MIKROBIOLOGI
MAKALAH
Disusun oleh
Dede Fajar
(1147020013)
JURUSAN BIOLOGI
2015
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kita panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat serta
karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul JAMUR
BASIODYMICOTINA Volvariela volvacea
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
iv
tangkai, dan cawan. Ukuran tudung bervariasi antara species yang satu dengan
species yang lain, begitupula tungkai dan ukuran sporanya. Kandungan protein
jamur lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan protein pada
tumbuhtumbuhan lain secara umum. Menurut Osemwegie et al., (2006)
kandungan nutrisi jamur edibel yaitu protein 11,77%, karbohidrat 12,63%, dan
serat 55%. Sampai saat ini, jamur sagu belum banyak dikaji secara ilmiah, baik
dari karakteristik morfologi, nutrisi maupun dari aspek domestikasinya. Melalui
penelitian ini akan diungkapkan karakteristik morfologi tubuh buah, morfologi
mikroskopis jamur sagu dan nilai nutrisi yang membedakan dengan jamur merang
(V. volvaceae). Informasi yang didapatkan dari penelitian ini diharapkan dapat
digunakan untuk budidaya jamur sagu secara komersial.
Jamur sagu (Volvariella sp.) adalah jamur yang tumbuh secara alami di
ampas sagu yang sedang melapuk. Keberadaan jamur sagu yang tumbuh secara
alami tidak menentu dan jarang dijumpai. Masyarakat senang sekali bila menemui
jamur sagu di hutan sagu. Ini dikarenakan jamur sagu memiliki rasa yang enak,
lezat, dan kaya akan protein
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana morfologi mikroorganisme kelompok Volvariela volvacea ?
2. Apa media perantara atau media pertumbuhan dari Volvariela volvacea?
3. Bagaimana hubungan Pilogenik dari Volvariela volvacea?
4. Bagaimana pemanfaatan dari Volvariela volvacea ?
A. Tujuan
Makalah ini dibuat dengan beberapa tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui karakteristik mikroorganisme kelompok Volvariela
volvacea
2. Untuk mengetahui media perantara atau pertumbuhan dari Volvariela
volvacea
3. Untuk mengetahui hubungan pilogenik dari Volvariela volvacea
4. Untuk mengetahui pemanfaatan dari Volvariela volvacea
BAB II
PEMBAHASAN
v
2.1 Morfologi Jamur Merang (Volvariela volvacea)
Kehidupan jamur dapat menjadi jasad yang saprofit ataupun jasad yang
parasit, kalau kemudian jamur ditelaah dari segi sifat mikroba secara umum,
ternyata jamur termasuk jasad yang heterotrofik artinya untuk keperluan hidupnya
ketergantungan sumber nutrien (sumber makanan) dari sumber yang lain yang
sudah ada. Jamur Merang (Volvariella volvacea) sendiri memiliki bentuk tubuh
yang lengkap yang menyerupai tanaman yang sudah memiliki akar (rhizoid),
tangkai, dan tudung. Sebagai organisme yang tidak berklorofil Jamur Merang
vi
(Volvariella volvacea) memiliki warna agak ke coklatan yang umumnya terdiri
dari zat aromatik yang tidak mengandung N. Jamur secara umum tidak dapat
melakukan fotosintesis dengan demikian jamur tidak dapat menggunakan secara
langsung sinar matahari. Jamur memperoleh makanan dalam bentuk jadi seperti
selulosa, glukosa, lignin, dan protein.
Tahap perkembangan jamur merang dibagi menjadi tiga yaitu tahap
pertumbuhan miselium, tahap pembentukan tubuh buah dan tahap pelepasan spora
Kehidupan jamur merang berawal dari spora (basidiospora) yang kemudian akan
berkecambah membentuk hifa yang berupa benang-benang halus. Hifa ini akan
tumbuh keseluruh bagian media tumbuh,. Kemudian dari kumpulan hifa atau
miselium akan terbentuk gumpalan kecil seperti simpul benang yang menandakan
bahwa tubuh buah jamur mulai terbentuk. Simpul tersebut berbentuk bundar atau
lonjong dan dikenal dengan stadia kepala jarum (pinhead) atau primordia. Simpul
ini akan membesar dan disebut stadia kancing kecil (small button). Selanjutnya
stadia kancing kecil akan terus membesar mencapai stadia kancing (button) dan
stadia telur (egg). Pada stadia ini tangkai dan tudung yang tadinya tertutup
selubung universal mulai membesar. Selubung tercabik, kemudian diikuti stadia
perpanjangan (elongation). Cawan (volva) pada stadia ini terpisah dengan tudung
(pileus) karena perpanjangan tangkai (stalk). Stadia terakhir adalah stadia dewasa
tubuh buah. Pada stadia kancing yang telah membesar akan terbentuk bilah. Bilah
yang matang akan memproduksi basidia dan basidiospora, kemudian tudung
membesar. Pada waktu itu, selubung universal yang semula membungkus seluruh
tubuh buah akan tercabik. Tudung akan terangkat keatas karena memanjangnya
batang, sedangkan selubung universal yang sobek akan tertinggal dibawah dan
disebut cawan
vii
Gambar 2. Siklus hidup Jamur merang
2.2 Syarat hidup jamur Merang (Volvariela volvacea)
viii
keadaan udara yang lembab. Hal ini erat hubungannya dengan kebutuhan jamur
akan air, baik dalam bentuk air maupun uap air. Sekitar 88-90 % berat segar tubuh
buah terdiri dari air Faktor lingkungan lain yang juga mempengaruhi pertumbuhan
jamur adalah senyawa beracun dan radiasi. Senyawa beracun terutama logam
berat seperti raksa (Hg), Pb, Cu, Ag, Zn, dan Li. Denga kadar rendah sekalipun
senyawa ini dapat mempengaruhi kegiatan sel. Radiasi seperti cahaya gelombang
pendek (sinar
ultraviolet/UV, sinar infa merah dan sinar gamma) mempunyai daya rusak yang
tinggi bagi sel-sel jamur dan dapat menyebabkan kematian sel jamur, perubahan
genetik, paling tidak akan menghambat pertumbuhan. Namun ada juga beberapa
spesies menyukai habitat yang cukup cahaya, tetapi tetap dengan kelembaban
yang tinggi
Observasi Jamur Sagu Endemik Papua. Saat observasi dilakukan, kami
menemukan jamur sagu tumbuh di hamparan ampas sagu dihutan sagu di Distrik
Yapen Selatan, Desa Warari. Bentuk dan morfologi jamur sagu yang ditemukan di
Desa Warari tidak beragam. Atas dasar kesamaan bentuk dan morfologi dapat
diinformasikan bahwa jamur sagu yang ada di Kabupaten Yapen hanya satu jenis
yang merupakan genus dari Volvariella sp. Penampilan morfologi jamur sagu
yang ditemukan di Kabupaten Yapen disajikan pada Gambar 2. Penampilan
morfologi jamur sagu dibandingkan dengan penampilan morfologi dari berbagai
species dari genus Volvariella yang telah diidentifikasi dan diberi nama (Kuo,
2008) ternyata jamur sagu berbeda dengan V. volvacea dan V. gloiocephala (Tabel
1) serta species dari genus Volvariella lainnya, sehingga diduga jamur sagu
merupakan species tersendiri di antara berbagai macam species jamur edibel dari
genus Volvariella. Untuk lebih memastikan bahwa jamur sagu berbeda dengan
species dari genus Volvariella masih perlu dilakukan analisis DNA dengan
menggunakan berbagai macam marker molekuler. Jamur sagu yang dijumpai di
hamparan ampas sagu di lokasi penelitian terdiri atas beberapa fase pertumbuhan
yaitu fase kancing, telur, elongasi, dan matang. Chang (1983) membagi menjadi
enam fase perkembangan basidiocarp yaitu fase Pinhead (primordia), Tinybutton
(kancing kecil), button (kancing), egg (telur), elongation (pemanjangan), dan
ix
mature (matang). Selanjutnya Li (1982) mengungkapkan bahwa fase
perkembangan basidiocarp dari Devisi Basidiomycota terdiri atas empat fase yaitu
fase kancing, telur, elongasi, dan maturiti. Berdasarkan pengalaman masyarakat,
jamur sagu dapat dimakan dari semua stadia pertumbuhan basidiocarp yang
disebutkan oleh Li (1982) karena masyarakat saat berburuh jamur sagu di hutan
sagu memetik jamur sagu yang dijumpai dari semua stadia pertumbuhan untuk
dijadikan lauk pauk.
x
mengungkapkan bahwa panjang stipe jamur merang sekitar 5-8 cm dengan
diameter 0,5-1,5 cm
xi
rata 0,5% N, 0,25% P2O5, dan 0,5% K2O. Kadar unsur hara yang terdapat dalam
kotoran ayam adalah: 55% H2O, 1% N, 0,8% P2O5, dan 0,4% K2O
Dedak sebagai campuran media tanam berfungsi sebagai nutrisi dan
sumber karbohidrat, karbon, dan nitrogen. Karbon digunakan sebagai sumber
energi utama, sedangkan nitrogen berfungsi untuk membangun miselium dan
membangun enzim–enzim yang disimpan dalam tubuhnya. Dedak yang
disarankan adalah yang masih baru dan tidak berbau apek atau tengik Dedak
mengandung senyawa organik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur merang
seperti Nitogen 3,5%, Phospor 2.7 %, Kalium 0.8%, Magnesium 1%, lignin 19%,
dan selulosa 29 % Kapur digunakan untuk menjaga keasaman media dan
berfungsi sebagai sumber mineral
Ada beberapa bahan yang harus ditambahkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
jamur dan menunjang pertumbuhannya diantaranya, arang sekam berfungsi
menstabilkan suhu tempat tumbuhnya jamur dan kangkung berfungsi
meningkatkan suhu dalam media. Menurut seorang pakar jamur merang di
Shanghai, China, jamur merang mengabsorpsi karbohidrat dan mineral dari
rumput-rumputan yang melapuk. Rumput rumputan terutama jerami mengandung
banyak zat gula dan mineral (N, P, K dan sebagainya). Selama proses fermentasi,
bahan organik karbohidrat dan mineral dapat diambil dalam jumlah besar. Begitu
terjadi pelapukan jerami, dengan cepat kandungan senyawa organiknya segera
akan tersedia dan dapat digunakan jamur untuk pertumbuhannya Kandungan air
didalam substrat sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan
miselia jamur. Terlalu sedikit air pertumbuhan dan perkembangan akan terganggu
atau terhenti sama sekali. Juga terlalu banyak air, miselia akan membusuk dan
mati Ketebalan media rak yang biasa digunakan untuk budidaya jamur merang
adalah 20 cm
Pada pengamatan Riduwan dkk (2013) menyatakan bahwa Hasil sidik
ragam menunjukan bahwa interaksi hanya terjadi pada variabel pengamatan bobot
segar badan buah antara perlakuan ketebalan media dengan perlakuan sistem
penebaran bibit. Data pada Tabel 2 menunjukkan hubungan interaksi antara
perlakuan ketebalan media dengan perlakuan sistem penebarn bibit. Perlakuan
xii
ketebalan media tanam 15 cm (K0), ketebalan 20 cm (K1) dan ketebalan 30 cm
(K3) memiliki hasil bobot segar badan buah yang tidak berbeda nyata pada sistem
penebaran bibit secara disebar dan sistem penebaran bibit secara dicampur.
Sedangkan pada perlakuan ketebalan media 25 cm (K2) dapat meningkatkan hasil
pada perlakuan sistem penebaran bibit secara dicampur. Pada pengamatan
ketebalan media tanam terjadi perbedaan yang nyata pada variabel pengamatan
lama masa panen , jumlah badan buah dan jumlah badan buah total dan
pengelompokan badan buah berdasarkan diameter >3 cm dan 2-3 cm. Sedangkan
perlakuan sistem penyebaran bibit hasil beda nyata hanya terjadi pada variabel
pengamatan lama masa panen.
Tabel 2 Interaksi ketebalan media terhadap sistem penebaran bibit pada bobot
segar badan buah
xiii
Pada penelitian Abbas dkk, (2012) menyatakan Pertumbuhan Hifa pada
Media Biji-bijian (media spawn). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua
perlakuan biji-bijian yang dicobakan dapat menginduksi pertumbuhan hifa-hifa
atau miselium. Tingkat kecepatan pertumbuhan miselium pada tiap-tiap media
yang digunakan bervariasi. Perlakuan yang dapat menginduksi pertumbuhan
miselium paling cepat yaitu perlakuan 9 (biji sorgum, yang ditambah 10% tepung
sagu dan 0,5% kapur), dan perlakuan sepuluh (Biji Sorgum yang ditambah 10%
tepung sagu dan 1% kapur) hanya diperlukan waktu 3 hari untuk menutup seluruh
permukan media dengan miselium (Tabel 4). Biji sorgum telah banyak digunakan
dan dilaporkan sebagai media tumbuh miselia yang baik pada berbagai macam
jamur
edibel. sorgum dapat menginduksi pertumbuhan miselium pada jamur Coprinus
sinerius, Pleurotas flabellatus dan Volvariella volvacea dengan baik.
Bahwa biji gandum juga dapat digunakan sebagai spawn medium pada
berbagai macam jamur. Perlakuan yang paling lambat menutup semua permukaan
media dengan miselium yaitu perlakuan 3 (kacang merah yang ditambah 10%
tepung sagu dan 0,5% kapur), dan perlakuan 7 (kedelai yang ditambah 10%
tepung sagu dan 0,5% kapur). Penampilan pertumbuhan miselium pada media
biji-bijian disajikan pada Gambar 4. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa biji-
bijian (kacang hijau, kacang merah, jagung, kedelai, dan sorgum) dapat digunakan
sebagai media tumbuh miselium untuk menghasilkan biakan induk jamur sagu.
Hasil analisis statistik menunjukkan antara satu perlakuan dengan perlakuan
lainnya terdapat perbedaan yang nyata dalam hal kecepatan pertumbuhan
miselium, hal itu diduga disebabkan oleh komposisi kandungan nutrisi masing-
masing biji-bijian yang digunakan berbeda antara satu dengan lainnya. Hal yang
xiv
serupa juga dilaporkan oleh Beausejour (1999), yaitu menjumpai perbedaan
pertumbuhan miselium pada media biji gandum dan rye. Media biji-bijian yang
paling sesuai dan sangat cocok untuk mendukung pertumbuhan dan
perkembangan miselium adalah biji sorgum. Hal yang serupa juga diamati oleh
Mshandete dan Cuff (2008), pada tiga macam genus jamur edibel Pada dasarnya
untuk tujuan usaha jamur sagu, biji-bijian dari sereal atau legumapa saja yang
mudah diperoleh dapat digunakan sebagai media tumbuh untuk menghasilkan
biakan induk jamur sagu.
2.4 Analisis kedekatan Volvariella volvacea
Analisis Phylogenomic menyandingkan Volvariella volvacea dan
13 jamur lain mengungkapkan kedekatan evolusi terdekat dengan
Agaricus bisporus dan Coprinopsis cinerea (waktu divergensi dari 221
juta tahun yang lalu [MYA]) dan Schizophylum commune (252 MYA)
Gambar 4. Jumlah pengurangan dalam Volvariella volvacea keluarga
gen adalah 907, lebih tinggi dari jumlah rata-rata jamur jerami yang
lain (567) dan pembusukan kayu jamur (399) (Gambar S2). Hal ini
menunjukkan bahwa penurunan jumlah gen terjadi selama evolusi
Volvariella volvacea. Menariknya, lima keluarga besar gen (> 160 gen)
(dalam total 1.154 gen) hadir dalam genom Volvariella volvacea
dibandingkan dengan 2 (452 gen) di Agaricus bisporus 3 (570 gen) di
C. cinerea dan 2 (655 gen) di S. commune (Gambar S3). Kami
menyarankan bahwa fungsi beberapa keluarga gen di Volvariella
volvacea dapat ditingkatkan selama evolusi untuk adaptasi dengan
niche berkembang tertentu. Selanjutnya, pada skala genomik,
persentase urutan asam amino kesamaan lebih besar dari 80% hanya
dalam 257 pasang protein dalam Volvariella volvacea, hampir sama
dengan 255 pasangan dalam Coprinopsis cinerea, tetapi jauh lebih
rendah dari 468 pasangan dalam A. bisporus dan 383 pasangan di
S.commune (Gambar S4).
xv
Gambar 4 Phylogenomic tree showing the evolutionary distance of V. volvaceawith different
fungal species.
Scan BLASTx dari genom V. volvacea V23-1 menggunakan
homeodomain basidiomycete (HD) gen sebagai query, diidentifikasi
VVO_04854 dan VVO_05004 gen (ditunjuk vv-HD1-V23-1 dan vv-HD2-
V23-1) terletak 271 bp terpisah pada perancah 07. Kedua protein HD
dikodekan, menunjukkan kesamaan yang tinggi untuk homolognya di
Basidiomycetes bipolar, Agaricus bisporus dan Pholiota nameko, dan
Basidiomycetes tetrapolar, Coprinopsis cinerea dan Schizophylum
commune Tampaknya V. volvacea memiliki A kawin jenis lokus tunggal
yang terdiri dari dua gen HD. Perbandingan wilayah genomik mengapit
V. volvacea A lokus jenis kawin dengan yang sesuai daerah di A.
bisporus, Pleurotus nameko dan Coprinopsis cinerea menyatakan
synteny yang sangat dilestarikan (Gambar 3). Ketika sepasang primer
spesifik (VVmipF11 dan VVmipR13), berdasarkan urutan sekitarnya
kawin dengan tipe A lokus di regangan V23-1 (A1 lokus), yang
digunakan untuk memperkuat A lokus dari V23-18-tunggal-spora isolat
( A2 locus), dua gen, ay-HD1-V23-18 dan vv-HD2-V23-18 (nomor
Aksesi: JX157875) diidentifikasi dalam lokus A2. HD1 dan HD2 protein
yang dikodekan 48% dan 49% mirip dengan yang sesuai
xvi
Gambar 05 Comparison of the genomic structure of A mating type locus and its
flanking region among C. cinerea, A. bisporus, V. volvacea and P. nameko.
Tiga gen, VVO_01536, VVO_09012 dan VVO_09031 (ditunjuk vv-rcb1,
ay-rcb2, ay-rcb3, masing-masing), terletak 72 dan 4 kb terpisah pada perancah 24,
diidentifikasi oleh pencarian Ledakan bertujuan mengenali homolognya gen
feromon-reseptor seperti . Urutan protein dideduksi dari ay-rcb1, ay-rcb2 dan gen
vv-rcb3 mirip dengan reseptor feromon lain dan berisi struktur 7-transmembran,
yang merupakan karakteristik dari reseptor feromon di Basidiomycetes dengan
tipe kawin B lokus [31]. Namun, meskipun data ini mengindikasikan B lokus jenis
kawin, urutan dari lokus putatif dan daerah mengapit menunjukkan synteny
miskin bila dibandingkan dengan Basidiomycetes lainnya. Selanjutnya, gen yang
mengkode prekursor feromon, yang diperlukan untuk fungsi B kawin faktor [31],
tidak jelas di wilayah mengapit dari vv-rcb1, ay-rcb2 dan gen ay-rcb3. Urutan
DNA dari set kedua gen tiga feromon-reseptor-seperti, diperkuat dengan
menggunakan bilangan prima dari jenis kawin lokus B diduga di regangan V23-18
(yang kompatibel dengan V23-1), identik dengan yang sesuai urutan di V23- 1.
Oleh karena itu, gen feromon-reseptor seperti di V. volvacea mungkin tidak
xvii
mengatur kompatibilitas kawin dengan cara yang sama seperti pada bipolar jamur
Coprinellus disseminatus [32] dan P. nameko [33].
Penanda molekuler untuk tipe A kawin gen diidentifikasi menggunakan
dua pasang primer-gen tertentu (A1168F dan A1168R untuk lokus A1, dan
A2217F dan A2217R untuk lokus A2) dirancang sesuai dengan urutan alel di
kawin tipe A lokus. Tanda tersebut dapat digunakan untuk membedakan isolat
spora tunggal homokaryotic dan heterokaryotik (SSIS), dan lebih efektif daripada
pengamatan mikroskopis atau SCAR (sequencing Ditandai Amplified Region)
spidol. Sebanyak 124 SSIS berasal dari galur V23 dipisahkan menjadi tiga
kelompok berdasarkan kehadiran A1 dan / atau A2 lokus sebagai berikut:
kelompok A1 (35 SSIS, 28,2%), A2 kelompok (66 SSIS, 53,2%) dan kelompok
A1A2 (23 SSIS, 18,6%). The 18,6% kejadian heterokarion lebih tinggi dari yang
ditemukan di antara SSIS berasal dari V. volvacea ketegangan Pingyou No 1
(7.14%) [34] tetapi jauh lebih rendah dari yang dilaporkan antara SSIS diambil
dari strain H (77%, 23/30) dan K (75%, 15/30) [9]. Budidaya buatan jangka
panjang dan / atau sampel uji yang lebih besar dapat menjelaskan insiden rendah
heterokarion antara SSIS strain V23 dan Pingyou No 1. Namun demikian,
kehadiran kedua homokaryon dan heterokarion antara SSIS berasal dari V23
sepenuhnya konsisten dengan pengamatan sebelumnya [ 9], [34]. Selanjutnya,
sesuai dengan data sebelumnya diperoleh dengan H dan K strain V. volvacea [9],
tes budidaya yang dilakukan dalam penelitian ini melibatkan 12 SSIS ditugaskan
untuk kelompok A1A2 dan 14 ditunjuk homokaryotic SSIS menegaskan bahwa
hanya mantan mampu buah. Delapan heterokarion diperoleh dengan
menyeberangi SSIS milik A1 dan A2 kelompok, tujuh mayat buah yang
dihasilkan, menunjukkan bahwa tipe A kawin gen dalam V. volvacea mengatur
kompatibilitas kawin seperti di jamur lain menunjukkan reproduksi seksual
bipolar.
Analisis filogenetik menunjukkan bahwa protein HD bipolar dikodekan
oleh A tipe kawin gen dalam V. volvacea dan Basidiomycetes lainnya berasal dari
protein HD leluhur terkait dengan basidiomycete tetrapolar , Ustilago maydis
( Gambar 06 ) , mendukung klaim sebelumnya [ 35 ] , [ 36 ] bahwa sistem bipolar
xviii
berevolusi dari rekan-rekan tetrapolar . Pohon filogenetik juga menunjukkan
hubungan yang erat antara V. volvacea , A. bisporus , C. disseminatus dan P.
nameko . Kehilangan B kawin fungsi faktor V. volvacea berkorelasi dengan
inaktivasi gen reseptor - seperti feromon [ 32 ] , [ 37 ] .
Gambar 06. Phylogenetic tree constructed from the amino acid sequence alignments of
homeodomain mating-type protein homologs of V. volvacea and various basidiomycete fungi.
Meskipun V. volvacea sering digambarkan sebagai homothallic utama ,
pertentangan ini masih menjadi subyek perdebatan [ 38 ] , [ 39 ] , [ 40 ] . Data
filogenetik disajikan di sini mendukung gagasan bahwa V. volvacea , seperti A.
bisporus [ 41 ] , adalah pseudo- homothallic . Sistem seperti ini mengurangi
kemungkinan keluar - berkembang biak dan meningkatkan potensi perkawinan
sedarah . Ini tidak mendorong polimorfisme genetik , tapi memastikan frekuensi
tinggi diri kesuburan dan berbuah untuk transfer efektif gen yang diperlukan
untuk berkembang di ekologi tertentu (misalnya 30-35 ° C ) .
2.5 Manfaat Volvariella volvacea
Budidaya jamur ini tidak sulit. Panen dilakukan terhadap tubuh buah yang
belum sepenuhnya berkembang (masih kuncup), meskipun tubuh buah yang telah
membuka payungnya pun masih bisa dikonsumsi walaupun harnga jualnya
menurun. Jamur merang mempunyai rasa enak, gurih, dan tidak mudah berubah
wujudnya jika dimasak, sehingga digunakan untuk berbagai macam masakan,
seperti mi ayam jamur, tumis jamur, pepes jamur, sup dan capcay. Sentra produksi
jamur merang di Indonesia terdapat di Dataran Tinggi Dieng. Di negara-
xix
negara Asia yang membudidayakannya, jamur merang dijual dalam bentuk segar.
Di daerah beriklim sejuk hanya tersedia jamur merang kalengan.
Kandungan Nutrien Jamur sagu Komposisi dan kandungan nutrisi jamur
sagu sangat berbeda dengan kandungan nutrisi jamur merang dan jamur edibel
lainnya dalam genus Volvariella. Nutrisi yang dikandung Jamur sagu per 100
gram berat basah yaitu sebanyak 4,00 gram protein, 2,99 gram karbohidrat, 0,19
gram lemak, 11,53 mg Ca, 0,31 gram P, dan 165,05 mg K (Tabel 4). Jamur sagu
memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu hampir dua kali lipat kandungan
protein jamur merang, tetapi jamur sagu memiliki kadar lemak yang sangat rendah
yaitu sekitar 20 kali lebih kecil dibanding dengan kandungan lemak jamur merang
(Tabel 4). Kandungan lemak yang rendah dari jamur sagu, sehingga baik
dikonsumsi oleh orang menghindari makanan yang berlemak tinggi.
Tabel 4. Komposisi kandungan nutrisi jamur sagu dan jamur merang
xx
beberapa jenis jamur edibel yaitu jamur kancing (Agaricus campestris) yang
memiliki kandungan protein tertinggi yaitu sebesar 33,2% dari berat kering
(Abbas, 2010). Jadi dapat diungkapkan bahwa jamur sagu memiliki kandungan
protein paling tinggi di banding dengan jamur edibel lainnya yang telah dianalisis
dan dipublikasikan. Kandungan Kalsium (Ca) mendekati 2 kali lipat kandungan
kalsium jamur merang dan kandungan Kalium (K) sekitar tiga kali lebih rendah
dibanding kandungan K jamur merang. Untuk kandungan fosfor hampir sama
dengan kandungan fosfor jamur merang, tetapi jamur sagu masih lebih tinggi
dibanding dengan jamur merang (Tabel 4). Fakta data hasil analisis kandungan
nutrien jamur sagu memperkuat dugaan bahwa jamur sagu berbeda dengan jamur
merang dan jamur edibel lainnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jamur Merang (Volvariella volvacea) sendiri memiliki bentuk tubuh yang
lengkap yang menyerupai tanaman yang sudah memiliki akar (rhizoid), tangkai,
dan tudung. Sebagai organisme yang tidak berklorofil Jamur Merang (Volvariella
xxi
volvacea) memiliki warna agak ke coklatan yang umumnya terdiri dari zat
aromatik
Analisis Phylogenomic membandingkan Volvariella volvacea dengan 13
jamur lain mengungkapkan kedekatan evolusi terdekat dengan jamur
Agaricus bisporus dan Coprinopsis cinerea. Kadar nutrisi jamur merang
mengandung 12,63% karbohidrat dan 11,77% protein. Selanjutnya Widyastuti
(2005) mengungkapkan bahwa kadar protein jamur merang sebesar 25,9% dan
lemak 2,4% sedangkan Istimewa (2008) mengungkapkan bahwa kandungan
protein jamur merang sebesar 1,8%, karbohidrat sebesar 12-48%, dan lemak
sebesar 0,3% dari berat basah.
DAFTAR PUSKATA
Abbas, B. Florentina, H. L., Eko, A. M. 2010. Karakteristik Jamur sagu (Volvariella
volvace) Endemik Papua. Jurnal Natural Indonesia 13 (2).
xxii
Bao, D. 2013. Sequencing and Comparative Analysis of the Straw Mushroom
(Volvariella volvacea) Genome. Journal international. 2(1).
Chen, S., Wei, G., John, A. B. 2004. Molecular cloning of a new laccase from the edible
straw mushroom Volvariella volvacea: possible involvement in fruit body
development. Journal international FEMS Microbiology Letters 230 171 (176).
Morse, H. M. K.1986. Protein Utilization by basiodimycota. Journal international
Trans. Br. my col, Soc. 86 (4).
Riduwan, M., Didik, H., Muhammad, N. 2013. Pertumbuhan dan hasil jamur Merang
(Volvariella volvace) pada berbagai sistem penebaran bibit dan ketebalan media.
Jornal produksi tanaman 1(1).
Shaujun, D., Jie, C., Rui, Z., Fei, Z. 2007. Molecular cloning, and characterization of a
modular acetyl xylan esterase from the edible straw mushroom Volvariella
volvacea. Juornal International FEMS Microbiol Lett 304–310.
Wood., Morse. 1987. Production, regulation and relase of extraseluler proteinase
activity in Basiodymicota fungi. Journal international Trans. Br. mycol. Soc. 88
(2), 221-227.
xxiii