Anda di halaman 1dari 4

Adab-adab Dalam Akad Nikah

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Adakah kebiasaan para salaf setelah akad nikah, istri melakukan sungkem (cium tangan) suami di hadapan para
tamu undangan? Bagaimana pula dengan kedua mempelai sungkem kepada orang tua di hadapan tamu undangan.
Hal semacam ini nampaknya sudah menjadi adat di masyarkat. Mohon penjelasannya.

Dan bagaimanakah adab akad nikah?

Dari: Bambang

Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahamatullah wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah

Akad nikah merupakan ikatan syar’i antara pasangan suami istri. Dengan hanya kalimat ringkas ini, telah mengubah
berbagai macam hukum antara kedua belah pihak. Karena itu, Allah Ta’ala menyebutnya
sebagai mitsaq ghalidz [Arab: ً ‫ ]ميثاقا ً غليظا‬artinya ikatan yang kuat. Allah berfirman,

َ ‫َوأَ َخ ْذنَ ِم ْن ُك ْم ِميثَاقًا‬


ً ‫غ ِلي‬
‫ظا‬
“Mereka (para wanita itu) telah mengambil perjanjian yang kuat dari kalian.” (QS. An-Nisa’: 21)

Dengan akad nikah, pasangan ini telah mengikat sebuah perjanjian, se-iya, sekata, untuk membangun rumah
tangga yang syar’i. Karena itu, bagi Anda yang telah berhasil melangsungkan perjanjian indah ini, jangan Anda sia-
siakan, jangan Anda rusak tanpa tanggung jawab, buang jauh-jauh kata-kata: cerai, talak, dst…

Agar akad nikah Anda semakin berkah, berikut beberapa adab yang perlu
diperhatikan:
Pertama, hindari semua hal yang menyebabkan ketidak-absahan akad nikah.
Karena itu, pastikan kedua mempelai saling ridha dan tidak ada unsur paksaan, pastikan adanya wali pihak wanita,
saksi dua orang yang amanah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫عدل‬ َ ‫ال نِ َكاح ِإال‬


َ ‫بو ِلي وشَا ِهدي‬
“Tidak sah nikah, kecuali dengan wali (pihak wanita) dan dua saksi yang adil (amanah).” (HR. Turmudzi dan lainnya
serta dishahihkan Al-Albani)

Kedua, dianjurkan adanya khutbatul hajah sebelum akad nikah.


Yang dimaksud khutbatul hajah adalah bacaan:

َ‫َّللاُ فَال‬ َّ ‫ور أَ ْنفُ ِسنَا َم ْن َي ْه ِد‬ِ ‫ش ُر‬ ُ ‫ِإ َّن ْال َح ْمدَ ِ ََّلِلِ نَ ْست َ ِعينُهُ َونَ ْست َ ْغ ِف ُرهُ َونَعُوذُ ِب ِه ِم ْن‬
‫َّللاُ َوأَ ْش َهدُ أَ َّن ُم َح َّمدًا‬ َّ َّ‫ِى لَهُ َوأَ ْش َهدُ أَ ْن الَ ِإلَهَ ِإال‬
َ ‫ض ِل ْل فَالَ هَاد‬ ْ ُ‫ض َّل لَهُ َو َم ْن ي‬ ِ ‫ُم‬
َّ ‫ام ِإ َّن‬
َ‫َّللا‬ َ ‫سا َءلُونَ بِ ِه َواأل َ ْر َح‬ َ َ ‫َّللاَ الَّذِى ت‬
َّ ‫سولُهُ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ( اتَّقُوا‬ ُ ‫ع ْبدُهُ َو َر‬
َ
َّ ‫علَ ْي ُك ْم َر ِقيبًا) (يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا‬
‫َّللاَ َح َّق تُقَا ِت ِه َوالَ تَ ُموت ُ َّن ِإالَّ َوأ َ ْنت ُ ْم‬ َ َ‫َكان‬
‫ص ِل ْح لَ ُك ْم أ َ ْع َمالَ ُك ْم‬ْ ُ‫سدِيدًا ي‬ َ ً‫َّللاَ َوقُولُوا قَ ْوال‬َّ ‫ُم ْس ِل ُمونَ ) ( َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا‬
‫ع ِظي ًما‬ َ ‫سولَهُ فَقَ ْد فَازَ فَ ْو ًزا‬ َّ ِ‫ َويَ ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ذُنُوبَ ُك ْم َو َم ْن يُ ِطع‬.
ُ ‫َّللاَ َو َر‬
Dalil anjuran ini adalah hadis dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

ُ‫ط َبةَ ْال َحا َج ِة أَ ِن ْال َح ْمدُ ِ ََّلِلِ نَ ْستَ ِعينُه‬


ْ ‫سلَّ َم ُخ‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫علَّ َمنَا َر‬
َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َّللا‬ َ
‫ور أ َ ْنفُ ِسنَا‬
ِ ‫ش ُر‬ ُ ‫… َونَ ْستَ ْغ ِف ُرهُ َونَعُوذُ بِ ِه ِم ْن‬.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami khutbatul hajah…-sebagaimana lafadz di atas – …(HR. Abu Daud
2118 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
Syu’bah (salah satu perawi hadis) bertanya kepada gurunya Abu Ishaq, “Apakah ini khusus untuk khutbah nikah
atau boleh dibaca pada kesempatatan yang lainnya.” “Diucapkan pada setiap acara yang penting.” Jawab Abu
Ishaq.

Sebagian orang beranggapan dianjurkannya mengucapkan khutbah ini ketika walimah, meskipun acara walimah
tersebut dilaksanakan setelah kumpul suami istri. Namun yang tepat –wallahu a’lam– anjuran mengucapkan
khutbatul hajah sebagaimana ditunjukkan hadis Ibn Mas’udradhiallahu ‘anhu adalah sebelum akad nikah bukan
ketika walimah. (A’unul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 5:3 dan Tuhafatul Ahwadzi Syarh Sunan Turmudzi,
4:201). Wallahu a’lam.

Ketiga, tidak ada anjuran untuk membaca syahadat ketika hendak akad, atau anjuran untuk istighfar sebelum
melangsungkan akad nikah, atau membaca surat Al-Fatihah. Semua itu sudah diwakili dengan lafadz khutbatul
hajah di atas. Tidak perlu calon pengantin diminta bersyahadat atau istighfar.

Keempat, hendaknya pengantin wanita tidak ikut dalam majlis akad nikah. Karena umumnya majlis akad nikah
dihadiri banyak kaum lelaki yang bukan mahramnya, termasuk pegawai KUA. Pengantin wanita ada di lokasi itu,
hanya saja dia dibalik tabir. Karena pernikahan dilangsungkan dengan wali si wanita. Allah Ta’ala mengajarkan,

ْ َ‫اء ِح َجاب ذَ ِل ُك ْم أ‬
‫ط َه ُر ِلقُلُو ِب ُك ْم َوقُلُوبِ ِه َّن‬ ً ‫سأ َ ْلت ُ ُمو ُه َّن َمتَا‬
ِ ‫عا فَا ْسأَلُو ُه َّن ِم ْن َو َر‬ َ ‫َو ِإذَا‬
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (wanita yang bukan mahram), maka mintalah dari
belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al-Ahzab: 53)

Semua orang tentu menginginkan hatinya lebih suci, sebagaimana yang Allah nyatakan. Karena itu, ayat ini tidak
hanya berlaku untuk para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tapi juga untuk semua mukmin.

Jika dalam kondisi normal dan ada lelaki yang hendak menyampaikan kebutuhan atau hajat tertentu kepada wanita
yang bukan mahram, Allah syariatkan agar dilakukan di balik hijab maka tentu kita akan memberikan sikap yang
lebih ketat atau setidaknya semisal untuk peristiwa akad nikah. Karena umumnya dalam kondisi ini, pengantin
wanita dalam keadaan paling menawan dan paling indah dipandang. Dia didandani dengan make up yang tidak
pada umumnya dikenakan.

Kesalahan yang banyak tersebar di masyarakat dalam hal ini, memposisikan calon pengantin wanita berdampingan
dengan calon pengantin lelaki ketika akad. Bahkan keduanya diselimuti dengan satu kerudung di atasnya. Bukankah
kita sangat yakin, keduanya belum berstatus sebagai suami istri sebelum akad? Menyandingkan calon pengantin,
tentu saja ini menjadi pemandangan yang bermasalah secara syariah. Ketika Anda sepakat bahwa pacaran itu
haram, Anda seharusnya sepakat bahwa ritual semacam ini juga terlarang.

Kelima, tidak ada lafadz khusus untuk ijab qabul. Dalam pengucapn ijab kabul, tidak disyaratkan menggunakan
kalimat tertentu dalam ijab kabul. Akan tetapi, semua kalimat yang dikenal masyarakat sebagai kalimat ijab kabul
akad nikah maka status nikahnya sah.

Lajnah Daimah ditanya tentang lafadz nikah. Mereka menjawab,


Semua kalimat yang menunjukkan ijab Kabul, maka akad nikahnya sah dengan menggunakan kalimat tersebut,
menurut pendapat yang lebih kuat. Yang paling tegas adalah kalimat: ‘zawwajtuka’ dan ‘ankahtuka’ (aku nikahkan
kamu), kemudian ‘mallaktuka’ (aku serahkan padamu). (Fatawa Lajnah Daimah, 17:82).

Keterangan selengkapnya bisa Anda dapatkan di: http://www.konsultasisyariah.com/ijab-kabul-akad-nikah/

Keenam, hindari bermesraan setelah akad di tempat umum


Pemandangan yang menunjukkan kurangnya rasa malu sebagian kaum muslimin, bermesraan setelah akad nikah di
depan banyak orang. Kita sepakat, keduanya telah sah sebagai suami istri. Apapun yang sebelumnya diharamkan
menjadi halal. Hanya saja, Anda tentu sadar bahwa untuk melampiaskan kemesraan ada tempatnya sendiri, bukan
di tempat umum semacam itu.

Bukankah syariah sangat ketat dalam urusan syahwat? Menampakkan adegan semacam ini di muka umum, bisa
dipastikan akan mengundang syahwat mata-mata masyarakat yang ada di sekitarnya. Hadis berikut semoga bisa
menjadi pelajaran penting bagi kita.

Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhuma beliau menceritakan:

Fadhl bin Abbas (saudaranya Ibn Abbas) pernah membonceng Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di belakang beliau,
karena tunggangan Fadhl kecapekan. Fadhl adalah pemuda yang cerah wajahnya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam berhenti di atas tunggangannya, untuk menjawab pertanyaan banyak sahabat yang mendatangi beliau.
Tiba-tiba datang seorang wanita dari Bani Khats’am, seorang wanita yang sangat cerah wajahnya untuk bertanya
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Abbas melanjutkan,
‫سلَّ َم‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫ي‬ َ َ‫ فَ ْالتَف‬،‫ َوأَ ْع َج َبهُ ُح ْسنُ َها‬،‫ظ ُر ِإلَ ْي َها‬
ُّ ‫ت النَّ ِب‬ ُ ‫ض ُل َي ْن‬ َ َ‫ف‬
ْ َ‫ط ِفقَ الف‬
‫ظ ِر‬ َ َّ‫ع ِن الن‬ َ ُ‫ فَ َعدَ َل َو ْج َهه‬،‫ض ِل‬ ْ َ‫ف ِبيَ ِد ِه فَأ َ َخذَ ِبذَقَ ِن الف‬
َ َ‫ فَأ َ ْخل‬،‫ظ ُر إِلَ ْي َها‬ُ ‫ض ُل يَ ْن‬
ْ َ‫َوالف‬
‫إِلَ ْي َها‬
Maka Fadhl-pun langsung mengarahkan pandangan kepadanya, dan takjub dengan kecantikannya. Kemudian
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memalingkan wajah beliau, namun Fadhl tetap mengarahkan pandangannya ke
wanita tersebut. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang rahang Fadhl dan memalingkan wajahnya agar
tidak melihat si wanita…. (HR. Bukhari, no.6228)

Bagaimana sikap orang yang bertaqwa sekelas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak mengandalkan
taqwanya, merasa yakin tidak mungkin terpengaruh syahwat, dst.. Beliau juga tidak membiarkan pemuda yang ada
didekatnya untuk melakukan kesalahan itu. Beliau palingkan wajahnya. Apa latar belakangnya? Tidak lain adalah
masalah syahwat. Apa yang bisa Anda katakan untuk kasus bermesraan pasca-akad nikah di tempat umum? Tentu
itu lebih mengundang syahwat.

Ketujuh, adakah anjuran akad nikah di masjid?


Terdapat hadis yang menganjurkan untuk mengadakan akad nikah di masjid, hadisnya berbunyi:

” ‫ و اضربوا عليه بالدفوف‬، ‫”أعلنوا هذا النكاح و اجعلوه في المساجد‬


“Umumkan pernikahan, adakan akad nikah di masjid dan meriahkan dengan memukul rebana.” (HR. At Turmudzi,
1:202 dan Baihaqi, 7:290)

Hadis dengan redaksi lengkap sebagaimana teks di atas statusnya dhaif. Karena dalam sanadnya ada seorang
perawi bernama Isa bin Maimun Al Anshari yang dinilai dhaif oleh para ulama, di antaranya Al Hafidz Ibn Hajar, Al
Baihaqi, Al Bukhari, dan Abu Hatim. Akan tetapi, hadis ini memiliki penguat dari jalur yang lain hanya saja tidak ada
tambahan “..Adakan akad tersebut di masjid..”. Maka potongan teks yang pertama untuk hadis ini, yang
menganjurkan diumumkannyapernikahan statusnya shahih. Sedangkan potongan teks berikutnya statusnya
mungkar. (As Silsilah Ad Dla’ifah, hadis no. 978).

Karena hadisnya dhaif, maka anjuran pelaksanaan walimah di masjid adalah anjuran yang tidak berdasar. Artinya
syariat tidak memberikan batasan baik wajib maupun sunah berkaitan dengan tempat pelaksanaan walimah nikah.
Syaikh Amr bin Abdul Mun’im Salim mengatakan, “Siapa yang meyakini adanya anjuran melangsungkan akad nikah
di masjid atau akad di masjid memiliki nilai lebih dari pada di tempat lain maka dia telah membuat bid’ah dalam
agama Allah.” (Adab Al Khitbah wa Al Zifaf, Hal.70)

Kedelapan, dianjurkan untuk menyebutkan mahar ketika akad nikah.


Tujuan dari hal ini adalah menghindari perselisihan dan masalah selanjutnya. Dan akan lebih baik lagi, mahar
diserahkan di majlis akad. Meskipun ulama sepakat, akad nikah tanpa menyebut mahar statusnya sah.

Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan:

َ ِ‫وز إِ ْخالَ ُء النِِّ َكاح‬


‫ع ْن‬ ُ ‫ص َّح ِة النِِّ َكاحِ فَيَ ُج‬
ِ ‫طا ِل‬ َ ‫أَ َّن ِذ ْك َر ْال َم ْه ِر فِي ْالعَ ْق ِد لَي‬
ً ‫ْس ش َْر‬
ِ ‫ق ْالفُقَ َه‬
‫اء‬ ِ ‫تَ ْس ِميَ ِت ِه ِبا ِتِّفَا‬
Menyebut mahar ketika akad bukanlah syarat sah nikah. Karena itu, boleh nikah tanpa menyebut mahar dengan
sepakat ulama. (Mausu’ah fiqhiyah Kuwaitiyah, 39:151)

Hanya saja, penyebutan mahar dalam akad nikah akan semakin menenangkan kedua belah pihak, terutama
keluarga.

Kesembilan, dianjurkan mengikuti prosedur administrasi akad nikah, sebagaimana yang ditetapkan KUA. Ini semua
dalam rangka menghindari timbulnya perselisihan dan masalah administrasi negara. Hanya saja, sebisa mungkin
proses pernikahan dimudahkan dan tidak berbelit-belit. Semakin mudah akad nikah, semakin baik menurut kaca
mata syariah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫خير النكاح أيسره‬


“Nikah yang terbaik adalah yang paling mudah.” (HR. Ibnu Hibban dan dishahihkan Al-Albani)
Sifat mudah ini mencakup masalah nilai mahar, tata cara nikah, proses akad, dst.

Kesepuluh, tidak ada anjuran untuk melafadzkan ijab kabul dalam sekali nafas, sebagaimana anggapan sebagian
orang. Karena inti dari ijab qabul akad nikah adalah pernyataan masing-masing pihak, bahwa wali pengantin wanita
telah menikahkan putrinya dengannya, dan pernyataan kesediaan dari pengantin laki-laki.
Mengharuskan akad nikah dan ijab kabul dengan harus satu nafas bisa disebut pemaksaan yang berlebihan.

Kesebelas, doa selepas akad nikah.


Dianjurkan bagi siapapun yang hadir ketika peristiwa itu, untuk mendoakan pengantin. Di antara lafadz doa yang
dianjurkan untuk dibaca adalah

‫علَي َْك َو َج َم َع بَ ْينَ ُك َما ِفي ْال َخي ِْر‬ َ ‫َّللاُ لَ َك َو َب‬
َ ‫ار َك‬ َّ ‫ار َك‬
َ ‫َب‬
“Semoga Allah memberkahimu di waktu senang dan memberkahimu di waktu susah, dan mengumpulkan kalian
berdua dalam kebaikan.”

Dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,

َّ ‫ار َك‬
ُ‫َّللا‬ َ َ‫سانَ ِإذَا ت َزَ َّو َج قَا َل ب‬ ِ ْ َ ‫” َكانَ ِإذَا َرفَّأ‬: ‫أن النبى صلى هللا عليه وسلم‬
َ ‫اْل ْن‬
‫علَي َْك َو َج َم َع بَ ْينَ ُك َما فِي ْال َخي ِْر‬
َ ‫ار َك‬ َ َ‫لَ َك َوب‬
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak memberikan ucapan selamat kepada orang yang menikah,
beliau mendoakan: baarakallahu laka…dst.” (HR. Turmudzi, Abu Daud dan dishahihkan Al-Albani)

Dari A’isyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan,

َ ‫ي صلى هللا عليه وسلم فَأَتَتْنِي أ ُ ِ ِّمي فَأ َ ْد َخلَتْنِي الد‬


ٌ ‫َّار فَإِذَا نِ ْس َوة‬ ُّ ‫تَزَ َّو َجنِي النَّ ِب‬
‫طائِر‬ َ ‫علَى َخي ِْر‬ َ ‫علَى ْال َخي ِْر َو ْالبَ َر َك ِة َو‬ َ َ‫ت فَقُ ْلن‬
ِ ‫ار فِي ْالبَ ْي‬
ِ ‫ص‬َ ‫ِمنَ ْاأل َ ْن‬
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku, kemudian ibuku mendatangiku dan mengajakku masuk ke dalam
rumah. Ternyata di dalamnya terdapat banyak wanita Anshar. Mereka semua mendoakan kebaikan, keberkahan
karena keberuntunganku. (HR. Bukhari dan Muslim)

Anda mungkin juga menyukai