisata dan letak geografis suatu daerah.
4. Dalam hal ekonomi yakni :
· Mendapatkan pengakuan khusus dari negara untuk membantu ketertinggalan
suatu daerah dengan daerah lainnya, seperti Papua adalah daerah yang kaya, namun
tertinggal dalam banyak bidang seperti ekonomi, kesejahteraan masyarakat,
pendidikan, kesehatan dan lainnya.
5. Dalam hal fungsional yakni:
· Daerah DKI Jakarta mendapatkan pengakuan khusus dikarenakan DKI Jakarta
ini dalam kedudukannya sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
sebagai daerah otonom yang memiliki fungsi dan peran yang penting dalam mendukung
penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun1945.Adapun menurut Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kriteriadalam menetapkan kawasan khusus
suatu daerah diantaranya:
1. Kawasan Cagar Budaya
2. Kawasan Taman Nasional
3. Kawasan Pengembangan Industri Strategis
4. Kawasan Pengembangan Teknologi Tinggi (seperti pengembangan nuklir)
5. Kawasan Peluncuran Peluru Kendali
6. Kawasan Pengembangan Prasarana Komunikasi
7. Kawasan Telekomunikasi
8. Kawasan Transportasi
9. Kawasan Pelabuhan dan Daerah Perdagangan Bebas
10. Kawasan Pangkalan Militer
11. Kawasan Wilayah Eksploitasi
12. Kawasan Konservasi Bahan Galian Strategis
13. Kawasan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Nasional
14. Kawasan Laboratorium Sosial
15. Kawasan Lembaga Pemasyarakatan Spesifik.
Bab III: Penutup
1. Kesimpulan
Pemberian Otonomi Khusus terhadap beberapa daerah istimewa atau khusus tidak dapat
dilepaskan dari landasan historis ketiganya dan rasa nasionalisme yang ada pada
daerah tersebut untuk bergabung menjadi negara kesatuan pada masa kemerdekaan
Indonesia. Ketika itu bangsa Indonesia sedang tertekan karena ingin merdeka dan
tidak ingin lagi dijajah oleh negara manapun. Perasaan nasionalisme tersebutlah
yang merupakan titik temu untuk daerah khusus tersebut agar dapat dianggap pantas
untuk menjadi daerah istimewa. Daerah istimewa itu sendiri tidak dapat dilepaskan
dari sejarah yang ada pada daerah tersebut, dimana ada sifat keunikan dan kekhasan
diantara ketiganya. Selain itu pula, daerah tersebut memiliki kontribusi dan peran
yang hingga saat ini masih sangat dibutuhkan oleh Negara Indonesia. Maka dari itu
menurut saya ketiga daerah tersebut memang pantas dan harus tetap dijadikan daerah
istimewa dengan koordinasi yang tepat oleh Pemerintahan Pusat.
Sayangnya dalam melaksanakan otonomi khusus, masih terdapat beberapa kelemahan
dari Negara Indonesia untuk mengaplikasikan dan mengimplikasikan otonomi khusus
yang baik dan tepat. Sebagai Contoh, hingga saat ini masih saja terjadi penggelapan
dana otonomi khusus yang diberikan kepada daerah-daerah istimewa tersebut. Selain
itu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan terhadap pengaturan daerah
istimewa maupun pengaturan daerah biasa juga sebaiknya dikaji lebih dalam lagi agar
otonomi khusus yang diberikan tidak malah membuat Indonesia terpecah dengan adanya
rasa iri dari daerah biasa maupun penyalahgunaan wewenang pemerintah daerah
istimewa dalam menjalankan kewenangannya.

2. Saran
Daerah kesimpulan diatas dapat diambil bahwa pemerintahan daerah dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu
memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan, potensi daerah dan
keanekaragaman daerah.
Selain itu keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintahan daerah
juga perlu diupayakan. Kesempatan yang seluas-luasnya perlu diberikan kepada
masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran. Masyarakat dapat memberikan
kritik dan koreksi membangun atas kebijakan dan tindakan aparat pemerintah yang
sekiranya merugikan masyarakat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Karena pada
dasarnya Otonomi Daerah ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh
karena itu, masyarakat juga perlu bertindak aktif dan berperan serta dalam rangka
menyukseskan pelaksanaan Otonomi Daerah.
Begitupula dengan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah
sebaiknya membuang jauh-jauh egonya untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan
kelompoknya dan lebih mengedepankan kepentingan Masyarakat. Pihak tersebut
sebaiknya melaksanakan fungsi dan kewajibannya dengan baik dan tidak
menyalahgunakan kewenangan yang telah diberikan.

Daftar Pustaka

Budiarjo, Miriam. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Politik (hal-140).


Manan, Bagir. 2002. Teori dan Politik Konstitusi (hal 24-25).
Syarifudin, Ateng. 1991. Negara Kesatuan, Desentralisasi dan Federalisme. (hal-40).
Widjaja, HAW. 2007. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Pasal 1 butir (5)Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 2, Undang-undang no. 11 Tahun 2006
Pasal 8 ayat 1 Undang-undang no. 11 Tahun 2006
Pasal 9 Undang-undang no. 11 Tahun 2006
Pasal 8 ayat 2 Undang-undang no. 11 Tahun 2006
Pasal 75-88 Undang-undang no. 11 Tahun 2006
Pasal 128 – 137 Undang-undang no. 11 Tahun 2006
Pasal 246 Undang-undang no. 11 Tahun 2006
Pasal 29 ayat 1 Undang-undang no. 21 Tahun 2009
Pasal 7 ayat (2) Undang - Undang Nomor 14 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta
Kristi, Novi. 2012. Otonomi Khusus. Diambil dari:
http://kristiarjati.blogspot.com/2012/06/otonomi-khusus.html
Knows, People. Makalah Otonomi Daerah. Diambil dari:
http://greatpeopleknows.tumblr.com/post/89045046769/makalah-otonomi-daerah
Zamril. 2015. Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus-Makalah Pendidikan Kewarganegaraan
STIE Bangkinang. Diambil dari: http://zamrilzd.blogspot.com/2015/06/otonomi-daerah-
dan-otonomi-khusus.html

Syaikhul Ibad di 01.53


Berbagi

Tidak ada komentar:


Posting Komentar

Beranda
Lihat versi web
Mengenai Saya
Foto saya
Syaikhul Ibad

Lihat profil lengkapku


Diberdayakan oleh Blogger.
LOGO
CNN Indonesia
Find it on Play Store GETX
logo
Nasional

MASUK DAFTAR
Home
Kanal
Nasional
Teknologi
Internasional
Hiburan
Ekonomi
Gaya Hidup
Olahraga
Lainnya
Infografis
Fokus
Foto
Kolom
Video
CNN TV
Aku & Jakarta
Indeks
Download Apps
Ikuti Kami

Home Nasional Internasional Ekonomi Olahraga Teknologi Hiburan Gaya Hidup


Infografis Foto Video Fokus Kolom Terpopuler Indeks
Home Nasional Berita Politik
Poin-poin Perdebatan Revisi UU Terorisme Jelang Finalisasi
Dika Dania Kardi, CNN Indonesia
Jumat, 18/05/2018 09:41
Bagikan :
Poin-poin Perdebatan Revisi UU Terorisme Jelang Finalisasi
Pemerintah hingga kini belum memberikan definisi terorisme dalam beleid RUU
Terorisme. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Pansus RUU Terorisme, Muhammad Syafi'i kembali
menegaskan pengesahan revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme tertunda karena masih belum ada kesepakatan soal definisi dari
terorisme itu sendiri.

Syafi'i menyatakan parlemen saat ini masih menunggu pemerintah memberikan definisi
teroris, sekaligus menyertakan penjelasan soal motif dan tujuan politik yang
melatarinya.

"Kami ingin itu dimasukkan. Kita harus berkaca di dunia tak ada yang tanpa motif
dan tujuan politik. Itulah yang seharusnya bisa paripurna sebelum reses kemarin,
pembahasannya jadi dilanjutkan lagi setelah reses," ujar Syafi'i saat berkunjung ke
redaksi CNN Indonesia TV, Jakarta, Kamis (17/5).

Definisi yang disepakati itu nantinya diharapkan bisa membedakan tindakan terorisme
dengan kriminal biasa. Hal itu diperlukan agar tak ada penetapan sewenang-wenang
oleh aparat terhadap orang atau kelompok yang mereka curigai sebagai teroris.

"Kita bisa membaca di seluruh dunia tindakan teror itu tidak ada yang tidak punya
motif dan tujuan poltik, bahkan itu yang membedakan terorisme dengan tindak
kriminal bias. Akhirnya pemerintah menunda lagi," tutur Syafi'i.
Poin-poin Perdebatan Revisi UU Terorisme Jelang FinalisasiKetua Pansus RUU
Terorisme Muhammad Syafi'i (CNN Indonesia/Dika Dania Kardi)

Direktur Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Purwanto
berharap pemerintah dan DPR segera mengesahkan revisi UU Terorisme. Dia berdalih
aturan yang ada saat ini menyulitkan aparat mencegah aksi pelaku teror.

Dia menyinggung rentetan teror bom yang melanda Surabaya dan Sidoarjo, serta
penyerangan kelompok teror di Mapolda Riau.

"Ini semua kelemahan undang-undang kita, di mana kita harus ada bukti permulaan
yang cukup. Dan mereka hanya diawasi karena kurang bukti," kata Wawan di tempat
yang sama pada waktu terpisah.

"Semua target-target hanya dicatat dan disampaikan kepada aparat keamanan yang lain
di dalam komite intelijen pusat. Namun, hanya karena bukti tidak mencukupi, maka
mereka hanya diawasi," kata Wawan.

Lihat juga:Kontras Minta Pemerintah Tak Abaikan HAM Tangani Terorisme

Wawan menganggap undang-undang perlu direvisi agar aparat bisa mengamankan terduga
teroris dengan berangkat dari indikasi, tanpa perlu menunggu bukti permulaan
seperti yang selama ini terjadi.

Wawan mencontohkan, BIN belakangan sudah mengawasi Dita Oepriapto, pelaku bom
gereja Surabaya yang turut serta mengajak anak dan istrinya beraksi. Dita sebelum
kejadian tak bisa ditindak karena aparat tak punya dasar bukti yang kuat.

"Sampai akhirnya kita mengalihkan kepada yang lain, dialihkan karena sasaran kan
tidak hanya satu, tetapi begitu banyak. Nah, inilah yang masalah. Kalau undang-
undang yang baru nanti revisinya diperkuat insyaallah akan jadi lebih baik," ujar
Wawan.

Dia membantah segala kritik yang menyebutkan teror-teror dalam waktu berdempetan
itu terjadi akibat intelijen kecolongan, dan ada egosektoral antarinstitusi.

"Sebetulnya, semua terkoordinasi di Kominpus, Komite Intelijen Pusat. Selalu


bekerja sama. Kalaupun ada kekuarangan selalu saling melengkapi," tutur Wawan.
Poin-poin Perdebatan Revisi UU Terorisme Jelang FinalisasiBonek bersimpati atas
tragedi bom gereja Surabaya. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Pelibatan TNI, Penyadapan, dan Penahanan

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam sepakat dengan perlunya revisi pada RUU
Terorisme tersebut. Dia pun mendukung DPR yang mendesak pemerintah memasukkan
definisi terorisme dalam draf RUU sebelum disahkan.

Namun, sambungnya, Komnas HAM mengkritisi draf RUU Terorisme yang mengatur peran
keterlibatan TNI. Choirul menyatakan pihaknya menilai dalam penanganan tindak
pidana terorisme di Indonesia, penempatan TNI adalah hal yang tidak tepat.

"Menurut kami pelibatan tentara jangan dimasukkan ke dalam revisi undang-undang


terorisme, tapi masukkanlah ke dalam undang-undang 34 tahun 2004 [UU TNI],
penjelasan pasal 7," ujar Choirul.

Lihat juga:Pelibatan Koopssusgab TNI Lawan Teroris Menuai Pro Kontra

Ia mengingatkan, TNI bukanlah aparat penegak hukum melainkan alat pertahanan


negara. Sehingga pengaturan pelibatan TNI dalam rezim hukum yang mengatur tindak
pidana dalam mengatasi terorisme bermasalah secara norma dan implementasi.

Dia lebih setuju pelibatan TNI ditetapkan pada undang-undangnya sendiri dan diatur
pada tingkat skala ancaman tertentu.

"Harus klir dulu rule of engagement-nya di mana. Lalu koordinasinya, komando


ataukah tidak. Rule of engagement-nya kaya begini tidak permanen. Tidak ada
pelibatan tentara yang permanen, keterlibatan tentara itu kalau dibutuhkan. Karena
[keterlibatan TNI] ini tak permanen dan didasari atas kebutuhan, diukurlah skala
kebutuhannya," ujar Choirul.
Poin-poin Perdebatan Revisi UU Terorisme Jelang FinalisasiBarang bukti hasil
penggerebekan sarang teroris di Surabaya dan Sidoarjo. (Foto: Divisi Humas Polri)

Syafi'i menegaskan pelibatan TNI itu sudah disepakati di kalangan anggota DPR untuk
masuk dalam revisi UU Terorisme.

"Sudah selesai, sudah aklamasi, (semua fraksi) sudah setuju," ujar dia.

Ia mengatakan, keterlibatan TNI itu dilaksanakan sesuai tugas pokok dan fungsi yang
telah diatur dalam UU 34/2004. Selanjutnya, untuk pelaksanaan mengatasi aksi
terorisme yang melibatkan TNI akan diatur dalam sebuah peraturan presiden.

Selain soal TNI, Choirul Anam menyatakan pihaknya pun menyorot beberapa poin dalam
RUU Terorisme, yakni soal penyadapan dan penahanan.

"Soal yang lain juga, soal penyadapan. Ini penegakan hukum, kan judulnya RUU Tindak
Pidana terorisme bukan RUU penanggulangan. Yang melakukan penindakan adalah
penyidik, bukan yang lain, bukan intel. Kalau penyelidikan bisa intelijen.
Penyidikan statusnya penegak hukum murni. Kalau dia disadap satu tahun, lalu bisa
diperpanjang satu tahun. Ini buat apa," kata dia.
Lihat juga:Urgensi Revisi UU Terorisme Masih Jadi Perdebatan Publik

Dalam salinan draf RUU Terorisme, Pasal 31 menyebutkan bahwa berdasarkan bukti
permulaan yang cukup, penyidik berwenang salah satunya melakukan penyadapan
terhadap terduga teroris. Penyadapan itu harus sesuai izin tertulis pengadilan dan
dilakukan paling lama satu tahun, serta bisa diperpanjang lagi hingga satu tahun.

"Ini ada dua dimensi yang berbeda... Penyadapan dalam konteks penyidikan itu
pembuktian, bukan dalam membongkar jaringan. Membongkar jaringan itu urusan intel,
bukan tugasnya penyidik. Undang-undang ini campur aduknya di situ paradigmanya,"
kata Choirul.

Komnas HAM, katanya, mendorong rasionalisasi jangka waktu penyadapan dalam rangka
penyidikan, serta meminta penegasan keadaan mendesak yang membuat permintaan izin
ke pengadilan boleh dilakukan dalam tempo tiga hari setelah penyadapan dimulai.
Poin-poin Perdebatan Revisi UU Terorisme Jelang FinalisasiBeberapa saat usai
Mapolda Riau diserang kelompok teror. (ANTARA FOTO/Retmon)

Masukan lain dari Komnas HAM adalah perihal penangkapan dan penahanan terduga
teroris. Komnas HAM, katanya, mendorong pengaturan kewajiban penegak hukum
menetapkan lokasi penahanan terduga yang ditangkap

"Perjelas tempat penahanannya di mana. Tinggal menambah satu kalimat, ketika


melakukan penangkapan dan penahanan, penahanan harus dititipkan di struktur
kepolisian mana," katanya.

Choirul menyatakan apa yang tercantum dalam draf RUU Terorisme saat ini untuk
menghindari risiko pelanggaran HAM, serta memastikan akuntabilitas, dan akses
keluarga atau kuasa hukum.

Lihat juga:Terorisme dan Penyakit Peradaban Kita

Dalam RUU diatur penahanan bisa dilakukan 14 hari, dan diperpanjang lagi hingga
tujuh hari dengan persetujuan kejaksaan.

"Kalau mereka [penegak hukum] perlu dalam proses penahanan belum cukup [mendapatkan
informasi], mereka tambah [waktu penahanan] sendiri. Dan perdebatannya kalau saya
tidak salah ini lebih tiga bulan. akhirnya kita sepakati 14 hari bisa diperpanjang
7 hari dengan izin," ujar Syafi'i.

Sementara itu soal tempat penahanan, ia mengaku itu tak diatur secara spesifik
dalam draf revisi RUU tersebut.

"Teknis penempatan napinya nanti memang tidak diatur di dalam undang-undang ini.
Kemarin kita cuma minta kepada dirjen lapas supaya sipir dan kalapas yang di
lapasnya ditempatkan tahanan teroris harus memiliki kualifikasi yang khusus," kata
Syafi'i.

(gil)
Bagikan :
revisi uu antiterorisme ruu terorisme pansus ruu terorisme

ARTIKEL TERKAIT
RUU Terorisme Akan Dibawa ke Paripurna Jumat
Nasional7 jam yang lalu
DPR Bakal Gelar Rapat Rabu Depan Bahas RUU Terorisme
Nasional3 hari yang lalu
Pansus Harap Pengesahan RUU Antiterorisme Tak Ditunda Lagi
Nasional3 hari yang lalu

Pemadam Api Cerdas, Cepat, Canggih dan Revolusioner


Promoted
Bamsoet Pastikan RUU Terorisme Rampung Bulan Ini
Nasional1 minggu yang lalu
BACA JUGA
Menhan Jamin TNI-Polri Bisa Kolaborasi Berantas Terorisme

Raih Mimpimu Bersama Unika Atma Jaya

Promoted
Jusuf Kalla Minta Definisi Terorisme Tak Diperdebatkan Lagi

Densus 88 Tunduk Pada Kapolri Soal RUU Terorisme

Formappi: DPR Layak Bertanggung Jawab atas Aksi Teror

News We Can Trust


Lihat Versi Desktop
NasionalTeknologiInternasionalHiburanEkonomiGaya HidupOlahragaDownload Apps
© 2018 Trans Media, CNN name, logo and all associated elements (R) and © 2018 Cable
News Network, Inc. A Time Warner Company. All rights reserved. CNN and the CNN logo
are registered marks of Cable News Network, Inc., displayed with permission.

Tentang Kami | Redaksi | Pedoman Media Siber | Disclaimer


Selasa 19 Januari 2016, 08:04 WIB
Ini Kutipan UU Terorisme yang Rencananya Akan Direvisi
Bagus Prihantoro Nugroho - detikNews
Ini Kutipan UU Terorisme yang Rencananya Akan Direvisi
Densus 88 Antiteror di Lokasi Bom Thamrin, Kamis (14/1). Foto: Agung Phambudhy
Jakarta - Pemerintah mewacanakan untuk merevisi UU No 15/2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme. Salah satu yang akan direvisi adalah mengenai kewenangan
penindakan untuk salah satu lembaga.

"Yang jelas, pengalaman kemarin, sebenarnya sejak bulan November kita telah
menduga, mencium, merasakan, mendeteksi adanya aktivitas di luar kewajaran. Tetapi
UU No 15 Tahun 2003, sebagai bagian dari persetujuan Perppu nomor 1 Tahun 2002,
yang dibuat setelah Bom Bali, itu ada bagian-bagian yang tidak bisa melakukan
tindakan," kata Seskab, Pramono Anung di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin
(18/1/2016).

Pramono kemudian mencontohkan bagaimana sebuah latihan simulasi pengeboman yang


dilakukan dengan kayu tidak bisa ditindak. Padahal bisa jadi ada indikasi kuat
potensi aksi terorisme setelah simulasi tersebut.

Sementara itu pengamat terorisme dari Community of Ideological Islamic Analyst


(CIIA) Harits Abu Ulya khawatir bila salah satu lembaga diberi kewenangan menindak,
BIN misalnya, maka akan kembali kepada rezim otoritarianisme. Oleh karena itu
proses revisi undang-undang tersebut haruslah transparan.

UU No 15 Tahun 2003 merupakan pengesahan atas Peraturan Pemerintah Pengganti


Undang-undang (Perppu) No 1 Tahun 2002. Perppu tersebut dibuat setelah peristiwa
Bom Bali yang tak hanya mengguncang Indonesia, tetapi juga dunia.

Berikut merupakan kutipan UU No 15/2003 yang berkaitan dengan penyidikan:

BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN

Pasal 25
(1) Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara
tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali
ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
(2) Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk
melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan.

Pasal 26
(1) Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap
laporan intelijen.
(2) Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua
atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
(3) Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara
tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
(4) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya
bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan
dilaksanakan penyidikan.

Pasal 27
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar,
yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang
di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Pasal 28
Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras
melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali
dua puluh empat) jam. (b

Masalah Definisi

Isu krusial yang ikut mengemuka bertalian dengan aksi terorisme adalah tentang
nasib revisi UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang
tak jelas juntrungannya. Pihak pemerintah meyakini bahwa revisi peraturan itu telah
memasuki babak akhir. Namun pendapat berbeda justru datang dari parlemen (DPR) yang
masih mempersoalkan definisi terorisme. Inilah pangkal masalahnya sehingga revisi
masih terkatung-katung.
Claire de Than & Edwin Shorts (2003) menyatakan there is by no means one consistent
and enforced of terrorism or of terroris act. Pandangan ini cenderung menunjukkan
bahwa memang tidak mudah untuk mendefiniskan terorisme atau tindakan teroris secara
konsisten. Ada banyak variabel dan motif yang bertalian dengan aksi teror seperti
motif politik, ekonomi hingga ideologi.
Maka memandang terorisme tentunya tidak boleh dibatasi dalam satu motif atau de-
finisi tertentu. Salah satu definisi yang menarik, misalnya dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia/KBBI (2008), terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan
untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan, terutama tujuan
politik.

Definisi tersebut tidak jauh berbeda dengan yang disebutkan Sanford H Kadish (1983)
yang menyebut terorisme sebagai the threat or use of violence for political
purposes by individual or groups, whether acting for, or in opposition to
established governmental authority .

Baik dalam KBBI maupun pendapat yang dikemukakan Kadish jelas ada kesamaan bahwa
dikatakan sebagai terorisme jika tindakannya yang menggunakan kekerasan kemudian
menimbulkan ketakutan yang didasari oleh tujuan politik. Dengan demikian, motivasi
politik menjadi poin penting yang tak terpisahkan ketika berbicara tentang
terorisme dalam konteks ini.

Bertalian dengan itu, saya berpandangan bahwa memasukkan motif politik dalam defi-
nisi terorisme tentu harus dilakukan ekstra-hati-hati. Pertama, ini seakan-akan
menyamakan terorisme dengan kejahatan politik (political crime). Padahal bisa saja
antara keduanya berbeda satu sama lain. Kedua, potensi penyalahgunaannya sangatlah
besar sebab hingga kini belum ada definisi yang baku mengenai kejahatan politik
yang dirumuskan dalam peraturan. Ketiga, belum ada pula parameter mengenai kapan
suatu perbuatan dikategorikan sebagai kejahatan poltik. Keempat, kejahatan politik
itu sendiri masih dibagi dalam 3 bagian lagi: political offender, pseudo political
offender dan political refugee .

Meskipun demikian dalam beberapa literatur yang lain, definisi terorisme tidak
mutatis mutandis bertalian dengan motif politik. Dalam Article 1 (2) of the failed
1937, League of Nations Convention for The Prevention and Punishmentof Terrorism,
misalnya terorisme disebut sebagai criminal acts directed against a state and
intended or calculated to create a state of terror in the mind of particular per-
sons or group or the general public. Definisi ini menempatkan terorisme sebagai ke-
jahatan yang diarahkan kepada negara yang ditujukan sebagai teror, dalam benak
seseorang, kelompok atau masyarakat umum.

Dengan demikian mengulas definisi terorisme tentu sangatlah luas cakupannya. Pada
satu sisi para ahli menggunakan motif politik sebagai salah satu elemen ketika
berbicara tentang terorisme tetapi di sisi yang lain, keberadaan motif politik
dalam terorisme menjadi tidak penting, sepanjang tindakan teror itu menimbulkan
kepanikan, ketakutan dan kerusakan baik kepada individu, kelompok maupun
kepentingan umum.

Saya berpandangan bahwa sebaiknya kita tidak perlu membatasi definisi terorisme
secara sempit dan spesifik melainkan hanya perlu dirumuskan elemen-elemen dari
perbuatan pidananya. Artinya bahwa pembentuk undang-undang hanya perlu merumuskan
secara jelas (lex certa) dan tegas (lex stricta) elemen actus reus maupun mens
rea pelaku. Ketika elemen-elemen tersebut terpenuhi maka pada saat itulah sese-
orang disebut sebagai teroris.
Login Sign Up
Berita · Pusat Data · Klinik · Events · Produk

Search

Selasa, 08 March 2016


Ini Catatan Penting Revisi UU Pemberantasan Terorisme
RFQ
Mulai aspek asas, hak asasi manusia, hingga problem koordinasi antar lembaga perlu
diperjelas dan diperkuat.
Ilustrasi penganganan teror bom. Foto: RES
Revisi Undang-Undang (RUU) No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme menjadi perhatian sejumlah kalangan. Tak saja menyoroti persoalan hak
asasi manusia, namun juga sejumlah kelemahan dalam UU 15/2003 itu. Anggota Komisi I
DPR Sukamta misalnya, memberikan sejumlah catatan. Mulai konstruksi RUU hingga
aspek pencegahan.

Pertama, konstruksi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terlampau rinci. Namun


melupakan aspek lain seperti soal asas. Menurutnya, meski terorisme sebuah
kejahatan besar, namun asas dalam RUU mesti diatur, misalnya asas kesetaraan.
“Pemberantasan dan pencegahan mestinya tak selalu fokus pada agama, rasa tau
kelompok tertentu,” ujarnya, Selasa (8/3).

Kedua, dalam UU 15/2003 dan UU No.9 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme tidak mengatur definisi terorisme. Yang ada, hanyalah beberapa
aturan terkait orang yang melakukan tindakan tertentu dipidana dengan hukuman
tertentu. “Tetapi istilah terorisme itu sendiri tidak didefinisikan,” ujarnya.

Penggunaan frasa teror-isme perlu dikaji mendalam. Pasalnya, frasa isme memiliki
makna paham, konsep pemikiran, dan ideologi. Sehingga, terorisme dapat dimaknai
sebuah paham, konsep pemikiran maupun ideology yang menganut ajaran dan tindakan
teror. Oleh sebab itu, frasa terorisme perlu didefinisikan untuk kemudian
disepakati agar tidak menjadi abu-abu yang ujungnya menimbulkan tindakan
serampangan dalam menentukan seseorang pelaku teroris, atau sebaliknya.

Ketiga, UU 15/2003 mengatur pemberantasan teorisme. Nah dalam RUU Pemberantasan


Tindak Pidana Terorisme mesti mengatur aspek pecegahan. Pemberantasan memiliki
konotasi tindakan dilakukan setelah peristiwa terjadi. Sedangkan pencegahan,
memiliki arti tindakan agar perstiwa tidak terjadi.

Keempat, perkembangan teknoloho amat memungkinkan teror dilakukan secara melalui


dunia maya. Teror jenis tersebut dapat berbentuk tayangan teror di media online,
system instalasi ciber yang memungkinkan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Kelima, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) selama ini beroperasi tidak
bedasarkan UU, namun Peraturan Pemerintah.

Ia berharap dengan adanya RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, BNPT menjadi
lebih kuat dalam melakukan fungsi koordinasi pencegahan dan pemberantasan terorisme
yang dilakukan oleh instansi lainnya. Menurutnya, bisa menjadi bahaya kalau suatu
lembaga sangat powerfull, tetapi aspek hukumnya tidak jelas dan lengkap berpotensi
serampangan.
“Problem koordinasi antar stakeholder perlu diperjelas, karena di sini lubangnya.
Selama ini terkesan seolah-olah hanya menjadi tugas lembaga tertentu saja,
sementara TNI seolah tidak perlu dilibatkan sama sekali,” ujar politisi Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Anggota Komisi III Taufikulhadi berpandangan, banyak persoalan yang mesti dibenahi
dalam UU 15/2003. Menurutnya efektivitas UU 15/2003 kurang melindungi hak asasi
manusia terhadap orang yang salah tangkap. Selain itu, perlindungan terhadap korban
salah tangkap tak diperhatikan. “Oleh karena itu, RUU ini akan menjadi afektif
bersamaan dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia,” imbuhnya.

Tak hanya itu, politisi Nasional Demokrat (Nasdem) ini mencatat penguatan
koordinasi dalam pelaporan intelijen terkait dugaan adanya upaya melakukan teror.
Ia menilai laporan intelijen tidak serta merta menjadi alat untuk menuding
seseorang terlibat aksi teror. “Itu harus hati-hati, jangan ada lapora kemudian
orang dipersalahkan. Itu harus dipertegas,” ujarnya.

Kirim Komentar
BERITA TERKAIT:
Gawat! Ditengarai Ada Pasal “Guantanamo” di RUU Terorisme
Revisi UU Terorisme Menyasar Hate Speech
Revisi UU Terorisme Berpotensi Menabrak Sistem Peradilan Pidana
Hindari Kriminalisasi Berlebihan dalam Revisi UU Terorisme
Ini Alasan DPR Tolak Kewenangan Interogasi oleh BIN dalam RUU Terorisme
Back »

Ke Atas · Berita · Search


Lihat Versi Desktop
Home · RSS · FAQ · Term & Condition · Pedoman Berita · Kode Etik · Tentang Kami ·
Privacy Policy
Copyright © 2018 hukumonline.com, All Rights Reserved
Sumo
Focus Retriever
71
SharesFacebook71WhatsAppTwitterGoogle+0LinkedIn0SumoMe

Governance di Indonesia
Penulis K S - Senin, 15 Januari 20182040
- Advertisement -

[Perwujudan Good Governance di Indonesia]


————————————

Pada tahun 2008, Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) merilis sebuah pedoman
Good Public Governance. Pedoman tersebut tentu bertujuan untuk pembenahan birokrasi
Indonesia dalam mewujudkan Good Governance. Dalam buku panduan GCG, disebutkan
bahwa Good Public Governance (GPG) merupakan sistem atau aturan perilaku terkait
dengan pengelolaan kewenangan oleh para penyelenggara negara dalam menjalankan
tugasnya secara bertanggung jawab dan akuntabel. Dalam penerapannya, GCG
membutuhkan kolaborasi yang baik antara pelenggara negara dengan lembaga negara,
penyelenggara negara dengan sektor bisnis, penyelenggara dengan masyarakat, dan
hubungan negara dengan negara.
Penyelenggara yang dimaksud dalam GPG meliputi ranah eksekutif, ranah legislatif,
ranah yudikatif, bahkan juga lembaga-lembaga nonstruktural.
- Advertisement -

Penerapan Good Public Governance diharapkan mampu menjadi solusi atas permasalahan
tata kelola yang ada di Indonesia. Pada sektor publik, pelaksanaan GPG diharapkan
mampu membentuk penyelenggara negara yang patuh terhadap hukum, sehingga dapat
mencegah terjadinya suap, korupsi, dan sejenisnya. Pada sektor privat, diharapkan
penyelenggara negara dan dunia usaha dapat bersinergi dalam menciptakan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang pada gilirannya akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat.

Pada sisi masyarakat, diharapkan semakin meningkatnya partisipasi masyarakat dalam


proses tata kelola, sehingga sistem kenegaraan tidak hanya bersifat satu arah,
tetapi dapat menjadi kolaborasi yang apik antara negara dan rakyatnya.

Pada implementasinya, setiap lembaga negara harus memastikan bahwa asas GPG
diterapkan dalam setiap aspek pelaksanaan fungsinya. Terdapat lima asas Good Public
Governance, di antaranya adalah demokrasi, transparansi, akuntabilitas, budaya
hukum, serta kewajaran dan kesetaraan. Demokrasi mengandung tiga unsur pokok, yaitu
partisipasi, pengakuan adanya perbedaan pendapat, dan perwujudan kepentingan umum.
Tranparansi mengandung unsur pengungkapan (disclosure) dan penyediaan informasi
yang memadai, serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan. Akuntabilitas
mengandung unsur kejelasan fungsi dalam organisasi dan cara
mempertanggungjawabkannya.

Budaya hukum mengandung unsur penegakan hukum (law inforcement) secara tegas tanpa
pandang bulu dan ketaatan terhadap hukum oleh masyarakat berdasarkan kesadaran.
Kewajaran dan kesetaraan mengandung unsur keadilan dan kejujuran, sehingga dalam
pelaksanaannya dapat diwujudkan perlakuan setara terhadap pemangku kepentingan
secara bertanggung jawab.

Peluncuran Pedoman Good Public Governance pada tahun 2008, sudah berjalan kurang
lebih sepuluh tahun. Namun, jika kita kontekstualisasikan dengan kondisi Indonesia
saat ini, masih banyak evaluasi yang dinobatkan untuk pemerintahan Jokowi-JK. Jika
kita mengulas balik pada kasus yang terjadi pada tahun 2017, pertama, yaitu
pengesahan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 2 tahun 2017 tentang
organisasi kemasyarakatan yang tentu mencederai asas demokrasi karena dapat
melakukan pembubaran organisasi kemasyarakatan tanpa proses pengadilan.

Kedua, kasus korupsi megaproyek E-KTP yang merugikan negara sampai 2,3 Triliun yang
mencederai asas transparansi dan akuntabilitas, karena masih maraknya kasus-kasus
korupsi ada di Indonesia, bahkan dilakukan secara kolektif. Ketiga, proses
persidangan Setya Novanto atas tindak pidana korupsi yang penuh dengan drama tentu
mencederai asas budaya hukum, kewajaran, dan kesetaraan karena perlakuan hukum yang
berbelit-belit ketika menghadapi tokoh negara. Selain ketiga kasus tersebut, masih
banyak lagi kasus lain yang terus membuat rakyat Indonesia terus mengerutkan dahi.
Namun, saya yakin apabila seluruh aparatur negara sudah memiliki kesadaran penuh
untuk disiplin dan mengikuti pedoman Good Public Governance yang telah diluncurkan
oleh KNKG, bukanlah hal yang mustahil jika Indonesia dapat menerapkan Good
Governance pada sistem pemerintahannya.

Good governance efektif diterapkan di Indonesia pasca meletusnya revolusi orde


baru pada tahun 1998 yang melahirkan era reformasi di Indonesia. Era reformasi
diharapkan mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik lagi, namun teori
tidaklah semudah prakteknya.

Konsep trias politica milik Montesquieu yang diadopsi dari pemikiran


John Locke, dianut oleh Indonesia. Kekuasaan dibagi menjadi tiga, yaitu eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Sesuai dengan good governance, maka hubungan antara
ketiganya haruslah mencerminkan hubungan yang sehat dimana idealnya harus jauh dari
nuansa kepentingan politik semata, namun lebih benar-benar ditujukan untuk
kepentingan rakyat Indonesia. Realitanya tidaklah demikian di negara kita ini.

Negara yang merdeka pada tahun 1945 ini masih sangat kental nuansa
politiknya ketimbang nuansa kepentingan kerakyatannya, dimana mayoritas yang
menduduki jabatan strategis merupakan orang-orang politik yang sebenarnya dapat
dikatakan kurang ahli di bidang tersebut. Imbasnya, rakyat kembali dirugikan atas
hal ini, atau ketika kisruh antara dua lembaga negara, yakni KPK dengan Polri yang
dijuluki sebagai duel cicak versus buaya. Mungkin jika menyebutnya bak duel el
classico atau derby Manchester pun bukanlah sebutan yang melebih-lebihkan bukan?

Menarik ketika Joko Widodo terpilih sebagai orang nomor satu di


Indonesia. Mengapa? Politisi yang pernah menjabat sebagai Walikota Solo ini
digadang-gadang sebagai pemimpin yang sangat demokratis dan peduli terhadap
kepentingan rakyat, terbukti dengan prestasinya dalam memimpin kota Solo. Namun
ekspektasi tersebut seakan langsung memudar ketika pembentukan Kabinet Kerja yang
tidak sedikit diisi oleh para politisi yang berasal dari koalisi Indonesia Hebat.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Kompas, dari jumlah Kementerian


yang ada, 18 posisi menteri diisi oleh para politisi, sisanya sebanyak 16 kursi
menteri diduduki oleh kalangan profesional. Jokowi seolah membuktikan slogan
“koalisi tanpa bagi-bagi kursi” benar-benar ia tepati. Namun berbagai kalangan
tetap menilai bahwa komposisi tersebut tetap mengindikasikan bahwa Kabinet Kerja
tidak sepenuhnya tidak bagi-bagi kursi, setidaknya itu berdasarkan salah satu
pengamatan dari pengamat politik LIPI, Siti Zuhro.

Terlebih pada perkembangannya bahwa Kabinet Kerja mengalami reshuffle


yang mana para politisi dari partai yang awalnya tidak mendukung koalisi Indonesia
Hebat milik Jokowi-JK justru bergabung ke dalam skuad Kabinet Kerja. Airlangga
Hartarto misalnya, politisi asal Golkar ini resmi menjabat sebagai Menteri
Perindustrian menggeser Saleh Husein yang di reshuffle. Selain itu nama-nama
profesional seperti Luhut Binsar Panjaitan bisa dikatakan tidak benar-benar
profesional jikalau dikaitkan perihal kedekatannya dengan presiden, begitu pula
halnya Rini Soemarno yang merupakan adik dari Ari Soemarno, kolega JK.

Tidak hanya sampai disitu, bahwasanya dapat dikatakan Kabinet Kerja


milik Jokowi-JK sangat akrab dengan kisruh internal. Antara JK dengan Rizal Ramli
misalnya. Mereka berdua terlibat perang dingin perihal kebijakan pemerintah, yang
seharusnya hal tersebut tidak boleh terjadi antara wapres dengan menko. Menurut
pengamat politik Idil Akbar kepada Okezone, bisa jadi memang ada problem komunikasi
yang terputus di dalam kabinet, khususnya mengenai kebijakan strategis yang akan
diambil. Bisa jadi pula ini terkait egosentrisme personal.

Bahkan kisruh internal yang terjadi pada Kabinet Kerja terkenal dengan
takeline “Kabinet Gaduh” yang mana setiap ada kebijakan yang dikeluarkan pasti
terdapat satu sama lain tidak setuju dan saling menyerang pendapat lain. Tentunya
ini dapat menjadi gambaran bahwa Kabinet milik Jokowi yang digadang-gadang mampu
membawa Indonesia lebih baik lagi kenyataannya justru sebaliknya. Bahkan kegaduhan
juga tidak hanya terjadi di dalam internal pemerintahan saja, melainkan juga antar
lembaga negara.

Kasus KPK dengan Polri pun juga tidak kalah menarik untuk dibahas,
bahkan “pertarungan” dua lembaga negara ini mendapat julukan cicak versus buaya.
Tensinya mungkin sama dengan rivalitas antara Real Madrid dengan Barcelona. Pangkal
permasalahannya adalah ketika Budi Gunawan yang pada saat itu dicalonkan sebagai
orang nomor satu di Korps Bhayangkara mendapat sentakan tajam dari ketua KPK,
Abraham Samad. Bahwasanya Abraham Samad berbicara di hadapan media bahwa BG, sapaan
akrab Budi Gunawan memiliki rekening gendut, yang mana hal tersebut memantik emosi
pihak Kepolisian.

Efek domino dari kasus tersebut adalah diloloskannya praperadilan milik


Budi Gunawan yang tentunya didalam lolosnya praperadilan Budi Gunawan terdapat
sosok kontroversial dalam diri Hakim Sarpin Rizaldi. Hakim jebolan Universitas
Hasanudin ini menggemparkan seluruh rakyat Indonesia karena meloloskan sidang
praperadilan Budi Gunawan. Bagi masyarakat dan para pengamat politik, tentu hal
tersebut tidak memberikan contoh pendidikan politik yang baik untuk rakyat.

Contoh dari dua kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa Indonesia belum
dapat dikatakan benar-benar menerapkan good governance dengan baik karena apa yang
terjadi di pemerintahan maupun hubungan antar lembaga negara belumlah harmonis.
Prinsip-prinsip good governance pun masih belum sepenuhnya diaplikasikan seperti
prinsip tegaknya supremasi hukum yang diselewengkan jika kita melihat kasus Budi
Gunawan yang sidang pra peradilannya disahkan oleh Hakim Sarpin Rizaldi.

Demokrasi merupakan sistem terbaik dalam mewujudkan good governance di


Indonesia karena demokrasi melibatkan rakyat, namun demokrasi tetap memiliki
kelemahan. Maka dari itu integritas, akuntabilitas, serta transparansi menjadi
kunci suksesnya demokrasi guna mewujudkan good governance. Terdapat tiga aspek
yang dapat mewujudkan good governance adalah pemerintah, masyarakat, dan sektor
swasta. Dalam sistem demokrasi, ketiga aspek tersebut memungkinkan untuk saling
bersinergi satu sama lain.

Transparansi menjadi salah satu aspek yang menentukan gagal atau


berhasilnya cita-cita good governance di Indonesia. Pelayanan publik pun menjadi
aspek yang tak kalah penting guna terwujudnya good governance. Dari segi pelayanan
publik misalnya, salah satu provinsi Indonesia yaitu Jawa Tengah yang dipimpin
oleh Gubernur Ganjar Pranowo bisa dikatakan berada pada level yang memuaskan.
Beliau aktif di sosial media guna melayani aspirasi dan keluh kesah masyarakat
perihal kebijakan daerah, pungli, ataupun hal-hal yang berkaitan dengan pembuatan
KTP.

Mewujudkan serta mengimplementasikan konsep good governance di


Indonesia tidaklah mudah namun bukanlah suatu perkara yang mustahil. Pemerintah
masih belum mampu memberikan kebijakan dan kepuasan pelayanan terhadap publik
lantaran masih kental dengan aroma kepentingan politik yang sangat pekat. Guna
mewujudkan good governance tentunya perlu mengintegrasikan peran antara pemerintah,
masyarakat, dan juga sektor swasta tentunya.

Anda mungkin juga menyukai