DAN HEMODIALISA
DI RUANG HEMODIALISA
Disusun oleh:
PAJARAKAN/PROBOLINGGO
2018
HALAMAN PENGESAHAN
Mengetahui,
Mahasiswa
NIM: 14201.06.14014
Kepala Ruangan
LAPORAN PENDAHULUAN HIPERTENSI
A. Anatomi fisiologi
Anatomi jantung
Sel-sel otot jantung mempunyai kerja ritmik inheren (ritmisitas), yang dapat
digambarkan dengan adanya kenyataan bahwa bila satu bagian miokardium diambil, maka
jantung akan tetap berkontraksi secara ritmis jika tetap dijaga dalam kondisi yang
memadai. Tetapi, atrium dan ventrikel harus berkontraksi secara berurutan agar aliran
darah dapat efektif. Kontraksi yang teratur terjadi karena sel-sel khusus dalam sistem
hantaran secara metodis membangkitkan dan menghantarkan impuls listrik ke sel-sel
miokardium.
Nodus sinoatrial (SA), yang terletak anatar sambungan vena kava superior dan
atrium kanan, adalah awal mula sistem hantaran dan normalnya berfungsi sebagai pacu
jantung ke seluruh mokardium. Nodus SA memulai sekitar 60 sampai 100 impuls per menit
pada saat jantung normal istirahat, tetapi dapat mengubah frekuensinya sesuai kebutuhan
tubuh.
Sinyal listrik yang dimulai oleh nodus SA kemudian dihantarkan dari sepanjang sel
miokardium ke nodus atrioventrikularis (AV). Nodus AV (terletak di dinding atrium kanan
dekat katup trikuspidalis) adalah kelompok sel-sel otot khusus lainnya yang menyerupai
nodus SA, namun dengan kecepatan intrinsik sekitar 40 sampai 60 impuls per menit.
Nodus AV berkoordinasi dengan impuls listrik yang datang dari atrium dan, setelah sedikit
perlambatan, akan menghantarkannya ke ventrikel. Implus tersebut akan di hantarkan
melalui suatu bundel serabut khusus (bundel his) yang berjalan didalam septum yang
memisahkan ventrikel kanan dan kiri. Bundel his akan bercabang menjadi cabang bundel
kanan dan kiri, yang kemudian berakhir sebagai serabut yang dinamakan serabut purkinje.
Bundel kanan menyebar ke otot ventrikel kanan. Bundel kiri memisah lagi menjadi cabang
bundel anterior sinistra dan posterior sinistra, yang kemudian menyebar ke otot ventrikel
kiri. Penyebaran impuls lebih lanjut oleh depolarisasi sepanjang miokardium terjadi
melalui hantaran diantara serat otot itu senndiri.
Frekuensi jantung ditentukan oleh sel miokardium yang mempunyai kecepatan paling
cepat. Normalnya, nodua SA adalah tercepat. Bila nodus SA tidak berfungsi, maka nodus
AV biasanya mengambil alih fungsi pacu jantung. Bila kedua nodus SA dan AV tidak
berfungsi, maka miokardium akan terus berdenyut dengan kecepatan 40 denyut per menit,
yang akan merupakan kecepatan pacu jantung intrinsik sel-sel moikardium ventrikel.
Fisiologi jantung
Selintas Elektrofisiologi
Aktivitas listrik jantung terjadi ion (partikel bermuatan seperti natrium, kalium
dan kalsium) bergerak menembus membran sel. Perbedaan muatan lstrik tercatat
dalam sebuah sel mengakibatkan apa yang dinamakan potensi aksi jantung.
Otot jantung, tidak seperti otot lurik atau otot polos, mempunyai periode
refraktori yang panjang, pada saat sel tidak dapat distimulus untuk berkontraksi. Hal
tersebut melindungi jantung dari kontraksi berkepanjangan (tetani), yang dapat
mengakibatkan henti jantung mendadak.
Hemodinaika jantung
Prinsip penting yang menentukan arah aliran darah adalah aliran cairan dari
daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Tekanan yang bertanggung
jawab terhadap aliran aliran darah dalam sirkulasi normal dibangkitkan oleh kontraksi
otot ventrikel. Ketika otot berkontraksi, darah terdorong dari ventrikel kiri melebihi
tekanan aorta. Bila kedua tekanan menjadi seimbang, katup aorta akan menutup dan
keluaran dari ventrikel kiri berhenti. Darah yang telah memasuki aorta akan
menaikkan tekanan darah dalam pembuluh darah tersebut. Akibatnya terjadi perbedaan
tekanan yang akan mendorong darah secara progresif ke arteri, kapiler, dan ke vena.
Darah kemudian kembali ke atrium kanan karena tekanan dalam kamar ini lebih
rendah dari tekanan vena. Perbedaan tekanan juga bertanggung jawab terhadap aliran
darah dari arteri pulmonalis ke paru dan kembali ke atrium kiri. Perbedaan tekanan
dalam sirkulasi pulmonal secara bermakna lebih rendah dari tekanan sirkulasi sistemik
karena tahanan aliran dipembuluh darah pulmonal lebih rendah.
Pada saat berakhirnya sistolik, otot ventrikel berelaksasi dan tekanan dalam
kamar menurun dengan cepat. Penurunan tekanan ini cenderung mengakibatkan darah
mengalir balik ke arteri ke ventrikel, yang mendorong katup semiluner untuk menutup.
Secara bersamaan, begitu tekanan didalam ventrikel menurun drastis sampai di bawah
tekanan atrium, nodus AV akan membuka, ventrikel mulai terisi, dan urutan kejadian
berulang kembali.
Curah Jantung
Curah jantung adalah jumlah darah yang dipompa oleh ventrikel selama satu
satuan waktu. Curah jantung pada orang dewasa normal sekitar 5L/menit namun
sangat bervariasi, tergantung kebutuhan metabolisme tubuh. Curah jantung (CO)
sebanding dengan volume sekuncup (SV) kali frekuensi jantung (HR).
CO = SV x HR
Pendekatan Gerontologis
B. Definisi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistole di atas 140 mmHg dan
tekanan darah diastole di atas 90 mmHg (Brunner and suddarh,2004). Menurut WHO
(1978), hipertensi adalah adanya peningkatan tekanan darah tinggi di atas 160 sistole dan
diastole 95 mmHg.
Pengertian lain, hipertensi merupakan suatu keadaan yang mana terjadi tekanan
darah sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan darah diastolik 90 mmHg atau lebih
(Barbara hearrison,1997).
Kaplan (1985) membedakan hipertensi berdasarkan usia dan jenis kelamin, sebagai
berikut :
a. Pria usia <45 tahun : hipertensi jika tekanan darah lebih dari 130/90 mmHg
b. Pria usia >45 tahun : hipertensi jika tekanan darah lebih dari 145/95 mmHg
Pengertian krisis hiprtensi adalah peningkatan tekanan darah berat secara tiba-
tiba dengan tekanan darah sistole lebih dari 200 mmHg dan tekanan darah diastole
lebih dari 140 mmHg (Awan Hariyanto dan Rini Sulistyowati,2015).
C. Epidimiologi
Hipertensi adalah kondisi di mana jika tekanan darah sistole 140 mmHg atau lebih
tinggi dan tekanan darah diastole 90 mmHg atau lebih tinggi. Kejadian prevalensin
hipertensi di indonesia telah mencapai 31,7% dari total penduduk dewasa. Data itu
didapat dari hasil survei riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007 – 2008. Hanya sekitar
0,4% dari 31,7% kasus yang meminum obat hipertensi untuk pengobatan. Rendahnya
penderita hipertensi untuk berobat dikarenakan hipertensi atau darah tinggi tidak
menunjukkan gejala atau tanda khas yang bisa dipakai sebagai peringatan dini. Terdapat
76% kasus hipertensi di masyarakat yang diprediksi belum terdiagnosis. Hipertensi kini
telah menjelma sebagai penyakit penyebab kematian nomor tiga setelah stroke dan
tuberkulosis di negara ini. Jumlahnya mencapai 6,8% dari proporsi penyebab kematian
pada semua umur di indonesia.
Prevalensi hipertensi bergantung pada populasi ras yang diteliti dan kreteria yang
digunakan untuk mendefinisikasikan kondisi subjek. Dalam sebuah studi terhadap
populasi kulit putih di wilayah pinggiran kota, seperti populasi pada framingham study,
hampir seperlima subjek memiliki tekanan darah lebih dari 160/95 mmHg, dan hampir
separuh memiliki tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg. Prevalensi yang justru lebih
tinggi pernah dicatat pada populasi non – kulit putih. Pada wanita, prevalensi
berhubungan erat dengan usia dan dan peningkatan terjadi setelah usia 50 tahun.
Kenaikan ini berkaitan dengan perubahan hormon, meskipun mekanismenya tidak jelas.
Jadi, rasio frekuensi hipertensi pada wanita dibandingkan pria naik dari 0,6 – 0,7 pada
usia 30 menjadi 1,1 – 2,2 pada usia 65 tahun. Prevalensi berbagai bentuk hipertensi
sekunder bergantung kepada sifat populasi yang di teliti dan seberapa ekstensif evaluasi
yang dilakukan. Beluma ada data untuk menetapkan frekuensi hipertensi pada masyarakat
secara umum, meskipun data seperti ini telah ada untuk pria usia paruh baya , yaitu 6%.
Di sisi lain, di mana pasien menjalani evaluasi secara ekstensif, angka frekuensi
hipertensi dilaporkan setinggi 35%.
D. Etiologi
a. Faktor genetic
Di ketahui bahwa respon tekanan darah manusia terhadap garam diturunkan secara
genetik.
b. Perokok
Merokok yang menahun dapat merusak endoteal arteri dn nikotin menurunkan HDL
yang baik untuk tubuh manusia.
Nikotin dalam rokok merangsang pelepasan katekolamin. Peningkatan katekolamin
menyebabkan iritabilitasi miokardial, peningkatan denyut jantung, dan menyebabkan
vasokontriksi, yang mana pada akhirnya meningkatkan tekanan darah. (wajan juni
udjianti,2010)
c. Obesitas
Dapat meningkatkan LDL yang buruk untuk tubuh manusia pencetus aterosklerosis.
d. Alkoholisme
Alkohol yang dapat merusak hepar dan sifat alkohol mengikat air memengaruhi
viskositas darah memengaruhi tekanan darah.
e. Stres
Merangsang sistem saraf simpatis mengeluarkan adrenalin yang berpengaruh
terhadap kerja jantung.
f. Konsumsi garam
Garam memengaruhi viskositas darah dan memperberat kerja ginjal yang
mengeluarkan renin angiotensin yang dapat meningkatkan tekanan darah (Awan
Hariyanto dan Rini Sulistyowati,2015).
E. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak
dipusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula
spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk implus yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis
ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetikolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor
seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respons pembuluh darah terhadap
rangsangan vasokonstriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap
norepinefrin, kemudian tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah
sebagai respons rangsangan emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan
tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal menskresi epinefrin, yang
menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya,
yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian di ubah menjadi angiotensi II,
suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh
korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal,
menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung
mencetuskan keadaan hipertensi.
Pertimbangan Gerontologis. Perubahan struktural dan fungsional pada sistem
pembuluh perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia
lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan
kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri
besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh
jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan
tahanan perifer (brunner dan suddarth, 2008).
Pathway
Penyumbatan
Difisiensi
pembuluh darah Ansietas
pengetahuan
vasokontriksi
Gangguan sirkulasi
Pembuluh Jantung
Ginjal Otak Retina
darah
Vasokontriksi Resistensi Spasme Tekanan
sistemik sistemik darah
pembuluh pembuluh arteriole
darah ginjlal darah otak Vasokontriksi meningkat
Diplopia
Respon RAA meningkat Kerja jantung
meningkat
Peningkatan
Resiko Afterload
TIK
cidera meningkat
Merangsang
aldosteron
Retensi Na Nyeri Penurunan Resiko
kepala curah jantung penurunan
perfusi
odem
jaringan
Gangguan jantung
Kelebihan pola tidur
volume cairan Suplai O2 koroner
Intoleransi
ke otak
aktivitas
menurun Iskemia
GI tract Resiko miokard
meningkat ketidakefektifan Nyeri akut
Nause, perfusi jaringann
vomiting otak
Anoreksia
Ketidakseimbang
an nutrisi kurang
dar kebutuhan
tubuh
F. Klasifikasi
Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi yaitu dengan penyebab yang
tidak diketahui (hipertensi esensial/primer/idiopatik) atau diketahui (hipertensi
sekunder). Sebagaian besar kasus hipertensi diklasifikasikan sebagai esensial,
kemungkinan penyebab yang melatarbelakanginya harus selalu ditentukan.
1. Hipertensi Esensial
2. Hipertensi Sekunder
a. Sakit kepala (pusing,migrain) saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah,
akibat peningkatan tekanan darah intrakranium.
c. Cara berjalan yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat.
d. Nokturia yang di sebabkan peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus.
H. Pemeriksaan diagnostik
1. Hitung darah lengkap (complete blood cells count) meliputi pemeriksaan hemoglobin,
hemotokrit untuk menilai viskositas dan indikator faktor resiko seperti
hiperkoagulabilitas, anemia.
2. Kimia darah
a. BUN, kreatinin: peningkatan kadar menandakan penurunan perfusi atau faal renal
b. Serum glukosa: hiperglisemia (diabetes melitus adalah presipitator hipertensi)
akibat dari peningkatan kadar katekolamin.
c. Kadar kolesterol atau trigliserida: peningkatan kadar mengindikasikan predisposisi
pembentukan plaque atheromatus.
d. Kadar serum aldosteron: menilai adanya aldosteronisme primer.
e. Studi tiroid (T3 dan T4): menilai adanya hipertiroidisme yang berkontribusi
terhadap vasikontriksi dan hipertensi.
f. Asam urat: hiperruricemia merupakan implikasi faktor resiko hipertensi
3. Elektrolit
a. Serum potasium atau kalium (hipokalemia mengindikasikan adanya aldosteronisme
atau efek samping terapi diuretik)
b. Serum kalsium bila meningkat berkontribusi terhadap hipertensi
4. Urine
a. Analisis urine adanya darah, protein, glukosa dalam urine mengindikasikan
disfungsi renal atau diabetes.
b. Urine VMA (catecholamine metabolite): peningkatan kadar mengindikasikan
adanya pheochromacytoma.
c. Steroid urine: peningkatan kadar mengindikasikan hiperadrenalisme,
pheochromacytoma, atau disfungsi piutary, sindrom Cushing’s, kadar renin juga
meningkat
5. Radiologi
a. Intra venous pyelografi (IVP): mengindentifikasikan penyebab hipertensi seperti
renal pharenchymal disease, urolithiasis, benign prostate hyperplasia (BHP).
b. Rontgen thoraks: menilai adanya klasifikasi obstruktif katup jantung, deposit
kalsium pada aorta, dan pembesaran jantung.
6. EKG
Menilai adanya hipertrofi miokard, pola strain, gangguan konduksi atau distritmia.
(Wajan J,2013)
I. Penatalaksanaan
1. Non farmakologi
Pada sebagian orang, penurunan berat badan dapat mengurangi tekanan darah,
kemungkinan dengan beban kerja jantung sehingga kecepatan denyut jantung
dan volume sekuncup juga berkurang.
Olahraga, terutama bila di sertai penurunan berat, menurunkan tekanan darah
dengan menurunkan kecepatan denyut jantung istirahat dan mungkin TPR.
Olahraga meningkatkan kadar HDL, yang dapat mengurangi terbentuknya
aterosklerosis akibat hipertensi.
Teknik relaksasi dapat mengurangi denyut jantung dan TPR dengan car
menghambat respons stres saraf simpatis
Berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka panjang hipertensi
karena asap rokok diketahui menurunkan aliran darah ke berbagai organ dan
dapat meningkatkan kerja jantung.
Pada beberapa individu dapat mungkin mendapat manfaat dari diet
ppembatasan-natrium.
2. Farmakologi
Diuretik bekerja melalui berbagai mekanisme untuk mengurangi curah jantung
dengan mendorong ginjal meningkatkan ekskresi garam dan airnya. Sebagian
diuretik (tiazid) juga dapat menurunkan TPR.
Penyekat saluran kalsium menurunkan kontraksi otot polos jantung atau arteri
dengan menginterfensi influks kalsium yang dibutuhkan untuk kontraksi.
Sebagai penyekat saluran kalsium bersifat lebih spesifik untuk saluran lambat
kalsium otot jantung; sebagian yang lain lebih spesifik untuk saluran kalsium
otot polos vaskular. Dengan demikian, bebagai penyekat kalsium memiliki
kemampuan yang berbeda-beda dalam menurunkan kecepatan denyut jantung,
volume sekuncup, dan TPR.
Penghambat enzim pengubah angiotensin II atau inhibator ACE berfungsi
menurunkan angiotensin II dengan menghambat enzim yang di perlukan untuk
mengubah angiotensin I menjadi angiotensi II. Kondisi ini menurunkan
tekanan darah secara langsung dengan menurunkan TPR, dan secara tidak
langsung dengan menurunkan sekresi aldosteron, yang akhirnya meningkatkan
pengeluaran natrium pada urine kemudian menurunkan volume plasma dan
curah jantung. Inhibator ACE juga menurunkan tekanan darah dengan efek
bradikinin yag memanjang, yang normalnya memecah enzim. Inhibator ACE
dikontraindikasikan untuk kehamilan.
Antagonis (penyekat) reseptor beta (ᵝ-blocker), terutama penyekat selektif,
bekerja pada reseptor beta di jantung untuk menurunkan kecepatan denyut dan
curah jantung.
Antagonis reseptor alfa (ἀ-blocker) menghambat reseptor alfa di otot polos
vaskular yang secara normal berespons terhadap rangsangan simpatis dengan
vasokontriksi. Hal ini akan menurunkan TPR.
Vasodilator arteriol langsung dapat digunakan untuk menurunkan TPR.
Hipertensi gestasional dan preeklamsi-eklamsi membaik setelah bayi lahir
(Elizabeth J. Corwin,2009).
J. Komplikasi
a. Stroke/ cva
Dapat terjadi akibat hemoragi tekanan tinggi di otak, atau akibat embolus yang
terlepas dari pembuluh selain otak yang terpajan tekanan tinngi. Stroke dapat terjadi
pada hipertensi kronis apabila arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi
dan penebalan, sehingga aliran darah ke area otak yang diperdarahi berkurang. Arteri
otak mengalami aterosklerosis dpat melemah sehingga meningkatkan kemungkinan
terbentuknya aneurisma.
b. Infark miokard
Dapat terjadi apabila arteri koroner yang aterosklerotik tidak dapat menyuplai cukup
oksigen ke miokardum atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah
melewati pembuluh darah. Pada hipertensi kronis dan hipertrofi ventrikel, kebutuhan
oksigen miokardummungkin tidak dapat di penuhi dan dapat terjadi iskemia jantung
yang menyebabkan infrak. Demikian juga, hipertrofi ventrikel dapat menyebabkan
perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga sehingga terjadi
disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan risiko pembentukan bekuan.
c. Gagal ginjal
Dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler
glomerulus ginjal. Dengan rusaknya glomerulus, aliran darah ke unit fungsional
ginjal, yaitu nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksik dan
kematian. Dengan rusaknya membran glomerulus, protein akan keluar melalui urine
sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang dan menyebabkan edema, yang
sering di jumpai pada hipertensi kronis.
d. Ensefalopati (kerusakan otak)
Dapat terjadi, terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang meningkat cepat dan
berbahaya). Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan
tekanan kapiler dan mendorong cairan ke ruang interstisial di seluruh susunan saraf
pusat. Neuron-neuron di sekitarnya kolaps dan terjadi koma serta kematian.
e. Kejang
Dapat terjadi pada wanita preeklamsi. Bayi yang lahir mungkin memiliki berat lahir
kecil masa kehamilan akibat perfusi plasenta yang tidak adekuat, kemudian dapat
mengalami hipoksia dan asidosis jika ibu mengalami kejang selama atau sebelum
proses persalinan (Elizabeth J. Corwin,2009)
LAPORAN PENDAHULUAN CHRONIC KIDNEY DISESAE (CKD)
1. Anatomi
Berikut ini adalah struktur dan anatomi ginjal menurut Pearce dan
Wilson (2006)
2. Fisiologi.
Dibawah ini akan disebutkan tentang fungsi ginjal dan proses pembentukan
urin menurut Syaeifudin (2006).
a) Fungsi ginjal
Ginjal adalah organ tubuh yang mempunyai peranan penting dalam
sistem organ tubuh. Kerusakan ginjal akan mempengaruhi kerja organ lain dan
sistem lain dalam tubuh. Ginjal punya dua peranan penting yaitu sebagi
organ ekresi dan non ekresi. Sebagai sistem ekresi ginjal bekerja sebagai
filtran senyawa yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh seperti urea,
natrium dan lain-lain dalam bentuk urin, maka ginjal juga berfungsi
sebagai pembentuk urin.
Selain sebagai sistem ekresi ginjal juga sebagai sistem non ekresi dan
bekerja sebagai penyeimbang asam basa, cairan dan elektrolit tubuh serta
fungsi hormonal. Ginjal mengekresi hormon renin yang mempunyai peran
dalam mengatur tekanan darah (sistem renin angiotensin aldosteron),
pengatur hormon eritropoesis sebagai hormon pengaktif sumsum tulang
untuk menghasilkan eritrosit. Disamping itu ginjal juga menyalurkan
hormon dihidroksi kolekalsi feron (vitamin D aktif), yang dibutuhkan
dalam absorsi ion kalsium dalam usus.
b) Peroses pembentukan urin.
Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk kedalam
ginjal. Darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan
bagian plasma darah, kemudian akan disaring dalam tiga tahap yaitu
filtrasi, reabsorsi dan ekresi (Syaefudin, 2006) :
1) Proses filtrasi.
Pada proses ini terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena
proses aferen lebih besar dari permukaan eferen maka terjadi
penyerapan darah. Sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian cairan
darah kecuali protein. Cairan yang disaring disimpan dalam simpay
bowman yang terdiri dari glukosa, air, natrium, klorida sulfat,
bikarbonat dll, yang diteruskan ke tubulus ginjal.
2) Proses reabsorsi.
Pada peroses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari
glukosa, natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi
secara pasif yang dikenal dengan proses obligator. Reabsorsi terjadi pada
tubulus proksimal. Sedangkan pada tubulus distal terjadi penyerapan
kembali natrium dan ion bikarbonat bila diperlukan. Penyerapannya
terjadi secara aktif, dikenal dengan reabsorsi fakultatif dan sisanya
dialirkan pada papila renalis.
3) Proses ekresi.
Sisa dari penyerapan urin kembali yang terjadi pada tubulus dan
diteruskan pada piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter dan masuk
ke fesika urinaria.
B. Pengertian
Berikut ini adalah pengertian tentang CKD menurut beberapa ahli dan sumber
diantaranya adalah :
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah salah satu penyakit renal tahap
akhir. CKD merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible.
Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan elektrolit yang menyebabkan uremia atau retensi urea dan
sampah nitrogenlain dalam darah (Smeltzer dan Bare, 2001).
CKD adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu tidak dapat pulih,
dan dapat disebabkan berbagai hal. Istilah uremia sendiri telah dipakai sebagai
nama keadaan ini selama lebih dari satu abad. Walaupun sekarang kita sadari bahwa
gejala CKD tidak selalu disebabkan oleh retensi urea dalam darah (Sibuea,
Panggabean, dan Gultom, 2005) .
C. Klasifikasi
Menurut Suwitra (2006) dan Kydney Organizazion (2007) tahapan CKD dapat
ditunjukan dari laju filtrasi glomerulus (LFG), adalah sebagai berikut :
1. Tahap I adalah kerusakan ginjal dengan LFG normal atatu meningkat >90
ml/menit/1,73 m2
2. Tahap II adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan yaitu 60- 89
ml/menit/1,73 m2
3. Tahap III adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang yaitu 30-59
ml/menit/1,73 m2
4. Tahap IV adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat yaitu 15- 29
ml/menit/1,73 m 2
D. Etiologi
Dibawah ini ada beberapa penyebab CKD menurut Price, dan Wilson (2006)
diantaranya adalah tubula intestinal, penyakit peradangan, penyakit vaskuler
hipertensif, gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan herediter, penyakit
metabolik, nefropati toksik, nefropati obsruktif. Beberapa contoh dari golongan penyakit
tersebut adalah :
1. Penyakit infeksi tubulointerstinal seperti pielo nefritis kronik dan refluks
nefropati.
2. Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskular seperti hipertensi, nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna,
dan stenosis arteria renalis.
4. Gangguan jaringan ikat seperti Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,
dan seklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit ginjal polikistik, dan asidosis
tubulus ginjal.
6. Penyakit metabolik seperti diabetes militus, gout, dan hiperparatiroidisme, serta
amiloidosis.
7. Nefropati toksik seperti penyalah gunaan analgetik, dan nefropati timah.
8. Nefropati obstruktif seperti traktus urinarius bagian atas yang terdiri dari batu,
neoplasma, fibrosis retroperitoneal. Traktus urinarius bagian bawah yang terdiri
dari hipertropi prostat, setriktur uretra, anomali kongenital leher vesika urinaria
dan uretra.
E. Patofisiologi
Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat dari
penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya
diekresikan kedalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang
mempengarui sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka setiap
gejala semakin meningkat. Sehingga menyebabkan gangguan kliren renal. Banyak
masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus yang
berfungsi, sehingga menyebabkan penurunan klirens subtsansi darah yang seharusnya
dibersihkan oleh ginjal
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan mendapatkan
urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya filtrasi glomelurus atau
akibat tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin. Sehingga kadar kreatinin serum
akan meningkat selain itu, kadar nitrogen urea darah (NUD) biasanya meningkat.
Kreatinin serum merupakan indikator paling sensitif dari fungsi renal karena substansi
ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. NUD tidak hanya dipengarui oleh penyakit
renal tahap akhir, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme dan medikasi
seperti steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada retensi cairan
dan natrium. Retensi cairan dan natrium tidak terkontol dikarenakan ginjal tidak
mampu untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada
penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan
cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Natrium dan cairan sering tertahan
dalam tubuh yang meningkatkan resiko terjadinya oedema, gagal jantung kongesti,
dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin angiotensin
dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai
kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia.
Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin
memperburuk status uremik. Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal
mensekresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat
ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mensekresi amonia (NH3) dan mengabsorpsi
natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan sekresi fosfat dan
asam organik lain juga terjadi. Kerusakan ginjal pada CKD juga menyebabkan produksi
eritropoetin menurun dan anemia terjadi disertai sesak napas, angina dan keletian.
Eritropoetin yang tidak adekuat dapat memendekkan usia sel darah merah,
defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan karena setatus
pasien, terutama dari saluran gastrointestinal sehingga terjadi anemia berat atau sedang.
Eritropoitin sendiri adalah subtansi normal yang diproduksi oleh ginjal untuk
menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Abnormalitas utama
yang lain pada CKD menurut Smeltzer, dan Bare (2001) adalah gangguan metabolisme
kalsium dan fosfat tubuh yang memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah
satunya meningkat yang lain menurun.
Penurunan LFG menyebabkan peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya
penurunan kadar serum menyebabkan penurunan sekresi parathormon dari kelenjar
paratiroid. Namun pada CKD, tubuh tidak berespon secara normal terhadap peningkatan
sekresi parathormon, dan akibatnya kalsium di tulang menurun, menyebabkan
perubahan pada tulang dan menyebabkan penyakit tulang, selain itu metabolik aktif
vitamin D (1,25 dihidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat didalam ginjal
menurun, seiring dengan berkembangnya CKD terjadi penyakit tulang uremik dan
sering disebut Osteodistrofienal. Osteodistrofienal terjadi dari perubahan komplek
kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon. Laju penurunan fungsi ginjal juga
berkaitan dengan gangguan yang mendasari ekresi protein dan urin, dan adanya
hipertensi. Pasien yang mengekresikan secara signifikan sejumlah protein atau mengalami
peningkatan tekanan darah cenderung akan cepat memburuk dari pada mereka yang
tidak mengalimi kondisi ini.
F. Manifestasi Klinis
Karena pada CKD setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka
pasien akan menunjukkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala
tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, dan kondisi lain yang mendasari.
Manifestasi yang terjadi pada CKD antara lain terjadi pada sistem kardio vaskuler,
dermatologi, gastro intestinal, neurologis, pulmoner, muskuloskletal dan psiko-sosial
menurut Smeltzer, dan Bare (2001) diantaranya adalah :
1. Kardiovaskuler :
a) Hipertensi, yang diakibatkan oleh retensi cairan dan natrium dari aktivasi
sistem renin angiotensin aldosteron.
b) Gagal jantung kongestif.
c) Edema pulmoner, akibat dari cairan yang berlebih.
2. Dermatologi seperti Pruritis, yaitu penumpukan urea pada lapisan kulit.
3. Gastrointestinal seperti anoreksia atau kehilangan nafsu makan, mual sampai dengan
terjadinya muntah.
4. Neuromuskuler seperti terjadinya perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu
berkonsentrasi, kedutan otot sampai kejang.
5. Pulmoner seperti adanya seputum kental dan liat, pernapasan dangkal, kusmol, sampai
terjadinya edema pulmonal.
6. Muskuloskletal seperti terjadinya fraktur karena kekurangan kalsium dan pengeroposan
tulang akibat terganggunya hormon dihidroksi kolekalsi feron.
7. Psiko sosial seperti terjadinya penurunan tingkat kepercayaan diri sampai pada harga
diri rendah (HDR), ansietas pada penyakit dan kematian.
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Laboratorium :
a) Urin
1) Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria), atau urine tidak ada
(anuria).
2) Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus / nanah,
bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan
menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.
3) Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
4) Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular,
amrasio urine / ureum sering 1:1
5) Natrium : Lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium.
6) Protein : Derajat tinggi proteinuria ( 3-4+ ), secara kuat menunjukkan
kerusakan glomerulus bila sel darah merah (SDM) dan fregmen juga ada.
b) Darah
1) Kreatinin : Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL
diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
2) Hitung darah lengkap : Hematokrit menurun pada adanya anemia. Hb
biasanya kurang dari 7-8 g/dL.
3) SDM (Sel Darah Merah) : Waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin
seperti pada azotemia.
4) GDA (Gas Darah Analisa) : pH, penurunan asidosis metabolik (kurang
dari 7,2) terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksekresi
hidrogen dan amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat
menurun PCO2 menurun.
5) Natrium serum : Mungkin rendah, bila ginjal kehabisan natrium atau normal
(menunjukkan status dilusi hipernatremia).
6) Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan
selular (asidosis), atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap
akhir , perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq
atau lebih besar. Magnesium terjadi peningkatan fosfat, kalsium menurun.
Protein (khuusnya albumin), kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan
pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial.
Osmolalitas serum lebih besar dari 285 mosm/kg, sering sama dengan urine.
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Ultrasono grafi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan
adanya masa , kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
b. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histologis.
c. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
d. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam basa.
e. KUB foto digunakan untuk menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandung
kemih dan adanya obtruksi (batu).
f. Arteriogram ginjal adalah mengkaji sirkulasi ginjal dan megidentifikasi
ekstravaskuler, massa.
g. Pielogram retrograd untuk menunjukkan abormalitas pelvis ginjal.
h. Sistouretrogram adalah berkemih untuk menunjukkan ukuran kandung
kemih, refluk kedalam ureter, dan retensi.
i. Pada pasien CKD pasien mendapat batasan diit yang sangat ketat dengan
diit tinggi kalori dan rendah karbohidrat. Serta dilakukan pembatasan yang
sangat ketat pula pada asupan cairan yaitu antara 500-800 ml/hari.
j. Pada terapi medis untuk tingkat awal dapat diberikan terapi obat anti
hipertensi, obat diuretik, dan atrapit yang berguna sebagai pengontol pada
penyakit DM, sampai selanjutnya nanti akan dilakukan dialisis dan
transplantasi.
H. Penatalaksanaan
Penderita CKD perlu mendapatkan penatalaksanaan secara khusus sesuai
dengan derajat penyakit CKD, bukan hanya penatalaksanaan secara umum. Menurut
Suwitra (2006), sesuai dengan derajat penyakit CKD dapat dilihat dalam tabel
berikut :
Menurut Suwitra (2006) penatalaksanaan untuk CKD secara umum antara lain
adalah sebagai berikut :
1. Waktu yang tepat dalam penatalaksanaan penyakit dasar CKD adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga peningkatan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasono grafi, biopsi serta pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya bila LFG sudah menurun sampai 20–30 % dari normal terapi dari
penyakit dasar sudah tidak bermanfaat.
2. Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada
pasien penyakit CKD, hal tersebut untuk mengetahui kondisi komorbid yang
dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain,
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radio
kontras,atau peningkatan aktifitas penyakit dasarnya. Pembatasan cairan dan
elektrolit pada penyakit CKD sangat diperlukan. Hal tersebut diperlukan untuk
mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskuler. Asupan cairan diatur
seimbang antara masukan dan pengeluaran urin serta Insesible Water Loss (IWL).
Dengan asumsi antara 500-800 ml/hari yang sesuai dengan luas tubuh. Elektrolit
yang harus diawasi dalam asupannya adalah natrium dan kalium. Pembatasan
kalium dilakukan karena hiperkalemi dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal.
Oleh karena itu pembatasan obat dan makanan yang mengandung kalium (sayuran
dan buah) harus dibatasi dalam jumlah 3,5-5,5 mEg/lt. sedangkan pada natrium dibatasi
untuk menghindari terjadinya hipertensi dan edema. Jumlah garam disetarakan
dengan tekanan darah dan adanya edema.
3. Menghambat perburukan fungsi ginjal. Penyebab turunnya fungsi ginjal adalah
hiperventilasi glomerulus yaitu :
a) Batasan asupan protein, mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt, sedangkan
diatas batasan tersebut tidak dianjurkan pembatasan protein. Protein yang dibatasi
antara 0,6-0,8/kg BB/hr, yang 0,35-0,50 gr diantaranya protein nilai biologis
tinggi. Kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/ kg BB/hr dalam pemberian
diit. Protein perlu dilakukan pembatasan dengan ketat, karena protein akan dipecah
dan diencerkan melalui ginjal, tidak seperti karbohidrat. Namun saat terjadi
malnutrisi masukan protein dapat ditingkatkan sedikit, selain itu makanan tinggi
protein yang mengandung ion hydrogen, fosfor, sulfur, dan ion a norganik lain
yang diekresikan melalui ginjal. Selain itu pembatasan protein bertujuan untuk
membatasi asupan fosfat karena fosfat dan protein berasal dari sumber yang
sama, agar tidak terjadi hiperfosfatemia.
b) Terapi farmakologi untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian
obat anti hipertensi disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko komplikasi
pada kardiovaskuler juga penting untuk memperlambat perburukan kerusakan
nefron dengan cara mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi
glomerulus. Selain itu pemakaian obat hipertensi seperti penghambat enzim
konverting angiotensin (Angiotensin Converting Enzim / ACE inhibitor) dapat
memperlambat perburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi akibat mekanisme
kerjanya sebagai anti hipertensi dan anti proteinuri.
4. Pencegahan dan terapi penyakit kardio faskuler merupakan hal yang penting,
karena 40-45 % kematian pada penderita CKD disebabkan oleh penyakit
komplikasinya pada kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk pencegahan dan terapi
penyakit vaskuler adalah pengendalian hipertensi, DM, dislipidemia, anemia,
hiperfosvatemia, dan terapi pada kelebian cairan dan elektrolit. Semua ini terkait
dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi CKD secara keseluruhan.
5. CKD mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan
derajat penurunan LFG. Seperti anemia dilakukan penambahan / tranfusi
eritropoitin. Pemberian kalsitrol untuk mengatasi osteodistrasi renal. Namun dalam
pemakaiannya harus dipertimbangkan karena dapat meningkatkan absorsi fosfat.
6. Terapi dialisis dan transplantasi dapat dilakukan pada tahap CKD derajat 4-5.
Terapi ini biasanya disebut dengan terapi pengganti ginjal.
1. 1. Infus RL ; jika anuria -> infus RL:D5 = 1:1
2. 2. Bila dehidrasi berat -> infus diguyur, dipasang kateter dauwer
3. 1. Infus RL ; jika anuria -> infus RL:D5 = 1:1
4. 2. Bila dehidrasi berat -> infus diguyur, dipasang kateter dauwer
5. 1. Infus RL ; jika anuria -> infus RL:D5 = 1:1
6. 2. Bila dehidrasi berat -> infus diguyur, dipasang kateter dauwer
I. Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta
Suwitra (2006) antara lain adalah :
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan
diit berlebih.
2. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin angiotensin
aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan
kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
LAPORAN PENDAHULUAN HEMODIALISA
A. Pengertian Hemodialisa
Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti fungsi ginjal
untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah
manusia seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain
melalui membran semi permeable sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal
buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Kusuma & Nurarif, 2012).
Hemodialisa berasal dari kata hemo = darah, dan dialisis = pemisahan atau filtrasi.
Hemodialisis adalah suatu metode terapi dialis yang digunakan untuk mengeluarkan
cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika secara akut ataupun secara progresif
ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut. Tetapi ini dilakukan dengan
menggunakan sebuah mesin yang dilengkapi dengan membran penyaring semipermeabel
(ginjal buatan). Hemodialisis dapat dilakukan pada saar toksin atau zat beracun harus
segera dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanen atau menyebabkan kematian
(Mutaqin & Sari, 2011).
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah
yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin
hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal.
Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK stadium V dan pada pasien dengan AKI
(Acute Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang
dilakukan HD dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD
persiapan/preparative, dan HD kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2017).
B. Tujuan Hemodialisa
Tujuan dari hemodilisis adalah untuk memindahkan produk-produk limbah
terakumulasi dalam sirkulasi klien dan dikeluarkan ke dalam mesin dialisis. Pada klien
gagal ginjal kronik, tindakan hemodialisis dapat menurunkan risiko kerusakan organ-
organ vital lainnya akibat akumulasi zat toksik dalam sirkulasi, tetapi tindakan
hemodialisis tidak menyembuhkan atau mengembalikan fungsi ginjal secara permanen.
Klien GGK biasanya harus menjalani terapi dialiss sepanjang hidupnya (biasanya tiga
kali seminggu selama paling sedikit 3 atau 4 jam perkali terapi) atau sampai mendapat
ginjal baru melalui transplantasi ginjal (Mutaqin & Sari, 2011).
C. Indikasi Hemodialisa
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD kronik.
Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan, Indikasi hemodialisis segera
antara lain (D87uaurgirdas et al., 2007):
a. Kegawatan ginjal
b. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
c. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
d. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
e. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5 mmol/l )
f. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
g. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
h. Ensefalopati uremikum
i. Neuropati/miopati uremikum
j. Perikarditis uremikum
k. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L
l. Hipertermia
m. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.
Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan seumur
hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis
dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak
selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal
tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al., 2007):
a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
c. adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.
D. Prinsip Hemodialisis
Seperti pada ginjal, ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu: difusi,
osmosis, dan ultrafiltrasi.
1. Proses difusi adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan kadar di
dalam darah, makin banyak yang berpindah ke dialisat.
2. Proses osmosis adalah proses berpindahnya air karena tenaga kimiawi yaitu
perbedaan osmolalitas dan dialisat.
3. Proses Ultrafiltrasi adalah proses berpindahnya zat dan air karena perbedaan
hidrostatik didalam darah dan dialisat.
Luas permukaan membran dan daya saring membran mempengaruhi jumlah zat
dan air yang berpindah. Pada saat dialisis, pasien, dialiser dan rendaman dialisat
memerlukan pemantauan yang konstan untuk mendeteksi berbagai komplikasi
yang dapat terjadi, misalnya: emboli udara, ultrafiltrasi yang tidak adekuat atau
berlebihan (hipotensi, kram, muntah) perembesan darah, kontaminasi, dan
komplikasi terbentuknya pirau atau fistula (Mutaqin & Sari, 2011).
E. Perawatan Hemodialisa
1. Perawatan sebelum hemodialisis (Pra HD)
a. Persiapan mesin :
- Listrik - air (sudah melalui pengolahan)
- Saluran pembuangan - Dialyzer (ginjal buatan)
- AV Blood line - AV Fistula/ Abocath
- Infuse set - Spuit 50cc, 5 cc
-Insulin, Heparin Injeksi - Xylocain (anestesi local)
-Nacl 0,90% - Kain Kasa/ Gaas Steril
-Persiapan peralatan & obat2 - Duk steril
-Sarung tangan steril - Bak & mangkuk steril kecil
-Klem, Plester - Desinfektan (alkohol, betadin)
-Gelas ukur - Timbangan BB
- Formulir Hemodialisis - Sirkulasi darah
b. Langkah – langkah:
1. Letakkan GB (ginjal buatan) pada holder dengan posisi merah diatas
2. Hubungkan ujung putih pada ABL dengan GB ujung merah
3. Hubungkan uung putih VBL dengan GB ujung biru, ujung biru VBL dihubungkan
dengan alat penampung/ matkan
4. Letakkan posisi GB terbalik yaitu yang tanda merah dibawah, biru diatas
5. Gantungkan NaCl 0,9% (2-3 Kolf)
6. Pasang inus set pada kolf NaCl
7. Hubungkan ujung infus set dengan ujung merah ABL atau tempat khusus
8. Tutup semua klem yang ada pada slang ABL, VBL, 9untuk hubungan tekanan arteri,
tekanan vena, pemberian obat-obatan)
9. Buka klem ujung dari ABL, VBL dan infus set
10. Jalankan Qb dengan kecapatan kurang lebih dari 100 ml/m
11. Udara yang ada dalam GB harus hilang sampai bebas udara degan cara menekan
nekan VBL
12. Air trap/ bubble trap disisi 2/3 – ¾ bagian
13. Setiap kolf NaCl sesudah/ hendak mengganti kolf baru Qb dimatikan
14. Setelah udara dalam GB habis, hubungkan ujung ABL dengan ujung VBL, klem tetap
dilepas
15. Masukan heparin dalam sirkulasi darah sebanyak 1500-2000 U
16. Ganti kolf NaCl dengan baru yang telah diberi heparin 500 U dan klem infus dibuka
17. Jalankan sirkulasi darah dan soaking (melembabkan GB) selama 10- 15 menit sebelum
dihubungkan dengan sirkulasi sistemik pasien
Catatan Istilah dalam kegiatan Hemodialisa Persiapan Sirkulasi:
o Rinsing (Membilas GB + VBL + ABL)
o Priming (Mengisi GB + VBL + ABL)
o Soaking (Melembabkan GB)
Cara melembabkan GB yaitu dengan menghubungkan GB dengan sirkulasi dialisat.
Bila mempergunakan dialyzer reuse/ pemakaian GB ulang:
Buang formalin dari kompartemen darah dan kompartemen dialisat
Hubungkan dialyzer dengan selang dialisat biarkan kurang lebih 15 menit pada
posisi rinse.
Test formalin dengan tablet clinitest:
Tampung cairan yang keluar dari dialyzer atau drain ambil 100 tts ( 1/ 2 cc) masukkan
ke dalam tabung gelas, masukan 1 cairan tablet clinitest ke dalam tabung gelas yang
sudah berisi cairan. Lihat reaksi:
Warna biru : - / negatif
Warna hijau : + / positif
Warna kuning : + / positif
Warna coklat : + / positif
Selanjutnya mengisis GB sesuai dengan cara mengisi GB baru.
o Volume priming: darah yang berada dalam sirkulasi (ABL + GB + VBL)
Cara menghitung volume priming :
NaCl yang dipakai membilas dikurangi jumlah Nacl yang ada didalam mat kan
(gelas tampung/ukur). Contoh:
Nacl yang dipakai membilas 1000 cc
Nacl yang ada didalam mat kan : 750 cc
Jadi volume priming : 1000 cc – 750 cc = 250 cc
r) Persiapan pasien: Persiapan mental, izin hemodialisis, persiapan fisik (timbang
BB, Posisi, Observasi Ku dan ukur TTV)
2) Perawatan Selama Hemodialisis (Intra HD) Pasien
Sarana hubungan sirkulasi/ akses sirkulasi:
a) Dengan internal A-V shunt / Fistula cimino
b) Pasien sebelumnya dianjurkan cuci lengan dan tangan
c) Teknik aseptic + antiseptic: Betadine + acohol
d) Anestesi local (lidocain, procain inj)
e) Punksi vena. Dengan Av fistula no G. 14 s/d G. 16 abocath, fiksasi tutup
dengan kasa steril
f) Berikan bolus heparin inj (dosisi awal)
g) Punksi inlet (fistula), fiksasi, tutup dengan kassa steril
h) Dengn eksternal A-V shunt, desifektan, klem kanula arteri dan vena
i) Bolus heparin inj (dosis awal)
j) Tanpa 1 & 2 (femora, dll), desinfektan anestesi lokal
k) Punksi outlet / vena salah satu vena yang besar biasanya dilengan
l) Bolus heparin inj (dosis awal), fiksasi dan tutup kassa steril
m) Punksi inlet (vena atau arteri femoralis), raba arteri femoralis, tekan arteri
femoralis 0,5 – 1 cm ke arah medial vena femoralis
n) Anestesi lokal (infiltrasi anestesi)
o) Vena femoralis dipunksi setelah anestesi lokal 3 – 5 menit dan fiksasi, tutup
kassa steril
3). Memulai Hemodilasis
a. Ujung ABL line dihubungkan dengan punksi inlet
b. Ujung VBL line dihubungkan dengan punksi outlet
c. Semua klem dibuka, kecuali klem infus set 100 ml/m, samoai sirkulasi darah terisi
semua
d. Jalankan pompa darah dengan Ob
e. Pompa darah (blood pump stop, sambungkan ujung dari VBL dengan punksi
outlet
f. Fiksasi ABL dan VBL (sehingga pasien tidak sulit untuk bergerak)
g. Cairan priming diampung digelas ukur dan jumlahnya dicatat (cairan dikeluarkan
sesuai kebutuhan)
h. Jalankan pompa darah dengan Qb = 100 ml/m, setelah 15 menit bisa dinaikan
sampai 300 ml/ m (dilihat dari keadaan pasien)
i. Hubungkan selang-selang untuk monitor : venous pressure, arteri pressure,
hidupkan air/ blood leak detector
j. Pompa heparin dijalankan (dosis heparin sesuai keperluan). Heparin dilarutkan
dengan NaCl
k. Ukur Td, Nadi setiap 1 jam. Bila keadaan pasien tidak baik/ lemah lakukan
megukur TD, nadi lebih sering
l. Isi formulir HD antara lain: Nama, umur, BB, TD, N, S, P, Tipe GB, cairan
priming yang masuk, makan/ minum, keluhan selama HD, Masalah selama HD.
Cacatan:
a. Permulaan HD posisi dialyzer terbalik setelah dialyzer bebas udara posisi kembalikan
ke posisi sebenarnya
b. Pada waktu menghubungkan venous line dengan punksi outlet, udara harus diamankan
lebih dulu
c. Semua sambungkan dikencangkan
d. Tempat-tempat punksi harus sering dikontrol, untuk menghindari terjadi perdarahan
dari tempat punksi
Mesin:
Memprogam mesin hemodialisis:
a. Qb: 200 – 300 ml/ m
b. Qd : 300 – 500 ml/m
c. Temperatur : 36 – 400 c
d. TMP, UFR
e. Heparinisasi
Dosis awal : 25 – 50 U/ kg BB
Dosis selanjutnya (maintance) = 500 – 1000 U/ kg BB
Cara memberikan:
a) Kontinus
b) Intermiten (biasa diberikan tiap 1 jam sampai 1 jam terakhir sebelum HD selesai
5. Perawatan Sesudah Hemodialisis (Post HD)
Persiapan alat:
Kain kassa/ gaas sterl, plester, verband gulung, alkohol/ betadine, antibiotik powder
(Nebacetin/cicatrin), bantal pasir (1 – ½ kram): pada punksi femoral
Cara Bekerja:
a. Menit sebeum hemodialisis berakhir Qb diturunkan sekitar 100cc/m UFR= 0
b. Ukur TD, nadi
c. Blood Pump Stop
d. Ujung ABL diklem, jarum inlet dicabut, bekas punksi inlet ditekan dengan kassa steril
yang diberi betadine
e. Hubungkan ujung ABL dengan indus set 50 – 100 cc, 100ml/m Nacl masuk
f. Darah dimasukkan ke dalam tubuh dengan dorong dengan Nacl sambil Qb dijalankan
g. Setelah darah masuk ke tubuh blood pump stop, ujun VBL diklem
h. Jarum outlet dicabut, bekas punksi inlet & outlet ditekan dengan kassa steril yang
diberi betadine
i. Bila perdarahan pada punksi sudah berhenti, bubuhi bekas punksi inlet dan outlet
dengan antibiotik powder, lalu tutup dengan kain kassa/ band aid lalu pasang verband
j. Ukur TTV : TD, N, S, P
k. Timbang BB (kalau memungkinkan)
l. Isi Formulir Hemodialisis
Catatan:
a. Cairan pendorong/ pembilas NaCl sesuai dengan kebutuhan kalau perlu didorong
dengan udara (harus hati-hati)
b. Penekanan bekas punksi dengan 3 jari sekitar 10 menit
c. Bekas punksi femoral lebih lama, setelah peredarahn berhenti, ditekan kembali
dengan bantal pasir
d. Bekas punksi arteri penekanan harus tepat, lebih lama
e. Memakai teknik aseptik dan antiseptik
Scribner:
a. Pakai sarung tangan
b. Sebelum ABL & VBL dilepas dari kanula maka kanula arteri & kanula vena harus
diklem lebih dulu
c. Kanula arteri & vena dibilas dengan Nacl yang diberi 250 U – 300 U heparin inj
d. Kedua sisi kanula dihubungkan kembali dengan konektor
e. Lepas klem pada kedua kanula
f. Fiksasi
g. Pasang balutan dengan sedikit kanula bisa dilihat dari luar untuk mengetahui ada
bekuan atau tidak
h. Bila perdarahan pada pungsi sudah berhenti, bubuhi bekas punksi inlet & outlet
dengan antibiotik powder, lalu tutup dengan kain kassa/band aid lalu pasang verband
i. Ukur TTV: TD, N, S, P
j. Timbang BB
k. Isi Formulir
Catatan:
a. Cairan pendorong atau pembilas Nacl sesuai dengan kebutuhan. Kalau perlu
didorong dengan udar
b. Penekanan bekas punksi dengan 3 jari sekitar 10 menit
c. Bekas pungsi femoral lebih lama, setelah perdaragan berhenti, ditekan kembali
dengan bantal pasir
d. Memakai teknik aseptik dan antiseptik.
F.Komplikasi
Komplikasi Kronik adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan hemodialisis
kronik. Komplikasi kronik yang sering terjadi dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini
(Bieber dan Himmelfarb, 2013).
a. Penyakit jantung
b. Malnutrisi
c. Hipertensi / volume exces
d. Anemia
e. Renal osteodystrophy
f. Neurophaty
g. Disfungsi reproduksi
h. Komplikasi pada akses
i. Gangguan perdarahan
j. Infeksi
k. Amiloidosis
l. Acquired cystic kidney disease
Diagnosis Keperawatan
a. Kelebihan produk sisa metabolit pada sirkulasi b.d ketidakmampuan ginjal dalam
mengeksresikan keluar tubuh, ketidakmampuan dalam pembentukan urine
b. Kelebihan volume cairan b.d penurunan volume urine, retensi cairan dan natrium,
peningkatan aldosteron sekunder dari penuruan GFR
c. Ketidakseimbangan cairan dan elektroli b.d ketidakmampuan ginjal dalam mengatur
reabsorsi dan sekresi elektrolit
d. Aktual/ risiko tinggi cedera b.d tindakan invasif hemodialisa, gangguan faktor pembekuan,
peningkatan kerapuhan vaskular
e. Risiko tinggi infeksi b.d adanya pintu masuk kuman respons sekunder dari timdakan invasif
hemodalisis.
f. Kurangnya pengetahuan tentang prosdur tindakan hemodialisis b.d tindakan hemodialisis
yang pertama kali
g. Gangguan konsep diri (gambaran diri) b.d penurunan fungsi tubuh, tindakan dialisis, koping
maladaptif
h. Kecemasan b.d prognosis penyakir dan tindakan hemodialisis yang pertama kali
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon sebagai berikut :
2. Identitas klien:
a. Nama
b. Umur
c. Jenis kelamin
d. Suku bangsa
e. Pekerjaan
f. Pendidikan
g. Alamat
h. Tanggal MRS
i. Diagnosis
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang
mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal
seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD dapat
terjadi pada siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai peranan
penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk /
berdiri yang terlalu lama dan lingkungan yang tidak menyediakan cukup air minum
/ mengandung banyak senyawa/zat logam dan pola makan yang tidak sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo
nefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan
traktus urinarius bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.
3. Pengkajian pola fungsional Gordon
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang sakit parah.
Pasien juga mengungkapkan telah menghindari larangan dari dokter. Tandanya
adalah pasien terlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat bingung kenapa
kondisinya seprti ini meski segala hal yang telah dilarang telah dihindari.
b. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun
waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan
air naik atau turun.
c. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya
adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu
dan tekanan darah atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
d. Aktifitas dan latian.
Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien
tidak dapat menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktifitas dibantu.
e. Pola istirahat dan tidur.
Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata.
Tandanya adalah pasien terliat sering menguap.
f. Pola persepsi dan koknitif.
Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan
kesadaran seperti ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan
jelas.
g. Pola hubungan dengan orang lain.
Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri sampai
terjadinya HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri, tertutup,
komunikasi tidak jelas.
h. Pola reproduksi
Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan kepuasan
dalam hubungan. Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan saat
berhubungan, penurunan kualitas hubungan.
i. Pola persepsi diri.
Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi edema,
citra diri jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik, perubahan peran, dan
percaya diri.
j. Pola mekanisme koping.
Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan
dengan tepat, mudah terpancing emosi.
k. Pola kepercayaan.
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah
meninggalkan perintah agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan
kegiatan agama seperti biasanya.
3. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien dari
compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan
reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau
terjadi peningkatan berat badan karena kelebian cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga,
hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan
pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot bantu
napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada paru
(rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada
jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi,
terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang, dan
Capillary Refil lebih dari 1 detik.
j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat /
uremia, dan terjadi perikarditis.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan
retensi cairan dan natrium
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi paru.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia mual muntah.
4. Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2 dan
nutrisi ke jaringan sekunder.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialisis.
6. Resiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan alveolus sekunder
terhadap adanya edema pulmoner.
7. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidak seimbangan cairan
mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik, gangguan
frekuensi, irama, konduksi jantung (ketidak seimbangan elektrolit).
8. Resiko kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik dalam kulit
dan gangguan turgor kulit atau uremia.
9. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis, akumulasi
toksik, asidosis metabolik, hipoksia, ketidak seimbangan elektrolit, klasifikasi
metastatik pada otak.
10. Penurunan curah jantung b/d peningkatan afterload,vasokontriksi
11. Intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan ooksigen
12. Nyeri akut b/d peningkatan tekanan vaskular selebral
13. Kelebihan volume cairan b/d odem, retensi Na
14. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia, mual muntah
15. Gangguan pola tidur b/d nyeri kepala, peningkatan TIK
16. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak b/d Suplai O2 ke otak menurun
17. Resiko ceidera b/d ganggua penglihatan,diplopia
18. Defisiensi pengetahuan b/d kurang pengetahuan/daya ingat,misinterpretasi informasi
19. Ansietas b/d informasi yang minim
C. Intervensi
1) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia di tandai
dengan mual , muntah.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam diharapkan
status nutrisi terpenuhi dengan skala sbb:
Status nutrisi: 1= sangat menyimpang dari rentang normal
2= banyak emnyimpang dari rentang normal
3= cukup menyimpang dari rentang normal
4= sedikit menyimpang dari rentang normal
5= tidak menyimpang dari rentang normal
No Outcome 1 2 3 4 5
1 Asupan gizi
2 Asupan makanan
3 Asupan cairan
4 Energi
6 Hidrasi
Intervensi:
1. Manajemen nutrisi
a. Tentukan status gizi pasien dan kemampuan (pasien) untuk memenuhi
kebutuhan gizi
b. Identifikasi adanya alergi atau intoleransi mkanan yang dimiliki pasien
c. Instruksikan pasien mengenai kebutuhan nutrisi
d. Ciptakan lingkungan yang optimal pada saat mengkonsumsi makan
2. Manajemen saluran cerna
a. Monitor BAB termasuk frekuensi, konsistensi, bentuk, volume, dan warna,
dengan cara yang tepat
b. Monitor bising usus
c. Instruksikan pasien mengenai makanan tinggi serat, dengan cara yang tepat
3. Manajemen energi
a. Kaji status fisiologis pasien yang menyebabkan kelelahan sesuai dengan
konteks usia dan perkembangan
b. Anjurkan pasien mengungkapkan perasaan secara verbal mengenai
keterbatasan yang dialami
c. Gunakan instrumen yang valid untuk mengukur kelelahan
d. Pilih intervensi untuk mengurangi kelelahan baik secara farmakologis
maupun non farmakologis dengan tepat
e. Monitor intake/asupan nutrisi untuk emgetahui sumber energi yang
adekuat.
4. Terapi intravena
a. Verifikasi perintah untuk terapi
b. Instruksikan pasien tentang prosedur
c. Jaga teknik aseptik dengan ketat
d. Lakukan prinsip lima benar sebelum memulai infus atau pemberian
pengobatan
e. Monitor tanda vital
DAFTAR PUSTAKA
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: MediAction Publishing.
Nettina, Sandra M. 2001. Pedoman Praktik Keperawatan. Alih bahasa Setiawan dkk. Ed. 1.
Jakarta: EGC.
Smeltzer Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC.
Syamsuddin,2011. Farmakologi Kardiovaskular dan Renal. Jaarta: Salemba Medika
Suzanne and Brenda, 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth.
Edisi 8. Jakarta: EGC
Udjianti, Wajan.2013. Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika
Muttaqin, Arif.2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular.
Jakarta: Salemba Medika
Corwin, Elizabeth J.2009.Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Beiber, S.D. dan Himmelfarb, J. 2013. Hemodialysis. In: Schrier’s Disease of the Kidney. 9th
edition. Coffman, T.M., Falk, R.J., Molitoris, B.A., Neilson, E.C., Schrier, R.W.
editors. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia:2473-505.
Daugirdas, J.T., Blake, P.G., Ing, T.S. 2007. Handbook of Dialysis. 4th ed. Phildelphia.
Lipincott William & Wilkins.
Mutaqqin, Arif & Kumala Sari. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika.
Kusuma, Hardhi & Amin, Huda Nurarif. (2012). Handbook for Health Student. Yogyakarta:
Mediaction Publishing.