Anda di halaman 1dari 2

Kota Singgah yang Layaknya Rumah

Hi! Welcome back di blognya Renita. Malam ini saya ingin menyapamu kembali yang sudah
saya ingkari lagi selama 3 minggu. Kali ini saya enggan berjanji karena nyatanya saya belum
mampu membaca akan berbuat apa saya esok hari, esoknya, esoknya lagi. Semoga saja, hanya
semoga, malam Rabu berikutnya ada hal yang bisa saya bagi denganmu, jika tidak maka maaf
mungkin hal itu hanya untuk pribadi saya. Malam ini sudah menjadi malam di penghujung
ramadhan. Tidak terasa lebaran tinggal menghitung hari. Semakin dewasa, tidak tahu mengapa,
ramadhan menjadi semakin terasa beda bagi saya. Entah karena makin banyak yang dipikir atau
memang vibe-nya yang udah nggak seperti dulu. Saya tidak tahu kamu merasakan hal yang sama
atau tidak. Jika sama, berarti kita ada di kapal yang sama. Jika tidak bukan berarti kita harus
bermusuhan kan? Ini hanya perihal pandangan.
Tahun ini saya merasa ramadhan saya banyak cacatnya. Sholat masih nggak tepat waktu, tarawih
banyak bolong, ngaji apalagi. Jika ingin berprasangka buruk mungkin karena ramadhan tahun ini
tidak saya nikmati di tempat yang sudah saya kenali selama 14 tahun. Tapi jika ingin
berprasangka baik, mungkin saya saja yang tidak pintar manajemen segala hal. Kali ini saya
memberimu pilihan, terserah ingin berprasangka apa pada saya. Yang jelas saya bukan orang
yang gampang menyerah pada kenangan, sialnya beradaptasi sudah berkali – kali saya lewati
hingga bosan mungkin. Berpindah – pindah seringkali menyenangkan untuk beberapa orang.
Begitupun saya. Sayangnya, malam ini saya bosan. Malam ini saya bosan ditodong dengan
pertanyaan ‘Loh sudah pulang, kapan pulangnya?’, ‘Kapan datang?’, ‘Ternyata Renita ini tadi,
kapan datangnya?’. Itulah sepintas pertanyaan yang tentunya dilontarkan dengan Bahasa Jawa
daerah bagian barat. Bahasa Jawa juga beraneka ragam. Ini juga adaptasi, kawan! Nyatanya
adaptasi tidak hanya terjadi pada tempat baru, tapi bisa juga tempat lama ketika kamu kembali
pulang. Bersiaplah jika ingin pulang. Saranku jangan sampai logat tempat barumu malah
membuat sekat dengan orang – orang di rumahmu. Katanya, dimana bumi dipijak disana langit
dijunjung. Tapi sebenarnya tak apa juga, semakin banyak beda semakin Indonesia kan?
Sesuai janji saya di postingan beberapa waktu lalu, saya akan menceritakan kota singgah saya
yang selalu menjadi favorite bagi saya. Tapi maaf saya tidak bisa menceritakan banyak, karena
seperti yang pernah saya tulis, sampai malam ini saya belum siap membuatmu sama jatuh
cintanya dengan kota ini. Kota yang dengan baiknya membuka tangan untuk saya tumbuh
menjadi gadis desa selama 14 tahun. Ya, kenalkan saya gadis desa. Di telinga saya hal itu
terdengar lebih manis daripada menjadi sosialita. Saya beri tahu, kota ini menjanjikan
ketentraman hati. Saya tidak sedang meninggikan, saya hanya ingin membuatmu mengenali kota
ini. Saya tidak berani mengakui bahwa ini kota saya, jadi lebih baik saya menyebut dengan kota
ini karena memang sudah pernah saya bahas bahwa saya tidak dilahirkan di kota ini. Tidak juga
beridentitas di kota ini. Jadi tidak salah bukan jika mengatakan kota ini sebagai kota singgah
saya? Tapi nyatanya malah saya berlipat – lipat lebih mencintai kota ini daripada kota kelahiran
dan kota tempat saya tinggal.
Arti berpuasa bagi saya adalah waktu dimana seharusnya kita lebih banyak menyendiri. Bukan,
bukan artinya menyuruhmu untuk berhenti bersosialisasi. Tapi ini adalah saat dimana kita bisa
merenung, menengok ke belakang sudah apa saja yang kita lakukan selama setahun terakhir.
Sudah lebih baikkah kita dibanding tahun lalu? Seharusnya bulan ramadhan menjadi bulan sakral
dimana kita fokus memikirkan diri sendiri, memikirkan pribadi kita sendiri. Saya beri tahu lagi,
kota singgah ini juga menjanjikan saya keadaan seperti itu. Itulah mengapa saya jatuh cinta
padanya. Kota ini menjanjikan saya waktu untuk berpikir tentang diri saya sendiri, untuk menilai
diri saya sendiri, untuk menerka – nerka apa yang bisa saya lakukan. Intinya kota ini
mempersilahkan saya untuk merenung tentang diri saya sendiri. Maaf, tapi bagi saya Surabaya
terlalu ramai. Surabaya bahkan tidak memberi saya kesempatan untuk sekedar menghela napas.
Everything should run and run. Tidak ada jeda. Fisik saya lelah, begitupun dengan hati saya.
Ramadhan saya kali ini dipenuhi dengan undangan buka bersama, rapat, urusan kuliah yang tak
kunjung usai dan banyak distraksi lainnya. Saya tahu dan saya sadar disini bukan tempat tinggal
saya. Orang tua saya pun tidak ada disini. Tapi saya beri tahu, disini jauh – jauh lebih nyaman.
Tidak ada undangan buka bersama, tidak ada rapat, tidak ada jalan – jalan malam. Yang ada
hanya saya bersama tetangga – tetangga saya berangkat tarawih bersama dengan diselingi senda
gurau selama berjalan, tapi kemudian tenang ketika beribadah. Seakan mereka sadar benar
bahwa ada saat dimana kita harus diam dan berganti berkomunikasi dengan pemilik alam
semesta. Saya suka. Hal ini yang tidak saya temui di kota besar itu. Yang ada disana saya hanya
berjalan bersama ibu saya, sesekali bersama tetangga tapi tidak ada tegur sapa. Sesampainya
disana malah terdengar bisik – bisik dari barisan shaf belakang. Maaf kalo lebih banyak
membandingkan, tapi bagimu yang mungkin tidak tahu kota ini lebih baik saya menjelaskan
dengan cara seperti ini, semoga kamu mengerti maksud saya ya.
Dengan begini saya menjadi tahu definisi rumah. Rumah bukan hanya tempat kita tinggal, bukan
hanya tempat keluarga kita berkumpul. Rumah itu perihal rasa nyaman. Kota besar itu rumah
saya karena orang tua saya ada disana. Tapi kota ini juga rumah saya, karena nyatanya saya
nyaman disini. Saya familiar dengan lingkungan ini. Saya belajar bersyukur, toleransi, mandiri,
dan banyak hal lain di kota ini. Ini memang kota singgah saya selama 14 tahun, kota singgah
yang layaknya rumah. Rasanya saya tidak ingin kota ini menjadi kota yang modern. Semoga
tetap seperti ini, seperti kota yang saya kenal 14 tahun yang lalu. Tetap dengan udara dinginnya,
tetap dengan hijaunya sawah, tetap dengan ketenangannya, tetap dengan malam yang berlangit
hitam dibumbui bintang – bintangnya, tetap dengan keramahan manusianya. Semoga tetap
seperti ini. Maaf jika saya egois, tapi ini hanya pikiran sesaat. Jika kamu tidak setuju berdoalah
agar saya berubah pikiran. Jika niatmu baik insya Allah terkabul. Sekian, terimakasih.

Anda mungkin juga menyukai