Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH BERDIRINYA KOTA YOGYAKARTA

Keberadaan Kota Yogyakarta tidak bisa lepas dari keberadaan Kasultanan Yogyakarta.
Pangeran Mangkubumi yang memperjuangkan kedaulatan Kerajaan Mataram dari pengaruh
Belanda, merupakan adik dari Sunan Paku Buwana II. Setelah melalui perjuangan yang panjang,
pada hari Kamis Kliwon tanggal 29 Rabiulakhir 1680 atau bertepatan dengan 13 Februari 1755,
Pangeran Mangkubumi yang telah bergelar Susuhunan Kabanaran menandatangani Perjanjian
Giyanti atau sering disebut dengan Palihan Nagari . Palihan Nagari inilah yang menjadi titik
awal keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Pada saat itulah Susuhunan Kabanaran kemudian
bergelar Sri Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama
Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I. Setelah Perjanjian Giyanti ini, Sri Sultan Hamengku
Buwana mesanggrah di Ambarketawang sambil menunggui pembangunan fisik kraton.

Sebulan setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti tepatnya hari Kamis Pon tanggal 29
Jumadilawal 1680 atau 13 Maret 1755, Sultan Hamengku Buwana I memproklamirkan
berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta dan memiliki
separuh dari wilayah Kerajaan Mataram. Proklamasi ini terjadi di Pesanggrahan Ambarketawang
dan dikenal dengan peristiwa Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram – Ngayogyakarta.
Pada hari Kamis Pon tanggal 3 sura 1681 atau bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1755, Sri
Sultan Hamengku Buwana I memerintahkan untuk membangun Kraton Ngayogyakarta di Desa
Pacethokan dalam Hutan Beringan yang pada awalnya bernama Garjitawati.
Pembangunan ibu kota Kasultanan Yogyakarta ini membutuhkan waktu satu tahun. Pada
hari Kamis pahing tanggal 13 Sura 1682 bertepatan dengan 7 Oktober 1756, Sri Sultan
Hamengku Buwana I beserta keluarganya pindah atau boyongan dari Pesanggrahan
Ambarketawan masuk ke dalam Kraton Ngayogyakarta. Peristiwa perpindahan ini ditandai
dengan candra sengkala memet Dwi Naga Rasa Tunggal berupa dua ekor naga yang kedua
ekornya saling melilit dan diukirkan di atas banon/renteng kelir baturana Kagungan Dalem Regol
Kemagangan dan Regol Gadhung Mlathi. Momentum kepindahan inilah yang dipakai sebagai
dasar penentuan Hari Jadi Kota Yogyakarta karena mulai saat itu berbagai macam sarana dan
bangunan pendukung untuk mewadahi aktivitas pemerintahan baik kegiatan sosial, politik,
ekonomi, budaya maupun tempat tinggal mulai dibangun secara bertahap. Berdasarkan itu semua
maka Hari Jadi Kota Yogyakarta ditentukan pada tanggal 7 Oktober 2009 dan dikuatkan dengan
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2004

KONDISI GEOGRAFIS KOTA YOGYAKARTA

1. BATAS WILAYAH
Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi DIY dan merupakan satu-satunya
daerah tingkat II yang berstatus Kota di samping 4 daerah tingkat II lainnya yang berstatus
Kabupaten
Kota Yogyakarta terletak ditengah-tengah Propinsi DIY, dengan batas-batas wilayah sebagai
berikut
Sebelah utara : Kabupaten Slema
Sebelah timur : Kabupaten Bantul & Slema
Sebelah selatan : Kabupaten Bantul
Sebelah barat : Kabupaten Bantul & Sleman
Wilayah Kota Yogyakarta terbentang antara 110o 24I 19II sampai 110o 28I 53II Bujur Timur
dan 7o 15I 24II sampai 7o 49I 26II Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 114 m diatas
permukaan laut

2. KEADAAN ALAM
Secara garis besar Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dimana dari barat ke timur
relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki kemiringan ± 1 derajat, serta terdapat 3 (tiga)
sungai yang melintas Kota Yogyakarta, yaitu :
a. Sebelah timur adalah Sungai Gajah Wong
b. Bagian tengah adalah Sungai Code

c. Sebelah barat adalah Sungai Winongo

3. LUAS WILAYAH

Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah tersempit dibandingkan dengan daerah tingkat II
lainnya, yaitu 32,5 Km² yang berarti 1,025% dari luas wilayah Propinsi DIY.
Dengan luas 3.250 hektar tersebut terbagi menjadi 14 Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW, dan
2.531 RT, serta dihuni oleh 489.000 jiwa (data per Desember 1999) dengan kepadatan rata-rata
15.000 jiwa/Km².

4. TIPE TANAH
Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman
pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada didataran lereng gunung
Merapi (fluvia vulcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah
vulkanis muda Sejalan dengan perkembangan Perkotaan dan Pemukiman yang pesat, lahan
pertanian Kota setiap tahun mengalami penyusutan. Data tahun 1999 menunjukkan penyusutan
7,8% dari luas area Kota Yogyakarta (3.249,75) karena beralih fungsi, (lahan pekarangan)

5. IKLIM
Tipe iklim "AM dan AW", curah hujan rata-rata 2.012 mm/thn dengan 119 hari hujan, suhu
rata-rata 27,2°C dan kelembaban rata-rata 24,7%. Angin pada umumnya bertiup angin muson
dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220° bersifat basah dan
mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering
dengan arah ± 90° - 140° dengan rata-rata kecepatan 5-16 knot/jam

6. DEMOGRAFI
Pertambahan penduduk Kota dari tahun ke tahun cukup tinggi, pada akhir tahun 1999 jumlah
penduduk Kota 490.433 jiwa dan sampai pada akhir Juni 2000 tercatat penduduk Kota
Yogyakarta sebanyak 493.903 jiwa dengan tingkat kepadatan rata-rata 15.197/km². Angka
harapan hidup penduduk Kota Yogyakarta menurut jenis kelamin, laki-laki usia 72,25 tahun dan
perempuan usia 76,31 tahun.

7. STRUKTUR INTERN KOTA YOGYAKARTA

Empat persegi panjang (the rectangular cities)


Merupakan bentuk kota yang pertumbuhannya memanjang sedikit lebih besar daripada melebar, hal ini
dimungkinkan karena adanya hambatan-hambatan fisikal terhadap perkembangan area kota pada salah
satu sisinya.

PERKEMBANGAN KOTA YOGYAKARTA

Pada awal perkembangannya permukiman kota Yogyakarta cenderung memusat pada poros
besar Selatan Utara, Permukiman berupa kampung tempat tinggal penduduk lambat laun tumbuh
di sekitar poros yang melintasi istana dari ujung ke ujung dan alun-alun utara, jalan Malioboro
dan kemudian hingga ke Tugu .
Salah satu persoalan penting dihadapi oleh kota Yogyakarta dalam perkembangan saat ini adalah
masalah pemekaran fisik kota. Kota makin menghadapi tantangan untuk meluaskan wilayah tata
ruang kota sebagai akibat dari perubahan penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan
penduduk semakin mendesak

tiga faktor penyebab perubahan penggunaan lahan tersebut menurut beberapa penelitian adalah

1. Faktor konsentrasi penduduk.


Faktor faktor yg mempengaruhi persebaran penduduk yg tidak merata
- Perbandingan luas wilayah suatu daerah yg tidak berimbang dengan jumlah penduduk
Daerah yg memiliki Wilayah yg kecil tapi punya penduduk yg banyak rata rata konsentrasi
penduduknya lebih padat. Sedang daerah yg wilayahnya luas dan memiliki penduduk sedikit
maka konsentrasi penduduknya lebih jarang

- Sarana dan Prasarana


Daerah yg memiliki sarana dan prasarana yg memadai rata rata konsentrasi penduduknya lebih
padat ketimbang daerah yg kurang memiliki sarana dan prasarana

- Kesukuan dan Agama


Ada kecenderungan dari masyarakat untuk mendiami suatu daerah tertentu karena rasa
kesukuan dan keagamaan yg tinggi. Misalnya suku atau agama tertentu lebih senang memilih
tempat tinggal yg sama dengan orang orang yg sesuku atau seagama dengan mereka

- Program Pemerintah (Transmigrasi)


Daerah daerah yg luas wilayahnya dan memiliki kurang penduduk biasanya menjadi sasaran
pemerintah untuk menempatkan para transmigran

2. Faktor Seni dan Budaya

Seni dan budaya merupakan suatu kegiatan yang tak terpisahkan dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Yogyakarta pada umunya. Sejak masih kecil hingga dewasa, masyarakat
Yogyakarta sangat sering menyaksikan dan bahkan, berpartisipasi dalam berbagai acara
pergelaran kesenian dan budaya di kota ini. Bagi masyarakat Yogyakarta, di mana setiap
tahapan kehidupan di bumi ini meliliki arti tersendiri, tradisi adalah sebuah hal yang penting
yang perlu dilestarikan dan masih dilaksanakan sampai saat ini. Oleh sebab itu, tradisi juga
pasti tidak lepas dari kesenian yang disajikan dalam upacara-upacara tradisi tertentu.
(seperti Sekaten,[10] acara tahunan). Masyarakat Yogyakarta memiliki kesenian yang sangatlah
beragam. Dan kesenian-kesenian yang beraneka ragam tersebut terangkai indah dalam sebuah
upacara adat. Sehingga bagi masyarakat Yogyakarta, seni dan budaya benar-benar menjadi
suatu bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Kesenian khas di Yogyakarta antara lain adalah kethoprak, jathilan, dan wayang kulit, selain itu
aneka kerajinan ukir, kerajian perak (Kotagede), dan pasar seni ukiran dan ragam kerajinan di
kabupaten Bantul dipasarkan di satu lokasi bernama Gabusan jalan Parantritis. Pasar Gabusan
ini sudah di akses oleh masyarakat international (produknya Go-international)

Selain warisan budaya yang kaya, Yogyakarta memiliki panorama alam yang indah dan alami.
Seperti hamparan sawah nan hijau menyelimuti daerah pinggiran kota, sampai dengan Gunung
Merapi (kab. Sleman) tampak sebagai latar belakangnya sebelah utara kota Yogyakarta. Pantai-
pantai yang masih alami dan terus dalam pengembangan untuk objek wisata dengan mudah
ditemukan di sebelah selatan Jogja (kab. Bantul), seperti Pantai Parangtritis, Pantai
Baron, Pantai Samas, dan pantai Depok. Masyarakat di sini hidup dalam damai dan rukun,
selain itu mayarakat Yogyakarta memiliki keramahan yang khas ala Jawa Kraton (santun).
Hiruk-pikuk karya seni begitu terasa di Yogyakarta apa lagi di Malioboro dan pasar
Bringharjo[11] (pasar rakyat terbesar) yang merupakan urat nadi perekonomian masyarakat
Yogyakarta, di situ juga dengan mudah kita menemukan hasil seni dan kerajinan yang di
pasarkan. Kekhasan lain dari Malioboro yaitu musisi jalananpun selalu siap menghibur
pengunjung di warung-warung lesehan.[12]

3. Faktor kebutuhan ketersediaan fasilitas social ekonomi yang mendorong perubahan


penggunaan lahan pertanahan kota,antara lain mencakup segi-segi kebutuihan sebagai berikut :

(1) Penambahan lahan untuk permukiman dan perumahan.


(2) Perluasan dan penambahan panjang jalan untuk sarana transportasi.
(3) Fasilitas perdagangan, yaitu jumlah pasar, pertokoan, Swalayan, Mall.
(4) Fasilitas pendidikan, yaitu gedung persekolahan.
(5) Fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit, klinik.
(6) Fasilitas peribadatan, yaitu mesjid, mushala dan gereja atau sejenisnya
(7) Fasilitas kelembagaan, dll

Selain itu pada akhir-akhir ini Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta juga sedang
merencanakan pencarian lahan untuk pelabuhan udara baru sebagai akibat dari tidak
memadainya pelabuhan udara Adisucipto untuk menampung arus penerbangan yang makin padat
pada akhir-akhir ini. Lebih-lebih pada waktu sekarang Yogyakarta telah membuka jalur
penerbangan internasional. sehingga pembangunan pelabuhan internasional menjadi kebutuhan
yang mendesak. Selain itu kota Yogyakarta yang menjadi kota tujuan wisata menuntut
perluasan-perluasan fasilitas pengembangan wisata baik dalam kota maupun di daerah
sekitarnya. Pengaruh globalisasi dalam sector perekonomian juga tampak mempengaruhi arus
perubahan kota Yogyakarta.

Yang menjadi persoalan ialah bagaimana perluasan wilayah perkotaan itu dapat
dilakukan, mengingat luas lahan kota yang tersedia sangat terbatas, sementara perkembangan
otonomi daerah akan membatasi ruang gerak pemekaran wilayah antara satu wilayah dengan
wilayah yang lain.

Kesimpulan

A. Salah satu pengaruh terpenting dari perubahan-perubahan demografis dan social-ekonomi


yang mempengaruhi kota Yogyakarta antara lain ialah terjadi persoalan pemekaran kota yang
secara terus-menerus akan terjadi sebagai akibat dorongan dan kebutuhan penggunaaan lahan
untuk kepentingan penduduk kota dalam berbagai dimensi kehidupan. Problema pertanahan kota
menjadi sangat rumit sebagai akibat dari banyaknya keterbatasan dan kendala yang dihadapi kota
Yogyakarta pada masa mendatrang.

B. Kecenderungan perubahan kota Yogyakarta yang menarik adalah kecenderungan perubahan


kota dari Kota Tradisional menjadi Kota Nasional atau Kota Indonesia, menuju perkembangan
ke arah Kota Internasional.
NARASUMBER :

– http:// www.jogjakota.go.id/index/extra.detail/21

– http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Yogyakarta

– http://staff.uny.ac.id

– http://edukasi.kompasiana.com

– http://www.jogjainfo.net

[1]BacaSoedarisman Poerwokoesoema, Sejarah Lahirnya Kota Yogyakarta (Yogyakarta:


Lembaga Javanologi, 1986), hlm. 24.

Bentuk kota jogja

Empat persegi panjang (the rectangular cities)


Merupakan bentuk kota yang pertumbuhannya memanjang sedikit lebih besar daripada melebar, hal ini
dimungkinkan karena adanya hambatan-hambatan fisikal terhadap perkembangan area kota pada salah
satu sisinya.
.
Tak Lepas Budaya
Mempelajari kota Yogyakarta berarti juga harus mempelajari budayanya,sebab selama ini salah
satu kota yang masih memiliki ciri khas selama bertahun-tahun, dan hal itu biasa sulit ditemukan
di tempat lain. Ciri khas yang sulitterhapuskan adalah kraton yang sejak berdirinya merupakan
pusat kota. MenurutSoemardjan (1985) kota Yogyakarta secara garis besar dibagi menjadi
empatwilayah, yaitu: lingkungan Sultan, lingkungan famili Sultan,
Jeron Benteng
, danlingkungan masyarakat umum diluar benteng. Dua lingkungan yang pertamaletaknya di
dalam kraton. Masyarakat
Jeron Benteng
letaknya diluar Kraton tetapimasih di dalam benteng yang batasnya, yaitu benteng, sampai saat
ini masih ada.Analisis Soemardjan tampaknya mengacu pada
concentric zone theory
dariBurgess (dalam Rahardjo, 1983) yang menyatakan bahwa perkembangan suatukota akan
mengikuti pola lingkungan konsentrik. Perbedaan antara keduanyamemang ada. Diantaranya
adalah pusat perkembangan kota menurut Burgessadalah pusat perdagangan, sedangkan menurut
Soemardjan adalah kraton. Atausecara lebih luas lagi, perbedaan tersebut terutama pada dasar
pembagiandaerah menurut fungsinya. Burgess lebih menekankan pembedaan
wilayahberdasarkan fungsi bisnis, sedangkan Soemardjan lebih menekankan pada
fungsikekuasaan tradisional.

Anda mungkin juga menyukai