Anda di halaman 1dari 15

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Manajemen
Istilah manajemen berasal dari kata kerja to manage yang artinya
mengendalikan, menangani, atau mengelola. Manajemen sendiri merupakan
bagian dari perpaduan ilmu dan seni yang lahir dari 3 komponen utama tersebut,
yaitu mengendalikan, menangani, dan mengelola. Manajemen sebagai ilmu
artinya manajemen memenuhi kriteria ilmu dan metode keilmuan yang
menekankan kepada konsep-konsep, teori, prinsip, dan teknik pengelolaan.
Manajemen sebagai seni artinya kemampuan pengelolaan sesuatu itu merupakan
seni menciptakan (kreatif), atau dapat dikatakan sebagai kreatifitas seseorang
(Herjito, 2001).
George R. Terry (1977) menyatakan manajemen adalah suatu proses yang
berbeda terdiri dari planning, organizing, actuacting, dan controlling yang
dilakukan untuk mencapai tujuan yang ditentukan dengan menggunakan sumber
daya yang meliputi (man, material, machine, method, money, and markets) atau
lebih sering dikenal dengan istilah 6M. Keempat proses tersebut serta sumber
daya memiliki hubungan keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan (Herjito,
2001). Berikut merupakan sebuah ilustrasi gambar dari pengertian manajemen
menurut George R. Terry.

Gambar 2.1. Pengertian manajemen sebagai proses


Secara umum pengertian manajemen adalah pengelolaan suatu pekerjaan
untuk memperoleh hasil dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan
dengan cara menggerakkan orang-orang lan untuk bekerja. Manajemen tidak
4

hanya digunakan manusia pada saat bekerja, namun dalam semua aspek
kehidupan manusia memerlukan suatu pengelolaan untuk mencapai tujuan yang
ditentukan. Manajemen merupakan suatu ilmu yang dapat digabungkan dengan
ilmu disiplin lain, misalnya seperti manajemen kesehatan, manajemen rumah
sakit, manajemen puskesmas, manajemen sumber daya alam, manajemen bisnis,
dan lain-lain. Ilmu manajemen yang digabungkan dengan ilmu disiplin lainnya
pun memuat informasi mengenai inti dari setiap proses pengelolaan bidang
tersebut yang meliputi antara lain, yaitu planning, organizing, actuacting, and
controlling (Herjito, 2001).

B. Ekologi
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan
lingkunganya dan yang lainnya. Ekologi berasal dari bahasa yunani yaitu oikos
(habitat) dan logos (ilmu). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik
interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antaramakhluk hidup dan
lingkungannya. Dalam ekologi, kita mempelajari makhluk hidup sebagai satu
kesatuan atau sistem dengan lingkungannya.
Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai
komponen penyusunnya, yaitu faktor biotik dan abiotik. Faktor abiotik antara lain
suhu, air, kelembapan, cahaya, dan topografi. Sedangkan faktor biotik adalah
makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba.
Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk
hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem. Dan ekosistem yang saling
mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukan kesatuan. Ekologi,
biologi, dan ilmu pengetahuan lainnya saling melengkapi dengan zoologi dan
botani yang menggambarkan kebanyakan rantai makanan manusia dan tingkat
tropik. Ekowilayah bumi dan riset perubahan iklim ialah dua wilayah dimana
ekolog (orang yang mempelajari ekologi) kini berfokus pada beberapa cabang
ilmu dari ekologi.
Ilmu ekologi manusia diperkenalkan pertama kalinya oleh Haeckel pada
tahun 1866 setelah melalui proses yang snagat panjang. Ilmu ekologi terlahir dari
ekologi biologi sebagai ilmu induknya dan dipadukan dengan perspektif sosio-
5

kulturalisme. Pada awalnya ekologi manusia berkembang melalui antropologi


budaya, yaitu suatu ilmu yang mempelajari eksistensi komunitas asli yang
membina kehidupan di suatu kawasan dengan ekosistem khas seperti hutan atau
pesisir. Beberapa ilmuwan lain juga menganggap ekologi manusia berkembang
melalui jalur geografi budaya, yaitu suatu studi tentang geografi masyarakat di
berbagai kawasan dengan setting geografi spesifik. Pada tahap berikutnya, terjadi
perkembangan di bidang keilmuan ekologi manusia, yaitu sosiologi lingkugan dan
ikut memperkaya serta memperkukuh ilmu ekologi dimana ilmu ini mengkaji
keterkaitan perilaku manusia dengan alam sehingga berdampak dengan terjadinya
kerusakan alam.
Secara epistemologis, kelahiran bidang ilmu ekologi manusia ditandai oleh
proses panjang demistifikasi sejumlah statement of beliefs melalui serangkaian
pembuktian empirik demi memahami an mengkonseptualisasikan realitas
keterhubungan antara sistem soisal (human system) dan sistem alam (non-human
system) di biosfer. Qualititative research approach yang dikembangkan para ahli
di bidang ini banyak menggunakan gagasan-gagasan metaforik yang diadaptasi
dari konsep-konsep biologi (misal: konsep organisme, kapasitas bertahan hidup,
jaringan, kesetimbangan, dan sebagainya) serta sosiologi (misal: konsep konflik,
ketimpangan, kooptasi, organisasi sosial, dan sebagainya). Metaphoric analysis
tersebut telah membuat ekologi manusia mampu menjelaskan gejala-gejala serta
hubungan kausalitas yang berlangsung dalam sistem sosio-ekologi (Dharmawan,
2007).
Secara ontologis, konsep-konsep ekologi manusia yang digunakan selama ini
telah dikenal luas dalam disipilin ekologi-biologi. Konsep-konsep dasar seperti
proses adaptasi dan maladaptasi ekologis untuk mengkaji sekelompok manusia
atau komunitas lokal dalam bertahan hidup di suatu kawasan menjadi gagasan
dasar untuk menjelaskan perkembangan sistem sosial masyarakar berdasarkan
interaksinya dengan alam. Konsep jejaring sosio-ekologis digunakan untuk
menjelaskan bentuk hubungan dibangun dalam rangka pengembangan human
security-system di suatu kawasan. Adapun proses eksploitasi ataupun keinginan
untuk memanfaatkan sumber daya alam di bidang ilmu ekologi manusia ini
dimulai dengan adanya bentuk hubungan sosial-ekologis seperti proses kompetisi,
6

suksesi, dan konflik atas sumber daya yang ada sehingga menyebabkan suatu
kelompok berlomba-lomba untuk mengeksploitasi sumber daya alam tersebut,
entah untuk survive ataupun mencari keuntungan semata. Selain itu, budaya
merupakan suatu hal yang tidak bisa lepas dan sangat erat kaitannya dengan
kajian disiplin ilmu ekologi karena budaya merupakan hasil interaksi antara
manusia dan alam (cultural and ecological anthropology) (Dharmawan, 2007).
Sebagai sebuah bidang ilmu, ekologi manusia berkembang dari adanya
interaksi manusia dan budaya terhadap alam (Wakerka, 2016). Walaupun ilmu
ekologi manusia ini terbilang ‘baru’, namun sebenarnya ilmu ekologi manusia
sendiri bisa dikatakan telah ada di dunia ini sejak lama, yaitu sejak adanya
manusia di muka bumi ini. Ilmu ini sendiri mulai dikenal akibat adanya perubahan
yang terjadi pada lingkungan, akibat perilaku manusia (Dharmawan, 2007).
Bidang ilmu ekologi manusia dibutuhkan kehadirannya dalam dunia ilmu
pengetahuan, hal ini dikarenakan kemampuannya dalam memberikan landasan
teoritik dan konseptual yang berguna untuk memaknai dan mamahami fenomena
dan fakta hubungan interaksional manusia dalam serta perubahan sosial dan
ekologis yang terjadi di alam (Wakerka, 2016). Meningkatnya jumlah penduduk
serta aktivitas masyarakat, terutama di bidang industri menyebabkan terjadinya
pengerukan dan pemanfaatan sumber daya alam secara besar-besaran yang
akhirnya berdampak pada terjadinya penurunan jumlah dan kualitas sumber daya
alam. Perubahan ekologi yang terjadi antara manusia dan alam, yaitu pertukaran
energi antara kedua belah tidak dapat dihindari karena manusia memerlukan
sumber daya alam tersebut untuk tetap hidup. Adapun interaksi antara manusia
dan alam dapat dilihat dari gambar di bawah ini (Dharmawan, 2007).
7

Gambar 2.2. Pola pertukaran energi dari interaksi manusia dengan alam

Pada awalnya, proses penggunaan sumber daya alam ini masih dilakukan
manusia dalam batas yang wajar. Namun, setelah berkembangnya industri dengan
pesat dan keinginan manusia yang tidak pernah puas mengakibatkan terjadinya
penggunaan sumber daya alam yang berlebihan sehingga jumlah stok lebih besar
dibanding jumlah flow yang diambil. Akibat pola tersebut terus menerus
dilakukan, yaitu cenderung terus-menerus menggerus sumber daya alam secara
cepat tanpa memperhatikan stok yang dimiliki mengakibatkan menurunnya daya
dukung lingkungan (weakening the carrying capacity of the ecosphere) yang
mengarah pada terjadinya krisis ekologi (ecological crisis) yang berkepanjangan
(Dharmawan, 2007).
Adapun krisis ekologi yang nampak terjadi di muka bumi ini dapat dilihat
dari adanya beberapa kasus, yaitu seperti: (1) kelangkaan sumber pangan yang
mengakibatkan bencana kelaparan dan insiden gizi buruk yang makin meluas, (2)
kelangkaan sumber energi, pasca habisnya fossil-fuel energy yang makin serius,
(3) pemburukan kualitas kehidupan akibat polusi dan ledakan penduduk, (4) erosi,
banjir, dan tanah longsor akibat ekspansi kegiatan manusia, (5) biodeviristy loss
akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, dan (6) terjadinya
kriminalitas dan konflik sosial akibat tingginya kompetensi dalam pemanfaatan
sumber daya alam (Dharmawan, 2007).
Menurut Hawley (1950), ekologi manusia sebagaimana ekologi tumbuh-
tumbuhan dan hewan memperesentasikan penerapan khusus dari pandangan
8

umum pada sebuah kelas khusus dalam sebuah kehidupan. Hal ini meliputi dua
kesadaran kesatuan mendasar dari lingkungan hidup dan kesadaran bahwa ada
perbedaan dalam kesatuan tersebut. Manusia sebagaimana kita tahu tidak hanya
mendiami sebuah tempat dalam kehidupannya dia juga mengembangkan
komunitasnya untuk menjalin hubungan yang komunitas lain dalam lingkungan
yang lebih luas sehingga terbentuklah komunitas biotik yang lebih luas.
Steiner (2002) menyatakan bahwa ruang lingkup ekologi manusia meliputi :
1. Sekelompok hal yang saling terkait
2. Ciri-ciri yang integratif
3. Perancah tempat dan perubahan
Dengan demikian ruang lingkup ekologi manusia adalah sebagai berikut :
1. Lingkungan tempat manusia
2. Persebaran komunitas dan populasi dunia
3. Proses adaptasi manusia dengan lingkungannya
4. Kesadaran kultural manusia atas lingkungannya
5. Interaksi manusia dan ligkungan di luar tempat tinggalnya yang asli

Manusia adalah salah satu mahluk hidup yang harus berinteraksi degan alam
lingkunganya. Dalam kehidupanya, manusia berhubungan, memanfaatkan,d an
didukung oleh lingkungan hidupnya, baik lingkungan dalam pengertian biofosik
maupun pengertian koknitif. Pengertian koknitif adalah pengertian hanya di dalam
angan-angan, seperti ekonomi, sosial, budaya, adat istiadat,dan bahasa yang satu
dengan yang lain saling berhubungan saling mendukung saling mempengaruhi
dan saling memanfaatkan atau istilah dari itu semuanya saling interaksi.
Sedangkan pengertian biofosik adalah keadaan senyatanya, sebagai dari alam
lingkungan. Pengaruh manusia terhadap lingkunganya semakin lama semakin
banyak dan beraneka ragam, antara lain:
1. Manusia Sebagai Komponen Lingkungan yang Dominan
Lingkungan hidup manusia terdiri atas lingkungan biotik dan lingkungan non
biotik. Artinya,lingkungan hidup manuasia tidak hanya ditentukan oleh benda
hidup, tetapi juga oleh hal-hal yang bersifat tidak hidup disamping budaya dan
perilakunya. Dalam kesatuan ekosistem kedudukan manusia adalah sebagai
bagian dari unsur lain yang erat berkaitan dan tergantung pula pada kelestarian
ekosistemnya, namun faktor manusia lebih dominan. Manusia harus dapat
9

menjaga keserasian hubungan timbal balik dengan lingkunganya agar


keseimbangan ekosistem tidak terganggu. Undang Undang Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup Republik Indonesia (UU NO.4 Tahun 1982) mengatakan
bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan sebuah benda, gaya,
keadaan, dan mahluk hidup, termasuk perilaku manusia didalamnya yang
mempegaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia dan lainya.
2. Manusia Sebagai Perusak Lingkungan
Apabila manusia mengusahakan sumber daya alam hanya berlandaskan
pandangan untuk keperluan jangka pendek agar dapat memanfaatkan produksi
sebanyak mungkin dengan modal seminim mungkin dalam waktu singkat, maka
hal ini akan memakmurkan generasinya tetapi menyengsarakan generasi
penerusnya. Menurut konsep bio-ekosistem dinyatakan bahwa manusia dan
mahluk lain di alam ini sama kedudukan dan fungsinya. Pada proses rumah
tangga suatu ekosistem atau lingkungan, akan terlihat lingkaran energi, materi,
dan informasi yang dipengaruhi oleh kekuatan dari komponen produsen dan
konsumen.
Dalam pengelolaan lingkungan dibutuhkan ekologi manusia (Soemarwoto,
1997) yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan
lingkungan hidupnya. Ekologi manusia disatu pihak dapat dilihat sebagai bagian
dari autekologi, yaitu ekologi dari spesies tunggal (homo sapiens). Saat manusia
dilihat sebagai makhluk sosial maka ekologi manusia dapat menggunakan
sinekologi sehingga ekologi manusia bersifat sebagai sosial.
Bahasan ekologi manusia tidak terlepas dari kajian ekosistem. Dalam proses
ekosistem, manusia beradaptasi dengan semua bentuk lingkungan (LHA, LHB,
dan LHS) sesuai dengan kondisi dimana ia berada. Dalam beradaptasi ini manusia
mendayagunakan lingkungan untuk tetap bertahan hidup. Potensi sumber daya
alam dieksploitasi dan dikonsumsi untuk memenuhi berbagai kebutuhan pokok
hidupnya dengan menggunakan akal. Karena akal inilah manusia menjadi
berbudaya. Dari kebudayaannya manusia berilmu pengetahuan, dan dengan ilmu
pengetahuannya membuahkan teknologi. Kesatuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dikenal dengan istilah IPTEK.
10

Manusia di tengah tiga bentuk lingkungan hidup, yaitu lingkungan hidup


alami (LHA) yang belum dijamah dan/atau sengaja dilindungi kesatuan dan
keutuhan ekosistemnya. Lingkungan hidup buatan (LHB) yang sengaja di sentuh
oleh tangan manusia. Sedangkah lingkungan hidup sosial (LHS), suatu
lingkungan yang sarat dengan komunitas dan aktivitas manusia.
a. Lingkungan Hidup Alami (LHA)
Lingkungan hidup alami merupakan wilayah atau lingkungan yang tidak
didominasi oleh manusia atau ekosistem manusia. Di dalamnya masih berlaku
hukum tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan
hidup seperti udara, tanah, air, mikro-organisme, ikan, hama, ternak, rumput liar
atau perumputan, tanaman, kayu-kayuan, dan lain-lain.
Sebagian ilmuwan ada yang mengatakan bahwa pada lingkungan hidup alami
kondisinya masih benar-benar belum disentuh oleh tangan manusia, sedangkan
sebagian lain mengatakan sudah dijamah oleh tangan manusia meskipun sedikit
dengan mengemukakan contoh seperti pembangunan waduk, lingkungan wisata
alami, wisata bahari atau taman laut.
b. Lingkungan Hidup Buatan (LHB)
Suatu wilayah dimana manusia mengembangkan teknologi, seperti
pertambangan, pertanian, industri, perhubungan, perkebunan, dan berbagai bentuk
sarana-prasarana. Dalam lingkungan hidup buatan, pada hakikatnya merupakan
sebuah lingkungan hidup artifisial dengan ciri ekosistemnya sudah lebih dominan
ekosistem buatan manusia meskipun di dalamnya masih ada ekosistem secara
alami pada beberapa bagian yang kecil dan terbatas.
c. Lingkungan Hidup Sosial (LHS)
Suatu wilayah yang di dalamnya berlangsung hubungan manusia dengan
sesamanya dengan ciri dan sistem dimana berkembang hubungan struktural dan
fungsional antara mereka atau disebut sosiosistem. Jadi yang menjadi konsentrasi
pada lingkungan hidup sosial adalah manusia yang berada dalam wilayah kajian
itu. Misalnya wilayah permukiman, baik di perkotaan maupun pedesaan atau
daerah transmigrasi, suatu wilayah yang telah dihuni oleh manusia dan
berlangsung secara struktural dan fungsional dalam kehidupannya.
11

Lebih jelas lagi seperti yang dikemukakan oleh Andrey Armour. Lingkungan
hidup sosial meliputi:
1) Bagaimana manusia hidup, bekerja, bermain, dan berkativitas keseharian.
2) Sikap mental masyarakat.
3) Bagaimana kelakuan tindak-tanduk masyarakat.
4) Gaya hidup masyarakat.
5) Bagaimana kesehatan masyarakat.
6) Bagaimana kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
7) Bagaimana pendidikan masyarakat.
8) Ritual dan kehidupan beragama masyarakat.
9) Sistem nilai, norma, prilaku, sanksi, budaya, adat-istiadat, kebiasaan
masyarakat, keyakinan.
10) Community, dilihat dari aspek-aspek struktur penduduk, kohesi (hubungan
erat atau kebersamaan), stabilitas sosial, estetika, dan infrastruktur yang
digunakan atau diakui sebagai fasilitas umat.
11) Kepindahan penduduk misalnya transmigrasi, pindah biasa dari satu tempat
ke tempat lainnya atau misah rumah dari orang tua atau mertua ke kontrakan
atau menempati rumah baru dan sebagainya.

C. Pengetahuan Lokal Petani


Pengetahuan indigenous secara umum diartikan sebagai kumpulan
pengetahuan yang diciptakan oleh satu kelompok masyarakat dan digunakan suatu
kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang menyatu dan
selaras dengan alam dari generasi ke generasi. Pengetahuan indigenous ini terus
berkembang sesuai zaman, menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat serta
kondisi lingkungan di sekitar mereka. Pengetahuan ini merupakan hasil dari
kreativitas dan uji coba secara terus-menerus dengan melibatkan inovasi internal
dan pengaruh eksternal dalam usaha untuk menyesuaikan dengan kondisi
lingkungan yang baru. Adapun penyebaran pengetahuan indigenous ini tidak
dilakukan secara formal, namun disebarkan secara informal, seperti lewat mulut
ke mulut atau mengajarkan langsung hal tersebut kepada seseorang. Pengetahuan
indigenous ini sendiri bisa hilang pada suatu kelompok masyarakat diakibatkan
karena adanya inovasi baru yang dapat mempermudah serta mempercepat
pekerjaan sehingga metode sebelumnya ditinggalkan. Hal ini lah yang akan
menyebabkan pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya akan hilang (Sunaryo
dan Laxman, 2003).
12

Pada awalnya pengetahuan indigenous dan pengetahuan lokal itu berbeda.


Indigenous sendiri artinya merupakan asli atau pribumi. Kata indigenous disini
artinya menunjukkan pada suatu penduduk asli yang tinggal di lokasi geografis
tertentu, yang mempunyai sistem budaya dan kepercayaan yang berbeda daripada
sistem pengetahuan internaisonal. Namun adanya beberapa ahli yang berpikir
bahwa pengertian ini terlalu sempit karena akan mengesampingkan pengetahuan
masyarakat yang bukan penduduk asli yang sudah tinggal lama di suatu wilayah.
Hal inilah yang menyebabkan akhirnya pengetahuan indigenous disama artikan
dengan pengetahuan lokal, dimana konsep dari ilmu pengetahuan lokal itu sendiri
lebih luas maknanya, tidak hanya mencakup suatu golongan masyarakat yang
tinggal di satu wilayah yang sama, namun bagaimana suatu pandangan kelompok
maysarakat tertentu dan bagaimana cara mereka berinteraksi dengan alam
(Sunaryo dan Laxman, 2003).
Pengetahuan lokal suatu masyarakat petani yang hidup di lingkungan wilayah
yang spesifik biasanya diperoleh berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara
turun-temurun. Adakalanya suatu teknologi yang dikembangkan di tempat lain
dapat diseleraskan dengan kondisi lingkungannya sehingga menjadi bagian
integral sistem bertani mereka. Oleh karena itu teknologi eksternal akan menjadi
bagian dari teknologi lokal sebagaimana layaknya teknologi yang mereka
kembangkan sendiri. Pengetahuan praktik petani tentang ekosistem lokal, tentang
sumber daya alam dan bagaimana mereka saling berinteraksi, akan tercermin baik
di dalam teknik bertani maupun keterampial mereka dalam mengelola sumber
daya alam. Pengetahuan indigneous (lokal) tidak hanya sebatas pada apa yang
dicerminkan dalam metode dan teknik bertani saja, tetapi juga mencakup tentang
pemahaman (insight), persepsi dan suara hati atau perasaan (intuition) yang
berkaitan dengan lingkungan yang seringkali melibatkan perhitungan pergerakab
bulan atau matahari, astrologi, kondisi geologis, dan metereologis. Pengetahuan
lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan
budaya dan diekspresikan ke dalam suatu tradisi dan mitos di suatu lingkungan
masyarakat dan dianut dalam jangka waktu yang cukup lama maka kemungkinan
akan menjadi suatu kearifan lokal (Sunaryo dan Laxman, 2003).
Berikut merupakan ciri-ciri pengetahuan ekologi lokal (Sunaryo dan Laxman,
2003):
13

1. Bersifat kualitatif: Pengetahuan petani kebanyakan berdasarkan evaluasi


subyektif dengan cara membandingkan antar perlakuan secara sederhana
meskipun kadang-kadang disertai dengan informasi kuantitatif. Sebaliknya
pengetahuan ilmiah hampir selalu menggunakan tolok ukur kuantitatif yang
dianalisis secara statistik untuk menguji suatu hipotesis.
2. Evolusioner: Seperti halnya pemahaman ilmiah, sistem pengetahuan petani
berevolusi dengan bertambahnya pengalaman baru dan berkembangnya
situasi baru. Pengetahuan lama akan selalu diperbarui dengan pengetahuan
baru hasil pengamatan sendiri ataupun dari sumber sekunder. Pengetahuan
yang kurang bermanfaat secara perlahan akan terlupakan.
3. Penjelasan dengan logika ekologis – yang dikembangkan melalui
pengamatan dan uji coba. Para petani dapat menjelaskan bermacam-macam
proses ekologi dan mengkaitkan dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Walaupun tidak akurat dan kurang mendalam pada
banyak kasus, secara umum para petani mampu memberikan penjelasan
proses alami secara logis.
4. Bersifat interdisiplin dan holistik: Para petani tidak mengklasifikasikan
pengetahuannya menurut disiplin ilmiah. Sistem pengetahuan mereka sudah
menyatu dengan komponen ekosistem yang relevan.
5. Dibatasi oleh kemampuan pengamatan: Para petani kebanyakan belajar dari
pengamatan secara seksama. Memang mereka tidak menggunakan alat ukur
yang canggih. Karenanya pengetahuan mereka sering sebatas pada apa yang
dapat mereka lihat dan rasakan. Tingkat kecanggihan beragam sesuai dengan
pengalaman, karena pengetahuan petani berkembang atas dasar pengalaman.
Karena itu petani yang lebih berpengalaman akan mempunyai pengetahuan
yang lebih. Jenis dan ke dalaman pengetahuan petani seringkali terkait
dengan lingkungan dan peran sosial ekonomi mereka dalam masyarakat.
6. Tingkat kecanggihannya beragam tergantung pengalaman
7. Mungkin detail tapi masih ada celah dan kadang-kadang bertentangan:
Walaupun sampai batas tertentu canggih, pengetahuan petani mempunyai
kelemahan karena banyak hal juga tidak diketahui petani. Apa yang diketahui
petani seringkali kurang akurat dan tidak lengkap bahkan kadang-kadang
14

bertentangan dengan pengetahuan ilmiah. Sebagai contoh, petani kurang


paham terhadap interaksi yang terjadi di dalam tanah.
8. Keteraturan prinsip dan konsep dasar lintas agroekosistem yang serupa.
Istilah dan interpretasi antar petani maupun antar komunitas mungkin
berbeda. Akan tetapi studi lintas agroekosistem mengungkapkan bahwa dalam
agroekosistem yang serupa pemahaman ekologi yang mendasar juga serupa
pula, terlepas dari jauhnya jarak antar komunitas tersebut.
9. Komplemen terhadap pengetahuan ilmiah: Karena pengetahuan petani,
seperti halnya pengetahuan ilmiah, kebanyakan berdasarkan pada pengamatan
secara nyata, maka kedua sistem pengetahuan memnpunyai banyak
kemiripan. Adanya perbedaan metode dalam menghasilkan kedua
pengetahuan tersebut akan menyebabkan terjadinya perbedaan terutama
dalam lingkup dan ke dalamannya.
10. Pada banyak kasus dapat dipisahkankan dari kekhususan budaya : Walaupun
banyak keberatan terutama dari cabang ilmu antropologi, banyak pengetahuan
petani dengan mudah dapat dipisahkan dari aspek budaya masyarakat tani.
Meskipun sangat terkait erat dengan agama atau kepercayaan dan mitologi,
seringkali bagi petani untuk menerangkan berbagai fenomena berdasarkan
proses alam yang sebenarnya.

D. Prinsip-Prinsip Ekologi Dasar pada Sistem Agroforestri


Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan (usahatani) yang
mengkombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian untuk meningkatkan
keuntungan, baik secara ekonomis maupun lingkungan. Pada sistem ini,
terciptalah keanekaragaman tanaman dalam suatu luasan lahan sehingga akan
mengurangi risiko kegagalan dan melindungi tanah dari erosi serta mengurangi
kebutuhan pupuk atau zat hara dari luar kebun karena adanya daur ulang sisa
tanaman. Adapun berikut merupakan beberapa contoh dari sistem agroforestri:
1. Strip rumput
Strip rumput merupakan bentuk peralihan dari sistem pertanian tanaman
semusim menjadi sistem agroforestri. Strip rumput adalah barisan rumput
dengan lebar 0,5-1 m dan jarak antar strip 4-10 m yang ditanam sejajar garis
ketinggian (kontur). Pada tanah yang berteras, rumput ditanam di pinggir
15

teras. Jenis rumput yang ccok adalah rumput yang mempunyai sistem
perakaran rapat dan dapat dijadikan hijauan pakan ternak, misalnya rumput
gajah (Pennisetum purpureum), rumput BD (Brachiaria humidicola), rumput
pahit (Paspallum notatum), dan lain-lain.
2. Pertanaman lorong
Sistem ini merupakan sistem pertanian dimana tanaman semusim ditanam
pada lorong di antara barisan tanaman pagar yang ditata menurut garis kontur.
Jenis tanaman yang cocok untuk tanaman pagar adalah tanaman kacang-
kacangan (leguminosa), seperti Flemingia congesta, gamal (Gliricidia
sepium), lamtoro (Leucaena leucocephala), dan Calliandra callothirsus.
Jarak antar baris tanaan pagar bekisar antara 4 sampai 10 m. Semakin curam
lereng, jarak antar barisan tanaman pagar dibuat semakin dekat.
3. Pagar hidup
Pagar hidup adalah barisan tanaman perdu atau pohon yang ditanam pada
batas kebun. Bila kebun berada pada lahan yang berlererng curam, maka
pagar hidup akan membentuk jejaring yang bermanfaat bagi konservasi tanah.
Pangkasannya dapat digunakan sebagai sumber bahan organik atau sebagai
hijauan pakan ternak. Jenis tanaman yang dipakai untuk pagar sebaiknya yang
mudah ditanam dan mudah didapatkan bibitnya, misalnya gamal dengan stek,
turi, lamtoro dan kaliandra dengan biji. Untuk tanaman pagar jenis
leguminose perdu (lamtoro,gamal), ditanam dengan jarak antar batang ± 20
cm. Jarak yang rapat ini untuk menjaga agar tanam pagar tidak tumbuh terlalu
tinggi.

4. Sistem multistrata
Sistem multistrata adalah sistem pertanian dengan tajukk bertingkat, terdiri
dari tanaman tajuk tinggi (seperti mangga, kemiri), sedang (seperti lamtoro,
gamal, kopi), dan rendah (tanaman semusim, rumput) yang ditanam di dalam
satu kebun. Antara satu tanaman dengan yang lainnya diatur sedemikian rupa
sehingga tidak saling bersaing. Tanaman tertentu seperti kopi, coklat
memerlukan sedikit naungan pertumbuhan dan produksinya akan terganggu.

Pengetahuan dan pengalaman agroekologi pertanian lokal dan pertanian


berwawasan lingkungan di seluruh dunia memiliki beberapa prinsip ekologi dasar
yang mengarah pada proses pengembangan agroforetsri. Perlu disadari bahwa
selain prinsip-prinsip ekologi, prinsip lain yang meliputi sosio-ekonomi, dan
16

politik juga memegang peranan yang tidak kalah penting. Prinsip-prinsip ekologi
yang mendasari pengembangan agroforestri di antaranya adalah:
1. Menciptakan kondisi tanah agar sesuai untuk pertumbuhan tanaman, terutama
dengan mengolah bahan organik dan memperbaiki kehidupan organisme
dalam tanah.
2. Optimalisasi ketersediaan hara dan menyeimbangkan aliran hara, terutama
melalui fiksasi nitrogen, pemompaan hara, daur ulang dan penggunaan
pupuk sebagai pelengkap.
3. Optimalisasi pemanfaatan radiasi matahari dan udara melalui pengelolaan
iklim-mikro, pengawetan air dan pengendalian erosi.
4. Menekan kerugian seminimal mungkin akibat serangan hama dan penyakit
dengan cara pencegahan dan pengendalian yang ramah lingkungan
5. Penerapan sistem pertanian terpadu dengan tingkat keragaman hayati
fungsional yang tinggi, dalam usaha mengeksploitasi komplementasi dan
sinergi sumber daya genetik dan sumber daya lainnya.

Prinsip-prinsip ini dapat diterapkan dengan berbagai bentuk teknis dan


strategis. Setiap strategi dan teknik dalam sistem bertani akan memiliki pengaruh
berbeda dalam produktivitas, keamanan, keberlanjutan, tergantung pada peluang
dan keterbatasan setempat. Hambatan umum yang dihadapai petani adalah
keterbatasan sumber daya dan juga ketidaksempurnaan pasar. Contoh penggunaan
lahan indigenous yang menerapkan prinsip tersebut di antaranya adalah
pekarangan, agoroforest, sistem ladang berpindah (shifting cultivation) atau akhir-
akhir ini dikenal dengan "sistem gilir balik" dan sebagainya. Sedangkan contoh
praktis meliputi kegiatan pengelolaan kesuburan tanah, pengendalian hama dan
penyakit, pemberantasan gulma, pengelolaan sumber daya genetik, pengelolaan
iklim mikro, klasifikasi tanah dan penggunaan lahan.
Pendekatan untuk memasukkan pengetahuan lokal dan perspektifnya ke
dalam pengembangan agroforestri secara garis besar dapat dikelompokkan
menjadi tiga kategori, yaitu sebagai berikut:
1. Pendekatan berdasarkan partisipasi aktif petani ahli setempat dalam aktivitas
pembangunan, disini tidak ada pemahaman yang memadai dari para ilmuwan
terkait pengetahuan ekologi lokal.
2. Interaksi dengan masyarakat lokal untuk mendeskripsikan praktek dan
hambatan yang terjadi selama kegiatan. Hal ini bertujuan agar para ilmuwan
bisa lebih memahami hambatan serta pemecahan masalah yang akan
17

diberikan terkaitan hambatan tersebut. Selain itu dari deskripsi hambatan


kegiatan ini makan para ilmuwan dapat mengidentifikasi kebutuhan yang
dibutuhkan oleh masyarakat sekitar.
3. Interaksi dengan masyarakat lokal untuk meneliti apa yang terdaat dalam
pengetahuan lokal yang berhubungan dengan fungsi ekologi sistem
agroforestri.

Ketiga hal ini merupakan kunci utama dalam upaya untuk meningkatkan
sistem agroforestri menjadi lebih baik lagi. Ketiga poin ini merupakan perpaduan
usaha antara pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah agar diperoleh manfaat
yang maksimal, baik kepada masyarakat lokal dan para peneliti ilmiah. Dalam
rangka memperbaiki sistem agroforestri, ketiga pendekatan tersebut saling
berhubungan erat dan tidak bisa dilepas begitu saja, dan masing-masing
pendekatan tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan.

Anda mungkin juga menyukai