Anda di halaman 1dari 29

RESPONSI

ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


ERUPSI OBAT TIPE EXANTHEMA

Pembimbing:
dr. Lukman Ariwibowo, SpKK

Penyusun :
Intan Siti Khoiriyah 2017. 04.2.00267

FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM


UNIVERSITAS HANG TUAH
RSAL DR. RAMELAN SURABAYA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Responsi Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin dengan judul :

ERUPSI OBAT TIPE EXANTHEMA

Yang disusun oleh :

Intan Siti Khoiriyah


2017.04.2.00267

Disetujui dan diterima sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik


Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RS Angkatan Laut dr. Ramelan
Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya

Surabaya, Juli 2018


Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Lukman Ariwobowo, SpKK


RESPONSI ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM UNIVERSITAS
HANG TUAH RSAL DR. RAMELAN SURABAYA

Nama : Intan Siti Khoiriyah

NIM : 2017.04.2.00267

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. K
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 41 tahun
Alamat : Surabaya
Pekerjaan : Pedagang
Agama : Islam
Tgl. Periksa : 16 Juli 2017

II. ANAMNESA
1. Keluhan Utama :
Bentol bentol kemerahan pada muka, punggung, dan kaki.
2. Keluhan tambahan :
 Gatal gatal pada area kemerahan
 Gatal nya bertambah bila terkena angin
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien wanita berumur 41 tahun mengeluh ada kemerahan
pada muka, punggung dan kaki sejak 2 hari yang lalu (pada
tanggal 14 juli 2018). Selain itu pasien juga mengeluh gatal pada
kulit yang kemerahan, terasa panas dan nyeri dan juga badan
terasa sedikit demam ketika kemerahan tersebut muncul.
Awalnya, sebelum timbul kemerahan pada kulit, pasien
mengeluh tidak bisa kencing dengan lancar, kemudian pasien

1
membeli obat sendiri di apotik supertetra dan urfamycin. Setelah
minum obat supertetra 2 dan obat urfamycin 3 kemudian muncul
kemerahan pada bagian kaki kemudian pada bagian badan.
Kemudian pasien meminum air kelapa hijau saat gatal nya muncul
dan pasien mengalami sesak dan gatal nya tidak berkurang.
Pasien juga mengaku apabila terkena angin gatalnya itu
bertambah. Kemudian pasien mandi dengan menggunakan air
hangat dan tidak merasa gatal.
Pasien sebelumnya pasien tidak pernah sakit seperti ini,
dan baru pertama kali meminum obat urfamycin dan supertetra
dan tidak memiliki riwayat pengobatan.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


 Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya
 Hipertensi disangkal
 Diabetes Melitus disangkal
 Asam urat disangkal
 Kolesterol (+)
 Riwayat alergi makanan disangkal
 Riwayat alergi obat-obatan disangkal
 Asma disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


 Keluarga tidak ada yang mengalami sakit seperti ini
 Riwayat alergi obat disangkal
 Riwayat alergi makanan disangkal

6. Riwayat Psikososial
 Pasien mandi 2-x sehari
 Penderita mengganti pakaian yang digunakan sehari-hari 2x
dan memakai handuk sendiri tidak bergantian dengan anggota
keluarga lain.

2
 Pasien makan 3x sehari dan tidak ada riwayat alergi makanan

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak Baik
Kesadaran : Compos mentis
Status Gizi : Baik
BB : 66 kg
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Temp axilla : 37 C
Nadi : 82x / menit
RR : 18x / menit
Kepala dan Leher :
A/I/C/D : -/-/-/-
Pembesaran stroma (-)
Pembesaran KGB (-)
Thorax : Lihat Status Dermatologi
Abdomen : Lihat Status Dermatologi
Extremitas : Lihat Status Dermatologi

Status Dermatologi
Regio facialis
Regio ekstremitas superior dextra et sinistra
Regio ekstremitas Inferior dextra et sinistra
Regio abdomen

3
4
5
Efforesensi : Makulopapular dengan ukuran kira-kira beberapa milimeter
sampai 1 cm.

IV. RESUME
Anamnesa
Pasien wanita berumur 41 tahun mengeluh ada kemerahan pada
muka, punggung dan kaki sejak 2 hari yang lalu (pada tanggal 14 juli
2018). Selain itu pasien juga mengeluh gatal pada kulit yang
kemerahan, terasa panas dan nyeri dan juga badan terasa sedikit
demam ketika kemerahan tersebut muncul.
Awalnya, sebelum timbul kemerahan pada kulit, pasien mengeluh
tidak bisa kencing dengan lancar, kemudian pasien membeli obat
sendiri di apotik supertetra dan urfamycin. Setelah minum obat
supertetra 2 dan obat urfamycin 3 kemudian muncul kemerahan pada
bagian kaki kemudian pada bagian badan. Kemudian pasien meminum
air kelapa hijau saat gatal nya muncul dan pasien mengalami sesak
dan gatal nya tidak berkurang. Pasien juga mengaku apabila terkena
angin gatalnya itu bertambah. Kemudian pasien mandi dengan
menggunakan air hangat dan tidak merasa gatal.
Pasien sebelumnya pasien tidak pernah sakit seperti ini, dan baru
pertama kali meminum obat urfamycin dan supertetra dan tidak
memiliki riwayat pengobatan.

Pemeriksaan Fisik
Status generalis : Dalam batas normal.
Regio Ekstremitas superior dextra et sinistra
Regio Ekstremitas Inferior dextra et sinistra
Regio Abdomen
Efloresensi : Makulopapular dengan ukuran kira-kira beberapa
milimeter sampai 1 cm.

6
V. DIAGNOSA KERJA
Drug erupsi tipe Exanthema

VI. DIAGNOSA BANDING


 Measles
 Dermatitis Kontak Alergi
VII. PLANNING
 DIAGNOSA
 Uji tempel ( Patch test)
 Uji tusuk (prick/scratch test)
 Uji provokasi (exposure test).
 TERAPI
Non medikamentosa:
 Melakukan eliminasi atau mengganti obat-obatan yang dicurigai
penyebab alergi
 Menjaga kondisi pasien, tentang kebersihan, penggunaan obat-
obatan dan asupan makanan. Menghindari makanan-makanan
yang berpotensi memicu terjadinya alergi
 Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan
tubuhnya.
Medikamentosa:
 Sistemik
 Antihistamin : Loratadine 10 mg 1X1 tab
 Methylprednisolone 4 mg 3x1 tab
 Topikal
 Salisilic Talk
 MONITORING
 Keluhan pasien berkurang, menetap atau memberat.
 Keberhasilan terapi
VIII. PROGNOSIS

7
 Baik apabila obat yang dicurigai menyebabkan reaksi alergi segera
dihentikan.
II. TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Obat adalah senyawa atau produk yang digunakan untuk eksplorasi
atau mengubah keadaan fisiologik atau patologik dengan tujuan
mendatangkan keuntungan bagi si pemakai obat untuk diagnosis,
terapi, maupun profilaksis. (1)
Konsekuensi penggunaan obat-obat untuk kepentingan diagnosis
dan pengobatan penyakit adalah peningkatan insiden reaksi silang obat
atau Adverse Drug Reaction yang dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. (2)
Reaksi silang obat adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan
yang diakibatkan dari penggunaan produk pengobatan dan dari reaksi
tersebut dapat diprediksikan bahaya penggunaan produk itu di masa
yang akan datang sehingga dilakukan tindakan penggantian maupun
penarikan produk. (3)
Exanthematous drug eruption adalah suatu reaksi simpang
hipersensitivitas terhadap obat yang diadministrasi secara parenteral
atau ditelan. Ia ditandai dengan erupsi kulit yang menyerupai campak
seperti eksantem virus dan penglibatan sistemik yang rendah.(4)

II. Etiologi
Untuk dapat mengetahui obat yang menyebabkan erupsi perlu
dilakukan anamnesis yang cermat. Namun, hal ini sulit dilakukan
karena satu obat menimbulkan dapat menyebabkan berbagai macam
erupsi dan sebaliknya, satu erupsi dapat disebabkan oleh berbagai
macam obat.(4)

III. Epidemiologi

8
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi
alergi obat, tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi
epidemiologi, uji klinis terapeutik obat dan laporan dari dokter,
diperkirakan kejadian alergi obat adalah 2% dari total pemakaian obat-
obatan atau sebesar 15-20% dari keseluruhan efek samping
pemakaian obat-obatan. (5)
Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston
Collaborative Drug Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi
kulit yang timbul terhadap pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari
48.000 pasien yang dirawat pada bagian penyakit dalam dari tahun
1974 sampai 1993. Sekitar 3% seluruh pasien yang dirawat di rumah
sakit ternyata mengalami erupsi kulit setelah mengkonsumsi obat-
obatan. Selain itu, data di Amerika Serikat menunjukkan lebih dari
100.000 jiwa meninggal setiap tahunnya disebabkan erupsi obat yang
serius. Beberapa jenis erupsi obat yang sering timbul adalah eksantem
makulopapuler sebanyak 91,2%, urtikaria sebanyak 5,9%, dan
vaskulitis sebanyak 1,4%. (5)

IV. Faktor Resiko


Faktor resiko yang menimbulkan erupsi obat adalah: (2)

1. Jenis kelamin dan usia


Banyak orang menyatakan bahwa anak-anak lebih jarang
tersentisasi akibat obat jika dibandingkan dengan orang dewasa.
Akan tetapi beberapa jenis kasus erupsi obat alergi yang memiliki
prognosis buruk lebih sering mengenai anak-anak. Pada anak-
anak, ruam merah yang timbul akibat virus sering mengaburkan
gambaran klinis erupsi alergi obat akibat antimikroba yang
diberikan. Wanita lebih sering menderita erupsi obat alergi
dibandingkan pria.
2. Faktor genetik
Erupsi obat alergik berhubungan dengan faktor genetik dan
lingkungan misalnya pada kasus nekrolisis epidermal toksik akibat

9
sulfonamida. Hal ini berhubungan dengan gen human leukocyte
antigen. Diantara para remaja yang memiliki orang tua dengan
riwayat alergi antibiotika, 25,6 % remaja tersebut juga memiliki
alergi obat yang sama.
3. Pajanan obat sebelumnya
Hal yang terpenting dari erupsi obat adalah pajanan obat yang
sebelumnya menimbulkan alergi atau pun obat-obatan lain yang
memiliki struktur kimia yang sama. Akan tetapi, alergi obat tidak
bersifat pesisten. Setalah pajanan, immunoglobulin e dapat
bertahan dari 55 hingga 2000 hari.
4. Riwayat penyakit yang dimiliki
Pasien dengan riwayat penyakit asma cenderung mudah menderita
dermatitis atopi.
5. Bentuk obat
Beberapa jenis obat sepertti antibiotika beta laktam dan
sulfonamida memiliki potensial untuk mensensitisasi tubuh.
6. Cara masuk obat
Obat yang diaplikasikan secara kutaneus cenderung lebih
menyebabkan erupsi alergi obat. Antibiotika beta laktam dan
sulfonamida jarang digunakan secara topikal karena alasan ini.
Dosis dan durasi pemberian obat juga berperan dalam timbulnya
erupsi obat alergi.

V. Patogenesis dan Patofisiologi


Mekanisme terjadinya erupsi alergi obat dapat terjadi secara
nonimunologik dan imunologik (alergik), tetapi sebagian besar
merupakan reaksi imunologik. Pada mekanisme imunologik, erupsi
alergi obat terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang sudah
tersensitasi dengan obat tersebut. Obat dengan berat molekul yang
rendah awalnya berperan sebagai antigen yang tidak lengkap (hapten).
Obat atau metabolitnya yang berupa hapten ini harus berkonjugasi
dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum atau protein dari

10
membran sel untuk membentuk antigen yaitu kompleks hapten protein.
Obat dengan berat molekul yang tinggi dapat berfungsi langsung
sebagai antigen lengkap. Sehingga mengakibatkan terjadinya erupsi
obat.(6)

Tabel 5.1. Reaksi Imunologis dan Contoh Kasus


Non Imunologis

Tipe Imunologis
Reaksi Tipe 1 Anafilaksis antibioktik beta laktam
Reaksi Tipe 2 Anemia hemolitik akibat penisillin
Reaksi Tipe 3 Serum sickness akibat anti-
thymocyte globulin
Reaksi Tipe 4 Dermatitis kontak akibat
antihistamin topikal
Aktivasi sel T spesifik Morbilliform rash akibat
sulfonamid
Fas/Fas ligand-induced apoptosis Stevens-Johnson syndrome
Toxic epidermal necrolysis
Non imunologis
Efek samping farmakologis Bibir kering akibat antihistamin
Efek samping farmakologis sekunder Thrush akibat pemakaian
antibiotik
Toksisitas obat Hepatotoksisitas akibat
methotrexate
Overdosis obat Kejang akibat kelebihan
pemakaian lidokain
Intoleransi Tinitus akibat pemakaian aspirin

Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologi yang dikemukakan


oleh Coomb dan Gell. Satu reaksi alergik dapat mengikuti salah satu
dari ke 4 jalur ini.
 Tipe I (Hipersensivitas Tipe Cepat)
Mekanisme ini yang paling banyak ditemukan. Yang
berperan ialah igE yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap
mastosit dan basofil. Pajanan yang pertama dari obat tidak
menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat
yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen
yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator

11
seperti histamin, serotonin, bradikinin, heparin dan SRSA. Mediator
yang dilepaskan akan menimbulkan bermacam-macam efek,
misalnya uertikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan
adalah timbulnya syok.(7)
 Reaksi hipersensivitas tipe II atau reaksi sitotaksik
Terjadi karena terbentuknya IgM atau IgG oleh pajanan
antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel – sel yang
memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antibodi antigen juga dapat
mengaktifkan komplemen melalui reseptor komplemen. Manifestasi
klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti
anemia hemolitik, trombositopena, eosinofilia dan granulasitopenia.
Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini.(6)
 Tipe III Reaksi kompleks imun
Reaksi ini ditandai oleh pembentukan kompleks antigen,
antibody (IgG dan IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan
mengaktifkan komplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian
melepaskan berbagai mediator diantaranya enzim-enzim yang
dapat merusak jaringan. Kompleks imun akan beredar dalam
sirkulasi dan kemudian akan beredar dalam sirkulasi dan kemudian
dideposit pada sel sasaran contohnya ialah penisilin, eritromisin,
sulfonamide,salisilat dan isoniazid.(6)
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa Demam,
Limfadenopati, Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi, Urtikaria,
angiodema, eritema, makulopapula, eritema multiforme. Gejala
tersebut sering disertai pruritis, Lainnnya seperti kejang perut,
mual, neuritis optik, glomerulonefritis, sindrom lupus eritematosus
sistemk serta vaskulitis.(6)
Gejala tadi timbul 5 – 20 hari setelah pemberian obat, tetapi
bila sebelumnya pernah mendapat obat tersebut gejalanya dalam
waktu 1 – 5 hari.(6)
 Tipe IV Delayed Type Hypersensitivity (DTH)

12
Dikenal sebagai Cell Mediated Imunity (reaksi imun seluler).
Reaksi ini melibatkan limfosit, APC (Antigen Presenting Cell) dan
sel Langerhans yang mempresentasikan antigen kepada limfosit T.
limfosit T yang tersensitisasi mengadakan reaksi dengan antigen.
Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat yaitu 12-48 jam setelah
panjanan terhadap antigen menyebabkan pelepasan serangkaian
limfokin.(6)
Berbagai jenis Delayed Type Hypersensitivity (DTH) antara
lain Cutaneous Basophil Hypersensitivi6ty, hipersensivitas kontak
(kontak dermatits), reaksi tuberculin, reaksi granuloma. Namun,
dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering. Kadang –
kadang gejala baru timbul bertahun – tahun setelah sensitasi.
Contohnya, pemakaian obat tropikal (sulfa, penisilin atau
antihistamin). Meskipun ada banyak penampakan dari erupsi obat
pada kulit, morfologi dari kebanyakan erupsi kulit dapat berupa
exanthematous, urticarial, blistering, atau pustular. Bentuk dari
reaksi tersebut bermacam-macam. Sebagai contoh, ketika
morfologi dari suatu reaksi telah didapatkan, diagnosis spesifik
seperti fixed drug eruption atau acute generalized exanthematous
pustulosis dapat dibuat. Reaksinya dapat juga tersaji sebagai
sindrom sistemik seperti serum sickness-like reaction atau
hupersensitivity syndrome reaction (HSR). Demam umumnya
berhubungan dengan systemic cutaneous ADRs.(4)

VI. Manifestasi Klinis


1) Exanthematous Eruption
Exanthematous eruption kadang-kadang disebut sebagai
morbilliform atau maculopapular, adalah bentuk erupsi obat
yang paling umum, terhitung sekitar 95% dari reaksi-reaksi
kulit. Eksantema sederhana adalah perubahan erythematous di
kulit tanpa bukti terik atau pustulasi. Erupsi biasanya dimulai
pada batang dan menyebar secara periferal secara simetris.

13
Pruritus hampir selalu ada. Erupsi ini biasanya terjadi dalam 1
minggu setelah terapi dimulai dan mungkin muncul 1 atau 2
hari setelah terapi obat dihentikan. Resolusi, biasanya dengan
7-14 hari, terjadi dengan perubahan warna dari merah terang
ke merah kecoklatan, yang dapat diikuti oleh deskuamasi.
Diagnosis banding pada pasien ini termasuk eksantem infeksi
(misalnya, virus, bakteri, atau riketsia), penyakit vaskular
kolagen, dan infeksi. Erupsi eksantematus dapat disebabkan
oleh banyak obat, termasuk β-laktam ("penicillins"), antimikroba
sulfonamida, nonnukleosida reverse transcriptase inhibitor
(misalnya, nevirapine), dan obat antiepilepsi. Penelitian telah
menunjukkan bahwa sel T obat-spesifik memainkan peran
utama dalam exanthematous, bullous, dan reaksi obat
pustular.(4)
Exanthematous drug eruption merupakan idiosinkratik,
mediasi sel-T dan melibatkan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat (Tipe IV).3 Reaksi ini melibatkan limfosit, APC (Antigen
Presenting Cell) dan sel Langerhans yang mempresentasi
antigen kepada limfosit T. Limfosit T yang tersensitisasi
mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi
tipe lambat yaitu terjadi 12-48 jam setelah pajanan terhadap
antigen menyebabkan pelepasan serangkaian limfokin.(8)
Suatu studi menunjukan bahwa drug-specific T cell berperan
terhadap terjadinya exanthematous, bullous, dan reaksi
pustular. Pada pasien dengan infeksi mononucleosis yang
menular, resiko berkembangnya erupsi eksantematosa ketika
diterapi dengan aminopenicilin (ex. Ampicilin) meningkat dari
3%-7% menjadi 60%-100%. Reaksi yang sama juga didapatkan
pada 50% pasien yang terkena virus HIV yang mendapat terapi
antibiotic sulfonamide.(4)
Efloresensi lesi pada kulit berbentuk makula dan/atau papul,
dengan ukuran beberapa millimeters sampai 1 cm. Merah

14
terang. Lesi resolving memiliki nuansa cokelat dan ungu.
Kemudian lesi akan menjadi konfluen membentuk makula
besar, polisiklik/ eritem berkisar, erupsi retikuler, lembaran
seperti eritem (sheet-like erithema), eritroderma, juga eritem
seperti multiforme. Purpura dapat dilihat pada lesi di kaki
bagian bawah. Individu dengan trombositopenia, erupsi
eksantematosa dapat menyerupai vaskulitis akibat dari
pendarahan intralesi. Scaling dan/atau deskuamasi mungkin
timbul dengan penyembuhan.(4)

Table 6.1 Beberapa obat yang dapat menimbulkan erupsi


eksantematosa
Allopurinol
Antimicrobials: Cephalosporins, penicilin, chlorampenicol,
erythromycin, gentamicin, antituberculous drugs, nalidixic acid,
nitrofurantoin, sulfonamides.
Barbiturates
Captopril
Carbamazepine
Furosemide
Gold salts
Lithium
Phenothiazines
Phenylbutazone
Phenytoin
Thiazides

15
2) Urtikaria dan Angioedem
Urtikaria dicirikan oleh cula merah pruritus dengan berbagai
ukuran. Lesi individu umumnya berlangsung selama kurang
dari 24 jam, meskipun lesi baru biasanya dapat berkembang.
Ketika jaringan dermal dan subkutan yang dalam juga bengkak,
reaksi ini dikenal sebagai angioedema. Angioedema sering
unilateral dan nonpruritic dan berlangsung selama 1-2 jam,
meskipun mungkin bertahan selama 2-5 hari. Urtikaria dan
angioedema, bila dikaitkan dengan penggunaan obat, biasanya
menunjukkan reaksi hipersensitivitas langsung imunoglobulin
(Ig) E-mediated . Mekanisme ini ditandai oleh reaksi langsung
terhadap penisilin dan antibiotik lain. Tanda dan gejala reaksi
alergi bermediasikan IgE biasanya termasuk pruritus, urtikaria,
pembilasan kulit, angioedema, mual, muntah, diare, sakit perut,
hidung tersumbat, rinorea, edema laring, dan bronkospasme
atau hipotensi. Urtikaria dan angioedema juga dapat
disebabkan oleh reaksi non-IgE-mediated yang menghasilkan

16
pembebasan histamin secara langsung dan nonspesifik atau
mediator peradangan lainnya. Obat yang diinduksi non-IgE-
mediated urticaria dan angioedema biasanya terkait dengan
obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAIDs), angiotensin converting
enzyme (ACE) -inhibitor dan opioid.(4)

3) Eritroderma (dermatitis eksfoliativa)


Eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang
biasanya disertai skuama. Eritroderma dapat disebabkan oleh
bermacam-macam penyakit lain disamping alergi karena obat
misalnya psoriasis, penyakit sistemik termasuk keganasan
pada system linforetikular (penyakit Hodgkin, leukemia). Pada

17
eritroderma karena alergi obat dapat terlihat eritema tanpa
skuama, skuama baru timbul pada stadium penyembuhan.
Obat- obat yang bias menyebabkan ialah sulfonamide,
penisilin, dan fenilbutazon.(8)

4) Purpura
Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan
yang tidak hilang bila ditekan. Erupsi purpura dapat terjadi
sebagai ekspresi tunggal alergi obat. Biasanya simetris serta
muncul di sekitar kaki, termasuk pergelangan kaki atau tungkai
bawah. Erupsi berupa bercak sirkumskrip berwarna merah
kecoklatan dan disertai rasa gatal.(8)

18
5) Erupsi Pustular
Ada dua jenis erupsi, pertama erupsi akneiformis dan kedua
pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA). Erupsi
akneiformis berkaitan dengan penggunaan ofiodides, bromides,
adrenocorticotropic hormone, glucocorticoids, isoniazid,
androgen, lithium, actinomycin D, dan phenytoin. Akneiformis
yang diinduksi obat dapat muncul di daerah atipikal, seperti
pada lengan dan kaki, dan paling sering monomorfik. Komedo
biasanya tidak ada.(4)
Penyakit pustulosis Eksantema Generalisata Akut (PEGA)
memberikan gambaran pustule miliar no folikular yang
eritematosa disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target.
Kelainan kulit timbul bila seseorang mengalami demamam
tinggi. Pustule tersebut akan hilang dalam jangka waktu kurang
dari 7 hari kemudian diikuti oleh deskuamasi kulit.(4)

19
6) Erupsi Bulosa
Erupsi bulosa ini ditemukan pada pemphigus foliaceus, fixed
drug eruption (FDE), erythema multiforme major (EM-major),
SJJ dan TEN.(4)
 Pemphigus
Obat yang dapat menyebabkan adalah golongan
penisislin dan golongan thiol. Drug-induced bullois
pemphigoid dapat terlihat dalam beberapa bantuk.
Dimulai dari urtukaria hingga berbentuk bulla yang
halus dengan melibatkan kavitas mukosa mulut, dapat
juga berupa beberapa bulla dalam ukuran sedang
atau berupa plak dan nodul yang disertai skar dan
bulla.
 Fixed drug eruption (FDE)
FDE disebabkan khusus obat atau bahan kimia. FDE
merupakan salah satu erupsi obat kulit yang sering
diumpai. Kalainan ini umumnya berupa bulat atau
lonjong dan biasanya nummular. Kemudian
meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama baru
hilang bahkan sering menetap. Dari namanya dapat
disimpulkan bahwa kelainan akan timbul berkali-kali
pada tempat yang sama. Tempat predileksi di sekitar
mulut, di daerah bibir dan daerah penis pada laki-laku
sehingga sering disangka penyakit kelamin karena
berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai
eritema dan rasa panas setempat.

20
 Eritema multiformis merupakan erupsi mendadak dan
rekuren pada kulit dan atau selaput lender dengan
tanda khas berupa lesi iris (target lesion)

Eritema Multiformis

21
 Sindroma Steven-Jhonson (Ektodermosis erosifa
pluriorifisialis syndrome mukokutaneokular, eritema
multiformis tipe herba, eritema multiform mayor,
eitema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit
berupa eritema, vesikel/bula disertai purpura yang
mengenai kulit, selaput lender orifisium, dan mata
dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai
buruk.
 Nekrolisis epidermal toksik (NET) adalah penyakit
kulit akut dan berat dengan gejala khas berupa
epidermolisis yang menyeluruh disertai kelainan pada
selaput lender di orifisium genital eksterna dan mata.
Kelainan pada kulit dimulai dengan eritema
generalisata kemudian timbul banyak vesikel dan
disertai purpura di wajah, ekstrimitas, dan badan.
Kelainan pada kulit dapat disertai kelainan pada bibir
dan selaput lender mulut berupa erosi dan ekskoriasi,
lesi kulit dimulai dengan macula dan papul
eritematosa kecil atau morbiliformis disertai bula lunak
(flaccid) yang dengan cepat meluas dan bergabung.
Pada NET yang penting ialah terjadinya epidermolisis
yaitu epidermis terlepas dari dasarnya dengan
gambaran klinis menyerupai luka bakar.

22
VII. Diagnosa
Dasar diagnosa erupsi obat alergik sebagai berikut:
1. Anamnesa yang teliti mengenai:
a) Obat- obatan yang didapat, jangan lupa menanyakan
tentang jamu
b) Kelainan yang timbul secara akut atau dapat juga
beberapa hari sesuah masuknya obat
c) Rasa gatal yang dapat disertai demam yang biasanya
subfebril.(8)
2. Kelainan kulit ditemukan:
a) Distribusi menyebar dan simetris atau setempat
b) Bentuk kelainan yang timbul: eritema, urtikaria, purpura
eksantema, papul, eritrodermia, eritema nodosum.(1)
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk
memastikan penyebab erupsi obat alergi adalah:
a) Pemeriksaan in vivo
 Uji tempel ( Patch test)
 Uji tusuk (prick/scratch test)
 Uji provokasi (exposure test).(6)
b) Pemeriksaan in vitro

23
 Yang diperantarai antibody
- Hemaglutinasi pasif
- Radio immunoassay
- Degradasi basofil
- Tes fiksasi komplemen
 Yang diperantarai sel
- Tes transformasi limfosit
- Leucocyte migration inhibition test

VIII. Differensial Diagnosa


1. Viral eksantema sebagian besarnya berhubungan dengan self-
limited disease. Pada measles ruam terdiri dari makula
eritematosa dan papula yang muncul di belakang telinga dan di
garis rambut anterior, penggabungan, tersebar di bagian leher
dan tungkai distal, dan akhirnya mempengaruhi ekstremitas atas
dan bawah termasuk tangan dan kaki.(9)
2. Dermatitis kontak alergik hanya mengenai orang yang keadaan
kulitnya sangat peka (hipersensitif). Penyebab DKA adalah
bahan kimia sederhana. Penderita umumnya mengeluh gatal.
Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis dan
lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak
eritematosa yang berbatas jelas kemdian diikuti edema,
papulovesikel, vesikel atau bula. bula dapat pecah menimbulkan
erosi dan dan eksudasi (basah). Pada kronis terlihat kulit kering,
berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin fisur, batasnya tidak
jelas.(10)

IX. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Umum
 Melindungi kulit. Pemberian obat yang diduga menjadi
penyebab erupsi kulit harus dihentikan segera.(3)(8)

24
 Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan
pengawasan untuk mendeteksi kemungkinan timbulnya
erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada
fase pemulihan.(5)(7)
 Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan
cairan tubuhnya. Berikan cairan via infuse bila perlu.
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi
penting ukarena pasien sukar atau tidak dapat menelan
akibat lesi di mulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat
menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalkan berupa
glukosa 5% dan larutan Darrow.(5)(7)
 tranfusi darah bila terapi tidak memberikan perbaikan dalam
2-3 hari khususnya pada kasus yang disertai purpura yang
luas. Pada kasus purpura yang luas dapat ditambahkan
dengan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravea sehari dan
hemostatik.(5)(7)

2. Penatalaksanaan khusus
 Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat
sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan ialah
tablet prednisone (1 tablet 5 mg). pada kelainan urtikaria,
eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema
nodusum, eksantema fikstum dan P.E.G.A karena alergi obat
dosis standart untuk orang dewasa ialah 3x10 mg
prednisone sehari. Pada eritroderma dosisnya 3x10 mg
sampai 4x10 mg sehari.(8)
 Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedative dapat juga diberikan,
jika terdapat rasa gatal kecuali pada urtikaria, efeknya
kurang kalau dibandingkan dengan kortikosteroid.(8)
 Topikal

25
Pengobatan topical bergantung pada keadaan kelainan
kulit apakah kering atau basah. Kalau keadaan kering seperti
pada eritema dan urtikaria dapat diberikan bedak contohnya
bedak salisilat 2 % ditambah obat antipruritus, misalnya
mentol ½- 1% untuk mengurangi rasa gatal. Kalau keadaan
membasah seperti dermatitis medikamentosa perlu
digunakan kompres misalnya kompres larutan asam salisilat
1%.(8)
Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak
diperlukan pengobatan topical. Pada eksantema fikstum, jika
kelainan membasah dapat dikompres dan jika kering dapat
diberikan kortikosteroid misalnya krim hidrokortison 1% atau
2 ½ %.(8)
Pada eritroderma dengan keainan berupa aritema yang
menyeluruh dan skuamasi dapat diberi salep lanolin 10%
yang di oleskan sebagian-sebagian.(8)

X. Prognosis
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh
bila penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan akan
tetapi pada beberapa bentuk misalnya eritroderma dan kelainan
berupa sindroma Lyell dan sindroma steven jhonson prognosis
bergantung pada luas kulit yang terkena.(7)

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Retno WS, Suharti KS; Erupsi Obat Alergik, dalam; Sri Adi S, et al eds,
Pedoman Diagnosi dan Penatalaksanaan Erupsi Obat Alergik, Balai
Penerbit FK-UI, Jakarta ; 1995 : 3-6
2. DeSwarte RD, Patterson R, Drug Alergi, Dalam ; Patterson R, et al.
Alergic Disease, 5 th Lippincott-Raven Publisher, philadelpia; 1997:
317- 352.
3. Edward, R.I and Aronson, K.J., 2000, Advers Drug Reaction
:Definitions, Diagnosis and Management, The Lancet, Vol 354.
4. Wolff K, Johnson R. A. Adverse Cutaneous Drug Reactions.
Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 8th ed.
United States, Amerika: The McGraw Hill Companies, 2009. p. 557-60.
5. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology.
Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of
America. 2003. p: 333-352.
6. Medicine, I. (2012, Oktober 12). Erupsi Alergi Obat, from KLIK
DOKTER: Edukasi dan Konsultasi Online Alergi dan Imunologi:
http://allergycliniconline.com/2012/10/22/penanganan-terkini-erupsi-
alergi-obat/
7. Lee A. Thoson J. Drug-inducedskin. In: adverse Drug Reaction, 2nd ed
Pharmateutical Press 2006. Available at:
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf.
8. Mochtar Hamzah. Erupsi Obat Alergik. In. Adhi Djuanda, Mochtar
Hamzah, Siti Aisah, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-
7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2016.
9. Stone M. S, Scott L. A: Measles, Viral Exanthem. Dermatology Online
Journal. Iowa, 2003.
10. Blume, J., & Elston, D. (June, 2014 12). Drug Eruptions. Retrieved July
10, 2015, from Medscape:
http://www.medscape.com/viewarticle/744497_5

27

Anda mungkin juga menyukai