Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

Terapi Cairan

Oleh :
Bernadetha Mayang Putri Utami
030.13.038

Pembimbing :
dr. H. Ucu Nurhadiat, Sp.An
dr. Ade Nurkacan, Sp.An
dr. Catur Pradono, Sp.An

PERIODE 19 FEBRUARI 2018 – 23 MARET 2018

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERSETUJUAN

Referat

Judul:
TERAPI CAIRAN

Nama Koasisten :
Bernadetha Mayang Putri Utami / 030.13.038

Telah disetujui untuk dipresentasikan

Pada Hari , Tanggal 2018

Pembimbing

dr., Sp.An

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan presentasi kasus dengan judul
“TERAPI CAIRAN”.
Presentasi ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
kepaniteraan klinik di SMF Anestesi Rumah Sakit Umum Daerah Karawang.
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan penyelesaian kasus ini, terutama
kepada:
1. dr., H. Ucu Nurhadiat, Sp.An, dr. Ade Nurkacan, Sp.An, dan dr. Catur
Pradono, Sp.An selaku pembimbing dalam referat ini.
2. Dokter dan staf-staf SMF Anestesi di RSUD Karawang.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Anestesi RSUD Karawang atas bantuan
dan dukungannya.
Saya menyadari dalam pembuatan presentasi kasus ini masih banyak
terdapatkekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran guna penyempurnaan
presentasi referat ini sangat saya harapkan.
Akhir kata, semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
terutama dalam bidang ilmu bedah

Jakarta, 25 Februari 2018

Penyusun

DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i

1
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................ii
KATA PENGANTAR...............................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan...............................................................................................................3

BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI CAIRAN


2.1 Anatomi dan fisiologi normal.............................................................................4
2.2 Proses pergerakan cairan tubuh..........................................................................6
2.3 Keseimbangan cairan.........................................................................................7
2.4 Fisiologi cairan dan elektrolit.............................................................................7
BAB III TERAPI CAIRAN
3.1 Terapi cairan.....................................................................................................13
3.2 Pemilihan cairan...............................................................................................13
3.3 Terapi cairan perioperatif.................................................................................17
3.4 Penatalaksanaan terapi.....................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................24

BAB I
PENDAHULUAN

Sebagian besar komponen utama yang terdapat dalam tubuh manusia


adalah air di mana jumlahnya sekitar 60% dari total berat badan orang dewasa.
Cairan yang terdapat di dalam tubuh manusia tidak hanya berkumpul di suatu

2
tempat, melainkan didistribusikan ke dalam ruangan utama yaitu cairan
intraseluler (CIS) dan cairan ekstraseluler (CES). Cairan ekstraseluler terbagi dua
yaitu cairan intravaskuler dan interstitial. Cairan dan elektrolit sangat dibutuhkan
oleh sel-sel dalam tubuh agar sangat dibutuhkan oleh sel-sel dalam tubuh agar
dapat menjaga dan mempertahankan fungsinya sehingga dapat tercipa kondisi
yang sehat pada tubuh. 1
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan suatu hubungan yang erat
dan bergantung satu dengan yang lainnya. Apabila terjadi gangguan
keseimbangan pada salah satunya, maka akan memberikan pengaruh pada yang
lainnya. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh dapat terjadi pada
keadaan diare. Muntah-muntah, sindrom malabsorpsi, ekskresi keringat yang
berlebih pada kulit, pengeluaran cairan yang tidak disadari (insensible water loss)
secara berlebihan oleh paru-paru, perdarahan, ataupun berkurangnya kemampuan
pada ginjal dalam mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh.
Dalam keadaan tersebut, pasien perlu diberikan terapi cairan agar volume cairan
tubuh yang hilang dengan segera dapat digantikan. 2
Terdapat tiga prinsip utama dalam pemberian terapi cairan yakni koreksi
kehilangan elektrolit, koreksi kehilangan cairan, dan koreksi terhadap kebutuhan
normal asupan cairan per harinya. Koreksi yang dilakukan cukup sampai batas
normal atau kondisi yang dapat ditolerir oleh tubuh agar terhindar dari risiko
iatrogenik yang tidak diinginkan akibat dari pemberian terapi yang berlebihan. 2,3

BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI CAIRAN

2.1 Anatomi dan fisiologi normal


Air merupakan komponen utama dalam tubuh dan menempati sekitar 60%
dari total berat tubuh pada dewasa rata-rata (sekitar 40L pada pria dengan berat
badan 70kg). Persentase ini biasanya lebih rendah pada keadaan obesitas dimana
jaringan adipose mengandung cairan yang lebih sedikit. Persentase jumlah air ini
juga lebih rendah pada wanita dibandingkan pria karena pada wanita memiliki
4
jumlah jaringan adiposa yang relatif lebih banyak dibanding pada pria.

3
Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh dapat terjadi pada
perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, serta puasa preoperatif maupun
perioperatif sehingga dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika
gangguan tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi dan
pembedahan, maka akan timbul risiko yang besar pada penderita. 5
Cairan tubuh dibagi secara fungsional menjadi cairan ekstraseluler (CES)
sekitar 20% dari berat badan atau sekitar 14L pada pria dengan berat badan 70kg,
dan cairan intraseluler (CIS) sekitar 40% dari berat badan atau sekitar 28L pada
pria dengan berat badan 70kg. Cairan ekstraseluler dibagi lagi menjadi cairan
interstitial atau cairan yang mengelilingi sel; cairan intravaskular atau cairan yang
terkandung dalam pembuluh darah; serta cairan transeluler yaitu cairan yang
terkandung di antara rongga tubuh tertenstu seperti cairan serebrospinal,
perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular, dan sekresi saluran pencernaan. 4

Gambar 2.1 Distribusi cairan tubuh

Selain air, cairan tubuh juga mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan
elektrolit. Elektrolit merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan
menghantarkan arus listrik. Dibedakan menjadi :
 Kation (ion positif)
Kation utama dalam cairan ekstraseluler adalah natrium (Na +) sedangkan
kation utama dalam cairan intraseluler adalah kalium (K+).
 Anion (ion negatif)
Anion utama dalam cairan ekstraseluler adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat
(HCO3-), sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah ion
fosfat (PO43-)
Cairan intraseluler (CIS) dan cairan ekstraseluler (CES) dipisahkan oleh
membran seluler dengan pompa natrium aktif yang akan memastikan bahwa
natrium akan tetap berada pada cairan ekstraseluler. Sel sendiri mengandung
anion-anion seperti protein dan glikogen yang tidak dapat keluar, sehingga akan

4
menarik ion kalium untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit (Gibbs-
Donnan equilibrium). Mekanisme-mekanisme tersebut akan memastikan Na+ dan
anion penyeimbangnya, CL- dan HCO3- akan tetap menjaga osmolalitas dari
cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler selanjutnya dibagi menjadi cairan
intravaskular (berada dalam sirkulasi) dan interstitial (cairan ekstravaskular yang
mengelilingi sel). 6
Komponen intravaskular dan ekstravaskular pada cairan ekstraseluler
dipisahkan oleh membran kapiler. Volume cairan intravaskular bergantung pada
tekanan onkotik plasma (koloid) dengan protein plasma sebagai penahan air pada
sirkulasi. Tekanan onkoti plasma normal adalah sekitar 3.4kPa (26mmHg) yang
berasal dari 75% albumin, 20% hemoglobin, dan 5% globulin. 1 gram albumin
akan mengikat sekitar 18mL air. Dalam keadaan normal, kapiler micropore hanya
menyebabkan sejumlah kecil albumin yang keluar, yang kemudian akan kembali
ke sirkulasi melalui limfatik dengan kecepatan yang sama sehingga mempertahan
keseimbangan. (30 jurnal ncbi) Sementara itu dengan adanya tekanan hidrostatik
pada sirkulasi akan menarik cairan keluar serta tekanan onkotik plasma seperti
albumin akan menarik cairan masuk sehingga akan mempertahankan volume
plasma yang konstan relatif dalam cairan ekstraseluler (Starling Effect). 7

2.2 Proses Pergerakan Cairan Tubuh


Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan
mekanisme transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak
membutuhkan energi sedangkan mekanisme transpor aktif membutuhkan energi.
Difusi dan osmosis adalah mekanisme transpor pasif. Sedangkan mekanisme
transpor aktif berhubungan dengan pompa Na-K yang memerlukan ATP. 5,8,9
Proses pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung secara:
a. Osmosis
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran
semipermeabel (permeabel selektif) dari larutan berkadar lebih rendah menuju
larutan berkadar lebih tinggi hingga kadarnya sama. Seluruh membran sel dan
kapiler permeabel terhadap air, sehingga tekanan osmotik cairan tubuh seluruh
kompartemen sama. Membran semipermeabel ialah membran yang dapat
dilalui air (pelarut), namun tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya protein.5,8,9
Tekanan osmotik plasma darah ialah 285+ 5 mOsm/L. Larutan dengan tekanan

5
osmotik kira-kira sama disebut isotonik (NaCl 0,9%, Dekstrosa 5%, Ringer
laktat). Larutan dengan tekanan osmotik lebih rendah disebut hipotonik
(akuades), sedangkan lebih tinggi disebut hipertonik.8,9
b. Difusi
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan
bergerak dari konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Tekanan
hidrostatik pembuluh darah juga mendorong air masuk berdifusi melewati pori-
pori tersebut. Jadi difusi tergantung kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan
hidrostatik. 5,8,9
c. Pompa Natrium Kalium
Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa ion
natrium keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion
kalium dari luar ke dalam. Tujuan dari pompa natrium kalium adalah untuk
mencegah keadaan hiperosmolar di dalam sel. 5,8,9

2.3 Keseimbangan cairan


Keseimbangan cairan serta elektrolit antara tubuh dan lingkungan
bergantung pada asupan cairan dan elektrolit serta output dari ginjal, traktus
gastrointestinal, serta kulit dan paru-paru (insensible water loss). Intake dan
output harian rata-rata normal dari cairan akan ditunjukkan pada tabel 1 dan 2..

Tabel 2.1 Keseimbangan cairan rata-rata harian

Tabel 2.2 Intake harian rata-rata

6
2.4 Fisiologi cairan dan elektrolit
Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu :
1. Perubahan volume
a. Defisit volume
Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan
tubuh yang paling umum terjadi pada pasien bedah. Penyebab paling
umum adalah kehilangan cairan di gastrointestinal akibat muntah,
penyedot nasogastrik, diare, dan drainase fistula. Penyebab lainnya
dapat berupa kehilangan cairan pada cedera jaringan lunak, infeksi,
inflamasi jaringan, peritonitis, obstruksi usus, dan luka bakar. Keadaan
akut seperti kehilangan cairan secara cepat akan menimbulkan tanda
gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung. Sedangkan pada
kehilangan cairan yang terjadi secara lambat lebih dapat ditoleransi
sampat defisit volume cairan ekstraseluler yang berat terjadi. 10
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi
serum dari natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L),
hiponatremik (<139 mEq/L), atau hipernatremik (>150 mEq/L).
Dehidrasi isonatremik merupakan tipe dehidrasi yang paling sering
terjadi (80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik
hanya terjadi sekitar 5-10% dari kasus. 11
Dehidrasi isotonis (isonatremik) terjadi ketika kehilangan cairan
hampir sama dengan konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan
cairan dan natrium besarnya relatif sama dalam kompartemen
intravaskular maupun kompartemen ekstravaskular. 11
Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika kehilangan cairan
dengan kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan
hipertonis). Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih
banyak dibandingkan air yang hilang. Karena kadar natrium serum
rendah, air di kompartemen intravaskular berpindah ke kompartemen
ekstravaskular sehingga menyebabkan penurunan volume intravaskular.
11

Dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika kehilangan cairan


dengan kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan
hipotonis). Secara garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak
dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar natrium tinggi air di

7
kompartemen ekstravaskular berpindah ke kompartemen intravaskular
sehingga meminimalkan penurunan volume intravaskular. 11
Terapi untuk dehidrasi ialah rehidrasi yang dilakukan dengan cara
mempertimbangkan kebutuhan cairan untuk rumatan, defisit cairan, dan
kehilangan cairan yang sedang berlangsung.

Strategi untuk rehidrasi adalah dengan memperhitungkan defisit


cairan, cairan rumatan yang diperlukan dan kehilangan cairan yang
sedang berlangsung disesuaikan .
Cara rehidrasi 12 :
1. Nilai status rehidrasi (sesuai tabel 4 di atas), banyak cairan yang
diberikan (D) = derajat dehidrasi (%) x BB x 1000 cc
2. Hitung cairan rumatan (M) yang diperlukan (untuk dewasa 40
cc/kgBB/24 jam atau rumus holliday-segar seperti untuk anak-
anak)

3. Pemberian cairan :
o 6 jam I = ½ D + ¼ M atau 8 jam I = ½ D + ½ M

8
o 18 jam II = ½ D + ¾ M atau 16 jam II = ½ D + ½ M
b. Kelebihan volume
Kelebihan volume cairan ekstraseluler merupakan suatu kondisi
akibat iatrogenik seperti pada pemberian cairan intravena yang
berlebihan atau dapat sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan pada
GFR), sirosis, ataupun gagal jantung kongestif. Kelebihan cairan
intraseluler dapat terjadi jika terjadi kelebihan cairan tetapi jumlah
NaCl tetap atau berkurang. 13
2. Perubahan konsentrasi
a. Hiponatremia 18
Jika kadar natrium <120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi,
gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan.
Sedangkan jika kadar natrium <110 mg/L maka akan timbul gejala
kejang hingga koma. Hiponatremi ini dapat disebabkan oleh euvolemia
(SIADH, polidipsi, psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal,
diare, muntah, third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis,
nefrosis). Keadaan ini dapat diterapi dengan restriksi cairan (Na+ > 125
mg/L) atau NaCl 3% sebanyak (140-X) x BB x 0,6 mg dan untuk
pediatrik 1,5-2,5 mg/kg
Koreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan secara
perlahan-lahan, sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif.
Untuk menghitung Na serum yang dibutuhkan dapat menggunakan
rumus :

b. Hipernatremia
Jika kadar natrium >160 mg/L maka dapat timbul gejala seperti
perubahan mental, letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremia dapat
disebabkan oleh kehilangan cairan seperti pada diare, muntah, diuresis,
diabetes insipidus, keringat berlebihan, asupan air kurang, asupan

9
natrium berlebihan. Terapi untuk keadaan ini adalah penggantian cairan
dengan dekstrose 5% dalam air. 14
c. Hipokalemia
Jika kadar kalium <3mEq/L maka dapat terjadi akibat dari
redistribusi akut kalium dari cairan ekstraseluler ke intraseluler atau
dari pengurangan kronis kadar total kalium tubuh. Tanda dan gejala
hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS
segmen melebar dan ST segmen depresi), hipotensi postural, kelemahan
otot skeletal, poliuria, intoleransi glukosa. Terapi untuk hipokalemia
dapat berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia,
obat-obatan), infus potasium klorida sampai 10 mEq/jam atau sampai
40 mEq/jam dengan monitoring EKG pada hipokalemia berat. 14
d. Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5mEq/L dan sering terjadi karena
insufisiensi renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs,
ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dan gejalanya terutama
melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sis
kardiovaskular (disritmik dan perubahan EKG). Terapi untuk
hiperkalemia dapat berupa pemberian intravena kalsium klorida 10%
dalam 10 menit, sodium bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau
pemberian diuretik, dan hemodialisis. 14
3. Perubahan komposisi 15
a. Asidosis respiratorik (pH < 7,35 dan PaCO2 > 45 mmHg)
Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk
menurunkan ventilasi alveolar pada pasien bedah. Kejadian akut
merupakan akibat dari ventilasi yang tidak adekuat termasuk obstruksi
jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi
abdomen atas, distensi abdomen dan penggunaan narkose yang
berlebihan. Manajemennya melibatkan koreksi yang adekuat dari defek
pulmonal, intubasi endotrakeal, dan ventilasi mekanis bila perlu.
Perhatian yang ketat terhadap higiene trakeobronkial saat post operatif
adalah sangat penting.
b. Alkalosis respiratorik (pH >7,45 dan PaCO2 <35 mmHg)
Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan
ventilasi yang dibantu. Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat serum

10
normal, dan alkalosis terjadi sebagai hasil dari penurunan PaCO2 yang
cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi masalah yang mendasari
termasuk sedasi yang sesuai, analgesia, penggunaan yang tepat dari
ventilator mekanik, dan koreksi defisit potasium yang terjadi.
c. Asidosis metabolik (pH <7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)
Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau
kehilangan bikarbonat. Penyebab yang paling umum termasuk gagal
ginjal, diare, fistula usus kecil, diabetik ketoasidosis, dan asidosis laktat.
Kompensasi awal yang terjadi adalah peningkatan ventilasi dan depresi
PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok, diabetik ketoasidosis,
kelaparan, aspirin yang berlebihan dan keracunan metanol. Terapi
sebaiknya ditujukan terhadap koreksi kelainan yang mendasari. Terapi
bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan asidosis berat dan
hanya setelah kompensasi alkalosis respirasi digunakan.
d. Alkalosis metabolik (pH >7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L)
Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau
penambahan bikarbonat dan diperburuk oleh hipokalemia. Masalah
yang umum terjadi pada pasien bedah adalah hipokloremik,
hipokalemik akibat defisit volume ekstraselular. Terapi yang digunakan
adalah sodium klorida isotonik dan penggantian kekurangan potasium.
Koreksi alkalosis harus gradual selama perode 24 jam dengan
pengukuran pH, PaCO2 dan serum elektrolit yang sering.
BAB III
TERAPI CAIRAN

3.1 Terapi cairan


Terapi cairan adalah administrasi cairan terhadap pasien untuk fungsi
terapi atau pencegahan. Cairan dapat dimasukkan secara intravena, intraperitoneal,
intraosea, subkutan, maupun secara oral. Sebaiknya, cairan memang diberikan secara
enteral dikarenakan pemberian cairan secara parenteral memaparkan pasien terhadap
berbagai risiko seperti overload cairan dan berbagai macam efek samping sesuai
dengan jenis cairan yang diberikan. Terapi cairan intravena (infus) dilakukan apabila
apabila intake secara enteral terganggu, untuk mengganti kehilangan cairan dalam
jumlah besar, atau ketika penggantian cairan secara cepat dibutuhkan. 16

11
Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar yaitu :
 Resusitasi cairan
Resusitasi bertujuan untuk menggantikan kehilangan akut cairan
tubuh yang seringkali dapat menyebabkan syok. Terapi ini juga
ditujukan untuk ekspansi cepat dari cairan intravaskuler serta
memperbaiki perfusi jaringan.
 Terapi rumatan (maintenance therapy)
Terapi rumatan bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan
tubuh serta nutrisi yang diperlukan oleh tubuh.
3.2 Pemilihan cairan
Prinsip dalam memilih cairan dimaksudkan untuk mengganti kehilangan
air serta elektrolit yang normal melalui urine, insensible water loss (IWL), dan feses
juga untuk membuat agar hemodinamik agar tetap dalam keadaan stabil. Pada
penggantian caiaran, maka jenis cairan yang akan digunakan juga didasarkan pada :
 Cairan pemeliharaan (jumlah cairan yang dibutuhkan selama 24
jam)
 Cairan defisit (jumlah kekurangan cairan yang terjadi)
 Cairan pengganti (replacement)
a. Sekuestrasi (cairan third space)
b. Pengganti darah yang hilang
c. Pengganti cairan yang hilang melalui fistel, maag slang, dan
drainase.
Secara umum, cairan intravena dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu :
 Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler
(CES = CEF). Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah,
tersedia dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan
cross match, tidak menimbulkan alergi atau syok anafilaktik,
penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama.
Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali
cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid
untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan
kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit. Beberapa
penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit
larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema

12
perifer dan paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan
edema jaringan luka, apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl
0,9%. Penelitian lain menunjukkan pemberian sejumlah cairan
kristaloid dapat mengakibatkan timbulnya edema paru berat. Selain itu,
pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema
otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana
kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel
dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk
resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel. Larutan Ringer Laktat
merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan untuk
resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir
menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan
tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat.
Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%,
tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis
hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan menurunnya
kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.
 Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut
plasma substitute´ atau plasma expander´. Di dalam cairan koloid
terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan
aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan
agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh
karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat
terutama pada syok hipovolemik ataupun hemoragik atau pada
penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang
banyak (misal luka bakar). Kerugian dari plasma expander yaitu mahal
dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat
menyebabkan gangguan pada cross match.
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
1. Koloid Alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin
manusia ( 5 dan 2,5%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma
atau plasenta 60°C selama 10 jam untuk membunuh virus
hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain

13
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan
beta globulin. Prekallikrein activators (Hageman’s factor
fragments) seringkali terdapat dalam fraksi protein plasma
dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu pemberian infuse
dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi
dan kolaps kardiovaskuler.
2. Koloid Sintesis yaitu:
 Dextran
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan
Dextran 70(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000
diproduksi oleh bakteri Leuconostocmesenteroides B yang
tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan
volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran
40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat
sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan
(viskositas) darah. Selain itu Dextran mempunyai efek anti
trombotik yang dapat mengurangiplatelet adhesiveness,
menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan
melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran melebihi 20
ml/kgBB/hari dapat mengganggucro match, waktu perdarahan
memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu
dengan memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.
 Hydroxylethyl Starch (HES)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 ±
1.000.000, rata-rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan
tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini
pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam
waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan
koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat
meningkatkan kadar serum amilase ( walau jarang).Low
molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip
Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5
kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam.
Karena potensinya sebagai plasma volume expander yang besar
dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi

14
maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan
pada penderita gawat.

 Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat
molekul rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang.
Ada 3 macam gelatin, yaitu:
- Modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
- Urea linked gelatin
- Oxypoly gelatin ,merupakan plasma expanders dan banyak
digunakan pada penderita gawat. Walaupun dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari golonganurea linked
gelatin

3.3 Terapi cairan perioperatif 15,17,18


Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan
pemberian cairan perioperatif, yaitu :
1. Kebutuhan Normal Cairan Dan Elektrolit Harian
Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan
elektrolit utama Na+=1-2 mmol/kgBB/haridan K+= 1mmol/kgBB/hari.
Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang hilang akibat
pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan
pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses. Cairan
yang hilang ini pada umumnya bersifat hipotonus (air lebih banyak
dibandingkan elektrolit).
2. Defisit Cairan Dan Elektrolit Pra Bedah
Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada penderita
bedah elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali
menyertai penyakit bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan,
translokasi cairan pada penderita dengan trauma), kemungkinan
meningkatnya insensible water loss akibat hiperventilasi, demam dan
berkeringat banyak. Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah ini harus segera
diganti sebelum dilakukan pembedahan.
3. Kehilangan Cairan Saat Pembedahan

15
a. Perdarahan
Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari :
 Botol penampung darah yang disambung dengan pipa penghisap darah
(suction pump).
 Dengan cara menimbang kasa yang digunakan sebelum dan setelah
pembedahan. Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung 10
ml darah, sedangkan tampon besar (laparatomy pads) dapat menyerap
darah sekitar 10 – 100 mL
Dalam praktik jumlah perdarahan selama pembedahan hanya bisa ditentukan
berdasarkan kepada taksiran (perlu pengalaman banyak) dan keadaan klinis
penderita yang kadang-kadang dibantu dengan pemeriksaan kadar
hemoglobin dan hematokrit berulang- ulang (serial). Pemeriksaan kadar
hemoglobin dan hematokrit lebih menunjukkan rasio plasma terhadap
eritrosit daripada jumlah perdarahan. Kesulitan penaksiran akan bertambah
bila pada luka operasi digunakan cairan pembilas (irigasi) dan banyaknya
darah yang mengenai kain penutup, meja operasi dan lantai kamar bedah.
b. Kehilangan Cairan Lainnya
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih menonjol
dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan translokasi
cairan internal. Kehilangan cairan akibat penguapan (evaporasi) akan lebih
banyak pada pembedahan dengan luka pembedahan yang luas dan lama.
Sedangkan perpindahan cairan atau lebih dikenal istilah perpindahan ke ruang
ketiga atau sequestrasi secara masif dapat berakibat terjadi defisit cairan
intravaskuler. Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi dapat
mengakibatkan sequestrasi sejumlah cairan interstitial dan perpindahan cairan
ke ruangan serosa (ascites) atau ke lumen usus. Akibatnya jumlah cairan ion
fungsional dalam ruang ekstraseluler meningkat. Pergeseran cairan yang
terjadi tidak dapat dicegah dengan cara membatasi cairan dan dapat
merugikan secara fungsional cairan dalam kompartemen ekstraseluler dan
juga dapat merugikan fungsional cairan dalam ruang ekstraseluler.
4. Gangguan Fungsi Ginjal
Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan:
 Laju Filtrasi Glomerular (GFR = Glomerular Filtration Rate) menurun.
 Reabsorbsi Na+ di tubulus meningkat yang sebagian disebabkan oleh
meningkatnya kadar aldosteron.

16
 Meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan
terjadinya retensi air dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes (collecting
tubules) meningkat.
 Ginjal tidak mampu mengekskresikan ³free water´ atau untuk
menghasilkan urin.

3.4 Penatalaksanaan terapi, 5,18


1. Cairan Pra Bedah
Status cairan harus dinilai dan dikoreksi sebelum dilakukannya induksi
anestesi untuk mengurangi perubahan kardiovaskuler dekompensasi akut.
Penilaian status cairan ini didapat dari :
 Anamnesa : Apakah ada perdarahan, muntah, diare, rasa haus. Kencing

terakhir, jumlah dan warnya.


 Pemeriksaan fisik. Dari pemeriksaan fisik ini didapat tanda-tanda obyektif

dari status cairan, seperti tekanan darah, nadi, berat badan, kulit,
abdomen, mata dan mukosa.
 Laboratorium meliputi pemeriksaan elektrolit, BUN, hematokrit,
hemoglobin dan protein.
Defisit cairan dapat diperkirakan dari berat-ringannya dehidrasi yang
terjadi.
 Pada fase awal pasien yang sadar akan mengeluh haus, nadi biasanya

meningkat sedikit, belum ada gangguan cairan dan komposisinya secara


serius. Dehidrasi pada fase ini terjadi jika kehilangan kira-kira 2% BB
(1500 ml air).
 Fase moderat, ditandai rasa haus. Mukosa kering otot lemah, nadi cepat

dan lemah. Terjadi pada kehilangan cairan 6% BB.


 Fase lanjut/dehidrasi berat, ditandai adanya tanda shock cardiosirkulasi,
terjadi pada kehilangan cairan 7-15 % BB. Kegagalan penggantian cairan
dan elektrolit biasanya menyebabkan kematian jika kehilangan cairan 15
% BB atau lebih.
Cairan preoperatif diberikan dalam bentuk cairan pemeliharaan, pada
dewasa 2 ml/kgBB/jam. Atau 60 ml ditambah 1 ml/kgBB untuk berat badan
lebih dari 20 kg. Pada anak-anak 4 ml/kg pada 10 kg BB I, ditambah 2 ml/kg
untuk 10 kgBB II, dan ditambah 1 ml/kg untuk berat badan sisanya. Kecuali
penilaian terhadap keadaan umum dan kardiovaskuler, tanda rehidrasi
tercapai ialah dengan adanya produksi urine 0,5-1 ml/kgBB.
2. Cairan Selama Pembedahan

17
Terapi cairan selama operasi meliputi kebutuhan dasar cairan dan
penggantian sisa defisit pra operasi ditambah cairan yang hilang selama
operasi. Berdasarkan beratnya trauma pembedahan dikenal pemberian cairan
pada trauma ringan, sedang dan berat. Pada pembedahan dengan trauma
ringan diberikan cairan 2 ml/kg BB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4
ml/kg BB/jam sebagai pengganti akibat trauma pembedahan. Cairan pengganti
akibat trauma pembedahan sedang 6 ml/kg BB/jam dan pada trauma
pembedahan berat 8 ml/kg BB/jam.
Cairan pengganti akibat trauma pembedahan pada anak yaitu untuk trauma
pembedahan ringan adalah sekitar 2 ml/kg BB/jam, sedang 4 ml/kgBB/jam
dan berat 6 ml/kgBB/jam.
Pemilihan jenis cairan intravena tergantung pada prosedur pembedahan
dan perkiraan jumlah perdarahan. Perkiraan jumlah perdarahan yang terjadi
selama pembedahan sering mengalami kesulitan., dikarenakan adanya
perdarahan yang sulit diukur/tersembunyi yang terdapat di dalam luka operasi,
kain kasa, kain operasi dan lain-lain. Dalam hal ini cara yang biasa digunakan
untuk memperkirakan jumlah perdarahan dengan mengukur jumlah darah di
dalam botol suction ditambah perkiraan jumlah darah di kain kasa dan kain
operasi. Satu lembar duk dapat menampung 100 – 150 ml darah, sedangkan
untuk kain kasa sebaiknya ditimbang sebelum dan setelah dipakai, dimana
selisih 1 gram dianggap sama dengan 1 ml darah. Perkiraan jumlah perdarahan
dapat juga diukur dengan pemeriksaan hematokrit dan hemoglobin secara
serial.
Pada perdarahan untuk mempertahankan volume intravena dapat diberikan
kristaloid atau koloid sampai tahap timbulnya bahaya karena anemia. Pada
keadaan ini perdarahan selanjutnya diganti dengan transfusi sel darah merah
untuk mempertahankan konsentrasi hemoglobin ataupun hematokrit pada
level aman, yaitu Hb 7 – 10 g/dl atau hematokrit sekitar 21 – 30%. 20 – 25%
pada individu sehat atau anemia kronis.
Kebutuhan transfusi dapat ditetapkan pada saat prabedah berdasarkan nilai
hematokrit dan EBV. EBV pada neonatus prematur 95 ml/kgBB, fullterm 85
ml/kgBB, bayi 80 ml/kgBB dan pada dewasa laki-laki 75 ml/kgBB,
perempuan 85 ml/kgBB.
Untuk menentukan jumlah perdarahan yang diperlukan agar Hct menjadi
30% dapat dihitung sebagai berikut :
 EBV (estimated blood volume)
 Estimasi volume sel darah merah pada hematokrit prabedah (RBCV preop)

18
 Estimasi volume sel darah merah pada hematokrit 30% prabedah (RBCV
%)
 Volume sel darah merah yang hilang, RBCV lost = RBCV preop – RBVC
30%)
 Jumlah darah yang boleh hilang = RBCV lost x 3
Transfusi dilakukan jika perdarahan melebihi nilai RBCV lost x 3.
Selain cara tersebut di atas, beberapa pendapat mengenai penggantian
cairan akibat perdarahan adalah sebagai berikut :
Berdasar berat-ringannya perdarahan :
 Perdarahan ringan, perdarahan sampai 10% EBV, 10 – 15%, cukup diganti
dengan cairan elektrolit.
 Perdarahan sedang, perdarahan 10 – 20% EBV, 15 – 30%, dapat diganti
dengan cairan kristaloid dan koloid.
 Perdarahan berat, perdarahan 20 – 50% EBV, > 30%, harus diganti dengan
transfusi darah.

Klasifikasi Syok Akibat Perdarahan :


Intravenous fluid replacement in haemorrhagic shock
Class I Ringer-lactate solution or 1.0 L
(haemorrhage 750 ml (15%)) polygelatin

Class II polygelatin plus 1.5 L Ringer-lactate


(haemorrhage 800-1500 ml (15- solution
30%))

Class III Ringer-lactate solution plus 0.5 l whole


(haemorrhage 1500-2000 ml (30- blood or 0.1-1.5 l equal volumes of
40%)) concentrated red cells and polygelatin

Ringer-lactate solution plus 1.0 l


Class IV polygelatin plus 2.0 l whole blood or
(haemorrhage 2000 ml (48%)) 2.0 l equal volumes of concentrated red
cells and polygelatin or hestastarch

3. Cairan Pasca Bedah


Terapi cairan paska bedah ditujukan untuk :
 Memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi.
 Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah (cairan lambung,
febris).
 Melanjutkan penggantian defisit prabedah dan selama pembedahan.
 Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan.

19
Nutrisi parenteral bertujuan menyediakan nutrisi lengkap, yaitu kalori,
protein dan lemak termasuk unsur penunjang nutrisi elektrolit, vitamin dan
trace element. Pemberian kalori sampai 40 – 50 Kcal/kg dengan protein
0,2 – 0,24 N/kg. Nutrisi parenteral ini penting, karena pada penderita
paska bedah yang tidak mendapat nutrisi sama sekali akan kehilangan
protein 75 – 125 gr/hari. Hipoalbuminemia menyebabkan edema jaringan,
infeksi dan dehisensi luka operasi, terjadi penurunan enzym pencernaan
yang menyulitkan proses realimentasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC, Hall JE.Textbook of medical physiology. 9th ed. Pennsylvania: W.B.
saunders company; 1997: 375-393
2. Hillman K. Colloid versus crystalloids in shock. Indian J Crit Care Med [serial
online] 2004 [cited 2018 Feb 28];8:14-21. Available
from: http://www.ijccm.org/text.asp?2004/8/1/14/12932
3. Sjamsuhidajat, R. dan Wim de Jong, 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 3.
Jakarta: EGC. Sugianti, B. 2005.

20
4. Sherwood, L. Human Physiology: From Cells to Systems. Pacific Grove, Calif:
Brooks/Cole, 2001
5. Heitz U, Horne MM. Fluid, electrolyte and acid base balance. 5th ed.
Missouri:Elsevier-mosby; 2005.p3-227
6. Edelman IS, Leibman J. Anatomy of body water and electrolytes. American
Journal of Medicine. 1959;27:256–277. (Guideline Ref ID EDELMAN1959)
7. Dobo DN, Lewington AJP, Allison SP. Basic concepts of fluid and electrolyte
therapy. Melsungen, Germany: Bibliomed; 2013. Available
from: http://www.bbraun.com/documents/Knowledge/Basic_Concepts_of_Fluid
_and_Electrolyte_Therapy.pdf.
8. Latief AS, dkk. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada pembedahan.
Ed.Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI. 2002
9. Mayer H, Follin SA. Fluid and electrolyte made incredibly easy. 2nd ed.
Pennsylvania: Springhouse; 2002:3-189.
10. Schwartz SI, ed. Principles of surgery companion handbook. 7th ed. New york:
McGraw-Hill; 1999:53-70.
11. Ellsbury DL, George CS. Dehydration. eMed J [serial online] 2006 Mar [dikutip
24 Feb 2018].Tersedia dari: URL:
http://www.emedicine.com/CHILD/topic925.htm.)
12. Fakultas Kedokteran Unpad. Protokol Tindakan Bedah. Bandung. 2003
13. Silbernagl S, Lang F. Color atlas of pathophysiology. 2 nd ed. New York: Thieme;
2011
14. Leksana E. Terapi cairan dan elektrolit. Smf/bagian anestesi dan terapi intensif
FK Undip: Semarang; 2004: 1-60.
15. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th ed.
Philadelphia: Lippincot williams and wilkins; 2006: 74-97.
16. Floss K, Borthwick M, Clark C. Intravenous fluids principles of treatment.
Clinical Pharmacist, October 2011 Vol 3)
17. Kaswiyan U. Terapi cairan perioperatif. Bagian Anestesiologi dan Reanimasi.
Fakultas KEdokteran Unpad/ RS. Hasan Sadikin. 2000.
18. Sunatrio S. Resusitasi cairan. Jakarta: Media aesculapius;2000:1-58.

21
22

Anda mungkin juga menyukai