Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN QUALITY IMPROVEMENT PROJECT

Pengaruh Pemberian Melon Pillow terhadap Kejadian Resiko dan Pressure Ulcer
Grade 1
Di Ruang ICU RSUP dr. KARIADI SEMARANG

Dosen Pembimbing Akademik : Ns. Ahmat Pujianto, S.Kep.,M.Kep


Pembimbing Klinik : Ns. Faizal Abdi, S.Kep

Oleh :

Luthfia Pravitakari A 22020117220110


Ria Rahmawati 22020117220108
Whawha Ayuningsih 22020117220133

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS ANGKATAN XXXI


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
DAFTAR ISI

Cover.............................................................................................................. I
Daftar Isi........................................................................................................ Ii
Daftar Gambar............................................................................................... iii
Daftar Tabel................................................................................................... Iv
BAB I Pendahuluan........................................................................................ 5
BAB II Tinjauan Teori................................................................................... 9
BAB III Metode Penerapan......................................................................... 22
BAB IV Hasil Penerapan.............................................................................. 29
BAB V Pembahasan.....................................................................................
BAB VI Kesimpulan dan saran....................................................................
Daftar Pustaka
Lampiran
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Luka tekan derajat I ....................................................................... 13

Gambar 2 Luka tekan derajat II....................................................................... 17

Gambar 3 Luka tekan derajat III..................................................................... 18

Gambar 4 Luka tekan derajat IV..................................................................... 19

Gambar 5 Luka tekan derajat V....................................................................... 20

Gambar 6 Luka tekan derajat VI..................................................................... 21

Gambar 7 Skala Braden ................................................................................ 24

Gambar 8 Metode QIP ................................................................................ 24

Gambar 9 Desain Alat ................................................................................ 24

Gambar 10 Pengkajian ................................................................................. 25

Gambar 11 Perencanaan ................................................................................ 25

Gambar 12 Implementasi ............................................................................... 25

Gambar 13 Prosedur QIP ........................................................................ 26


DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Karakteristik Demografi ............................................................. 30


Tabel 1.2 Distribusi Resiko Pressure Injury ............................................... 34
Tabel 1.3 Distribusi Kejadian Pressure Injury ............................................ 35
Tabel 1.4 Kejadian PI setelah intervensi……………………...................... 36
Tabel 1.5 Pengaruh melon pillow dengan kejadian PI………..................... 37
5

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pasien kritis terpasang ventilator dengan masa rawat yang lama akan
menimbulkan banyak masalah kesehatan yang muncul, diantaranya yaitu
dampak komplikasi jangka panjang dan jangka pendek, munculnya pneumonia,
kelemahan, nyeri akut, immobilisasi/bed rest hingga masalah semua fungsi
organ tubuh karena pengaruh infeksi yang didapat saat dirawat di Intensive Care
Unit (ICU) dan dapat mempengaruhi morbiditas, mortalitas, biaya, dan kualitas
hidup.
Pasien yang terpasang ventilator mekanik dalam waktu yang lama dan
terbatas pada tempat tidur membutuhkan perawatan total. Di samping itu pasien
kritis diberikan sedasi atau obat penenang yang dapat menurunkan kesadaran
pasien dan mengakibatkan penurunan kemampuan secara aktif untuk merubah
posisi sehingga mengalami tekanan yang lama. Selain itu, dampak yang
merugikan karena pada posisi imobilisasi konsumsi oksigen akan meningkat.
Posisi terlentang yang diberikan secara terus menerus berdasarkan penelitian di
ICU Amerika dapat menurunkan sirkulasi darah dari ekstremitas bawah yang
seharusnya banyak menuju dada (Barbara, 2017).
Pada tiga hari pertama bedrest, volume plasma berkurang 8%- 10% pada
minggu keempat bedrest pasien mengalami kehilangan volume plasma 15%-
20%. Secara normal kulit tidak dapat mentolelir tekanan yang lama, oleh karena
itu pasien yang imobilisasi dan yang bedrest memiliki resiko terbesar terhadap
kerusakan kulit dan keterlambatan penyembuhan luka. Selain itu penurunan
volume plasma mengakibatkan terjadi peningkatan beban jantung, peningkatan
masa istirahat dari denyut jantung, dan penurunan dari ke volume dengan
penurunan curah jantung. Pasien kritis yang terpasang ventilator berada dalam
suatu posisi dalam jangka waktu lama baik posisi duduk maupun berbaring
dengan pergerakan yang terbatas maka akan mengakibatkan pasien beresiko
mengalami dekubitus karena tidak mampu mengubah posisi untuk
menghilangkan tekanan. Tekanan eksternal secara konstan selama 2 jam atau
6

lebih akan menghasilkan perubahan yang irreversibel dalam jaringan (Barbara,


2017).
Kejadian dekubitus di seluruh dunia di ICU berkisar dari 1%-56%.
Selanjutnya, dilaporkan juga prevalensi dekubitus yang terjadi di ICU dari
negara dan benua lain yaitu 49% Eropa berkisar antara 8.3 %- 22.9 %, di Eropa
Barat 22% di Amerika Utara 50% di Australia dan 29% di Yordania. Kejadian
dekubitus di Amerika, Kanada, dan Inggris sebesar 5%-32%. Di korea,
khususnya di ICU kejadian dekubitus meningkat dari 10.5%-45. Di Indonesia,
kejadian dekubitus pada pasien yang dirawat di ruangan ICU mencapai 33%.
Angka ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan insiden dekubitus di Asia
Tenggara yang berkisar 2.1-31.3% (Barbara, 2017).
Masalah pressure Injury merupakan masalah global yang dapat dicegah
secara luas namun kejadiannya terus meningkat hingga berada pada kisaran
patut untuk diwaspadai. Adanya dekubitus menyebabkan peningkatan kejadian
infeksi, sepsis, prosedur bedah tambahan, peningkatan biaya rumah sakit, lama
perawatan di rumah sakit, rasa sakit yang berlebihan dan penderitaan. Bagi
beberapa pasien, dekubitus menyebabkan peningkatan nyeri, penurunan kualitas
hidup, infeksi, dan peningkatan morbiditas bahkan mortalitas, namun sebagian
besar dapat dicegah dengan bukti penelitian yang menekankan strategi
pencegahan (NPUAP, 2016).
Pelham melaporkan bahwa biaya yang dikeluarkan oleh Negara Amerika
untuk perawatan luka tekan di rumah sakit meningkat 50% dari anggaran
sebelumnya. Secara finansial, penanganan dekubitus meningkatkan biaya
perawatan. Dutch Study Found mencatat biaya perawatan untuk dekubitus
tertinggi ketiga setelah biaya perawatan kanker dan penyakit kardiovaskuler.
Amerika Serikat mengeluarkan 11 milyar US setiap tahun untuk menangani
dekubitus. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan akibat dekubitus dan
komplikasi yang ditimbulkan membuat semua pihak yang berkontribusi dalam
perawatan pasien senantiasa mengembangkan penelitian terkait pencegahan dan
penanganan dekubitus (Sarwanto, 2017).
Penelitian yang dilakukan Suriadi di ruangan ICU di salah satu rumah
sakit di Pontianak menunjukan bahwa imobilitas merupakan faktor yang
7

signifikan untuk perkembangan dekubitus dengan hasil menunjukan dalam


waktu 24–72 jam dekubitus sudah dapat terjadi. Tingkat ketergantungan
mobilitas pasien merupakan faktor yang langsung mempengaruhi risiko
terjadinya dekubitus. Penelitian lain menyebutkan pada perempuan lansia dari
79% terdapat 53% dengan usia 81-89 tahun diberikan posisi miring 300 , setelah
dilakukan intervensi tersebut terjadi kejadian dekubitus pada kelompok
eksperiment 3% dan kelompok kontrol 11% (Rolf, 2016).
Pengaturan posisi merupakan salah satu bentuk intervensi keperawatan
yang sangat tidak asing dan ditetapkan dalam rangka pencegahan dekubitus
khususnya pada pasien-pasien dengan imobilisasi. Intervensi berupa mobilisasi
tiap dua jam sudah disarankan di berbagai rumah sakit guna meningkatkan
kualitas hidup pasien kritis terpasang ventilator. Sebuah studi menunjukan
bahwa dalam jangka waktu 8 jam kurang dari 3% pasien yang sakit parah
dirubah posisinya sesuai dengan standar perubahan posisi tiap 2 jam. Di Inggris
perawatan di ICU rata- rata perubahan posisi dilakukan setiap 4.85 jam bukan
pada 2 jam sekali. Ayello melakukan perubahan posisi miring kanan miring kiri
setiap 2, 3, dan 4 jam selama 12 jam di waktu malam hari selama 3 hari karena
rata-rata pasien terpasang ventilator selama 2-3 hari (Porritt, 2018).
Oleh karena itu American Association of Critical Care Nurses (AACN)
memperkenalkan intervensi mobilisasi progresif yang terdiri dari 5 level: Head
of Bed (HBO), latihan Range of Motion (ROM) pasif dan aktif, terapi lanjutan
rotasi lateral, posisi tengkurap, pergerakan melawan gravitasi, posisi duduk,
posisi kaki menggantung, berdiri dan berjalan. Continus Lateral Rotation
Therapy (CLRT) dan Head Of Bed (HOB), yaitu memposisikan pasien setengah
duduk 300 dan miring kanan dan kiri 30 derajat. Mobilisasi progresif yang
diberikan kepada pasien diharapkan dapat mengurangi resiko dekubitus dan
menimbulkan respon hemodinamik yang baik. Proses sirkulasi darah juga
dipengaruhi oleh posisi tubuh dan perubahan gravitasi tubuh sehingga perfusi,
difusi, distribusi aliran darah dan oksigen dapat mengalir ke seluruh tubuh
(Doma, 2017).
Ketidakstabilan hemodinamik dapat menjadi hambatan dilakukannya
mobilisasi. Pada 103 pasien gagal nafas yang terpasang ventilator dilakukan
8

mobilisasi dini duduk di tempat tidur, duduk di kursi hingga bergerak dan
berpindah tempat. Efek samping yang ditimbulkan adanya perubahan saturasi
oksigen kurang dari 80%. Penelitian Ozyurek et all telah dilakukan 37 sesi
mobilisasi terhadap 31 pasien kritis yang mengalami obesitas menunjukan
peningkatan SpO2 dari 98% menjadi 99% setelah dilakukan mobilisasi dan
Respirasi 23x/mnt menjadi 25x/menit. Penelitian lain dilakukan di Australia
untuk mengevaluasi efek hemodinamik dan metabolisme yang di lakukan
mobilisasi untuk 32 orang pasien yang menerima ventilasi mekanis dengan
mode SIMV. Setelah beberapa kali diberikan latihan mobilisasi berupa Head of
bed ditemukan peningkatan yang signifikan pada denyut jantung, sistolik, curah
jantung, konsumsi oksigen, produk karbondioksida dan PaCO2 (Umei, 2016).
Penelitian mobilisasi progresif bermanfaat untuk mencegah resiko
dekubitus dengan posisi CLRT setiap 2 jam. Hasil tersebut sesuai dengan
penelitian yang menyatakan CLRT berpengaruh untuk mencegah luka dekubitus
dengan hasil uji satatistik p=0,039. Sebanding dengan hasil penelitian lainnya
ada pengaruh alih baring terhadap kejadian dekubitus p= 0,011. Beberapa
standar operasional prosedur (SOP) frekuensi CLRT dalam upaya pencegaan
dekubitus yaitu setiap 2-3 jam pada ranjang standar dan reposisi 4-6 jam pada
ranjang visco-elastic, kedua frekuensi tersebut secara dapat mengurangi jumlah
kejadian dekubitus dan mengurangi kejadian resiko dekubitus (Kang, 2017).
Prevalensi kejadian pressure injury di ruang ICU RSUP DR KARIADI
sendiri masih belum jelas. Tidak adanya dokumentasi terkait kasus/kejadian
terkait PI menyebabkan sulit untuk melacak atau mengetahui prevalensinya,
namun berdasarkan penuturan perawat di ICU RSUP DR KARIADI ditemukan
fenomena bahwa pressure injury sering terjadi setelah beberapa hari dilakukan
perawatan. Berdasarkan hasil observasi selama 1 minggu praktik di ICU RSUP
DR Kariadi Semarang didapatkan 6 dari 10 kasus mengalami luka tekan grade 1.
Beberapa tindakan pencegahan sudah dilakukan seperti pemberian minyak
zaitun dan VCO (Virgine Coconut Oil) yang dioleskan ketika pasien mandi di
bagian-bagian yang sering beresiko terjadi PI. Rata-rata pasien juga sudah
diposisikan head up 30 derajat, namun perawat tidak memiliki waktu untuk
memiringkan pasien pada posisi lateral 30 derajat setiap 2 jam. Berdasarkan
9

fenomena tersebut, peneliti berinovasi untuk membantu pemberian tindakan alih


baring dengan menggunakan bantalan melon pillow yang berongga yang
diletakkan di punggung pasien saat tidur atau dibagian lain yang beresiko PI
untuk mencegah terjadinya cedera tekanan lebih lanjut pada pasien selama
menjalani masa perawatan.

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui manfaat penggunaan bantalan melon pillow berbentuk
huruf C sebagai tindakan pencegahan pressure injury di ICU
2. Tujuan Khusus
a. Gambaran karakteristik pasien kritis terpasang ventilator pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol.
b. Mendeskripsikan resiko dekubitus pada pasien kritis terpasang ventilator
sebelum dan setelah dilakukan mobilisasi progresif level I (posisi lateral)
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol menggunakan bantal
c. Menganalis pengaruh mobilisasi progresif level I (posisi lateral) terhadap
resiko dekubitus pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
menggunakan bantal

C. MANFAAT
1. Intensive Care Unit
a. Menjadi sebuah intervensi keperawatan yang dapat dipertimbangkan
untuk mengurangi kejadian pressure injury yang dapat dimanfaaatkan
secara langsung bagi pasien yang dirawat di rumah sakit, sebagai bentuk
pelayanan prima
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi kepada pihak rumah
sakit untuk mengembangkan prosedur tetap (protap) dan peningkatan
pelayanan melalui pelaksanaan mobilisasi progresif pada pasien kritis
terpasang ventilator dalam upaya pencegahan kejadian dekubitus.
c. Penelitian ini dapat memberikan dukungan terhadap intervensi
keperawatan yang dapat di terapkan pada pelaksanaaan mobilisasi
10

progresif pada pasien kritis terpasang ventilator dalam upaya pencegahan


kejadian dekubitus.
2. Profesi Keperawatan
a. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi referensi untuk perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, mengenai pemberian mobilisasi dini
pada pasien kritis yang terpasang ventilator
b. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi data penunjang untuk
mengembangkan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan
pemberian mobilisasi pada pasien kritis terpasang ventilator.
11
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Luka Tekan
1. Pengertian
Luka tekan adalah kerusakan yang terlokalisasi pada kulit dan atau jaringan
dibawahnya oleh penonjolan tulang sebagai akibat dari tekanan, pergeseran,
gesekan, atau kombinasi dari beberapa hal tersebut. (NPUAP-EPUAP,
2014). Menurut Perry et al, (2012) luka tekan adalah kerusakan pada kulit
dan atau jaringan dibawahnya, disebabkan oleh adanya penonjolan tulang,
sebagai akibat dari tekanan atau kombinasi tekanan dengan gaya geser dan
atau gesekan. Luka tekan terjadi pada individu yang berada diatas kursi atau
diatas tempat tidur, seringkali pada inkontinensia, malnutrisi, ataupun
individu yang mengalami kesulitan makan sendiri, serta mengalami
gangguan tingkat kesadaran.
2. Klasifikasi
Menurut National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) 2014, derajat
luka tekan dibagi menjadi enam dengan karakteristik sebagai berikut :
a. Derajat I : Nonblanchable Erythema
Derajat I ditunjukkan dengan adanya kulit yang masih utuh dengan
tanda-tanda akan terjadi luka. Apabila dibandingkan dengan kulit yang
normal, maka akan tampak salah satu tanda sebagai berikut : perubahan
temperatur kulit (lebih dingin atau lebih hangat), perubahan konsistensi
jaringan (lebih keras atau lunak), dan perubahan sensasi (gatal atau
nyeri). Cara untuk menentukan derajat I adalah dengan menekan daerah
kulit yang merah (erytema) dengan jari selama tiga detik.

12
13

Gambar 1 Luka Tekan Derajat I (Sumber : NPUAP, 2014)


b. Derajat II : Partial Thickness Skin Loss
Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau
keduanya. Cirinya adalah lukanya superfisial dengan warna dasar luka
merah-pink, abrasi, melepuh, atau membentuk lubang yang dangkal.
Derajat I dan II masih bersifat refersibel.

Gambar 2 Luka Tekan Derajat II (Sumber : NPUAP, 2014)


c. Derajat III : Full Thickness Skin Loss
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis
dari jaringan subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fasia.
Luka terlihat seperti lubang yang dalam. Disebut sebagai “typical
decubitus” yang ditunjukkan dengan adanya kehilangan bagian dalam
kulit hingga subkutan, namun tidak termasuk tendon dan tulang. Slough
mungkin tampak dan mungkin meliputi undermining dan tunneling

Gambar 3 Luka Tekan Derajat III (Sumber : NPUAP, 2014)


14

d. Derajat IV : Full Thickness Tissue Loss


Kehilangan jaringan secara penuh sampai dengan terkena tulang, tendon,
atau otot. Slough atau jaringan mati (eschar) mungkin ditemukan pada
beberapa bagian dasar luka (wound bed) dan sering juga ada
undermining dan tunneling. Derajat IV dapat meluas ke dalam otot dan
atau struktur yang mendukung (misalnya pada fasia, tendon atau sendi)
dan memungkinkan terjadinya osteomyelitis. Tulang dan tendon yang
terkena bisa terlihat atau teraba langsung.

Gambar 4 Luka Tekan Derajat IV (Sumber : NPUAP, 2014)


e. Derajat V : Unstageable (Depth Unknown)
Kehilangan jaringan secara penuh. Dasar luka (wound bed) ditutupi oleh
slough dengan warna kuning, coklat, abu-abu, hijau, dan atau jaringan
mati yang berwarna coklat atau hitam dasar luka. Slough dan atau eschar
dihilangkan sampai cukup untuk melihat dasar luka, dan kedalaman luka.

Gambar 5 Luka Tekan Derajat V (Sumber : NPUAP, 2014)


f. Derajat VI : Suspected Deep Tissue Injury (Depth Unknown)
Berubah warna menjadi ungu atau merah pada bagian yang terkena luka
secara terlokalisir tau kulit tetap utuh atau adanya blister (melepuh) yang
berisi darah karena kerusakan yang mendasari jaringan lunak dari
tekanan dan atau adanya gaya geser. Lokasi atau tempat luka mungkin
15

didahului oleh jaringan yang terasa sakit, tegas, lembek,berisi cairan,


hangat atau lebih dingin dibandingkan dengan jaringan yang ada di
dekatnya.

Gambar 6 Luka Tekan Derajat VI (Sumber : NPUAP, 2014)

3. Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko terjadinya luka tekan adalah sebagai berikut :
a. Mobilitas dan Aktivitas
Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi
tubuh, sedangkan aktifitas merupakan kemampuan untuk berpindah.
Pasien dengan berbaring terus menerus ditempat tidur tanpa mampu
untuk merubah posisi beresiko tinggi untuk terkena dekubitus. Salah satu
penyebab kurangnya mobilisasi pada pasien kritis di ICU adalah
ketidakstabilan hemodinamik. Imobilisasi pasien di ICU memberikan
kontribusi pada komplikasi lanjut yang cukup tinggi pada pasien dengan
kondisi kritis hingga berakhir pada kematian. Pada pasien kritis yang
mengalami imobilisasi akan memunculkan dampak yang merugikan
karena pada posisi imobilisasi konsumsi oksigen pada pasien kritis akan
meningkat.
b. Penurunan persepsi sensori
Pasien yang tidak mampu merasakan atau mengkomunikasikan nyeri
yang dirasakan akibat tekanan cenderung mengalami luka tekan.
Perubahan sensori membuat pasien mengalami ketidakmampuan
memproses stimulasi secara optimal karena penurunan kesadaran.
Apabila terjadi dalam durasi yang cukup lama maka pasien akan mudah
untuk mengalami luka tekan.
16

c. Kelembaban
Penyebab terjadinya dekubitus di ICU adalah karena kondisi kulit yang
lembab secara berlebihan karena kurangnya mobilisasi. Pada pasien
kritis yang mengalami penurunan kesadaran seringkali tidak sadar
membuang urin dan feses, keringat atau drainase sehingga membuat kulit
menjadi lunak dan lebih rentan terhadap kerusakan akibat tekanan.
Inkontinensia menyebabkan kulit terkontak dalam jangka waktu yang
lama dengan zat- zat seperti urea, bakteri, jamur dan enzim yang berada
dalam urin dan feses. Zat-zat ini bersifat iritan dan akan menyebabkan
kerusakan pada kulit.
d. Gesekan dan Robekan
Kerusakan seperti ini lebih sering terjadi pada pasien yang istirahat
baring. Gesekan mengakibatkan cidera kulit dengan penampilan seperti
abrasi. Kulit yang mengalami gesekan akan mengalami luka abrasi atau
laserasi superficial. Ketika pasien di posisikan semi fowler maka
gravitasi akan menarik tubuh kebawah sementara permukaan jaringan
tubuh dan permukaan matras berupaya mempertahankan tubuh pada
posisinya akibatnya karena kulit tidak bisa bergerak bebas maka akan
terjadi penurunan toleransi jaringan. Gesekan atau robekan yang terjadi
pada pasien kritis disebabkan karena pasien tidak mampu mengontrol
perubahan posisi yang terjadi.
e. Nutrisi
Sebagian besar pasien kritis mengalami malnutrisi. Penurunan intake
nutrisi yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk makan sendiri,
hipoalbuminemia, kehilangan berat badan, dan malnutrisi umumnya
diidentifikasi sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya luka tekan.
Hipoalbuminemia mengakibatkan jaringan lunak mudah sekali rusak.
Kekurangan protein juga dapat mengakibatkan edema, mengganggu
distribusi oksigen dan transportasi nutrisi. Kondisi ini akan
meningkatkan sampah metabolik yang meningkatkan resiko luka tekan.
17

B. PENGKAJIAN LUKA TEKAN


Salah satu intrumen pengkajian yang digunakan untuk menilai terjadinya luka
tekan adalah dengan Skala Braden. Pada Skala Braden terdiri dari 6 sub skala
faktor resiko terhadap kejadian dekubitus diantaranya adalah : persepsi sensori,
kelembaban, aktivitas, mobilitas, nutrisi, pergeserandan gesekan. Nilai total
berada pada rentang 6 sampai 23, nilai rendah 26 menunjukkan resiko tinggi
terhadap kejadian dekubitus (Braden dan Bergstrom, 2000). Apabila skor yang
didapat mencapai ≤ 16, maka dianggap resiko tinggi mengalami dekubitus (Jaul,
2010). Berdasarkan beberapa hasil penelitian tentang validitas instrumen
pengkajian resiko dekubitus antara lain untuk skala Braden di ruang ICU
mempunyai sensitivitas 83% dan spesifitas 90% dan di nursing home
mempunyai sensitivitas 46% dan spesifitas 88%, sedangkan diunit orthopedic
mempunyai sensitivitas 64% dan spesifitas 87%, dan diunit Cardiotorasic
mempunyai sensitivitas 73% dan spesifitas 91%.

Gambar 7. Skala Braden Untuk Mengkaji Risiko Dekubitus


18

C. MANAJEMEN LUKA TEKAN DI RUANG ICU RS KARIADI


Pasien yang mengalami perawatan di ruang ICU memiliki banyak faktor
yang dapat meningkatkan angka kejadian dekubitus. Pasien yang terpasang alat
bantu pernafasan, alat kompresi, kateter urine, dan kateter vena meningkatkan
risiko dekubitus (Cooper, 2013). Faktor lain terjadinya luka tekan adalah pada
pasien yang mengalami imobilisasi lama atau tirah baring. Manajemen luka
tekan yang telah dilakukan di ruang ICU RS Kariadi adalah dengan memberikan
minyak zaitun atau virgin coconut oil (VCO). Pemberian VCO dilakukan
sebanyak dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari setelah dilakukan
perawatan diri seperti mandi, mengganti baju, dan mengganti linen.
Pemberian VCO sangat mudah untuk dilakukan, serta murah dan tidak
menimbulkan bahaya serta memberikan perlindungan terhadap kulit dari
penguapan cairan akibat proses penguapan sehingga mengurangi kerusakan
kulit. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sihombing, dkk 2016
menyatakan bahwa pijat punggung dengan VCO dapat mencegah terjadinya luka
tekan sebesar 80%. Manfaat dari penggunaan VCO diantaranya adalah
mencegah terjadinya luka tekan, mengurangi efek gesekan dan tekanan, serta
menghambat infeksi dan jamur.
19

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Metode QIP
Metode yang digunakan yaitu Quasi-experimental dengan pre-post test only with
control group. Penelitian ini terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok
intervensi dan kelompok kontrol. Kelompok intervensi diberi perlakuan,
sedangkan kelompok kontrol tidak mendapatkan perlakuan (Syamsuddin, 2011).

R1 X 01

R2 02

Gambar 8. Metode QIP

Keterangan:
R1 : responden perlakuan
R2 : responden kontrol
01 : kelompok perlakuan
02 : kelompok kontrol
X : pemberi perlakuan

B. Sampel Penelitian
Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien di ICU dengan pressure

ulcers grade 1 di IRIN ICU RSUP DR. Kariadi Semarang. Pengambilan

sampling menggunakan purposive sampling yaitu pemilihan sampel dengan cara

memilih sampel diantara populasi sesuai kriteria inklusi, sehingga sampel dapat

mewakili karakteristik populasi (Notoatmodjo, 2010). Kriteria inklusi dan

eksklusi yang telah ditetapkan oleh penulis, yaitu:

1. Kriteria inklusi:
a. Pasien dengan skore braden <12
b. Pressure ulcer grade 1
20

c. Imobilisasi
d. Menggunakan tempat tidur dan kasur standar yang dipakai di ICU
2. Kriteria eksklusi:
a. Pasien dengan kondisi gelisah
b. Pasien dengan riwayat kejang
c. Sudah terdapat dekubitus lebih dari derajat I
d. Pasien flail chest
e. Pasien Spinal Cord Injury (SCI)
f. Pasien dengan trauma servical

C. Variabel yang diukur


Resiko dan derajat pressure ulcer sebelum dilakukan intevensi dan setelah
dilakukan intervensi. Derajat luka tekan dibagi menjadi enam dengan
karakteristik sebagai berikut :
1. Derajat I : Nonblanchable Erythema
Derajat I ditunjukkan dengan adanya kulit yang masih utuh
dengan tanda-tanda akan terjadi luka. Apabila dibandingkan dengan
kulit yang normal, maka akan tampak salah satu tanda sebagai berikut
: perubahan temperatur kulit (lebih dingin atau lebih hangat),
perubahan konsistensi jaringan (lebih keras atau lunak), dan
perubahan sensasi (gatal atau nyeri). Cara untuk menentukan derajat I
adalah dengan menekan daerah kulit yang merah (erytema) dengan
jari selama tiga detik.
2. Derajat II : Partial Thickness Skin Loss
Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis,
atau keduanya. Cirinya adalah lukanya superfisial dengan warna dasar
luka merah-pink, abrasi, melepuh, atau membentuk lubang yang
dangkal.
3. Derajat III : Full Thickness Skin Loss
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau
nekrosis dari jaringan subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai
pada fasia. Luka terlihat seperti lubang yang dalam. Disebut sebagai
21

“typical decubitus” yang ditunjukkan dengan adanya kehilangan


bagian dalam kulit hingga subkutan, namun tidak termasuk tendon dan
tulang. Slough mungkin tampak dan mungkin meliputi undermining
dan tunneling
4. Derajat IV : Full Thickness Tissue Loss
Kehilangan jaringan secara penuh sampai dengan terkena tulang,
tendon, atau otot. Slough atau jaringan mati (eschar) mungkin
ditemukan pada beberapa bagian dasar luka (wound bed) dan sering
juga ada undermining dan tunneling. Derajat IV dapat meluas ke
dalam otot dan atau struktur yang mendukung (misalnya pada fasia,
tendon atau sendi) dan memungkinkan terjadinya osteomyelitis.
Tulang dan tendon yang terkena bisa terlihat atau teraba langsung.
5. Derajat V : Unstageable (Depth Unknown)
Kehilangan jaringan secara penuh. Dasar luka (wound bed)
ditutupi oleh slough dengan warna kuning, coklat, abu-abu, hijau, dan
atau jaringan mati yang berwarna coklat atau hitam dasar luka. Slough
dan atau eschar dihilangkan sampai cukup untuk melihat dasar luka,
dan kedalaman luka.
6. Derajat VI : Suspected Deep Tissue Injury (Depth Unknown)
Berubah warna menjadi ungu atau merah pada bagian yang
terkena luka secara terlokalisir atau kulit tetap utuh atau adanya blister
(melepuh) yang berisi darah karena kerusakan yang mendasari
jaringan lunak dari tekanan dan atau adanya gaya geser. Lokasi atau
tempat luka mungkin didahului oleh jaringan yang terasa sakit, tegas,
lembek,berisi cairan, hangat atau lebih dingin dibandingkan dengan
jaringan yang ada di dekatnya. (Sumber : NPUAP, 2014).

D. Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini yang ada 2 dimana masing-
masing instrument tersebut memiliki fungsi yang berbeda.
1. Instrumen pertama menggunakan Braden Scale digunakan untuk mengukur
skala resiko dekubitus pada pasien.
22

a. >18 tidak berisiko


b. 15-18 risiko ringan
c. 13-14 risiko sedang
d. 10-12 risiko tinggi
e. ≤9 risiko sangat tinggi
Risiko dekubitus diukur dengan menggunakan skala Braden
yang mempunyai 6 sub skala yaitu : persepsi sensori, kelembaban,
aktifitas, mobilitas, nutrisi, gesekan dan robekan. Masing-masing sub
skala memiliki rentang skor mulai dari 1 sampai 4, dimana 4
menggambarkan kondisi yang terbaik. Sedangkan subskala yang
gesekan/robekan mendapat skor 1-3, dimana 3 menggambarkan
kondisi terbaik. Jumlah total skor yang mungkin dicapai antara 6 - 23.
Semakin rendah skor skala Braden pasien maka semakin tinggi pula
resiko terjadinya dekubitus (Braden dan Bergstrom, 2000). Perkiraan tingkat
resiko mengalami pressure ulcer diobsevasi tiap hari selama 3 hari.
2. Pressure ulcer
Merupakan lembar observasi untuk mencatat kejadian pressure ulcer
atau kerusakan kulit akibat adanya penekanan pada area atau lokasi tubuh
tertentu baik sebelum dan sesudah diberikan tindakan mobilisasi. Lembar
observasi diisi oleh pengumpulan data. Derajat pressure ulcer menurut
sistem klasifikasi yang diterapkan oleh EPUAP-NPUAP 2009.

E. Desain Alat
Melon pillow adalah bantal dengan sudut 30 derajat yang digunakan untuk
penyanggah yang berfungsi sebagai pencegahan pressure ulcer, gesekan, dan
kelembaban. Kelembaban akan mengakibatkan kulit mudah terkena pergesekan
(fiction) dan perobekan jaringan (shear). Perobekan jaringan merupakan
kekuatan mekanisme yang meregangkan dan merobek jaringan, pembuluh darah
serta struktur jaringan yang lebih dalam yang berdekatan dengan tulang yang
menonjol. Contoh yang paling sering diterapkan yaitu posisi semi fowler. Pada
posisi ini sering kali pasien melorot kebawah sehingga terjadi pergesekan antara
kulit dengan tulang yang menonjol. Sehingga melon pillow dibuat sebagai
23

penyanggah sekaligus sebagai pencegah kelembaban, tekanan, dan gesekan


untuk mencegah terjadinya dekubitus.
Melon pillow terbuat dari bahan bantal busa empuk yang tidak mudah
kempes dan dilapisi kulit berbahan oscar sehingga tidak mudah panas serta
diberikan sarung bantal berupa underpad yang berfungsi sebagai absorbent
sehingga dapat menjaga kelembaban kulit, mencegah tekanan dan gesekan yang
dibuat dengan ukuran lebar 45 cm, tinggi 30 cm dan sudut terkecil 5 cm
sehingga membentuk sudut 30 derajat, dan panjang 60 cm.

Modifikasi

Gambar 9. Desain Alat


24

F. Prosedur Penelitian
a. Pengkajian

Tentukan pasien > 3 hari perawatan

< 3 hari perawatan


Kaji:
 Usia
Pressure ulcer  Merokok
 IMT
 Kadar
Albumin

Kaji Skala Braden


Perubahan temperatur
kulit (lebih dingin atau
Braden Score <12 lebih hangat)
Perubahan konsistensi
Kaji Pressure ulcer jaringan (lebih keras atau
lunak, lebih hangat)
Pressure ulcer grade 1
Perubahan sensasi (gatal
atau nyeri)

BUAT RENCANA
KEPERAWATAN Menekan daerah kulit
yang merah (erytema)
dengan jari selama tiga
Gambar 10. Prosedur Penelitian (Pengkajian)
detik

b. Perencanaan

Pressure ulcer grade 1 Tindakan keperawatan


diruangan (pemberian
Pressure ulcer minyak zaitun dan VCO)
dikombinasikan dengan
pemberian posisi 300
Braden Score <12 dengan melon pillow

Gambar 11. Prosedur Penelitian (Perencanaan)


25

c. Implementasi

Pemberian minyak zaitun/VCO dan Posisi 300 dengan melon pillow


 Ruangan memiliki SOP tersendiri dalam pemberian minyak zaitun atau
VCO untuk pasien yang dioleskan pada seluruh permukaan kulit pasien
terutama di bagian belakang yang beresiko pressure ulcer pada setiap
pasien mandi (2 kali sehari). Ketersediaan minyak zaitun/VCO
dibebankan kepada pasien dan keluarga, sehingga tidak semua pasien
memiliki minyak zaitun/VCO. Bagi pasien yang memiliki, perawat
membantu mengoleskannya saat pasien mandi. Selain itu perawat
memposisikan lateral pasien 30 derajat dengan melon pillow yang
diberikan selama 12 jam setiap hari dalam waktu 3 hari.
 Pasien diposisikan berbaring miring 300 dilakukan setiap shift selama 12
jam dan tiap 2 jam berganti posisi antara kanan dan kiri disokong dengan
melon pillow dan diistirahatkan terlentang kurang lebih 5-10 menit
 Posisikan kepala elevasi 300 untuk mempertahankan hemodinamik pasien

Pressure ulcer

Pressure ulcer grade 1 Braden Score <12

Gambar 12. Implementasi


26

d. Skema Alur prosedure QIP

Pengkajian (pemilihan
subjek)

Braden Scale <12 Pressure ulcer grade 1

Kelompok Kelompok
intervensi kontrol

Pemberian minyak zaitun atau virgine


coconut oil (VCO) saat personal hygine Pemberian minyak zaitun atau
Dikombinasikan dengan pemberian posisi virgine coconut oil (VCO) saat
300 dengan melon pillow personal hygine

hari 1 evaluasi
hari 1
Derajat Pressure
hari 2 evaluasi ulcer
hari 1 &
Braden Score
hari 3 evaluasi
hari 1

Gambar 13. Prosedur QIP


27

BAB IV

HASIL PENERAPAN

Quality Improvement Project (QIP) ini bertujuan untuk mengetahui adanya


efektivitas Pemberian Melon Pillow terhadap Kejadian Resiko dan Pressure Ulcer
Grade 1 (Non Blanchable Erythema) di ruang ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang dengan
jumlah responden 6 orang, 3 responden sebagai kelompok kontrol dan 3 lainnya sebagai
kelompok intervensi yaitu kelompok yang diberikan melon pillow pada area punggung
sampai sakrum, dan 3 responden sebagai kelompok kontrol yaitu kelompok yang tidak
diberikan perlakuan. Pengambilan data dengan memberikan intervensi melon pillow
dilakukan pada 22 November - 4 Desember 2018 di Ruang ICU RSUP Dr Kariadi
Semarang. Aspek-aspek yang akan dibahas meliputi karakteristik responden (data
demografi), tingkat resiko presssure injury dan tingkat pressure injury setelah diberikan
intervensi. Uraian tersebut meliputi gambaran karakteristik responden yaitu jenis
kelamin, nilai kadar albumin, dan IMT.
Pengumpulan data dan pelaksanaan pengaturan posisi dilakukan langsung tim
peneliti dan asisten peneliti.

1. Hasil analisa data demografi responden pada penelitain ini menggambarkan


distribusi responden berdasarkan usia dan jenis kelamin pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol.

Tabel 1.1
Distribusi Karakteristik Demografi Kelompok Intervensi dan Kelompok
Kontrol di Ruang ICU RSUP Dr Kariadi Semarang dari 22 November - 4
Desember 2018 (N=6)

Varibel Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol


Pasien 1 Pasien 2 Pasien 3 Pasien 4 Pasien 5 Pasien 6

Inisial Tn. R Ny. M Tn. L Ny. M Ny. S Tn. A


No. RM C712803 C721060 C721942 C710636 C716236 C356443
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Perempuan Laki-laki
Kategori Usia Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Pre Lansia
akhir awal akhir akhir akhir
28

Diagnosa Efusi SLE Olfactory Post POST TB Pleura


medis Pleura + Neurogenik laparotomi LAPAROT
WSD Tumor (NOK) OMI
(BIOPSI)
TUMOR
INTRA
ABDOMEN
Kadar 2,7 g/dL 1,9 g/dL 2,1 g/dL 2,3 g/dL 2,1 g/dL 2,0 g/dL
albumin
IMT 24,2 23,3 (BB 20,7 (BB 20,8 (BB 24,4 (BB 17, 1 (BB
(BB Ideal) Ideal) Ideal) Ideal) Ideal) kurang)

Berdasarkan Tabel 1.1 dapat digambarkan bahwa distribusi 2 (66,6%)


responden pada kelompok kontrol berada pada kategori dewasa akhir dan 1
responden (33,3%) pada kategori usia pre Lansia. Pada kelompok intervensi, 2
responden pada kategori dewasa akhir dan 1 responden kategori dewasa awal.
Jenis kelamin laki-laki pada kelompok intervensi 2 responden (66,6%) dan
perempuan 1 responden (33,3%). Sedangkan pada kelompok control, jenis
kelamin terdapat 1 responden (33,3%) laki-laki dan 2 perempuan (66,6%).
Distribusi IMT responden pada kelompok intervensi 3 responden (100%) dengan
BB ideal dan kelompok kontrol 2 responden (66,6%) dengan BB Ideal dan 1
responden (33,3%) dengan hasil BB kurang. Semu responden (100%) pada kedua
kelompok baik perlakuan maupun control terjadi hipoalbumin.
29

2. Hasil analisa data resiko Pressure Injury responden pada penelitian ini
menggambarkan distribusi responden berdasarkan resiko Pressure Injury
dengan skala Braden.

Tabel 1.2
Distribusi Resiko Pressure Injury dengan skala Braden terhadap gambaran resiko
Pressure Injury dengan pengkajian skala Braden faktor risiko Pressure Injury di
ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang November-Desember 2018 (N=6)

Kategori pengkajian resiko Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol


pressure injury

Pasien 1 Pasien 2 Pasien 3 Pasien 4 Pasien 5 Pasien 6


< 9 : resiko sangat tinggi 10 7 10 10 8 9
10 – 12 : resiko tinggi
13 – 14 : resiko menengah
15 – 18 : resiko rendah

Berdasarkan Tabel 1.2 dapat digambarkan bahwa distribusi resiko pressure


injury responden pada kelompok intervensi 1 responden (33,3%) pada kategori
resiko sangat tinggi dan 2 responden (66,6%) resiko tinggi dan pada kelompok
kontrol 2 responden (66,6%) resiko sangat tinggi dan 1 responden (33,3%) resiko
tinggi.
30

3. Gambaran kejadian pressure injury sebelum dan setelah diberikan


intervensi melon pilow di Ruang ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang Pada
Kelompok Intervensi dan Kontrol.
Tabel 1.3
Distribusi responden menurut kejadian pressure injury sebelum dan sesudah
di lakukan perlakuan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di
ICU RSUP Dr. Karyadi Semarang (N=6)

Braden skore Luka Tekan Pre Intervensi Braden skore Luka Tekan Post Intervensi
Kel. Tidak Tidak
RST % RT % Terjadi % % RST % RT % Terjadi % %
Terjadi Terjadi
K 2 66,6 1 33,3 0 0 3 100 2 66,6 1 33,3 1 33,3 2 66,6
I 2 66,6 1 33,3 0 0 3 100 2 66,6 1 33,3 0 0 3 100

Berdasarkan tabel 1.3 sebelum dilakukan perlakuan tidak didapatkan


Pressure Injury pada kelompok kontrol maupun intervensi (0%) walaupun
pengkajian dengan skala braden didapatkan 3 responden (100%) mengalami
resiko sangat tinggi terjadi Pressure Injury. Pada kelompok intervensi tidak
terjadi Pressure Injury walaupun 1 responden (33,3%) pada kategori resiko sangat
tinggi dan 2 responden (66,6%) resiko tinggi. Setelah dilakukan perlakuan, pada
kelompok intervensi tidak terjadi Pressure Injury pada ke-3 responden (100%)
dan terdapat perbaikan braden skor. Sedangkan pada kelompok kontrol
didapatkan 1 responden (33,3%) mengalami pressure injury dengan skala braden
resiko sangat tinggi.
31

4. Gambaran kejadian pressure injury setelah diberikan intervensi melon pillow di


Ruang ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang Pada Kelompok Intervensi dan
Kontrol.

Tabel 1.4
Gambaran kejadian pressure injury setelah diberikan intervensi melon pillow
(N=6)

Stadium Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol


pengkajian luka Keterangan
tekan menurut Pasien 1 Pasien 2 Pasien 3 Pasien 4 Pasien 5 Pasien 6 (Jumlah Kejadian)
NPUP
a. Tidak ada
luka tekan
b. Grade I Tidak Tidak ada Tidak Tidak
Tidak
c. Grade II ada luka luka ada luka ada luka 1
ada luka Grade II
d. Grade III tekan tekan tekan tekan
tekan
e. Grade IV

Keterangan
(Jumlah 0 1
Kejadian)

Tabel 1.4 menunjukan bahwa tidak didapatkan kejadian pressure injuri


setelah diberikan intervensi pada kelompok intervensi (0%). Pada kelompok
kontrol 1 responden (33,3%) terjadi luka tekan pada lokasi sacrum dan
berdasarkan NPUAP tingkat tekanan grade II.

5. Pengaruh melon pillow pada kejadian pressure injury di Ruang ICU RSUP Dr.
Kariadi Semarang Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol.

Tabel 1.5
Pengaruh melon pillow dengan Kejadian Pressure Injury pada Kelompok
Kontrol dan Intervensi di ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang (N=6)

Variabel Variabel Dependen


Independen
Pressure Injury
Kelompok Luka Tekan Tidak Terjadi Luka Tekan
N % N %
Kontrol 1 33,3 2 66,6
Intervensi 0 0 3 100

Pada tabel 1.5 menunjukkan bahwa hasil analisis hubungan antara perlakuan
posisi lateral 300 dengan melon pillow terhadap kejadian pressure injury
ditemukan terdapat 1 responden (33,3%) pada kelompok kontrol mengalami
pressure injury. Sedangkan 3 responden (100%) kelompok intervensi tidak
32

mengalami pressure injury, yang berarti ada pengaruh pemberian melon


pillow terhadap kejadian pressure injury.
33

BAB V
PEMBAHASAN

1. Karakteristik Demografi
a. Kategori usia
Distribusi kategori usia responden pada kelompok kontrol 2 responden
(66,6%) berada pada kategori dewasa akhir dan 1 responden (33,3%) berada
pada kategori usia pre Lansia sehingga memiliki resiko tinggi terjadinya
pressure injury. Penelitian Widodo (2010), menyebutkan bahwa 62,5%
pressure ulcer terjadi pada usia 25-65 tahun. Usia tua memiliki resiko tinggi
untuk terkena luka tekan atau pressure injury karena kulit dan jaringan akan
berubah seiring penuan. Penuaan mengakibatkan kehilangan otot,
penurunan kadar serum albumin, penurunan respon inflamatori dan
penurunan elastisitas kulit. Perubahan ini berkombinasi dengan faktor
penuaan lain dan akan membuat kulit menjadi berkurang toleransinya
terhadap tekanan, pergesekan dan tenaga yang merobek (Purwaningsing,
2010).
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan
Schoonhoven, Bousema dan Buskens (2017) terhadap 1229 pasien yang
dirawat minimal 3 hari dibangsal bedah, interna, neurologi dan geriatrik
Rumah Sakit Netherland. Hasil yang didapatkan yaitu angka kejadian
pressure inury tertinggi dijumpai pada pasien bedah dan terendah pada
pasien geriatrik dan neurologi. Walaupun pertambahan usia merupakan
salah satu faktor pencetus terjadinya pressure injury. Penelitian ini
menunjukan bahwa kejadian pressure injury pada pasien di geriatrik lebih
rendah dibandingkan pada pasien bedah.
Dengan bertambahnya usia maka kecendurungan pressure injury juga
akan meningkat, namun tidak semua kelompok usia lanjut akan mengalami
pressure injury. Sebaliknya pada kelompok usia yang lebih muda bisa juga
mengalami pressure injury. Penelitian ini menunjukan perbedaan kategori
usia yang tidak bermakna diantara 2 kelompok, faktor usia bukan
merupakan faktor penyebab utama terjadinya pressure injury tetapi dengan
34

pertambahan usia dan disertai dengan faktor resiko lain yang akan
menyebabkan peningkatan resiko terjadinya pressure injury.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin pada kelompok intervensi 2 responden (66,6%) laki-
laki dan 1 responden (33,3%) perempuan. Sedangkan pada kelompok
kontrol 2 responden (66,6%) perempuan dan 1 responden (33,3%) laki-laki.
Karakteristik jenis kelamin responden yang terlibat yaitu seimbang antara
laki-laki dan perempuan. Penelitian Afriyani (2011) menunjukkan distribusi
frekuensi jenis kelamin perempuan sebanyak 20 responden (55,5 %) dan 16
responden laki-laki (44,4%) dengan konsistensi hasil penelitian terjadinya
decubitus derajat I sebanyak 16 responden. Menurut pendapat peneliti
bahwa perempuan lebih rentan mengalami kejadian PI, dimana kadar Hb
cenderung lebih rendah karena setiap bulan mengalami menstruasi.
Sedangkan menurut Suriadi (2004), jenis kelamin bukan termasuk faktor
resiko dekubitus. Ada beberapa faktor hormonal penting yang kemungkinan
berperan dalam menerangkan adanya perbedaan antara pria dan wanita,
yaitu kaum wanita dilindungi oleh hormone estrogen sebelum masa
menopause.
c. Kadar Albumin
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki
kadar albumin rendah yaitu 6 responden (100%). Albumin merupakan
ukuran variabel yang digunakan untuk mengevaluasi status protein pasien.
Pasien dengan kadar albumin dibawah normal berisiko tinggi mengalami
luka tekan. Kadar albumin yang rendah dalam tubuh disebabkan karena
gangguan sintesa (malnutrisi, disfungsi hepar) atau kehilangan (asites,
protein hilang karena nefropati, atau enteropati) sehingga menyebabkan
gangguan yang serius pada onkotik ekstravaskuler dan terjadi edema.
Edema akan menurunkan toleransi kulit dan jaringan yang ada dibawahnya
terhadap tekanan, friksi, dan gaya gesek. Selain itu mengganggu distribusi
oksigen dan transportasi nutrisi. Kondisi ini akan meningkatkan sampah
metabolik yang dapat meningkatkan risiko luka tekan. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sri Hastuti 2013 di Rumah Sakit Ibnu Sina
35

Makasar menyatakan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan


kejadian dekubitus. Selain itu, kadar albumin yang rendah didalam darah
akan mempengaruhi proses penyembuhan luka.
d. IMT
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 3 responden (100%) kelompok
intervensi memiliki nilai IMT yang ideal. Sedangkan kelompok control, 2
responden (66,6%) memiliki nilai IMT yang ideal dan 1 responden (33,3%)
memiliki nilai IMT yang kurang. Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah nilai
yang diambil dari perhitungan berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). IMT
menjadi indikator atau menggambarkan adipositas dalam tubuh seseorang.
IMT tidak mengukur lemak tubuh secara langsung, tetapi penelitian
menunjukkan IMT berkorelasi langsung dengan pengukuran lemak tubuh
seperti underwater weighing dan dual energy x-ray absorbtiometry
(Pujiastuti et all, 2010). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Zulaikah, dkk (2016) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara Indeks
Massa Tubuh (IMT) dengan risiko terjadinya dekubitus. Pasien yang
memiliki IMT > 25 atau dalam kategori gemuk akan mudah mengalami
dekubitus karena jaringan adiposa yang berlebihan pada tubuh menyebabkan
suplai darah ke jaringan akan berkurang. Sedangkan pada pasien dengan IMT
< 18 berisiko 0,8 kali mengalami luka tekan. Hal ini disebabkan karena orang
yang bertubuh kurus mempunyai sedikit jaringan subkutan yang menutupi
tonjolan tulang sehingga tonjolan yang menahan berat badan akan mengalami
tekanan sehingga suplai darah ke jaringan menurun dan lebih rentan terjadi
dekubitus.

2. Pengaruh Pemberian melon pillow


Pasien dengan hambatan mobilitas fisik yang tinggi seperti pasien di ICU
yang terpasang ventilator mekanik memiliki resiko lebih tinggi mengalami
kerusakan jaringan kulit karena ketidakmampuan merespon adanya tekanan dan
ketidaknyamanan serta ketidakmampuan dalam mobilisasi (Taito, S, dkk, 2016).
Pemberian melon pillow dengan posisi miring kanan dan kiri secara teratur dan
terjadwal bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan kulit dan jaringan.
36

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian melon pillow.


Menurut penelitian Young (2014) menjelaskan pengaturan posisi miring 300
dengan cara menempatkan pasien ditengah tempat tidur dengan satu bantal
penyangga berbentuk seperti melon (huruf C) yang telah didesain oleh peneliti
pada sudut antara bokong dan matras sehingga dapat memiringkan panggul
setinggi 300.
Penelitian ini memodifikasi bantal segitiga siku-siku menjadi bentuk
melon dengan kemiringan 300 dan menunjukan adanya pengaruh antara
perlakukan posisi miring 300 dengan kejadian pressure injury dimana 3
responden pada kelompok intervensi tidak mengalami pressure injury. Tingkat
pressure injury sebelum diberikan melon pillow pada kelompok eskperimental
dan kontrol yaitu sejumlah 6 responden tidak didapatkan kejadian pressure
injury. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara
responden dalam kelompok kontrol dan intervensi dengan kejadian pressure
injury.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tom
Defloor tentang sepuluh posisi yang berbeda-beda saat pasien ditempat tidur,
dari kesepuluh posisi didapatkan hasil bahwa tekanan yang paling minimal
dicapai yaitu saat posisi miring 300 (Defloor, 2010). Penelitian lain juga
menyebutkan tentang “rule of 30” dimana posisi kepala ditinggikan sampai 300
dan badan pasien dimiringkan 300 dengan penyangga bantal busa terbukti
menjaga posisi pasien terbebas dari penekanan pada area trokanter dan sakral
(NPUAP, 2014). Melon pillow dapat mengurangi interface surface/tekanan
permukaan dan sebagai terapi penekanan saraf tulang belakang melalui
terjaganya postur tubuh yang benar.
Pada kelompok control, terdapat 1 responden (33,3%) yang mengalami
pressure injury grade II dengan braden skore resiko sangat tinggi. Setelah
diobservasi selama 3 hari, pada kelompok control, 1 responden didapatkan
penilaian gejala kulit lecet, warna menjadi semakin merah seperti melepuh, kulit
teraba sangat hangat dan membentuk lubang yang dangkal. Faktor yang
mempengaruhi kelompok kontrol yang terjadi PI derajat II disebabkan karena
peningkatan suhu tubuh responden. Setiap terjadi peningkatan metabolisme akan
37

menaikkan 1 derajat Celcius dalam temperatur jaringan. Selain itu, dengan


menurunnya elastisitas kulit, akan tidak toleran terhadap adanya gaya gesekan
dan pergerakan sehingga akan mudah mengalami kerusakan kulit. Hasil
penelitian didapatkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara
peningkatan temperatur tubuh dengan resiko terjadinya luka Pressure Injury
(Suriadi, 2003). Berdasarkan hasil penelitian oleh Lestari (2010) menyebutkan
bahwa pergeseran dan pergerakan pasien akan menyebabkan kerusakan pada
area kulit (Lestari, 2010).
Faktor lain adalah karena tidak diterapkannya pemberian minyak zaitun
atau VCO atau nigella sativa oil pada kulit pasien saat personal hygiene. Hal
tersebut disebabkan karena keluarga belum menyediakan bahan. Berdasarkan
penelitian Wasisto Utomo (2012), efektifitas nigella sativa oil 20 ml yang
dioleskan pada bagian penonjolan tulang menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara rata-rata skore ulkus decubitus pada kelompok eksperimen dan
control. Pengolesan nigella sativa oil efektif dalam mencegah terjadinya ulkus
decubitus pada pasien tirah baring lama. Menurut Ririn Sri Handayani (2011),
pencegahan luka tekan melalui pijat menggunakan virgin coconut oil (VCO)
selama 4-5 menit di daerah scapula, sacrum, dan tumit sangat efektif dalam
pencegahan luka tekan derajat I.
Penelitian ini dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan
mobilitas fisik. Terdapat 3 responden post op yang mengalami imobilisasi, dan 3
responden dengan penyakit yang membuat pasien berbaring terus menerus di
tempat tidur tanpa mampu untuk merubah posisi, sehingga beresiko tinggi untuk
terkena luka tekan. Pasien yang tidak mampu unutk mengubah posisi, akan
mengalami tekanan pada kulit yang dapat meregangkan hingga merobek
jaringan, pembuluh darah, serta struktur jaringan yang lebih dalam yang
berdekatan dengan tulang yang menonjol. Contohnya jika pasien diposisikan
semifowler yang melebihi 30 derajat, pasien bisa merosot ke bawah, sehingga
menyebabkan tulangnya bergerak ke bawah namun kulitnya masih tertinggal
dan menyebabkan kerusakan pada kulit (Nursalam, 2011).
Selain mobilisasi, kelembapan juga merupakan faktor yang dapat
menyebabkan decubitus pada pasien. Kelembapan dapat mengakibatkan
38

terjadinya maserasi dan kulit menjadi mudah terkena gesekan. Pergesekan dapat
merusak permukaan epidermis kulit dan bisa terjadi pada saat penggantian sprei
pasien yang tidak hati-hati. Kulit menjadi trauma dan terjadi decubitus
(Nursalam, 2011). Oleh karena itu, pada project ini peneliti melakukan
pencegahan dengan pemberian posisi lateral 30 derajat menggunakan melon
pillow. Perubahan posisi miring kanan, terlentang dan miring kiri dilakukan
setiap 2 jam sekali dengan menggunakan melon pillow di daerah punggung
sampai ke sacrum selama 3 hari. Peneliti memilih untuk melakukan intervensi
dengan posisi miring 30 derajat karena posisi tersebut dapat memfasilitasi suplai
oksigen sebagai nutrisi jaringan kulit dan kelembapan, sehingga tidak terjadi
luka tekan.
39

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
a. Berdasarkan hasil penerapan maka kesimpulan QIP ini adalah : Responden
dalam studi kasus ini berjumlah 6 orang, dengan responden kelompok
intervensi 3 dan 3 responden kelompok kontrol.
b. Usia responden sebagian besar adalah pada kategori dewasa akhir yaitu
sebanyak 3 responden dan jenis kelamin pada kedua kelompok berjumlah
sama antara laki-laki dan perempuan.
c. IMT responden sebagian besar nilainya normal yaitu 5 responden, sedangkan
1 responden dengan BB kurang.
d. Sebelum penerapan melon pillow, ditemukan resiko sangat tinggi Pressure
Injury pada 3 responden, dan resiko tinggi PI pada 3 responden.
e. Setelah penerapan melon pillow, pada kelompok intervensi tidak terjadi PI,
namun terjadi PI derajat II pada kelompok control.
f. Terdapat pengaruh pemberian bantalan melon pillow terhadap resiko dan
derajat kejadian pressure injury di ICU RSUP DR Kariadi.

B. Saran
a. Instalasi ICU
 Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan yang positif
bagi ruang ICU RSUP Dr. Karyadi sebagai gambaran angka kejadian
pressure injury di ruang ICU.
b. Peneliti Selanjutnya
 Diharapkan peneliti selanjutnya dapat menginovasi intervensi pemberian
melon pillow dari bahan yang sebelumnya dengan menambahkan bahan
pelindung pada bantal berupa bahan yang tidak panas, serta dapat
menyerap air (berpori) sehingga hasil pemberian bantalan lebih efektif.
Serta dalam pemberian lapisan diharapkan diperhatikan pembalutannya
agar tidak menambah resiko adanya luka tekan.
40

 Peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengukur tekanan yang tepat pada


pasien, agar pengaplikasian bantalan lebih efektif
 Peneliti selanjutnya diharapkan lebih menggali faktor resiko lain terutama
faktor ekstrinsik yang dapat mempengaruhi kejadian luka tekan saat
diberikan bantalan
 Peneliti selanjutnya diharapkan agar berkolaborasi dengan semua tenaga
kesehatan yang terlibat dalam proses manajemen luka, agar dalam
pelaksanaan intevensi lebih maksimal.
c. Profesi Keperawatan
Perawat maupun mahasiswa keperawatan yang memilih peminatan ICU
diharapkan dapat melakukan penelitian tentang penerapan intervensi
keperawatan yang dapat mengurangi kejadian pressure injury di ICU.
41

DAFTAR PUSTAKA

Defloor, T. 2010. The Effect of Position and Matterss on Interface Pressure. Applied
Nursing Research. 13(1).

Schoonhoven, L., Haalboom, JR, Bousema, MT, Algra, A, Grobbee, DE., Grypdonck,
MH., Buskens, E. 2017. Prospective Cohort Study Routine Use of Risk
Assessment Scales of Prediction of Pressure Ulcers. BMJ. 325-797.

Taito, Shunsuke; Shime, N; Ota, K; Yasuda, H. 2016. Early Mobilization Of


Mechanically Ventilated Patients In The Intensive Care Unit. Journal of
Intensive Care. 4(5): 2-7.

Young. 2014. The 300 Tilt Position VS 900 Lateral and Supine Positions in Reducing the
Incidence of Non Blanching Erythema in a Hospital Inpatient Population.
Journal of Tissue Viability. 14(3).

NPUAP. (2014). Prevention And Treatment Of Pressure Ulcer : Quick Reference


Guide. First edition 2009. National Pressure Ulcer Advisory Panel
Zulaikah, dkk. (2016). Pengaruh Alih Baring 2 Jam Terhadap Resiko Dekubitus Dengan
Varian Berat Badan Pada Pasien Bedrest Total di SMC RS Telogorejo. Jurnal
Ilmu Keperawatan dan Kebidanan. 1(1): 29-36
Kozier, B., et al. (2009). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. Edisi 5. Jakarta : EGC
Irawan. (2014). Pemanfaatan Virgin Coconut Oil dengan teknik Massage dalam
Penyembuhan Luka Derajat II pada Lnsia. Dripsi STIKES Kusuma Husada
Surakarta.
Wasisto Utomo. (2012). Efektifitas Nigella Sativa Oil untuk Mencegah Terjadinya
Ulkus Dekubitus pada Pasien Tirah Baring Lama. Jurnal Ners Indonesia, Vol 2,
N. 2, Maret 2012.
Nursalam. (2011). Manajemen Keperawatan : Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional. Edisi 3,
Jakarta. Salemba Medika.
Potter PA, Perry AG.(2010). Clinical companion for fundamental of nursing. Canada:
Elsevier
Braden BJ,Bergstrom N.(2000). A Conceptual Schema For The Study Of The Etiology
Of Pressure Sores. Rehab Nursing
42

Bryant, R.A., & Nix, D.P. (2006). Acute and Chronic Wounds: Current Management
Concepts 3rd Edition, Mosby, St Louis
Apold J, Rydrych D. Preventing device-related pressure ulcers: using data toguide
statewide change. J Nurs Care Qual 2012;27(1):28-34.

Barbara, A.D. & Ayello, E.A. 2017. Pressure Injuries Caused By Medical Devices And
Other Objects. AJN. 117(12):36-45.

Black J, et al. 2015. Use of wound dressings to enhance prevention of pressure ulcers
caused by medical devices: MDR ulcers. Int Wound J.12(3):322-327

Coleman S, et al. 2013. Patient risk factors for pressure ulcer development: systematic
review. Int J Nurs Stud.50(7):974-1003.

Dalmore BA, Ayello EA. 2017. CE: Pressure Injuries Caused by Medical Devices and
Other Objects A Clinical Update. The American Journal of Nursing. 117(12):36-
45

Guy.2012. Pressure Ulcer Risk Asessment. Nursing time. 108(30):16

The National Pressure Ulcer Advisory Panel. 2016. National Pressure Ulcer Advisory
Panel (NPUAP) announces a change in terminology from pressure ulcer to
pressure injury and updates the stages of pressure injury. [press release].

Wahyu Rima Agustin, 2015 Pengaruh Microfiber Triagle Pillow Terhadap Kejadian
Ulcus Dekubitus Pada Pasien Immobilisasi Di Ruang Perawatan Rumah Sakit
Sukoharjo, Jurnal Kesmadaska

Umei, N., Atagi, K., Okuno, H., Usuke, S., Otsuka, Y., Ujiro, A., & Shimaoka, H.
(2016). Impact of mobilisation therapy on the haemodynamic and respiratory
status of elderly intubated patients in an intensive care unit: A retrospective
analysis. Intensive and Critical Care Nursing, 35, 16–21.

Karmiza. (2014). Left lateral positioning with head elevation increase the partial
pressure of oxygen on patients with mechanical ventilation. 9(1) : 59-65.
43

Porritt, Kylie. (2018). The Effects of Lateral Positioning in Critically Ill Adults. 118(1) :
66.

Rolf, Peter, Carsten, Norbert, Amy, Ann, Arnold, Dale. (2016). Barriers and Strategies
for Early Mobilization of Patients in Intensive Care Units. 13(5)

Doma, Puguh, Syamsul. (2017). Perbedaan efektivitas posisi miring 30 derajat dan 90
derajat dalam menurunkan risiko dekubitus
pada pasien bedrest total di rsud salatiga.

Kang. (2017). The Value Of Beds With Continuous Lateral Rotation Therapy To
Prevent Ventilator-Associated Pneumonia And Pressure Injuries: A Cost-
Effectiveness Analysis. 20(9) : A583.

Yoshikawa, Maeshige, Sugimoto, Uemura, Noguchi, Terashi. Positioning bedridden


patients to reduce interface pressures over
the sacrum and great trochanter. 2015. Journal of Wound Care. 24(7) : 319-
325.

Anda mungkin juga menyukai