Anda di halaman 1dari 40

Bersuci (Bahasa Arab: ‫طهارة‬, transliterasi:thohara) merupakan bagian dari prosesi ibadah umat Islam yang

bermakna menyucikan diri yang mencakup secara lahir atau batin, sedangkan menyucikan diri secara
batin saja di istilahkan sebagai tazkiyatun nufus.

Kedudukan bersuci dalam hukum Islam termasuk ilmu dan amalan yang penting, terutama karena di
antara syarat-syarat salat telah ditetapkan bahwa seseorang yang akan mengerjakan salat diwajibkan suci
dari hadas dan suci pula badan, pakaian, dan tempatnya dari najis. Firman Allah:

“ Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang
menyucikan diri. (Al Baqarah 2:222) ”

Pengertian thaharah Sunting

Secara bahasa thaharah artinya membersihkan kotoran, baik kotoran yang berwujud maupun yang tak
berwujud. Kemudian secara istilah, thaharah artinya menghilangkan hadas, najis, dan kotoran (dari
tubuh, yang menyebabkan tidak sahnya ibadah lainnya) menggunakan air atau tanah yang bersih.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Bersuci.

Pengertian thaharah

Thaharah secara bahasa berarti bersih dan membebaskan diri dari kotoran dan najis. Sedangkan
pengertian thaharah secara istilah (syara’) adalah menghilangkan hukum hadats untuk menunaikan
shalat atau (ibadah) yang selainnya yang disyaratkan di dalamnya untuk bersuci dengan air atau
pengganti air, yaitu tayammum.

Jadi, pengertian thaharah atau bersuci adalah mengangkat kotoran dan najis yang dapat mencegah
sahnya shalat, baik najis atau kotoran yang menempel di badan, maupun yang ada pada pakaian, atau
tempat ibadah seorang muslim.

Pembagian thaharah

Thaharah itu terbagi menjadi dua :


1. Thaharah ma’nawiyah atau thaharah qalbu (hati), yaitu bersuci dari syirik dan maksiat dengan cara
bertauhid dan beramal sholeh, dan thaharah ini lebih penting dan lebih utama daripada thaharah badan.
Karena thaharah badan tidak mungkin akan terlaksana apabila terdapat syirik. Dalilnya adalah sebagai
berikut :

َ‫إإننمما اشلكمششإرككوُمن نممجس‬

“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis” (QS. At-Taubah : 28)

‫طههمر قككلوُبمهكشم لمهكشم إفيِ الددشنميا إخشزيْ مولمهكشم إفيِ شالمإخمرإة معمذا ب‬
‫ب معإظيكم‬ ‫أكشولمئإ م‬
‫ك النإذيِمن لمشم يِكإرإد اك مأن يِك م‬

“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh
kehinaan didunia dan diakhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al-Maaidah: 41)

Maka wajib bagi seorang muslim yang berakal untuk mensucikan dirinya dari syirik dan keraguan dengan
cara ikhlas, bertauhid, dan yakin. Dan juga wajib atasnya untuk mensucikan diri dan hatinya dari kotoran-
kotoran maksiat, dengki, benci, dendam, penipuan, kesombongan, ‘ujub, riya‘, dan sum’ah.

2. Thaharah hissiyah atau thaharah badan, yaitu mensucikan diri dari hadats dan najis, dan ini adalah
bagian dari iman yang kedua. Allah mensyariatkan thaharah badan ini dengan wudhu dan mandi, atau
pengganti keduanya yaitu tayammum (bersuci dengan debu). Penghilangan najis dan kotoran ini meliputi
pembersihan pakaian, badan, dan juga tempat shalat. Dalilnya adalah sebagai berikut :

‫الطهوُر شطر اليِمان‬

“Sesungguhnya kebersihan itu sebagian dari iman”


‫ق مواشممسكحوُا بإكركءوإسككشم موأمشركجلإككشم إإملىَ اشلمكشعبمشيإن موإإن ككنتكشم كجنكببا‬ ‫صلمإة مفاشغإسكلوُا كوكجوُهمككشم موأمشيِإديِمككشم إإملىَ اشلمممرافإ إ‬
‫ميِاأمديِمها النإذيِمن مءاممكنوُا إإمذا قكشمتكشم إإملىَ ال ن‬
‫صإعيبدا طميهببا مفاشممسكحوُا بإكوُكجوُإهكشمك‬ ‫ضىَ أمشو معملىَ مسفمرر أمشو مجآَمء أمحبد همنكم هممن المغآَئإإط أشو لمممشستكم النمسآَمء فلشم تمإجكدوا ممآَبء فتميمنمكموُا م‬
‫م‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ك‬ ‫م‬ ‫ش‬ ‫ك‬ ‫م‬ ‫مفاطنهنكروا موإإن ككنكتم نمشر م‬
‫طههمرككشم مولإيكتإنم نإشعممتمهك معلمشيككشم لممعلنككشم تمششكككرومن‬
‫ج مولمإكن يِكإريِكد لإيك م‬ ‫موأمشيِإديِككم همشنهك ممايِكإريِكد اك لإيمشجمعمل معلمشيككم همشن محمر ر‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai siku, dan sapulah (usaplah) kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau salah seorang
dari kamu kembali dari tempat buang air (wc/kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmAt-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Maaidah: 6)

Sedangkan menurut Imam Ibnu Rusyd, thaharah itu terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Thaharah dari hadats, yaitu membersihkan diri dari hadats kecil (sesuatu yang diminta -bersucinya
dengan- wudhu) dan dari hadats besar (sesuatu yang diminta -bersucinya dengan – mandi).

2. Thaharah dari khubts atau najis, yaitu membersihkan diri, pakaian, dan tempat ibadah dari sesuatu
yang najis dengan air.

— akan datang penjelasan tentang hadats dan khubts ini pada artikel yang mendatang, insya Allah —-

Maraji’ (sumber) :

Fiqih Sunnah Wanita – Kamal bin As Sayyid Salim

Fiqih Ibadah, Master Text Book IFIQ 2033 – Al Madinah International University

Bidayatul Mujtahid – Imam Ibnu Rusyd

ِ‫كتاب طهوُر المسلم فيِ ضوُء الكتاب والسنة لـــ سعيد عليِ القحطاني‬

https://fiqihwanita.com/pengertian-thaharah-bersuci-dan-pembagiannya/

Hukum Thaharah
Hukum membersihkan dan menghilangkan najis adalah wajib ketika ingat dan disertai dengan
kemampuan. Hal ini berdasarkan dalil dari al-qur’an dan sunnah serta ijma’ para ulama. Dari al-qur’an
adalah firman Allah.

‫ق موٱمُممسكحوُشا بإكركءوإسكك مُم موأممُركجلمكك مُم إإملىَ ٱمُلمكمُعبممُينإن موإإن ككنتك مُم كجنك ببا‬ ُ‫م‬ ‫يِيمأ مديِمها ٱلنإذيِمن مءاممنكيوُشا إإمذا قكمُمتك مُم إإملىَ ٱل ن‬
‫صلميوُإة مفٱَمُغإسكلوُشا كوكجوُهمكك مُم موأممُيِإديِمكك مُم إإملىَ ٱلمممرافإ إ‬
‫ي‬ ُ‫م‬ ‫ن‬
‫طيه ببا مفٱَمُممسكحوُشا بإكوُكجوُإهكك مُم‬ ‫صإعيبدا م‬ ‫ض ي يىَ أممُو معلميىَ مسفمرر أممُو مجآَمء أممحدد همنككم هممن ٱلمغآَئإإط أممُو لممممُستككم ٱلنهمسآَمء فملم مُم تمإجكدوشا ممآَبء فمتميمنمكموُشا م‬ ‫مفٱَطنهنكروشا موإإن ككنكتم نممُر م‬
٦ ‫موأممُيِإديِككم هممُن نهك مما يِكإريِكد ٱنلك لإيممُجمعمل معلممُيككم هممُن محمرجج مو يلمإكن يِكإريِكد لإيكطمههمركك مُم مولإيكتإنم نإمُعممتمهۥُك معلممُيكك مُم لممعلنكك مُم تممُشكككرومن‬

”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”. (QS.Al Maidah:6)

‫ك فم م‬
٤ ‫طههمُر‬ ‫موثإميابم م‬

”dan pakaianmu bersihkanlah”. (QS.Al Muddatstsir:4)

Demikian pula firman Allah ta’ala:

‫طآَئإإفيمن موٱمُليمعإكإفيمن موٱلدرنكإع‬ ‫ص بللىّٗىَ مومعإهمُدمنآَ إإلم ي يىَ إإمُبيمرإهۧمم موإإمُسيممإعيمل مأن م‬
‫طههمرا بممُيتإميِ إلل ن‬ ‫س موأممُمبنا موٱتنإخكذوشا إمن نممقاإم إإمُبيمرإهۧمم كم م‬ ‫موإإمُذ مجمعمُلمنا ٱمُلبممُي م‬
‫ت مممثابمبة هللننا إ‬
١٢٥ ‫ٱلدسكجوُإد‬

”Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan
tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim[89] tempat shalat. Dan telah Kami
perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang
i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. (QS.Al Baqarah:125).

Mengenai dalil-dalil dari hadits, diantaranya adalah sabda Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam:

“Tidak akan diterima shalat tanpa bersuci”. (H.R. Muslim, no: 224).
“Allah tidak akan terima shalat salah seorang dari kalian apabila berhadats sehingga ia berwudlu”. (H.R.
Bukhari, no:135).

Adapun dalil Ijma’, maka para ulama telah sepakat bahwasannya shalat tidak akan sah melainkan dengan
thaharah.

Adapun membersihkan hadats, baik yang kecil maupun yang besar maka hukumnya adalah wajib. Hal ini
dalam rangka diperbolehkannya untuk melakukan ibadah yang disyaratkan dalam kedaan thaharah
(bersuci). Sebagaimana yang akan kami sebutkan.

Thaharah hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. di antara firman
Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW tentang Thaharah adalah sebagai berikut :

Artinya :

"hai orang orang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki. jika kamu junub mandilah dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air atau juga menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, bertayamumlah
dengan tanah yang baik (bersih),sapulah tangan dan mukamu dengan tanah itu. Allah SWT tidak hendak
menyulitkanmu, tetapi dia hendak membersihkan dan menyempurnakan nikmatnya bagimu supaya
kamu bersyukur." (Q.S Al-Ma'idah : 6)

Artinya :

"Shalat (yang dilakukan) tanpa bersuci tidak diterima." (H.R Muslim)

http://cahayaummulquro.com/pengertian-hukum-cara-dan-macam-thaharah-kitab-thaharah/

Bersuci dan Rahasia-rahasianya

Posted By Humas PI - 21 January 2004 378 Leave a comment

Bersuci itu mempunyai empat tingkatan: menyucikan yang lahir dari hadas, najis, dan kotoran;
menyucikan tubuh dari dosa dan kesalahan; menyucikan hati dari akhlak-akhlak tercela dan kehinaan-
kehinaan yang dibenci; dan menyucikan apa yang tersembunyi dari hal-hal selain Allah, yang sekaligus
merupakan tujuan yang terakhir.

Siapa yang bagus dan kuat pandangannya tentu bisa meraih apa yang dicarinya. Siapa yang buta tentu
tidak bisa memahami tingkatan-tingkatan bersuci ini, kecuali tingkatan yang pertama, sehingga engkau
melihatnya hanya menghabiskan waktu untuk melakukan istinja dan mencuci pakaian, yang dia lakukan
secara berlebihan. Dia berbuat seperti itu karena hanya dirasuki rasa was-was dan karena ilmunya yang
minim, dengan mengira bahwa bersuci yang dituntut adalah sebatas pada tingkatan pertama ini.

Dia tidak tahu kebiasaan orang-orang terdahulu yang menghabiskan waktunya sekian lama untuk
membersihkan hati dan menganggap remeh hal-hal yang tampak, sebagaimana yang diriwayatkan dari
Umar bin Khattab r.a., bahwa dia pernah wudu dari guci yang biasa digunakan oleh orang-orang Nasrani.
Hampir-hampir mereka tidak sempat mengusap tangannya dengan minyak wangi; biasa salat di atas
tanah, berajalan tanpa alas kaki; melakukan istijmar (cebok) dengan batu secukupnya jika tidak ada air.

Kini banyak orang yang disebut dengan istilah kelompok orang-orang sok suci, yang menghabiskan
waktunya untuk menghias lahiriahnya, sedangkan batin mereka rusak karena dipenuhi noda-noda
sombong, riya, ujub, munafik, dan bodoh. Jika mereka melihat orang lain yang melakukan istijmar
(cebok) dengan kerikil, berjalan tanpa alas kaki, wudu dari teko milik orang tua renta, tentu mereka akan
mengingkarinya dengan pengingkaran yang keras, dan menjulukinya sebagai orang yang jorok, serta
tidak mau makan bersamanya.

Perhatikan bagaimana menjadikan cara bersuci yang termasuk bagian dari iman sebagai hal yang kotor
dan sikap yang jijik sebagai kebersihan; menjadikan kemungkaran sebagai kemakrufan, dan kemakrufan
sebagai kemungkaran, tetapi itu merupakan perbuatan baik. Untuk mengetahui macam-macam najis dan
hadas, hendaklah kita kembali kepada kitab-kitab fikih, karena sasaran dari kitab ini adalah adab.

Membersihkan kotorana ada dua macam: pertama, kotoran yang bisa dihilangkan, seperti kotoran dan
kaki yang menempel di kepala. Kotoran-kotoran ini harus dibersihkan dengan cara mencucinya,
menggosok, memoleskan minyak, begitu pula kotoran yang ada di telinga dan hidung yang harus
dibersihkan.

Dianjurkan bersiwak dan berkumur untuk menghilangkan kerak yang menempel di gigi dan lendir di
lidah, begitu pula daki yang menempel di badan karena keringat dan debu-debu jalanan, yang bisa
dilakukan dengan cara mandi.

Ada baiknya masuk kamar mandi karena lebih mudah bagi seseorang untuk membersihkan segala
macam kotoran dari badan selagi berada di kamar mandi. Begitulah yang dilakukan oleh para sahabat.
Tetapi, dia harus menjaga auratnya, jangan sampai dilihat orang lain. Saat masuk kamar mandi pun dia
harus ingat panasnya api neraka. Sebab, adakalanya pikiran orang mukmin masih berputar-putar
memikirkan berbagai macam urusan dunia. Maka, saat mengingat berbagai urusan dunia ini hendaknya
ingatanya segera beralih ke urusan akhirat. Sebab, yang harus diprioritaskan orang mukmin adalah
urusan akhirat. Setiap bejana tentu akan menampung apa pun yang dimasukkan ke dalamnya.
Perhatikan jika suatu bagnunan istana dimasuki pedagang kain, tukang bangunan, tukang kayu, dan
penjahit. Saat itu tentu engkau akan melihat penjual kain yang mengamat-amati alas tempat tidur sambil
mereka-reka berapa harganya. Sedangkan tukang bangunan akan melihat ke dindingnya; tukang kayu
akan melihat atapnya; penjahit akan melihat mutu jahitannya. Begitu pula orang mukmin, jika dia berada
di suatu ruangan yang gelap seperti kamar mandi, ingatan dan perhatiannya harus tertuju ke kegelapan
kubur; saat mendengan suara yang keras dia teringat tiupan sangkakala; ketika melihat kenikmatan dia
teringat kenikmatan surga; dan saat melihat suatu azab dia teringat azab neraka.

Kedua, cara menghilangkan kotoran ini ada yang cukup dengan menghapus atau menguranginya, seperti
mencukur kumis, mencabuti bulu ketiak, mencukur rambut kemaluan dan memotong kuku.
Dimakruhkan mencabuti rambut uban, namun dianjurkan mengecatnya.

Tingkatan-tingkatan bersuci lainnya akan dijelaskan dalam bab perusak dan penyelamat, insya Allah.

Sumber: Mukhtashar Minhaajil Qaashidiin, Al-Imam asy-Syekh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah
al-Maqdisy

https://www.percikaniman.org/2004/01/21/bersuci-dan-rahasia-rahasianya/

Hukum air yg berubah warna, bau atau rasa

Air yg ada disekitar kita bermacam-macam bentuk dan sifatnya, warna dan baunya, ada yg jernih bersih
ada juga yang berbau busuk. Nah dalam kesempatan ini kita akan mempelajari seputar air yang berubah
sifatnya. Yang dimaksud sifatnya adalah baunya, warnanya dan rasanya.

Apakah air yang berubah masih dapat digunakan untuk berwudhu dan mandi wajib atau sunnah? apakah
boleh digunakan untuk menghilangkan najis? Untuk mengetahui jawabannya simak berikut ini..!

pernah di singgung dalam artikel yg lalu bahwa air yg dapat digunakan untuk mengangkat hadats baik
kecil ataupun besar dan menghilangkan najis baik najis ringan atau sedang atau berat sekalipun adalah
air yg suci mensucikan yg disebut dg air thohir muthohhir atau thohuur.
ada syarat-syarat yg harus dipenuhi agar air menjadi suci mensucikan diantaranya adalah air itu tidak
berubah sifat-sifatnya yaitu baunya, warnanya dan rasanya.

ketika air itu berubah maka terkadang menjadi mutanajjis dan terkadang masih suci tapi tidak lagi dapat
mensucikan.

Jika air berubah warnanya atau baunya atau rasanya maka ia tidak lagi suci mensucikan, air itu hanya
disebut suci, boleh digunakan untuk memasak, minum binatang dll tapi tidak lagi boleh digunakan untuk
bersuci Jika berubahnya dg syarat-syarat berikut:

1. Dg sesuatu yg suci

2. sesuatu yg bercampur dg air tdk lagi dapat dipisahkan dari air, yg disebut dalam bahasa fiqih dg istilah
mukholith seperti syirup

3. sesuatu yg tidak dibutuhkan oleh air, maksudnya sesuatu yg tidak sulit dijauhkan dari air

4. Berubah dengan perubahan yg mencolok, maksudnya dg perubahan itu airnya tidak lagi disebut air
tapi ia memiliki nama baru seperti kuah, fanta, pepsi, dll atau namanya memiliki kata tambahan
dibelakangnya yg tidak mungkin terpisahkan seperti air kopi, air teh, air syrup dll.

Adapun perubahan yg sedikit atau tidak mencolok, maksudnya perubahannya tidak membuat airnya
tidak lagi disebut air, orang banyak masih menyebutnya air, perubahannya tidak menimbulkan nama
baru untuk air tersebut. Maka perubahan seperti ini tidaklah merubah status airnya, hukumnya masih
suci mensucikan.

Perubahan dg syarat-syarat diatas terjadi tanpa diragukan sama sekali, adapun jika terjadi keraguan
apakah air itu berubah ataukah tidak, perubahannya mencolok ataukah tidak, maka dalam kondisi
seperti ini air tersebut masih di sebut air suci mensucikan.

Tidak ada perbedaan apakah airnya sedikit ataukah banyak, ketika air itu telah berubah dg syarat-
syaratnya yg tersebut diatas maka air itu sudah tidak lagi suci mensucikan.

Didalam fiqih selalunya ada pengecualian dari kaidah umum yg berlaku, begitupun dalam permasalahan
air yg berubah salah satu sifatnya ini.
Berikut ini kami sebutkan beberapa air yg berubah tapi masih suci mensucikan:

1. Air yg berubah karena lama tergenang

2. Air yg berubah karena sebab debu

3. Air yg berubah karena sebab garam laut

4. Air yg berubah karena sebab tanah, lumut, daun-daun pepohonan dan segala sesuatu yg sulit
dihindari dari air termasuk halnya jika berubah karena cucian kaki orang2 yg berwudhu didalam kolam
wudhu

5. Air yg berubah karena disebabkan wadah tempat air itu mengalir, seperti berbau besi atau berbau
paralon dll

6. Air yg berubah karena disebabkan wadah tempat air itu menetap, seperti berbau semen karena
kolamnya yg baru dibuat

7. Air yg berubah karena sesuatu yg tdk bercampur dg air yg disebut dg mujawir seperti minyak, kayu
gahru, kayu pohon dll

Hukum bersuci dg ketujuh air diatas dan yg serupa dengannya

Tidak makruh hukumnya bersuci dg air yg telah berubah salah satu sifatnya yg telah dikecualikan
hukumnya seperti ketujuh air diatas, kecuali yg didapatkan perbedaan pendapat antara ulama tentang
hukum suci mensucikannya, sebagian mengatakan suci mensucikan dan yg lainnya tidak, seperti air yg
berubah mencolok dg sebab debu yg sengaja di campurkan kedalam air, juga air yg berubah mencolok
karena sesuatu yg mujawir (yg tidak bercampur dg air) maka menggunakan air ini untuk berwudhu dan
semacamnya adalah makruh.

Jika air yg berubah salah satu sifatnya baik baunya atau rasanya atau warnanya telah kembali seperti
semula dan telah hilang perubahan tersebut maka air itupun sudah kembali suci mensucikan, baik
kembali seperti semula dg sendirinya secara alami atau karena di tambahkan air kedalamnya sehingga
hilang perubahannya yg ada atau di kurangi airnya lalu hilang perubahannya dan kembali seperti semula.

Perubahan yang Tidak Terlihat


Perubahan pada air yang kita bicarakan di atas adalah perubahan yang terlihat dengan mata kepala kita,
atau yang disebut dengan perubahan Hissiy, lalu bagaimana dengan perubahan yang tidak terlihat yang
disebutkan di dalam ilmu fiqih dengan istilah perubahan taqdiriy?

Contoh perubahan taqdiriy adalah ketika ada air yang bercampur dengan air mawar yang sudah tidak
ada baunya, warnanya juga rasanya sehingga ia sudah seperti air putih biasa dan tentunya setelah
bercampur dg air tawar semacam ini tidak bisa terlihat perubahannya. Contoh lain yaitu jika ada air yang
bercampur dengan air musta'mal yaitu air yang bekas dipakai mengangkat hadast atau menghilangkan
najis.

Untuk memastikan apakah air ini berubah ataukah tidak perlu diperhitungkan perubahannya dengan
cara-cara berikut:

- diperhitungkan perubahan warnanya dengan warna perasaan anggur

- diperhitungkan perubahan rasanya dengan rasa delima

- diperhitungkan perubahan baunya dengan bau kemenyan Arab

Dijelaskan dengan lebih terperinci sebagai berikut:

Jika air mawar yang sudah tidak ada lagi baunya, warnanya dan rasanya sebanyak satu gelas tercebur ke
dalam air, maka diperhitungkan seperti perhitungan diatas. Artinya jika satu gelas air tersebut berisi air
perasaan anggur yg berwarna hitam atau biru lalu dicampurkan ke dalam air itu maka apakah warnanya
akan berubah menjadi hitam atau biru atau tidak, jika berubah maka air itu sudah tidak lagi suci
mensucikan, tapi jika air tersebut tidak berubah warnanya maka air itu masih dikatakan Suci mensucikan.

Itu baru perhitungan warnanya, selanjutnya kita perhitungkan baunya. Jika segelas air tersebut berisi air
kemenyan Arab lalu dicampurkan ke dalam air tersebut maka apakah bau airnya akan berubah ataukah
tidak, jika bau airnya berubah maka air tersebut tidak lagi Suci mensucikan tapi jika air itu tidak berubah
maka hukumnya masih suci mensucikan.

Selanjutnya kita perhitungkan rasanya, jika segelas air tersebut berisi air delima lalu dicampurkan ke
dalam air tersebut, apakah rasa air itu berubah ataukah tidak. Jika rasa airnya berubah maka air tersebut
tidak lagi suci mensucikan tapi jika rasa airnya tidak berubah maka hukumnya masih suci mensucikan.
Begitulah hukum air yg berubah salah satu sifatnya karena tercampur dg sesuatu yg suci. tapi ulama
mengatakan bahwa perhitungan diatas tidaklah wajib tapi sunnah saja, jika ada diantara kita yg langsung
saja menggunakan air itu tanpa memperhitungkan hal-hal diatas maka sah saja bersucinya karena pada
asalnya air itu adalah suci mensucikan

Lalu bagaimana jika berubah karena sesuatu yg najis? Tentu jawabannya air itu akan menjadi mutanajjis
seperti telah dibahas di artikel sebelumnya tentang air yg terkena najis.

hukum air daur ulang atau air PAM

bolehkah air PAM digunakan untuk berwudhu dan bersuci lainnya?

banyak pertanyaan seperti ini, bila pembaca memperhatikan dg seksama pembahasan diatas dan
melihat status air pam yg ada digunakan ditengah-tengah kita maka ia akan tahu jawabannya, yaitu
tidaklah mengapa digunakan untuk bersuci.

untuk lebih meyakinkan hal tersebut kami akan sertakan fatwa dari MUI tentang kehalalan dan sahnya
air PAM jika digunakan untuk bersuci. silahkan di buka link dibawah ini dan di baca baik-baik:

http://mui.or.id/wp-content/uploads/2017/02/Fatwa-Air-Daur-Ulang.pdf

juga link dibawah ini:

http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/detil_page/8/22643

Pengertian Najis

Najis adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh orang yang memiliki tabi’at yang selamat (baik) dan selalu
menjaga diri darinya.

Apabila pakaian terkena najis –seperti kotoran manusia dan kencing- maka harus dibersihkan.[1]
Perlu dibedakan antara najis dan hadats. Najis kadang kita temukan pada badan, pakaian dan tempat.
Sedangkan hadats terkhusus kita temukan pada badan. Najis bentuknya konkrit, sedangkan hadats itu
abstrak dan menunjukkan keadaan seseorang. Ketika seseorang selesai berhubungan badan dengan istri
(baca: jima’), ia dalam keadaan hadats besar. Ketika ia kentut, ia dalam keadaan hadats kecil. Sedangkan
apabila pakaiannya terkena air kencing, maka ia berarti terkena najis. Hadats kecil dihilangkan dengan
berwudhu dan hadats besar dengan mandi. Sedangkan najis, asalkan najis tersebut hilang, maka sudah
membuat benda tersebut suci. Mudah-mudahan kita bisa membedakan antara hadats dan najis ini.[2]

Hukum Asal Segala Sesuatu adalah Suci

Terdapat suatu kaedah penting yang harus diperhatikan yaitu segala sesuatu hukum asalnya adalah
mubah dan suci. Barangsiapa mengklaim bahwa sesuatu itu najis maka dia harus mendatangkan dalil.
Namun, apabila dia tidak mampu mendatangkan dalil atau mendatangkan dalil namun kurang tepat,
maka wajib bagi kita berpegang dengan hukum asal yaitu segala sesuatu itu pada asalnya suci. [3]
Menyatakan sesuatu itu najis berarti menjadi beban taklif, sehingga hal ini membutuhkan butuh dalil.[4]

Macam-Macam Najis

1,2 – Kencing dan kotoran (tinja) manusia

Mengenai najisnya kotoran manusia ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,

‫إإمذا موإطمئ أممحكدككشم بإنمشعلمشيإه الممذىَ فمإ إنن الدتمرا م‬


‫ب لمهك م‬
‫طكهوُبر‬

“Jika salah seorang di antara kalian menginjak kotoran (al adza) dengan alas kakinya, maka tanahlah yang
nanti akan menyucikannya.”[5]

Al adza (kotoran) adalah segala sesuatu yang mengganggu yaitu benda najis, kotoran, batu, duri, dsb.[6]
Yang dimaksud al adza dalam hadits ini adalah benda najis, termasuk pula kotoran manusia.[7] Selain
dalil di atas terdapat juga beberapa dalil tentang perintah untuk istinja’ yang menunjukkan najisnya
kotoran manusia.[8]

Sedangkan najisnya kencing manusia dapat dilihat pada hadits Anas,

‫ مقامل فملمنما فممرمغ مدمعا بإمدشلروُ إمشن ممارء‬.« ‫ » مدكعوُهك مولم تكشزإركموُهك‬-‫صلىَ ا عليه وسلم‬- ‫اإ‬
‫ض اشلقمشوُإم فممقامل مركسوُكل ن‬
‫أمنن أمشعمرابإبليا مبامل إفىَ اشلممشسإجإد فممقامم إإلمشيإه بمشع ك‬
‫صبنهك معلمشيإه‬
‫فم م‬.

“(Suatu saat) seorang Arab Badui kencing di masjid. Lalu sebagian orang (yakni sahabat) berdiri.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkan dan jangan hentikan (kencingnya)”.
Setelah orang badui tersebut menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas meminta
satu ember air lalu menyiram kencing tersebut.”[9]

Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Kotoran dan kencing manusia sudah tidak samar lagi
mengenai kenajisannya, lebih-lebih lagi pada orang yang sering menelaah berbagai dalil syari’ah.”[10]

3,4 – Madzi dan Wadi

Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani,
namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.

Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika
membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan
lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan
perempuan sama-sama bisa memiliki madzi.[11]

Hukum madzi adalah najis sebagaimana terdapat perintah untuk membersihkan kemaluan ketika madzi
tersebut keluar. Dari ‘Ali bin Abi Thalib, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
‫ضأ ك‬
‫ت اشلإمشقمدامد شبمن المشسموُإد فممسأ ملمهك فممقامل » يِمشغإسكل مذمكمرهك مويِمتمموُ ن‬
‫ لإمممكاإن اشبنمتإإه فمأ مممشر ك‬-‫صلىَ ا عليه وسلم‬- َ‫ى‬
‫ت أمشستمشحإيىَ أمشن أمشسأ ممل الننبإ ن‬
‫ت مركجلب ممنذابء موككشن ك‬
‫ككشن ك‬
».

“Aku termasuk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan hal ini kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallm dikarenakan kedudukan anaknya (Fatimah) di sisiku. Lalu aku pun
memerintahkan pada Al Miqdad bin Al Aswad untuk bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lantas beliau memberikan jawaban pada Al Miqdad, “Perintahkan dia untuk mencuci kemaluannya
kemudian suruh dia berwudhu”.”[12]

Hukum wadi juga najis. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

‫صلمإة‬
‫ك إلل ن‬ ‫ضأش كو ك‬
‫ضوُمء م‬ ‫ك أمشو مممذاإكيمر م‬
‫ك موتمموُ ن‬ ‫ىَ مواشلممشذ ك‬
‫ اشغإسشل مذمكمر م‬: ‫ىَ فممقامل‬ ‫ موأمنما اشلموُشد ك‬، ‫ أمنما اشلممنإدىَ فمهكموُ النإذىَ إمشنهك اشلكغشسكل‬، َ‫ى‬
‫ىَ مواشلموُشد ك‬
‫اشلممنإدىَ مواشلممشذ ك‬.

“Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan
madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah sebagaimana wudhumu
untuk shalat.”[13]

5 – Kotoran hewan yang dagingnya tidak halal dimakan

Contohnya adalah kotoran keledai jinak[14], kotoran anjing[15] dan kotoran babi[16]. Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

‫ك المحشجمرشيِمن مو م‬
: ‫طمرمح النرشوثمةم مومقامل‬ ‫ إإشئتإإنيِ بإثملمثمإة أمشحمجارر فمموُمجشد ك‬: ‫صنلىَ اك معلمشيإه مو مسلنمم أمشن يِمتمبمنرمز فممقامل‬
‫ت لمهك محشجمرشيِإن مومرشوثمإة إحممارر مفأشممس م‬ ‫أممرامد الننبإديِ م‬
‫إهميِ إرشج ب‬
َ‫س‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud bersuci setelah buang hajat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam lantas bersabda, “Carikanlah tiga buah batu untukku.” Kemudian aku mendapatkan dua batu dan
kotoran keledai. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil dua batu dan membuang kotoran
tadi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Kotoran ini termasuk najis”.” [17]
Hal ini menunjukkan bahwa kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya semacam kotoran keledai
jinak adalah najis.

6 – Darah haidh

Dalil yang menunjukkan hal ini, dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata,

‫صنمكع بإإه‬
‫ف تم ش‬ ‫ب ثمشوُبممها إمشن مدإم اشلمحشي م‬
‫ضإة مكشي م‬ ‫إإشحمدامنا يِك إ‬
‫صي ك‬

“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

‫صهلىَ إفيإه‬ ‫صهك إباشلمماإء ثكنم تمشن م‬


‫ضكحهك ثكنم تك م‬ ‫تمكحدتهك ثكنم تمشقكر ك‬

“Gosok dan keriklah pakaian tersebut dengan air, lalu percikilah. Kemudian shalatlah dengannya.” [18]

Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Perintah untuk menggosok dan mengerik darah haidh
tersebut menunjukkan akan kenajisannya.”[19]

7 – Jilatan anjing

Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ت كأولمهكنن إبالدتمرا إ‬
‫ب‬ ‫ب أمشن يِمشغإسلمهك مسشبمع ممنرا ر‬
‫طككهوُكر إإمناإء أممحإدككشم إإمذا مولممغ إفيإه اشلمكشل ك‬
“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan
awalnya dengan tanah.”[20] Yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bagian anjing yang termasuk
najis adalah jilatannya saja. Sedangkan bulu dan anggota tubuh lainnya tetap dianggap suci sebagaimana
hukum asalnya.[21]

8 – Bangkai

Bangkai adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i.[22] Najisnya
bangkai adalah berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abdullah bin ‘Abbas,

‫ب فمقمشد طمهكمر‬
‫إإمذا كدبإمغ اإلمها ك‬

“Apabila kulit bangkai tersebut disamak, maka dia telah suci.”

Bangkai yang dikecualikan adalah :

a – Bangkai ikan dan belalang

Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

‫ت مواشلمجمراكد موأمنما الندمماإن مفاشلمكبإكد موالطهمحاكل‬ ‫أكإحلن ش‬


‫ت لممنا ممشيتممتاإن مومدمماإن فمأ منما اشلممشيتممتاإن مفاشلكحوُ ك‬

“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang.
Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” [23]

b – Bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir


Contohnya adalah bangkai lalat, semut, lebah, dan kutu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ ثكنم شليم ش‬، ‫ فمشليمشغإمشسهك ككلنهك‬، ‫ب إفىَ إإمناإء أممحإدككشم‬


‫ فمإ إنن إفىَ أممحإد مجمنامحشيإه إشمفابء موإفىَ المخإر مدابء‬، ‫طمرشحهك‬ ‫إإمذا موقممع الدذمبا ك‬

“Apabila seekor lalat jatuh di salah satu bejana di antara kalian, maka celupkanlah lalat tersebut
seluruhnya, kemudian buanglah. Sebab di salah satu sayap lalat ini terdapat racun (penyakit) dan sayap
lainnya terdapat penawarnya.”[24]

c – Tulang, tanduk, kuku, rambut dan bulu dari bangkai

Semua ini termasuk bagian dari bangkai yang suci karena kita kembalikan kepada hukum asal segala
sesuatu adalah suci. Mengenai hal ini telah diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad),
beliau rahimahullah berkata,

‫ف اشلكعلممماإء يِمشمتمإش ك‬
‫ مويِمندإهكنوُمن‬، ‫طوُمن بإمها‬ ‫ظاإم اشلممشوُمتىَ نمشحموُ اشلإفيإل مومغشيإرإه أمشدمرشك ك‬
‫ت منابسا إمشن مسلم إ‬ ‫ مومقامل الدزشهإر د‬. ‫ش اشلممشيتمإة‬
‫ىَ إفىَ إع م‬ ‫مومقامل محنمابد لم بمأش م‬
‫س بإإريِ إ‬
‫ لم يِممرشومن بإإه بمأشبسا‬، ‫إفيمها‬

“Hammad mengatakan bahwa bulu bangkai tidaklah mengapa (yaitu tidak najis). Az Zuhri mengatakan
tentang tulang bangkai dari gajah dan semacamnya, ‘Aku menemukan beberapa ulama salaf menyisir
rambut dan berminyak dengan menggunakan tulang tersebut. Mereka tidaklah menganggapnya najis hal
ini’.” [25]

Tersisa pembahasan beberapa hal yang sebenarnya tidak termasuk najis -menurut pendapat ulama yang
lebih kuat- yaitu mani, darah (selain darah haidh), muntah, dan khomr. Dan juga masih tersisa
pembahasan bagaimana cara membersihkan najis. Semoga Allah memudahkan kami membahasnya
dalam rubrik fiqih selanjutnya.

Semoga Allah selalu memberikan pada kita ilmu yang bermanfaat. Segala puji bagi Allah yang dengan
nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga, dan para sahabatnya.
Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/926-mengenal-macam-macam-najis.html

Hukum-hukum Terkait Najis

Ada beberapa ketetapan hukum syariah yang perlu untuk diperhatikan terkait dengan benda-benda najis
atau terkena najis.

1. Tidak Berdosa Menyentuh Najis

Berbeda dengan ketentuan najis pada agama-agama samawi sebelumnya, yang mengharamkan umatnya
bersentuhan dengan benda-benda najis, dalam syariat Islam, seorang muslim tidak berdosa bila
tersentuh najis atau menyentuhnya dengan sengaja.

Konon dalam agama Yahudi Allah Subhanahu wa Taâ~ez_euro~~ez_trade~ala menetapkan ketentuan


yang amat keras tentang najis. Di antaranya, bila seseorang terkena najis pada pakaiannya, maka
pakaiannya itu tidak bisa lagi disucikan untuk selama-lamanya. Jadi pakaian itu harus dibuang, atau
bagian yang terkena najis harus dirobek, dan ditambal dengan kain baru.

Dan bila najis itu tersentuh pada badan, maka kulitnya harus dikelupas, lantaran benda yang terkena
najis tidak bisa selamanya disucikan.

Sedangkan seorang muslim tidak diharamkan untuk bersentuhan dengan benda-benda najis, asalkan
bukan sedang menjalankan ibadah ritual yang membutuhkan kesucian dari benda najis.
Profesi sebagai petugas kebersihan menjadi halal dalam agama Islam, meski setiap hari bergelimang
dengan najis.

Demikian juga seorang muslim boleh bekerja sebagai penyembelih hewan, meski setiap hari tangannya
bersimbah dengan darah dan kotoran. Dan menjadi petugas mobil tinja juga tidak haram, meski setiap
hari bergelimang dengan isi septik tank.

2. Syarat Ibadah

Seorang muslim baru diwajibkan untuk mensucikan dirinya dari benda-benda najis yang terdapat pada
badan, pakaian dan tempatnya, manakala dia akan melakukan ibadah ritual tertentu.

Karena suci dari najis adalah syarat sah dalam ritual beribadah, dimana seseorang tidak sah menjalankan
shalat bila badan, pakaian atau tempat shalatnya tidak suci dari najis.

Maka pada saat itulah dibutuhkan cara berthaharah yang benar, sebagaimana yang diajarkan dalam
ketentuan syariat Islam.

3. Haram Dimakan

Meski boleh bersentuhan dengan benda-benda najis, namun seorang muslim haram hukumnya untuk
memakan, meminum atau mengkonsumsi benda-benda yang jelas-jelas hukumnya najis, meski dengan
alasan pengobatan.

Keharaman mengkonsumsi benda-benda najis merupakan kriteria nomor satu dalam daftar urutan
makana haram.[3]

Dalil yang menjadi dasarnya pengharamannya adalah firman Allah Subhanahu wa


Taâ~ez_euro~~ez_trade~ala:
â~ez_euro~~ez_oelig~Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka
segala yang buruk. (QS Al A~ez_rsquo~raf: 157)

Piring Bekas Orang Kafir

Piring, gelas dan alat-alat makan bekas orang kafir terkadang menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah
suci atau tidak?

Sesungguhnya ludah dan tubuh orang kafir itu suci dan bukan benda najis, sehingga kalau masalahnya
hanya semata-mata makanan bekas orang kafir, tidak ada masalah dalam hal kesuciannya ,sebagaimana
kisah dalam hadits berikut ini.

â~ez_euro~~ez_oelig~Rasulullah Shalallahu â~ez_euro~~ez_tilde~Alaihi wa Sallam diberikan susu lalu


beliau meminumnya sebagian lalu disodorkan sisanya itu kepada aâ~ez_euro~~ez_trade~rabi (kafir) yang
ada di sebelah kanannya dan dia meminumnya lalu disodorkan kepada Abu Bakar dan beliau pun
meminumnya (dari wadah yang sama) lalu beliau berkataâ~ez_euro~~ez_trade~Ke kanan dan ke
kananâ~ez_euro~~ez_trade~.â~ez_euro~� (HR. Bukhari)

Namun yang jadi masalah adalah bila orang kafir itu memakan makanan yang dalam pandangan syariah
hukumnya najis, seperti khamar, anjing, babi, bangkai atau hewan-hewan lain yang diharamkan, apakah
alat-alat makan bekas mereka itu lantas digeneralisir secara otomatis selalu menjadi najis, walaupun
secara zahir tidak nampak?

Dalam hal ini, umumnya para ulama tidak mengharamkannya bila tidak nampak secara zahir sisa bekas
benda-benda najis di dalam alat-alat makan bekas mereka.

Umumnya mereka hanya hanya memakruhkan bila seorang muslim makan dengan wadah bekas orang
kafir yang belum dibersihkan atau disucikan. Sehingga hukumnya tetap boleh dan makanan itu tidak
menjadi haram.
Semua itu hukumnya boleh bila hanya sekedar berdasarkan rasa ragu saja. Namun bila jelas-jelas ada
bekas najisnya secara kasat mata, maka haram hukumnya memakan dari wadah itu, kecuali setelah
disucikan.

4. Haram Digunakan Beristijmar

Beristinjaâ~ez_euro~~ez_trade~ adalah mencusikan dan membersihkan sisa bekas buang air kecil atau
buang air besar. Bila menggunakan benda selain air, disebut dengan istilah istijmar.

Dan Rasulullah Shalallahu â~ez_euro~~ez_tilde~Alaihi wa Sallam melarang kita beristijmar dengan


menggunakan benda-benda najis, seperti kotoran hewan atau tulang bangkai, sebagaimana yang
tersebut di dalam hadits berikut ini:

Beliau Shalallahu â~ez_euro~~ez_tilde~Alaihi wa Sallam melarang kita beristinja~ez_rsquo~ dengan tahi


atau tulang. (HR. Muslim Abu Daud dan Tirmizy)

5. Haram Diperjual-belikan

Pada dasarnya secara umum benda najis itu haram untuk diperjual-belikan, berdasarkan hadits berikut
ini:

Dari Abu Daud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah Shalallahu â~ez_euro~~ez_tilde~Alaihi wa Sallam


telah bersabda,â~ez_euro~�Allah Subhanahu wa Taâ~ez_euro~~ez_trade~ala telah melaknat orang-
orang Yahudi, lantaran telah diharamkan lemak hewan, namun mereka memperjual-belikannya dan
memakan hasilnya.â~ez_euro~� (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun dalam detail-detaiknya, ternyata para ulama agak sedikit bervariasi ketika menetapkan tentang
boleh tidaknya. Di antara mereka ada yang mengharamkan secara mutlak, kalangan yang mengharamkan
jual-beli sebagian dari benda najis dan menghalalkan sebagian lainnya, bila memang bermanfaat dan
dibutuhkan.
a. Kotoran Hewan

Dalam pandangan mazhab Al Hanafiyah pada dasarnya benda najis itu haram untuk diperjual-belikan,
namun bila bisa diambil manfaatnya, hukumnya boleh.[4]

Kotoran hewan adalah benda najis, maka haram diperjual-belikan. Namun bila yang diperjual-belikan
adalah tanah, namun tercampur kotoran hewan, dalam pandangan mazhab ini hukumnya boleh. Karena
yang dilihat bukan kotoran hewannya, melainkan tanahnya.

Artinya, kalau semata-mata yang diperjual-belikan adalah kotoran hewan, hukumnya masih haram.
Tetapi kalau kotoran hewan itu sudah dicampur dengan tanah sedemikian rupa, meski pada hakikatnya
masih mengandung najis, namun mereka tidak melihat kepada najisnya, melainkan kepada tanahnya.

Sedangkan mazhab Asy Syafiâ~ez_euro~~ez_trade~iyah secara umum tetap mengharamkan jual-beli


kotoran hewan, walaupun sudah dicampur tanah dan untuk pupuk.

b. Kulit Bangkai

Kulit bangkai hukumnya najis karena itu juga menjadi haram untuk diperjual-belikan. Namun bila kulit itu
sudah disamak, sehingga hukumnya menjadi suci kembali, hukumnya menjadi boleh untuk diperjual-
belikan. Dasarnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu â~ez_euro~~ez_tilde~Alaihi wa Sallam:

Janganlah kamu mengambil manfaat bangakai dari ihab (kulit yang belum disamak) dan syarafnya. (HR.
Abu Daud dan At Tirmizy)

Kulit hewan yang belum dilakukan proses penyamakan disebut ihab ( إھاب ). Rasulullah Shalallahu
â~ez_euro~~ez_tilde~Alaihi wa Sallam melarang bila kulit itu berasal dari bangkai, tapi hukumnya
menjadi boleh bila telah mengalami penyamakan. Rasulullah Shalallahu â~ez_euro~~ez_tilde~Alaihi wa
Sallam bersabda:
Dari Abdullah bin Abbas dia berkata,~ez_rdquo~Saya mendengar Rasulullah Shalallahu
â~ez_euro~~ez_tilde~Alaihi wa Sallam bersabda,~ez_rdquo~Apabila kulit telah disamak, maka sungguh
ia telah suci.~ez_rdquo~ (HR. Muslim)

Semua kulit yang telah disamak maka kulit itu telah suci. (HR. An-Nasai)

Namun ada juga pendapat ulama yang tetap menajiskan kulit bangkai, meski telah disamak, yaitu
sebagian ulama di kalangan mazhab Al Malikiyah. Sehingga dalam pandangan mereka, jual-beli kulit
bangkai pun tetap diharamkan. Di antara yang berpendapat demikian adalah Al Kharasyi dan Ibnu Rusydi
Al Hafid. Ibnu Rusydi menyebutkan, meski bahwa penyamakan tidak ada pengaruhnya pada kesucian
kulit bangkai, baik secara zhahir atau pun batin.[5]

Mazhab Asy Syafiâ~ez_euro~~ez_trade~iyah juga melarang jual-beli kulit bangkai, karena hukumnya najis
dalam pandangan mereka.

c. Hewan Najis dan Buas

Meski termasuk hewan najis, namun karena bisa bermanfaat, dalam pandangan mazhab ini, boleh
hukumnya untuk memperjual-belikan anjing, macan atau hewan-hewan buas lainnya, bila memang jelas
ada manfaatnya.

Di antara manfaat dari hewan buas ini adalah untuk berburu, dimana Allah Subhanahu wa
Taâ~ez_euro~~ez_trade~ala memang membolehkan umat Islam berburu dengan memanfaatkan hewan
buas.

(Dihalalkan bagimu buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya
untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka makanlah
dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu
melepasnya).(QS Al Maidah: 4)
Sedangkan anjing hitam atau sering diistilahkan dengan al kalbul â~ez_euro~~ez_tilde~aqur
(اÙ~ez_bdquo~Ù~ez_fnof~Ù~ez_bdquo~ب اÙ~ez_bdquo~عÙ~ez_sbquo~Ù~ez_circ~Ø~+mn~), ada
nash hadits yang secara tegas melarang kita untuk memperjual-belikannya, bahkan ada perintah buat
kita untuk membunuhnya.

Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah Shalallahu â~ez_euro~~ez_tilde~Alaihi wa Sallam


bersabda,~ez_rdquo~Lima macam hewan yang hendaklah kamu bunuh dalam masjid, yaitu tikus,
kalajengking, elang, gagak dan anjing hitam. (HR. Bukhari Muslim)

Namun dalam pandangan mazhab Asy Syafiâ~ez_euro~~ez_trade~iyah, hewan-hewan yang buas itu
tetap haram untuk diperjualbelikan, meski bermanfaat untuk digunakan dalam berburu.

d. Khamar

Termasuk yang dilarang untuk diperjual-belikan karena kenajisannya adalah khamar, dimana umumnya
para ulama memasukkan khamar ke dalam benda najis. Dan memang ada dalil yang secara tegas
mengharamkan kita meminum serta memperjual-belikannya.

Yang telah Allah haramkan untuk meminumnya, maka Allah juga mengharamkan untuk menjualnya. (HR.
Muslim)

e. Daging Babi

Termasuk juga ikut ke dalam keumuman larangan dalam hadits ini adalah daging babi. Daging babi itu
haram dimakan, maka otomatis hukumnya juga haram untuk diperjual-belikan.

6. Haram Ditempatkan Pada Benda Suci


Termasuk yang dilarang untuk dilakukan dalam syariat Islam adalah menghina tempat-tempat suci
dengan benda najis, seperti haramnya memasukkan benda-benda najis ke dalam masjid. Juga haramnya
menempelkan benda najis ke mushaf Al Quran yang suci dan mulia.[6]

[1] Al Qalyubi â~ez_euro~~ez_tilde~alal Minhaj, jilid 1 halaman 68

[2] Asy Syarh Al Kabir jilid 1 halaman 32

[3] Silahkan lihat jilid ke-9 dalam buku Seri Fiqih Kehidupan.

[4] Fathul Qadir wal Inayah bi Hamisyihi, jilid 5 hal. 202

[5] Ashalul Madarik Syarhu Irsyadis Salik, jilid 1 hal. 55

[6] Hasyiyatu Ibnu Abidin jilid 1 hal. 116, Mughni Al Muhtaj jilid 1 hal. 27,

http://fimadani.com/pengertian-najis-dan-hukum-hukumnya

Pengertian, Syarat, dan Cara Istinja

istinja

Istinja secara bahasa artinya terlepas atau selamat, dari bahasa Arab ‫ ا ش إلشستإشنمجاء‬. Sedangkan istinja menurut
istilah syariat Islam ialah bersuci sesudah buang air besar atau buang air kecil.

Cara Istinja

Melakukan istinja ini hukumnya adalah wajib bagi orang yang baru saja buang air besar maupun buang
air kecil, baik dengan air ataupun dengan benda selain air. Benda selain air yang dapat digunakan untuk
istinja ialah benda yang keras dan kesat seperti batu, kertas atau daun-daun yang sudah kering.
Cara melakukan istinja dapat dilakukan dengan salah satu tiga cara sebagai berikut:

1). Membasuh atau membersihkan tempat keluar kotoran air besar atau air kecil dengan air sampai
bersih. Ukuran bersih ini ditentukan oleh keyakinan masing-masing.

2). Membasuh atau membersihkan tempat keluar kotoran air besar atau air kecil dengan batu, kemudian
dibasuh dan dibersihkan dengan air.

3). Membasuh dan membersihkan tempat keluar kotoran air besar atau air kecil dengan batu atau
benda-benda kesat lainnya sampai bersih. Membersihkan tempat keluar kotoran air besar atau air kecil
ini sekurang-kurangnya dengan tiga buah batu atau sebuah batu yang memiliki tiga permukaan sampai
bersih. Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut:

َ‫ِ امنما اممحكدهكمما فممكامن يِمشمإشىَ إبالننإمشيممإة موامنمااشلمإخكر فممكامن لميِمشستمشنإزهك إمشن بمشوُلإإه ـ رواه البخارى‬,‫ اإننهكمما يِكمعنذمباإن‬: ‫صلمىَ اك معلمشيإه مومسلنمم ممنربإقمشيإن فممقامل‬
‫امننهك م‬
‫ومسلم‬

Artinya: “Sesungguhnya Nabi saw. melalui dua buah kuburan, kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya
kedua orang yang berada dalam kubur itu sedang disiksa. Adapun salah seorang dari keduanya sedang
disiksa karena mengadu-ngadu orang, sedangkan yang satunya sedang disiksa karena tidak menyucikan
kencingnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Syarat-syarat istinja

Syarat istinja dengan menggunakan batu atau benda keras (kesat) terdiri dari enam macam:

Batu atau benda itu keras (kesat) dan harus suci serta dapat dipakai untuk membersihkan najis.

Batu atau benda itu tidak termasuk yang dihormati misalnya bahan makanan dan batu masjid.

Sekurang-kurangnya dengan tiga kali usapan dan sampai bersih.

Najis yang akan dibersihkan belum sampai kering.

Najis itu tidak pindah dari tempat keluarnya.

Najis itu tidak bercampur dengan benda lain, meskipun benda itu suci dan tidak terpercik oleh air.

https://al-badar.net/pengertian-syarat-dan-cara-istinja/

Istinja Dan Adab-Adab Buang Hajat : Hukum Dan Dalilnya


ISTINJA DAN ADAB-ADAB BUANG HAJAT-1/3-

Oleh

Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman.

Pertanyaan.

Apa yang dimaksud dengan istinja ? Bagaimana hukumnya serta apa dalilnya ?

Jawaban.

Istinja adalah membersihkan apa-apa yang telah keluar dari suatu jalan (di antara dua jalan : qubul atau
dubur) dengan menggunakan air atau dengan batu atau yang sejenisnya (benda yang bersih dan suci
[1]). Adapun hukumnya adalah wajib berdasarkan sebuah hadits dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha
bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Apabila salah seorang di antara kamu pergi ke tempat buang hajat besar, maka bersihkanlah
dengan menggunakan tiga batu karena sesungguhnya dengan tiga batu itu bisa membersihkannya”
[Hadits Riwayat Ahmad VI/108, Nasa’i no. 44, dan Abu Dawud no 40. Dan asal perintah menggunakan
tiga batu ada dalam riwayat Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu hadits no. 155]

Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu dia berkata.

“Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempat buang hajat lalu saya dan
seorang pemuda sebaya saya membawakan satu bejana dari air dan satu tombak kecil lalu beliau
beristinja (bersuci) dengan air itu” [Hadits Shahih Riwayat Bukhari no. 151 dan Muslim no. 271]

Pertanyaan.
Apa yang dimaksud dengan adab-adab buang hajat, dan doa apa yang disunnahkan dibaca ketika akan
masuk WC ?

Jawaban

Maksud dari adab buang hajat adalah apa-apa yang sepatutnya dilakukan ketika buang hajat, ketika akan
masuk WC, dan ketika keluar dari WC. Dan disunnahkan membaca doa ketika akan masuk WC
sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits riwayat Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila akan masuk WC membaca do’a.

Allahumma innii a’uudzu bika minal-khubusyi wal-khabaaisyi.

“Artinya : Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari syetan laki-laki dan syetan perempuan”
[Hadits Riwayat Bukhari no.142,5963 dan Muslim no.375]

Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu telah meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Jangan lemah salah seorang di antara kamu apabila masuk WC dari membaca do’a.

Allahumma innii a’uudzu bika min ar-rijsi an-najisi asy-syaithan ar-rajiim

“Artinya : Ya Allah, aku mohon perlindungan-Mu dari kotoran najis syetan yang terkutuk” [Hadits Riwayat
Ibnu Majah no. 299]

Dan dari Zaid bin Arqom Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Sesungguhnya WC ini telah didiami (oleh syetan), maka apabila salah seorang di antara kamu akan ke
WC hendaklah membaca do’a.

‘Auudzu billahi mina-lkhubusyi wal-khabaaisyi


“Artinya : Aku mohon perlindungan kepada Allah dari syetan laki-laki dan syetan perempuan” [Hadits
Riwayat Ibnu Majah no. 296]

Pertanyaan.

Doa apa yang disunnahkan dibaca ketika keluar WC ?

Jawaban.

Disunnahkan membaca do’a sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia
berkata, ‘Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah keluar dari WC beliau membaca
do’a’.

Ghufraanaka

“Artinya : Aku mohon ampun kepadaMu” [Hadits Riwayat Ahmad VI/155, Abu Dawud no.30, Tirmidzi
no.7 dan Ibnu Majah no.300]

Begitu pula riwayat dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ‘Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam apabila telah keluar dari WC beliau membaca do’a’.

Allhamduillahi al-ladzii adzhaba ‘annii al-adzaa wa ‘aafanii.

“Artinya : Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan gangguan (kotoran) dariku dan telah
menjadikan diriku dalam keadaan sehat” [Hadits Riwayat Ibnu Majah no. 301]

Dan dalam Mushannaf Abdurrazzaq [2] diriwayatkan bahwa Nuh ketika keluar (dari buang hajat) ia
berkata.

“Artinya : Segala puji bagi Allah yang telah memberiku kelezatannya, menyisakan kemanfaatannya, dan
menghilangkan gangguan kotorannya”
Pertanyaan.

Terangkan bagaimana tata cara masuk WC, keluar dari WC, dan duduk ketika buang hajat. Mohon
sebutkan dalil serta jelaskan dari apa yang Anda ucapkan!

Jawaban.

Ketika masuk WC mendahulukan kaki kiri dan ketika keluar mendahulukan kaki kanan, berlawanan
dengan ketika masuk atau keluar masjid dan ketika memakai atau melepas sandal. Ketika duduk
hendaklah mengangkat kainnya sedikit saja, bersandar di atas kaki kirinya, dan tidak berdiam (tinggal di
WC) kecuali seperlunya saja. Adapun alasan mengapa kaki kiri yang didahulukan ketika masuk dan kaki
kanan ketika keluar adalah karena kaki kiri untuk yang kotor dan kanan untuk yang lainnya. Begitu pula,
karena kaki kanan itu lebih berhak untuk mendahulukan untuk menuju tempat-tempat yang baik dan
lebih berhak untuk diakhirkan apabila menuju tempat-tempat yang kotor. Adapun mengangkat kainnya
sedikit demi sedikit itu berdasarkan riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu.

“Artinya : Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila ingin buang hajat tidak mengangkat kainnya
kecuali setelah dekat dengan tanah (tempat duduknya)” [Hadits Riwayat Abu Dawud no. 14, Tirmidzi no.
14 dan yang lain secara mursal. Abu Dawud berkata, “Hadits ini Dhaif”]

Adapun posisi duduknya bersandar di atas kaki kiri adalah berdasarkan hadits Suraqah bin Malik
Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kami supaya bersandar di atas
kaki kiri dan menegakkan kaki kanan” [Hadits Riwayat Thabrani dalam Al-Mu’ajm Al-Kabir VII/136. Kami
belum menemukan dalam Sunan Al-Baihaqi. Al-Haitsami berkata, “Di dalam sanadnya terdapat perawi
yang tidak disebut namanya (mubham)]

Dan dengan posisi ini kotoran lebih mudah keluar. Adapun tidak boleh berdiam di WC kecuali seperlunya
saja karena adanya pendapat dari para dokter yang menyatakan berdiam di WC tanpa seperlunya itu
membahayakan yaitu bisa menyebabkan sakit liver dan wasir. Wallahu a’lam, wa Shallallahu a’la
Muhammad.
[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I,
Disalin ulang dari Majalah Fatawa 03/I/Dzulqa’adah 1423H -2002M]

_________

Foote Note

[1]. Yang Secara hukum dianggap cukup bisa menghilangkan bekas najis

[2]. Kami tidak menemukannya dalam Mushannaf Abdurrazzaq, melainkan dalam Mushannaf Ibnu Abi
Syaibah I/12, hadits no.9

Read more https://almanhaj.or.id/606-istinja-dan-adab-adab-buang-hajat-hukum-dan-dalilnya.html

https://almanhaj.or.id/606-istinja-dan-adab-adab-buang-hajat-hukum-dan-dalilnya.html

Dalam agama islam, syariat atau aturan dalam berkehidupan sudah diatur dalam alquran dan sunnah.
Maka suatu kewajiban dan keutamaan bagi setiap ummat muslim untuk menjadikan pedoman dalam
kehidupan sehari-hari. Bahkan dalam hal sepele, islam mengatur hukumnya. Berikut ini penjelasan
mengenai hukum sisa minuman, apakah suci atau termasuk najis.

Sisa Minuman merupakan air minum yang tersisa dalam gelas atau cangkir. Hukum asal sisa minuman
adalah suci, kecuali apabila tercampur dengan najis. Sisa minum terbagi atas dua, yaitu:

Sisa Minuman yang Suci

1. Sisa Minuman Manusia

Sisa minuman ini hukumnya suci, sesuai dengan hadist berikut, Rasulullah pernah meminum sisa
minuman ‘Aisyah ketika ia sedang haid, bahkan bibir Beliaupun diletakkan tepat pada tempat bibir
‘Aisyah sebelumnya.”(HR. Muslim)

2. Sisa Minuman Kucing


Rasulullah bersabda tentang seekor kucing yang minum di bejana. Beliau berkata, “kucing tidak termasuk
binatang najis. Dia adalah binatang yang ramah dan senantiasa berada di sekeliling kalian.” (HR. At
Tirmidzy)

3. Sisa Minuman Binatang yang Halal Dimakan Seperti Kuda, Keledai, Domba, Burung dan lainnya

Status hukumnya adalah suci. Sebab hukum asal semua binatang adalah suci sampai ada dalil yang
menjelaskan kenajisannya. Rasulullah juga pernah menunggangi keledai dan pada zaman itu keledai
merupakan kenderaan.

Sisa Minuman Najis

1. Sisa Minuman Anjing

Sabda Rasulullah, “Bersihnya bejana kalian jika dijilat anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh
kali, cucian pertamanya menggunakan tanah.” (Muttafaq ‘alaih)

2. Sisa Minuman Babi

Status hukum sisa minuman babi disamakan dengan sisa minuman anjing karena keduanya diharamkan
dzatnya

https://www.google.com/search?safe=strict&hl=in-ID&source=android-
browser&ei=r_mNW_TXGoqavQTInYbgBw&q=memahmi+sisa+minuman&oq=memahmi+sisa+minuman
&gs_l=mobile-gws-wiz-
serp.3..30i10.173901.192712..193467...14.0..0.398.5344.0j34j0j1......0....1.......3..0j41j46j46i131j0i67j0i1
31j0i10j0i13j0i13i10i30j0i13i10j46i67j0i10i30j0i5i10i30j0i13i30j0i8i13i30j33i21j33i160.Phn4VtEVTJc

Pengertian Sunah Fitrah

Sunah Fitrah adalah suatu tradisi yang apabila dilakukan akan menjadikan pelakunya sesuai dengan
tabiat yang telah Allah tetapkan bagi para hambanya, yang telah dihimpun bagi mereka, Allah
menimbulkan rasa cinta (mahabbah) terhadap hal-hal tadi di antara mereka, dan jika hal-hal tersebut
dipenuhi akan menjadikan mereka memiliki sifat yang sempurna dan penampilan yang bagus.
Hal ini merupakan sunah para Nabi terdahulu dan telah disepakati oleh syariat-syariat terdahulu. Maka
seakan-akan hal ini menjadi perkara yang jibiliyyah (manusiawi) yang telah menjadi tabi’at bagi mereka.
(Lihat Shohih Fiqhis Sunah, I/97).

Faedah Mengerjakan Sunah Fitrah

Berdasarkan hasil penelitian pada Al Quran dan As Sunah, diketahui bahwa perkara ini akan
mendatangkan maslahat bagi agama dan kehidupan seseorang, di antaranya adalah akan memperindah
diri dan membersihkan badan baik secara keseluruhan maupun sebagiannya. (Lihat Shohih Fiqhis Sunah,
I/97).

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, bahwa sunah fitrah ini akan mendatangkan faedah diniyyah dan
duniawiyyah, di antaranya, akan memperindah penampilan, membersihkan badan, menjaga kesucian,
menyelisihi simbol orang kafir, dan melaksanakan perintah syariat. (Lihat Taisirul ‘Alam, 43).

Dalil Sunah Fitrah

Sebagian dari sunah fitrah ini dapat dilihat dari hadits-hadits berikut ini:

1. Hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ف اشلمباإط‬ ‫ب موتمشقإليكم اشلم ش‬


‫ظمفاإر مونمشت ك‬ ‫سَ اشلإخمتاكن مواإلشستإشحمداكد موقم د‬
‫ص النشاإر إ‬ ‫اشلفإ ش‬
‫طمرةك مخشم ب‬

“Ada lima macam fitrah, yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan
mencabut bulu ketiak.” (HR. Bukhari no. 5891 dan Muslim no. 258)

2. Hadits dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ق اشلمعانمإة مواشنتإمقا ك‬
‫ص‬ ‫ف ا ش إلبإإط مومحشل ك‬ ‫ص اشلم ش‬
‫ظمفاإر مومغشسكل اشلبممراإجإم مونمشت ك‬ ‫ق اشلمماإء موقم د‬ ‫ب موإإشعمفاكء اللهشحيمإة موالهسموُا ك‬
‫ك مواشستإشنمشا ك‬ ‫ص النشاإر إ‬ ‫معششبر إمشن اشلفإ ش‬
‫طمرإة قم د‬
‫ضةم‬ ‫ت اشلمعاإشمرةم إإنل أمشن تمككوُمن اشلمم ش‬
‫ضمم م‬ ‫ب مونمإسي ك‬‫صمع ب‬ ‫اشلمماإء مقامل مزمكإرنيِاكء مقامل كم ش‬

“Ada sepuluh macam fitrah, yaitu memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup
air ke dalam hidung,-pen), memotong kuku, membasuh persendian, mencabut bulu ketiak, mencukur
bulu kemaluan, istinja’ (cebok) dengan air.” Zakaria berkata bahwa Mu’shob berkata, “Aku lupa yang
kesepuluh, aku merasa yang kesepuluh adalah berkumur.” (HR. Muslim no. 261, Abu Daud no. 52, At
Tirmidzi no. 2906, An Nasai 8/152, Ibnu Majah no. 293)

Meskipun dalam hadits di atas disebutkan sepuluh hal, namun sunah fitrah tidaklah terbatas pada
kesepuluh perkara di atas berdasarkan kaedah “Mahfumul ‘adad laysa bil hujjah” yaitu pemahaman
terhadap jumlah bilangan tidaklah bisa menjadi hujjah (argumen). Di antara sunah fitrah tersebut
adalah:

Khitan

Istinja’ (cebok) dengan air

Bersiwak

Memotong kuku

Memotong kumis

Memelihara jenggot

Mencukur bulu kemaluan

Mencabut bulu ketiak

Membasuh persendian (barojim) yaitu tempat melekatnya kotoran seperti sela-sela jari, ketiak, telinga,
dll.

Berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung), juga termasuk istintsar
(mengeluarkan air dari dalam hidung)

Penjelasan Sunah-Sunah Fitrah

Mencukur Bulu Kemaluan (Istihdaad)


Yang dimaksud dengan bulu kemaluan di sini adalah bulu yang tumbuh di sekitar kemaluan. Dinamakan
istihdad (asal katanya dari hadiid yaitu besi-pen) karena hal ini dilakukan dengan sesuatu yang tajam
seperti pisau cukur. Dengan melakukan hal ini, tubuh akan menjadi bersih dan indah. Dan boleh
mencukurnya dengan alat apa saja, baik berupa alat cukur atau sejenisnya. (Al Mulakhos Al Fiqh, I/37).
Bisa pula dilakukan dengan memotong/menggunting, mencukur habis, atau dengan mencabutnya. (Lihat
Al Wajiz fii Fiiqhis Sunah wal Kitaabil ‘Aziz, 29 dan Fiqh Sunah, 1/37).

Memotong Kumis dan Merapikannya

Yaitu dengan memotongnya sependek mungkin. Dengan melakukan hal ini, akan terlihat indah, rapi, dan
bersih. Dan ini juga dilakukan sebagai pembeda dengan orang kafir, (Lihat Al Mulakhos Al Fiqh, 37).
Hadits-hadits tentang hal ini terdapat dalam pembahasan ‘memelihara jenggot’ pada bagian selanjutnya.

Memotong Kuku

Yaitu dengan memotongnya dan tidak membiarkannya memanjang. Hal ini juga dilakukan dengan
membersihkan kotoran yang terdapat di bawah kuku. Dengan melakukan hal ini akan terlihat indah dan
bersih, dan untuk menjauhi kemiripan (tasyabbuh) dengan binatang buas yang memiliki kuku yang
panjang. (Lihat Al Mulakhos Al Fiqh, 38).

Mencabut Bulu Ketiak

Yaitu, menghilangkan bulu-bulu yang tumbuh di lipatan ketiak. Baik dilakukan dengan cara dicabut,
digunting, dan lain-lain. Dengan melakukan hal ini tubuh akan menjadi bersih dan akan menghilangkan
bau yang tidak enak yang disebabkan oleh keberadaan kotoran-kotoran yang melekat pada ketiak. (Lihat
Al Mulakhos Al Fiqh, 38).

Apakah pada keempat sunah fitrah di atas terdapat batasan waktu untuk memotongnya?
Keempat sunah fitrah ini tidak dibatasi dengan waktu tertentu, tetapi batasan waktunya adalah sesuai
kebutuhan. Kapan saja dibutuhkan, itulah waktu untuk membersihkan/memotongnya.

Tetapi sebaiknya hal ini tidak dibiarkan lebih dari 40 hari, karena terdapat hadits dari Anas bin Malik
radhiallahu ‘anhu:

‫ك أمشكثممر إمشن أمشربمإعيمن لمشيلمةب‬


‫ق اشلمعانمإة أمشن مل نمشتكر م‬
‫ف ا ش إلبإإط مومحشل إ‬ ‫ب موتمشقإليإم اشلم ش‬
‫ظمفاإر مونمشت إ‬ ‫ص النشاإر إ‬ ‫كوقه م‬
‫ت لممنا إفيِ قم ه‬

“Kami diberi batasan waktu oleh Rasulullah untuk mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu
ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, tidak dibiarkan lebih dari 40 hari.” (HR. Muslim dan selainnya)
(Lihat Shohih Fiqh Sunah, I/101).

Berkhitan

Berkhitan (ada yang menyebutnya dengan ‘sunnat’,-pen) adalah memotong kulit yang menutupi
kepala/ujung kemaluan bagi laki-laki dan memotong kulit bagian atas kemaluan bagi perempuan. (Lihat
Shohih Fiqh Sunah, I/98). Tujuannya adalah untuk menjaga agar di sana tidak terkumpul kotoran, juga
agar leluasa untuk kencing, dan supaya tidak mengurangi kenikmatan dalam bersenggama. (Fiqh Sunah,
1/37).

Berkhitan adalah sunah yang telah ada sejak lama sekali. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫اشختمتممن إإشبمراإهيكم بمشعمد ثممماإنيمن مسنمةب مواشختمتممن إباشلقمكدوإم‬

“Ibrahim berkhitan setelah mencapai usia 80 tahun, dan beliau berkhitan dengan Al Qodum.” (HR.
Bukhari, inilah lafadz yang terdapat dalam Shahih Bukhari yang berbeda dalam kitab Fiqh Sunah, -pen)

Syaikh Sayid Sabiq mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al Qodum di sini adalah alat untuk
memotong kayu (kampak) atau suatu nama daerah di Syam. (Lihat Fiqh Sunah, 1/37).
– Hukum khitan

Ada 3 pendapat dalam hal ini:

Wajib bagi laki-laki dan perempuan.

Sunah (dianjurkan) bagi laki-laki dan perempuan.

Wajib bagi laki-laki dan sunah bagi perempuan (Lihat Shohih Fiqh Sunah, I /98).

– Wajibnya Khitan Bagi Laki-Laki

Dalil yang menunjukkan tentang wajibnya khitan bagi laki-laki adalah:

1. Hal ini merupakan ajaran dari Nabi terdahulu yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan kita diperintahkan
untuk mengikutinya. Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Ibrahim -Al Kholil-
berkhitan setelah mencapai usia 80 tahun, dan beliau berkhitan dengan kampak.” (HR. Bukhari)

Allah Ta’ala berfirman,

‫ك أمإن اتنبإشع إملنةم إإشبمراإهيمم محإنيبفا مومما مكامن إممن اشلكمششإرإكيمن‬


‫ثكنم أمشومحشيمنا إإلمشي م‬

“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan
bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (An Nahl: 123)

2. Nabi memerintah laki-laki yang baru masuk Islam dengan sabdanya,

‫ك مششعمر اشلككشفإر مواشختمتإشن‬ ‫أمشل إ‬


‫ق معشن م‬
“Hilangkanlah rambut kekafiran yang ada padamu dan berkhitanlah.” (HR. Abu Daud dan Baihaqi, dan
dihasankan oleh Al Albani). Hal ini menunjukkan bahwa khitan adalah wajib.

3. Khitan merupakan pembeda antara kaum muslim dan Nasrani. Sampai-sampai tatkala di medan
pertempuran umat Islam mengenal orang-orang muslim yang terbunuh dengan khitan. Kaum muslimin,
bangsa Arab sebelum Islam, dan kaum Yahudi dikhitan, sedangkan kaum Nasrani tidak demikian. Karena
khitan sebagai pembeda, maka perkara ini adalah wajib.

4. Menghilangkan sesuatu dari tubuh tidaklah diperbolehkan. Dan baru diperbolehkan tatkala perkara
itu adalah wajib. (Lihat Shohih Fiqh Sunah, I /99 dan Asy Syarhul Mumthi’, I/110).

– Khitan Tetap Disyariatkan Bagi Perempuan

Adapun untuk perempuan, khitan tetap disyariatkan. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang artinya, “Apabila bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” (HR. Ibnu Majah, shahih).
Hadits ini menunjukkan bahwa perempuan juga dikhitan. Adapun hadits-hadits yang mewajibkan khitan,
di dalamnya tidaklah lepas dari pembicaraan, ada yang dianggap dha’if (lemah) dan munkar. Namun
hadits-hadits tersebut dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah.

Jika hadits ini dha’if, maka khitan tetap wajib bagi perempuan sebagaimana diwajibkan bagi laki-laki,
karena pada asalnya hukum untuk laki-laki juga berlaku untuk perempuan kecuali terdapat dalil yang
membedakannya dan dalam hal ini tidak terdapat dalil pembeda. Namun terdapat pendapat lain yang
mengatakan bahwa khitan bagi perempuan adalah sunah (dianjurkan) sebagai bentuk pemuliaan
terhadap mereka.

Pendapat ini sebagaimana yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah
dalam kitabnya Asy Syarhul Mumthi’. Beliau mengatakan, “Terdapat perbedaan hukum khitan antara
laki-laki dan perempuan. Khitan pada laki-laki terdapat suatu maslahat di dalamnya karena hal ini akan
berkaitan dengan syarat sah shalat yaitu thoharoh (bersuci). Jika kulit pada kemaluan yang akan dikhitan
tersebut dibiarkan, kencing yang keluar dari lubang ujung kemaluan akan ada yang tersisa dan
berkumpul pada tempat tersebut. Hal ini dapat menyebabkan rasa sakit/pedih tatkala bergerak dan jika
dipencet/ditekan sedikit akan menyebabkan kencing tersebut keluar sehingga pakaian dapat menjadi
najis. Adapun untuk perempuan, tujuan khitan adalah untuk mengurangi syahwatnya. Dan ini adalah
suatu bentuk kesempurnaan dan bukanlah dalam rangka untuk menghilangkan gangguan.” (Lihat Shohih
Fiqh Sunah, I/99-100 dan Asy Syarhul Mumthi’, I/110).

Kesimpulan: Ada perbedaan pendapat tentang hukum khitan bagi perempuan. Minimal hukum khitan
bagi perempuan adalah sunah (dianjurkan) dan yang paling baik adalah melakukannya dengan tujuan
sebagaimana perkataan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin di atas yaitu untuk mengurangi syahwatnya.

– Dianjurkan Melakukan Khitan Pada Hari Ketujuh Setelah Kelahiran

Hal ini sebagaimana hadits dari Jabir radhiallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengaqiqah Hasan dan Husain dan mengkhitan mereka berdua pada hari ketujuh
(setelah kelahiran,-pen).” (HR. Ath Thabrani dalam Ash Shogir)

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Ada tujuh sunah bagi bayi pada hari ketujuh, yaitu:
pemberian nama, khitan,…” (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath)

Kedua hadits ini memiliki kelemahan, namun saling menguatkan satu dan lainnya. Jalur keduanya
berbeda dan tidak ada perawi yang tertuduh berdusta di dalamnya. (Lihat Tamamul Minnah, 1/68).

Adapun batas maksimal usia khitan adalah sebelum baligh. Sebagaimana perkataan Ibnul Qoyyim:
“Orang tua tidak boleh membiarkan anaknya tanpa dikhitan hingga usia baligh.” (Lihat Tamamul Minnah,
1/69).

Sangat baik sekali jika khitan dilakukan ketika anak masih kecil agar luka bekas khitan cepat sembuh dan
agar anak dapat berkembang dengan sempurna. (Lihat Al Mulakkhos Al Fiqh, 37). Selain itu, khitan pada
waktu kecil akan lebih menjaga aurat, dibanding jika dilakukan ketika sudah besar.

-bersambung insya Allah-

***
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal (Alumni Ma’had Ilmi)

Dimuroja’ah ulang oleh: Ustadz Aris Munandar

Artikel www.muslim.or.id

Sahabat muslim, yuk berdakwah bersama kami. Untuk informasi lebih lanjut silakan klik disini.
Jazakallahu khaira

Print Friendly, PDF & Email

Topics: Adab-Adab Muslim,

Read more https://muslim.or.id/207-berhiaslah-dengan-sunah-sunah-fitrah-1.html

Anda mungkin juga menyukai