Anda di halaman 1dari 2

Pada tahun 1980an ada wacana bahwa pengembangan dan pengelolaan sumber daya air berbasis pada daerah

aliran sungai,
sehingga timbul ide untuk mengelola satu sungai dalam satu manajemen (one river one management). Selanjutnya pada tahun
1990an konsep keberlanjutan (sustainability) menjadi bagian dari pembangunan berbagai sektor, termasuk dalam
pengembangan sumber daya air. Gagasan pengelolaan sumber daya air secara terpadu/Integrated Water Resources
Management (IWRM) dan berkelanjutan tertuang dalam Prinsip-Prinsip Dublin tahun 1992, Agenda 21 Chapter 18 UNCED Tahun
1992. Kemudian Global Water Partnership (GWP) melalui Techical Advisory Committee (TAC) padat tahun 2000 merumuskan
tentang konsep dan panduan IWRM. Sejak saat itu setiap Negara di dunia mulai secara intensif melaksanakan konsep IWRM
tersebut, termasuk Indonesia. Makalah ini merupakan review dari upaya dan progres implementasi IWRM di Indonesia. Progres
signifikan telah dicapai adalah dalam bentuk peraturan perundangan, pengelolaan sumber daya air berbasis wilayah sungai
(WS), terbentuknya Tim/Wadah Koordinasi baik pada tingkat nasional, daerah dan WS, serta Balai Wilayah Sungai (BWS) sebagai
unit kerja yang melaksanakan IWRM. Akan tetapi tantangan yang amat berat implementasi IWRM dimasa datang adalah
berkaitan dengan regulasi sehubungan dengan dibatalkanya seluruh norma UU No. 7 tahun 2004 oleh Makamah Konstitusi (MK)
pada tanggal 18 Februari tahun 2015, dan kembali menggunakan UU No. 11 tahun 1974 yang sudah tidak sesuai dengan kondisi
pengelolaan sumber daya air saat ini.

Pada era 1980an sudah mulai diwacanakan pengembangan dan pengelolaan sumber daya air berbasis pada daerah aliran sungai
(river catchment), sehingga timbul idea untuk mengelola satu sungai dalam satu manajemen (one river one management).
Dengan munculnya konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada tahun 1987, maka pada tahun 1990an
konsep keberlanjutan (sustainability) mulai berkembang dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan berbagai
sektor, termasuk dalam pengembangan sumber air. Sehingga pengembangan sumber daya air menjadi jauh lebih kompleks dari
pada hanya pembangunan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan air. Gagasan pengelolaan sumber daya air secara luas kemudian
dibahas dalam International Conference on Water and the Environment di Dublin tahun 1992, dengan keluarnya rekomendasi
Prinsip-Prinsip Dublin (Dublin Principles), antara lain:

a. Air tawar adalah terbatas dan mudah berubah, dan sangat esensial untuk melangsungkan kehidupan, pembangunan dan
lingkungan
b. Pengembangan sumberdaya air harus berdasar atas pedekatan partisipasi, dengan mengikut sertakan para pemakai air, para
perencana dan para pemegang kebijakan pada semua tingkatan
c. Peran wanita merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam perencanaan, pengelolaan, dan pelestarian sumber daya
air
d. Air mempunyai nilai ekonomis dalam semua tingkat pemanfaatan dan harus diperhitungkan sebagai ‘economic good’.

Selanjutnya pada United Nation Conference on Environment and Development (UNCED) Tahun 1992 di Rio de Jeneiro telah
menghasilkan Agenda 21 Chapter 18 yang merupakan panduan dalam mengembangkan dan mengelola sumber daya air secara
terpadu dan berlanjut, yang menekankan bahwa pengembangan dan pengelolaan sumber daya air secara terpadu dan
berkelanjutan. Kemudian Global Water Partnership (GWP) melalui Techical Advisory Committee (TAC) merumuskan lebih rinci
tentang konsep dan panduan tentang IWRM, sejak itu setiap negara di dunia mulai secara intensif membuat berbagai konsep
dan persiapan untuk melaksanakan konsep IWRM tersebut, termasuk Indonesia. Paper ini merupakan hasil review dari berbagai
literatur tentang berbagai usaha yang telah dilaksanakan di Indonesia untuk mengimplementasikan konsep Pengelolaan Sumber
Daya Air Secara Terpadu/ Integrated Water Resources Management (IWRM) yang merupakan cita-cita umat manusia untuk
melestarikan sumber daya air yang sangat terbatas tersebut.

2. KONSEP DAN LANGKAH MEWUJUDKAN IWRM


Pengelolaan sumber daya air secara terpadu sesungguhnya tidak terlepas dari arahan dan rekomendasi dari Agenda 21 dan
Chapter 18 dari UNCED tahun 1992 di Rio de Jeneiro, Brasil. Arahan tersebut selanjutnya dijadikan panduan dalam menyusun
konsep IWRM oleh Techical Advisory Committee (TAC) dari Global Water Partnership (GWP) yang berkedudukan di Stockolom,
Swedia. Konsep IWRM selanjutnya dituangkan dalam Background Paper No 4 tahun 2000 yang menyatakan bahwa IWRM
didefinisikan sebagai: suatu proses yang mengintegrasikan pengelolaan air, lahan, dan sumber daya terkait lainnya secara
terkoordinasi, dalam rangka memaksimalkan resultan ekonomi dan kesejahteraan sosial secara adil tanpa mengorbankan
keberlanjutan ekosistem yang vital (Norken, 2002).

IWRM sesungguhnya adalah konsep pengelolaan sumber daya air yang bersifat menyeluruh dan holistik, yang berbasis pada
daerah aliran sungai atau wilayah sungai (river basin). Wilayah sungai dalam hal ini dapat dilihat sebagai satu kesatuan wilayah
pengelolaan sumber daya air yang terintegrasi antara hulu dan hilir, kuantitas dan kualitas, air permukaan dan air tanah, serta
tata guna lahan dan penggunaan sumber air secara praktis.

Wilayah Sungai. Salah satu hal yang sangat penting yang menjadi arahan dalam pengelolaan sumber daya air dalam Agenda 21
Chapter 18 dari Deklarasi UNCED Rio de Jeneiro tahun 1992 yang antara lain menyatakan bahwa: pengelolaan sumber daya air
harus mempertimbangkan kebutuhan melindungi keterpaduan ekosistem serta mencegah degradasi dan berbasis pada wilayah
sungai (drainage basin). Selanjutnya The International Hydrological Programme of UNESCO, and the Network of Asian River
Basin Organizations (NARBO), 2009, menjelaskan pengelolaan sumber daya air berbasis pada wilayah sungai (river basin level),
akan memungkinkan pengelolaan secara praktis berkaitan dengan integrasi hulu dan hilir, kuantitas dan kualitas , air permukaan
dan air tanah serta tata guna lahan, sehingga wilayah sungai merupakan satu hal yang sangat prinsip dalam IWRM. Untuk itu
dalam UU No. 7 tahun 2004 sangat tegas diatur bahwa: Wilayah Sungai (WS) adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya
air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang atau sama dengan 2000 km2. Dari
sini dapat diartikan bahwa WS sebagai satuan pengelolaan sumber daya air bisa terdiri dari satu daerah aliran sungai (DAS), bisa
lebih dari satu DAS, bahkan bisa merupakan pulau atau pulau-pulau dengan luas tidak lebih dari 2000 km2.

Progres implementasi IWRM berbasis WS


Hingga saat ini, walaupun melalui perjalanan panjang sejak munculnya gagasan untuk mewujuddkan IWRM di Indonesia, progres
yang signifikan telah dicapai adalah telah tebaginya dengan jelas WS yang ada di Indonesia, serta terbentuknya Tim/Wadah
Koordinasi baik pada tingkat nasional, provinsi, WS serta Unit Kerja BWS. Disamping itu telah mulai tersusunnya Pola
Pengelolaan Sumber Daya Air serta Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air dengan melakuan koordinasi pada berbagai sektor
dan telah melibatkan berbagai stakeholders, sehingga berbagai hasil perencanaan memang sudah merupakan kesepakatan dan
keinginan berbagai pihak dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip IWRM. Hal ini tidak lepas, dari usaha pemerintah dalam
mereformasi institusional dan regulasi yang ada sebelumnya. Walaupun demikian, masih sangat disadari bahwa untuk
mengimplementasikan IWRM di Indonesia memerlukan waktu yang sangat panjang, mengingat luasnya wilayah yang dimilki
serta kompleksnya masalah pengelolaan sumber daya air yang dihadapi oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Tantangan implementasi IWRM di masa datang.


Tantangan klasik dalam implementasi IWRM di Indonesia secara umum tentu berkaitan dengan hal-hal yang selama ini dihadapi
seperti: aspek financial dalam mewujudkan rencana, sumber daya manusia dalam menjalankan berbagai aspek pengelolaan
sumber daya air, tuntutan transparansi dan akuntabilitas dalam medukung good governance, pesatnya dinamika pembangunan
di berbagai sektor yang menuntut dukungan penyediaan sumber daya air, perlunya penyempurnaan berbagai peraturan
pendukung terutama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dalam upaya untuk menampung berbagai aspek kearifan lokal
dalam pengelolaan sumber daya air. Sementara yang akan menjadi tantangan yang amat berat dalam implementasi IWRM
kedepan adalah dibatalkanya seluruh norma UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air oleh Makamah Konstitusi (MK) pada
tanggal 18 Februari tahun 2015, dan dikembalikan untuk menggunakan UU No. 11 tahun 1974 yang sama sekali sudah tidak
sesuai dengan kondisi pengelolaan sumber daya air saat ini. Hal ini menurut hemat Penulis merupakan pukulan yang amat berat,
karena proses panjang dalam mewujudkan dan upaya pelaksanaan UU tersebut tiba-tiba seluruhnya dibatalkan, sehingga
merupakan kemunduran yang sangat luar biasa dalam upaya mewujudkan IWRM yang menjadi cita-cita sebagian besar
penduduk dunia, mengingat ketersediaan sumber daya air yang terbatas.

Anda mungkin juga menyukai