Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PRESENTASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. AH
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 8 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Alamat : Permata Cimanggis Cluster Mirah D4, Depok
No. RM : 39.33.43

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 23 Agustus 2018
pukul 13.00 WIB di Ruang Pui Sudarto.

Keluhan Utama:
Demam sejak 5 hari SMRS yang dirasakan naik turun dan paling tinggi
pada malam hari.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang diantar kedua orangtuanya ke IGD RS Muh. Ridwan
Meuraksa dengan keluhan demam sejak 5 hari SMRS. Demam dirasakan naik
turun yang menurun pada pagi hari dan meninggi pada malam hari. Demam tidak
disertai menggigil ataupun kejang. Pada awalnya, pasien mengeluh badan panas
dan lemas selama tiga hari yang disertai batuk kering dan pilek, kemudian
orangtua pasien membawa anaknya ke puskesmas dan diberikan Cefixime,
Dextral dan Paracetamol. Pada keesokan harinya di dapatkan demam turun,
namun tinggi lagi saat malam hari. Pada hari keempat, pasien juga mengeluhkan
mual dan muntah 2x berisi cairan. Akhirnya, orangtua pasien memutuskan untuk
membawa anaknya ke IGD RS Ridwan Meuraksa pada hari kelima. Keluhan lain

1
yang pasien rasakan yaitu belum BAB sejak 2 hari SMRS. BAK normal, namun
ibu pasien mengatakan bahwa napsu makan pasien menurun dan pasien tampak
lemas.
Riwayat bepergian ke luar kota atau daerah, nyeri saat berkemih, nyeri
menelan, gusi berdarah dan mimisan disangkal oleh pasien. Ibu pasien
mengatakan bahwa pasien terkadang suka jajan di sekolah atau jajanan pinggir
jalan yang tidak terjamin kebersihannya. Riwayat imunisasi lengkap.

Riwayat Penyakit Dahulu:


- Riwayat DM (-), Hipertensi (-), Asma (-)
- Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya

Riwayat Penyakit dalam Keluarga:


- Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan yang sama seperti
pasien.
- Riwayat DM (-), Hipertensi (-), Asma (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, kooperatif
Keadaan gizi : Cukup
Vital sign
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 132 x/menit
Pernafasan : 24 x/menit
Suhu : 39 o
Tinggi Badan : 135 cm
Berat Badan : 27 kg
Kepala : Normochepal
Mata : Konjunctiva anemis, sklera tidak ikterik

2
Leher : KGB dan kelenjar tiroid tidak teraba membesar
Thorax
Cor : S1-S2 reguler (+), murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler (+/+), ronchi -/- ,
wheezing -/-
Abdomen : Nyeri tekan (-), bising usus (+) normal
Genitalia : Tidak dilakukan
Ekstremitas : Akral hangat, oedem (-)

IV. Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan Lab Darah Lengkap (19 Agustus 2018)
Hb : 13,9
Leukosit : 8,1
Hematokrit : 40
Trombosit : 253
 WIDAL (19 Agustus 2018)
Salmonella typhi O : (+1)1/160
Salmonella typhi H : (+)1/80
Salmonella paratyphi AO : (+)1/80

V. Resume
Pasien datang diantar kedua orangtuanya ke IGD RS Muh. Ridwan
Meuraksa dengan keluhan demam sejak 5 hari SMRS. Demam dirasakan
naik turun dan tinggi pada malam hari. Pada awalnya, pasien mengeluh
badan panas dan lemas selama dua hari yang disertai batuk kering dan pilek,
kemudian orangtua pasien membawa anaknya ke puskesmas dan diberikan
Cefixime, Dextral dan Paracetamol. Pada keesokan harinya di dapatkan
demam turun, namun tinggi lagi saat malah hari. Pada hari keempat, pasien
juga mengeluhkan mual dan muntah 2x berisi cairan. Akhirnya, orangtua
pasien memutuskan untuk membawa anaknya ke IGD RS Ridwan Meuraksa

3
pada hari kelima. Keluhan lain yang dirasakan yaitu belum BAB sejak 2
hari SMRS.

VI. Diagnosis Kerja


Demam Tifoid

VII. Diagnosis Banding


-

VIII. Penatalaksanaan
Non Medikamentosa:
1) Istirahat total
2) Diet makanan lunak yang mudah dicerna

Medikamentosa:
1) IVFD Kaen 3b 20tpm
2) Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
3) Inj. Ondansentron 2x3 mg
4) Paracetamol syrup 3x2 cth
5) Ambroxol syrup 3x1 cth

IX. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu,
gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Demam tifoid
merupakan penyakit demam sistemik akut dan menyeluruh yang disebabkan
oleh Salmonella enterica subspesies enterica serotipe Typhi. Demam tifoid
masih merupakan masalah kesehatan yang penting terutama di negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. Gejala klinis penyakit ini bervariasi dari
sakit ringan dengan demam yang tidak tinggi, badan terasa tidak enak dan
batuk kering hingga gejala klinis yang berat dengan rasa tidak nyaman (nyeri)
pada bagian abdomen dan berbagai komplikasi lainnya.
Bakteri dari genus Salmonella sudah menjadi salah satu patogen yang
sering menyebabkan penyakit gastrointestinal akut. Meskipun Salmonella
typhi hanya bisa hidup pada manusia, yang berarti tidak memiliki vektor lain,
bakteri ini dapat menyebabkan penyakit demam tifoid yang mudah menular
dan menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Oleh
karena itu, demam tifoid termasuk salah satu penyakit menular yang
tercantum dalam Undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah.

II. Epidemiologi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dapat dijumpai di
seluruh dunia, secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah
dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar higienis dan
sanitasi yang rendah dimana di Indonesia dijumpai dalam keadaan endemik
(Depkes RI, 2009). Berdasarkan penelitian epidemiologi yang intensif dan
longitudinal dari demam tifoid yang dilakukan oleh Simanjuntak dkk. di
Paseh, Jawa Barat, yang diselenggarakan dengan bantuan dana dari WHO,

5
diketahui bahwa insidensi demam tifoid pada masyarakat di daerah semi
urban adalah 357,6 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Selain itu
morbiditas yang disebabkan oleh Salmonella paratyphi A adalah 44,7 kasus
per 100.000 penduduk per tahun, sedangkan Salmonella Group B sangat
rendah (12,8 kasus per 100.000 penduduk per tahun). Hasil yang didapatkan
Salmonella typhi ditemukan juga pada anak usia 0–3 tahun dengan usia
termuda adalah 2,5 tahun.

Gambar 1. Epidemiologi tifoid dunia (WHO, 2003)

III. Etiologi

Gambar 2. Salmonella Typhi

Salmonella, yang termasuk anggota dari famili Enterobacteriaciae,


merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk basil (batang). Bakteri ini

6
berukuran 2-3 ± 0,4 - 0,6 μm, bergerak dan merupakan bakteri anaerob
fakultatif yang berarti bakteri ini dapat tumbuh dalam kondisi ada dan tidak
adanya oksigen. Salmonella tidak membentuk spora, tidak memiliki kapsul
dan tidak memfermentasikan laktosa, tetapi bakteri ini memproduksi H2S
(yang dapat digunakan sebagai identifikasi bakteri tersebut di laboratorium).
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen yaitu:
1. Antigen O (antigen somatik) terletak pada lapisan luar kuman. Bagian ini
mempunyaistruktur kimia lipopolisakarida atau endotoksin. Antigen ini
tahan terhadap panas danalkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagela) terletak pada flagela, fimbria, atau fili dari
kuman.Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan
terhadap formaldehidtetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis.
Demam tifoid disebabkan oleh penyebaran bakteri Salmonella enterica
serotipe Typhi, atau secara singkat dapat disebut Salmonella typhi.

IV. Transmisi dan Faktor Risiko


Salmonella typhi sangat beradaptasi dan hidup hanya pada manusia.
Seseorang yang menderita demam tifoid akan membawa bakteri tersebut di
aliran darah dan traktus intestinalnya. Sebagian kecil orang yang telah
sembuh dari demam tifoid, yang dinamakan karier, masih tetap membawa
bakteri tersebut. Baik orang yang sakit dan karier memiliki S. typhi di feses
(tinja) mereka. Sekali S. typhi dimakan atau diminum, bakteri ini akan
berkembang biak dan menyebar hingga ke darah.
Penularan S. typhi terjadi paling sering yakni melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi oleh tinja pasien atau karier demam tifoid yang
asimptomatik. Makanan dan minuman ini juga dapat terkontaminasi urin
pasien meskipun lebih jarang terjadi. Transmisi dari tangan ke mulut akan
terjadi jika seseorang menggunakan toilet yang terkontaminasi dan
mengabaikan higiene tangan setelahnya.

7
V. Patogenesis
Semua infeksi Salmonella dimulai dengan masuknya bakteri tersebut
melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Dosis yang dapat
menginfeksi yakni 103-106 colony-forming units. Setelah tertelan, bakteri
harus menembus beberapa mekanisme pertahanan tubuh pejamu sebelum
menimbulkan infeksi. Biasanya Salmonella mati pada lingkungan yang
bersifat asam, oleh karena itu terjadi pengurangan inokulum yang banyak
setelah bersentuhan dengan isi lambung, oleh karena itu sebagian bakteri
dimusnahkan dalam lambung dan sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Pengurangan selanjutnya terjadi di usus halus
melalui efek antibakteri langsung dari pertarungan organisme dengan flora
usus normal.
Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka
Salmonella akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke
lamina propria. Di lamina propria, mikroorganisme ini akan berkembang biak
dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Salmonella dapat
hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke
plak Peyeri ileum distal. Salmonella memiliki fimbrae yang terspesialisasi
yang menempel ke epitelium jaringan limfoid di ileum (plak Peyeri), tempat
utama dimana makrofag lewat dari usus ke sistem limfatik. Bakteri ini
kemudian dibawa ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus, bakteri yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa. Pasien biasanya relatif tidak memiliki atau hanya
sedikit gejala pada masa inkubasi awal ini. Di organ-organ retikuloendotelial,
Salmonella meninggalkan sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar
sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya disertai dengan tanda-tanda
dan gejala penyakit infeksi sistemik.

8
Di dalam hati, bakteri masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam
lumen usus. Sebagian bakteri dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk
lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat
fagositosis Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan
mental dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan (S. Typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah disekitar
plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat
mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan
akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neruopsikiatrik,
kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya.

9
Gambar 3. Patogenesis demam tifoid

VI. Manifestasi Klinis


Masa inkubasi dari S. typhi rata-rata antara 10-14 hari tetapi bisa juga
berjarak 3-21 hari. Durasi waktu ini tergantung banyaknya terpajan S. typhi
tersebut dan imunitas serta kesehatan dari pejamu. Onset gejala lambat
dengan demam dan konstipasi lebih sering mendominasi dibandingkan diare
dan muntah. Gejala yang paling terlihat yakni demam terus-menerus (38,8°C
- 40,5°C) yang bisa berlanjut hingga empat minggu jika tidak diobati. Diare
mungkin muncul pada awal onset tetapi biasanya hilang ketika demam dan
bakteremia muncul.

10
Kumpulan gejala-gejala klinis tifoid disebut juga dengan sindrom
demam tifoid. Di bawah ini merupakan gejala klinis yang sering pada demam
tifoid, diantaranya adalah:

1. Demam
Demam merupakan gejala utama tifoid. Pada awal onset, demam
kebanyakan samar-samar, selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Pagi
lebih rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi. Intensitas demam
makin tinggi dari hari ke hari yang disertai gejala lain seperti sakit kepala
yang sering dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia,
anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu berikutnya, intensitas demam
semakin tinggi bahkan terkadang terus-menerus. Bila pasien membaik
maka pada minggu ketiga suhu badan berangsur turun dan dapat normal
kembali pada akhir minggu. Akan tetapi, demam khas tifoid seperti ini
tidak selalu ada.
2. Gangguan Saluran Pencernaan
Pada penderita sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena
demam yang lama. Bibir kering dan terkadang pecah-pecah. Lidah
kelihatan kotor dan ditutupi oleh selaput putih, atau yang disebut dengan
lidah tifoid (typhoid tounge). Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor
tetapi pada penderita anak jarang ditemukan. Penderita umumnya sering
mengeluh nyeri perut, terutama di regio epigastrik, disertai mual dan
muntah. Pada awal sakit sering terjadi meteorismus dan konstipasi. Pada
minggu selanjutnya kadang-kadang juga timbul diare. Beberapa pasien
mengalami diare encer yang buruk berwarna hijau kekuningan (pea soup
diarrhea). Pasien seperti ini bisa masuk kedalam keadaan tifoid yang
dikarakteristikkan dengan gangguan kesadaran.
3. Gangguan Kesadaran
Pada umumnya terdapat gangguan kesadaran yang berupa penurunan
kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran
seperti berkabut. Bila klinis berat, tidak jarang penderita sampai pada

11
kondisi somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis (Organic
Brain Syndrome). Pada penderita dengan tifoid toksik, gejala delirium
lebih menonjol.
4. Hepatosplenomegali
Hati dan atau limpa sering ditemukan membesar. Hati terasa kenyal dan
nyeri tekan.
5. Rose spot
Ruam makulopapular berwarna merah yang berukuran 1-5 mm, sering kali
dijumpai pada daerah abdomen, thoraks, ekstremitas dan punggung pada
orang berkulit putih, tidak pernah dilaporkan terdapat pada anak Indonesia.
Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 - 3 hari.

VII. Diagnosis
1. Anamnesis
- Demam > 7 hari yang naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu
tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus
meninggi.
- Anak sering mengigau, malaise, letargi, nyeri kepala, nyeri perut, diare
atau konstipasi, muntah, perut kembung.
- Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang dan
ikterus.

2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid,
hepatomegaly dan splenomegaly.

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid adalah berikut:
1. Pemeriksaan darah tepi

12
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai
sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit
normokrom normositer, yang diduga karena efek toksik supresi
sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan
leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh
toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas
normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi
lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan
limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to
the right bergantung pada perjalanan penyakitnya.SGOT dan SGPT
seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan
khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid
dan mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen
antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah
yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan
mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan
tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan
spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung
pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai
untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen
(stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi :

13
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi
antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan
sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara
antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin.
Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang
berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika
pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid.Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer
antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap
menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih
cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih
tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap
lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat
dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada
pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi
biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi
hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40
dengan memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan

14
membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif
96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam
tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak
senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥
1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis
demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan
dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi
aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier).
Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang
dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam
tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang
berhubungan denganpenderita dan faktor teknis.
 Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian
kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada
infeksi bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa
lalu atau vaksinasi.
 Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
 Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian
paling sering di negara kita, demam –> kasih antibiotika –

15
>nggak sembuh dalam 5 hari –> tes Widal) menghalangi respon
antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
 Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S.
paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga
menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan
bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan
tifoid).
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan
menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen
O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak
mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan
bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik
daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan
hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana,
terutama di negara berkembang.

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

16
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak
antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi.
Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam
tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan
demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan
terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada
metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode
Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan
pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus
demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan
sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06%
dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%. Sedangkan penelitian oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar
76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%.Penelitian lain mendapatkan
sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan


salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan
demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot
EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak
selalu diikuti dengan uji Widal positif.Dikatakan bahwa Typhidot-
M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama
dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang
cepat dan akurat.

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

17
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai
untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9,
antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap
antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi
adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double
antibody sandwich ELISA.
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa
yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-humanimmobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan,
tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat
yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang,
cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis
penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya
di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya
tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi
hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan
volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada
anak kecil dibutuhkan 2-4 mL.Sedangkan volume sumsum tulang yang
dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.Bakteri dalam sumsum
tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada

18
bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur
sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan
darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah
mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi
dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil
karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media
tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat
pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan
biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu
pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah
dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu
ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah
minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas
karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat
pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit
dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau
dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat
invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan
tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak
digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada
anak.Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas
kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur
sumsum tulang.

19
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh
keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika,
jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen
yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak
tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu
yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk
identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai
sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

VIII. Tatalaksana
1) Antibiotik
- Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi
tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak-
anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian
intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari
atau sampai 7 hari setelah demam turun.
- Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari per oral atau intravena selama 10 hari
- Kotrimoksazol 6 mg/kgBB/hari per oral selama 10 hari
- Ceftriaxone 80 mg/kgBB/hari, intravena, sekali sehari, selama 5 hari
- Cefixime 10 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 10
hari
2) Kortikosteroid
Pada kasus berat dengan penurunan kesadaran: Deksametason 1-3
mg/kgBB/hari intravena dibagi menjadi 3 dosis hingga kesadaran
membaik.
3) Terapi asimtomatik
Demam yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi
antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman
dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum.

20
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-
kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi
harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika
metronidazol.

IX. Pencegahan
Demam tifoid termasuk penyakit menular yang berpotensi
menimbulkan wabah sehingga perlu diadakannya suatu tindakan pencegahan.
Rute penularan utama demam tifoid, yakni melalui makanan dan minuman
yang terkontaminasi oleh Salmonella typhi. Pencegahan berdasarkan hal ini
dapat dilakukan dengan menjamin akses untuk mendapatkan air bersih dan
mempromosikan kebiasaan makan yang aman dan sehat. Pendidikan
mengenai kesehatan merupakan hal yang penting untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat dan mempengaruhi perubahan perilaku.
Tindakan pencegahan demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai
dari Salmonella typhi sebagai agen penyebab penyakit, faktor pejamu dan
faktor lingkungan. Di Indonesia, terdapat 3 strategi besar yang menjadi
program pencegahan demam tifoid, yakni:
1. Mengidentifikasi dan mengobati secara sempurna pasien demam tifoid
asimtomatik, karier dan akut.
2. Mencegah penularan secara langsung dari pasien terinfeksi S. typhi dan
mengatasi faktor yang berperan terhadap rantai penularan.
3. Proteksi dini pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi.

Menurut WHO (2003) terdapat beberapa cara-cara yang lebih spesifik


yang dapat membantu upaya pencegahan demam tifoid, yang secara lengkap
akan dijelaskan dibawah ini:
1. Air Bersih
Demam tifoid merupakan penyakit yang penjalarannya dapat melalui air
sehingga tindakan pencegahan utama yang didapat dilakukan yakni
memastikan adanya akses ke air bersih.

21
2. Keamanan Makanan
Makanan yang terkontaminasi merupakan salah satu cara penularan demam
tifoid. Penanganan dan pengolahan makanan yang tepat merupakan hal
yang terpenting. Tindakan kebersihan dasar di bawah ini harus dilakukan
selama epidemi:
a. Mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan atau memakan
makanan.
b. Menghindari makanan mentah, kerang dan es.
c. Hanya memakan makanan yang sudah dimasak dan masih panas atau
dipanaskan kembali.

Jika terjadi wabah, pengawasan keamanan makanan harus diperkuat di


restoran dan juga penjaja makanan di pinggir jalan.
Bila terdapat karier demam tifoid, orang ini tidak boleh diikutsertakan
dalam aktivitas yang termasuk mengolah dan menyiapkan makanan. Karier
baru dapat melanjutkan pekerjaannya (dalam hal makanan) hingga mereka
memiliki tiga tes kultur tinja negatif yang setidaknya masing-masing berjarak
satu bulan.
3. Sanitasi
Sanitasi yang baik berkontribusi dalam menurunkan risiko transimisi
semua patogen diare, termasuk Salmonella typhi. Fasilitas pembuangan
limbah manusia (feses) yang tepat harus tersedia pada semua komunitas.
Pengumpulan dan pengolahan limbah, terutama saat musim hujan harus
diterapkan.
4. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
pada hal-hal yang berperan dalam pencegahan seperti telah disebutkan di
atas. Pada fasilitas kesehatan, semua pekerja harus berulang kali dididik
mengenai perlunya kebersihan pribadi yang baik ditempat kerja, tindakan
isolasi bagi pasien dan melakukan tindakan disinfeksi.
5. Vaksinasi

22
Vaksinasi belum dilakukan secara rutin di Amerika Serikat, demikian juga
di daerah lain. Indikasi vaksinasi adalah bila: hendak mengunjungi daerah
endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas
laboratorium atau mikrobiologi kesehatan.

Jenis vaksinasi yang tersedia adalah :


a. Vaksin parenteral utuh
Berasal dari sel S. typhi utuh yang sudah mati. Setiap cc vaksin
mengandung sekitar 1 miliar kuman. Dosis untuk anak usia 1-4 tahun
adalah 0,1 cc, anak usia 6-12 tahun 0,25 cc, dan dewasa 0,5 cc. Dosis
diberikan 2 kali dengan interval 4 minggu. Karena efek samping dan
tingkat perlindungannya yang pendek, vaksin jenis ini sudah tidak beredar
lagi.
b. Vaksin oral Ty21a
Ini adalah vaksin oral yang mengandung S. typhi strain Ty21a hidup.
Vaksin diberikan pada usia minimal 6 tahun dengan dosis 1 kapsul setiap
2 hari selama 1 minggu. Menurut laporan, vaksin oral Ty21a bisa
memberikan perlindungan selama 5 tahun.
c. Vaksin parenteral polisakarida
Vaksin ini berasal dari polisakarida Vi dari kuman Salmonella. Vaksin
diberikan secara parenteral dengan dosis tunggal 0,5 cc intramuskular pada
usia mulai 2 tahun dengan dosis ulangan setiap 3 tahun. Jenis vaksin ini
menjadi pilihan utama karena relatif paling aman.

X. Komplikasi
- Perforasi usus pada tempat inokulasi, biasanya pada ileum, terjadi pada 0,5-
3% dan perdarahan gastrointestinal beratterjadi pada 1- 10% anak dengan
demam tifoid.
- Ensefalopati toksik, trombosis serebral, ataksia serebelar akut, neuritis
optik, afasia, ketulian, serta kolesistitis akut dapat terjadi

23
- Pneumonia biasa terjadi selama stadium kedua penyakit, tetapi disebabkan
oleh superinfeksi.

XI. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung tepatnya terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan
terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas < 1 %. Di negara
berkembang, angka mortalitasnya > 10% biasanya karena keterlambatan
diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan
pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Prognosis juga menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala
klinis yang berat seperti :
a. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinu
b. Kesadaran menurun sekali yaitu stupor, koma, atau delirium
c. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein)

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
2. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diunduh dari
http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang_P
erlu_Diketahui.html. 22 Januari 2012.
3. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi
1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
4. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa
Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta:
EGC ; 2000.
5. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam
Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta :
2003. h. 2-20.
6. Prasetyo,Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada
anak. Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
7. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam
pada pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2RSUD Prof. Dr. H. Aloei
Saboe Kota Gorontalo. 2012. Diunduh dari
http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JHSV
ol05No01_08_2012.pdf. 22 Januari 2012.
8. Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 25. Jakarta: EGC.
9. Ganong, WF. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta: EGC.
10. Garna Herry, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua.
Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI.
11. Gunawan, SG, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.
12. Mansjoer, Arif, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.

25
13. Nasronudin, dkk. 2007. Penyakit Infeksi di Indonesia: Solusi Kini dan Mendatang.
Jakarta: Airlangga University Press.
14. Staf Pengajar FKUI. 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
15. Sudoyo, AW, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 4. Jakarta:
FKUI.
16. Prasetyo, Risky Vitria., Ismoedijanto. 2010. Metode diagnostik demam tifoid
pada anak. Divisi tropik dan penyakit infeksi Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK UNAIR/ RSU dr.Soetomo Surabaya
17. Siswandari, wahyu. 2012. Lecture : Pemeriksaan laboratorium pada infeksi
bakteri.Blok TROPMED
18. Wardhani, puspa., Prihatani., Probohusodo, M.Y. 2005. Kemampuan uji
tabung widal menggunakan antigen import dan antigen lokal. ndonesian
Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1, Nov
2005: 31-37

26

Anda mungkin juga menyukai