SABDAN
F 231 15 009
JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS TADULAKO
2018
PEMBERDAYAAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN
Pemberdayaan hukum bagi masyarakat miskin diharapkan dapat menjadi sebuah cara
yang dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat miskin untuk dapat turut berpartisipasi
memperjuangkan haknya mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Partisipasi aktif dari
semua pihak merupakan kunci utama bagi keberhasilan upaya menekan kemiskinan.
Berbagai inisiatif pemberdayaan bagi masyarakat miskin di Indonesia sesungguhnya telah
berjalan lama dan dilakukan oleh berbagai pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah,
lembaga swadaya masyarakat, pihak pengusaha, maupun masyarakat miskin itu sendiri.
Kendati demikian, hasil yang didapat masih sangat jauh dari yang diharapkan.
Berangkat dari kenyataan di atas, panduan ringkas (toolkit) ini akan mencoba
menganalisa mengenai situasi, tantangan, solusi, dan inisiatif pemberdayaan hukum yang
telah dilakukan. Panduan ini berisi 4 (empat) tema utama pemberdayaan hukum bagi
masyarakat miskin, yakni: 1. Akses terhadap Keadilan dan Aturan Hukum; 2. Hak Atas
Kepemilikan dan Sumber Daya Alam; 3. Hak-hak Pekerja/Buruh; 3. Kewirausahaan: Sektor
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Komisi Pemberdayaan Hukum bagi Masyarakat Miskin diluncurkan tahun 2006
dengan dipimpin oleh dua ketua (co-chair) yakni Madeleine Albright mantan Sekretaris
Negara Amerika Serikat (US Secretary of State) dan Hernando de Soto, ekonom terkenal dari
Peru. Dalam penyelenggaraan Konsultasi Nasional di Indonesia Komisi menunjuk Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) selaku sekretariat dan Ibu Erna Witoelar,
anggota Komisi dan UN Special Ambassador for the Millennium Development Goals in Asia
and the Pacific sebagai fasilitator Konsultasi.
Pada tanggal 19 September 2006 YLBHI memfasilitasi diskusi bersama Naresh Singh
(Direktur Eksekutif Komisi) di kantor YLBHI yang dihadiri oleh rekan-rekan dari LSM.
YLBHI juga menyelenggarakan diskusi dengan Ashraf Ghani, anggota Komisi yang juga
merupakan Dekan Universitas Kabul, Afghanistan dan mantan Menteri Keuangan
Afghanistan (Juni 2002–Desember 2004). Diskusi ini dilaksanakan pada tanggal 03
November 2006 di kantor YLBHI, dengan tema “Pentingnya Akses terhadap Keadilan di
Negara Berkembang”. Acara ini dihadiri oleh rekan-rekan lembaga swadaya masyarakat dan
wartawan/jurnalis.
Diskusi kelompok terfokus ini bertujuan memberikan kesempatan kepada para peserta
untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang kisah terbaik di komunitas mereka
dengan tujuan memberikan kontribusi dalam kertas kerja dan untuk memastikan bahwa kertas
kerja Konsultasi Nasional mencakup isu hukum yang penting untuk disampaikan.
Hasil-hasil dari diskusi antara lain:
1. Akses terhadap Keadilan dan Aturan Hukum
Perlunya meningkatkan kualitas aparat penegak hukum antara lain dengan cara:
meningkatan integritas aparat penegak hukum; perbaikan mekanisme pengawasan; dan
menyediakan alternatif penyelesaian sengketa yang terjangkau oleh masyarakat miskin, dan
marjinal. Selain itu dirasakan juga kebutuhan akan institusi hukum non-formal dalam
masyarakat hukum adat. Sehingga masyarakat hukum adat yang tidak dapat menjangkau
akses terhadap lembaga hukum formal dapat menyelesaikan sengketa hukumnya di lembaga
hukum non-formal.
3. Hak-hak Pekerja/Buruh
Diskusi dimulai dengan perbedaan pengertian dan motivasi timbulnya pekerja informal
serta pembedaannya dengan pekerja formal. UU Nomor 39/2004, menyatakan pekerjaan di
sektor informal adalah pekerjaan-pekerjaan sebagai penata laksana rumah tangga, pengasuh
bayi, perawat orang lanjut usia, pengemudi, dan tukang kebun yang bekerja pada perorangan.
Sedangkan UU Nomor 13/2003 tidak lagi mengakui pekerja sektor informal. Para peserta
diskusi mengusulkan agar tidak dibedakan antara pekerja formal dan informal.
4. Kewirausahaan: Sektor Usaha Mikro, kecil, dan menengah
Peserta diskusi menyadari bahwa 80% pekerja di Indonesia bekerja di sektor informal,
tantangan untuk memformalisasi sektor informal menjadi formal dengan tujuan memberikan
perlindungan adalah sesuatu yang penting. Mereka juga menyoroti kerangka hukum normatif
yang ada tidak pro-masyarakat miskin. Pertama, proses legalisasi harus melalui birokrasi
yang berbelit dan mengeluarkan biaya. Kedua, peraturan perundang-undangan yang
seharusnya melindungi dan mendukung masyarakat miskin dalam melakukan kegiatan
ekonomi informal sering tidak dilaksanakan atau diabaikan oleh negara dan perusahaan-
perusahaan. Ketiga, konsep dan definisi yang tidak mendukung masyarakat miskin. Dalam
UU Nomor 9/1995 tentang Usaha Kecil memberikan definisi usaha kecil yaitu usaha yang
memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta dan hasil penjualan tahunan paling
banyak Rp. 1 miliar. Keempat, di satu sisi informal sektor informal sektor dianggap kegiatan
ekonomi ilegal di sisi lain sektor formal mendapatkan keuntungan dari keberadaan sektor
informal. Para peserta mengusulkan agar pemerintah memberikan perlindungan kepada
sektor informal berkaitan dengan pembangunan nasional yang memprioritaskan modernisasi
ekonomi.