Anda di halaman 1dari 6

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebuah studi literatur mengenai pengukuran kualitas hidup yang

dilakukan oleh Guo, et al. (2009) memperoleh hasil bahwa tuberkulosis

(TBC) secara substansial mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Hasil

lain yang diperoleh adalah setelah penderita tuberkulosis selesai menjalani

pengobatan dan secara mikrobiologi dinyatakan sembuh, ternyata kualitas

hidup penderita tuberkulosis secara signifikan lebih buruk dibandingkan

populasi sehat. Hal ini sejalan dengan hasil penelitia Rajeswari (2004) di India

menyebutkan bahwa penderita TBC paru yang dinyatakan sembuh secara

mikrobiologi hanya separuh dari penderita yang mempunyai happy mental

status pada akhir terapi.

Menurut hasil penelitian Ratnasari (2004), seperti yang dipaparkan

oleh Tinartayu (2016), dari semua responden 68% penderita TBC paru

tergolong dalam penderita dengan kualitas hidup baik, 30% dengan kualitas

hidup sedang dan 2% dengan kualitas hidup buruk. Salah satu penyebab

buruknya kualitas hidup adalah karena kurangnya dukungan sosial. Menurut

penelitian yang dilakukan oleh Pare, dkk (2012) terhadap dukungan sosial dan

diskriminasi dengan perilaku berobat pasien TBC paru, menemukan bahwa

pasien yang tidak teratur berobat lebih banyak ditemukan dukungan sosial

yang kurang sebanyak 14 orang (63.6%) daripada untuk kategori baik 8 orang

(36.4%).

1
2

Tuberkulosis berada di urutan kesembilan penyebab utama kematian

di seluruh dunia. Pada tahun 2016, diperkirakan terdapat 1,3 juta kematian

akibat tuberkulosis (turun dari 1,7 juta pada tahun 2000). Diperkirakan 10,4

juta orang menderita TBC pada tahun 2016 yang terdiri dari 90% dewasa,

65% laki-laki dan 56% berada di 5 negara: India, Indonesia, China, Filipina

dan Pakistan. Indonesia merupakan Negara yang dikategorikan sebagai

penyumbang kasus TBC terbesar ke 10 di dunia. Pada tahun 2016 di Indonesia

diperkirakan terdapat 110.000 kematian akibat TBC. Diperkirakan 1.020.000

orang menderita TBC pada tahun 2016 yang terdiri dari 94% dewasa dan 68%

laki-laki (WHO, 2017).

Provinsi Jawa Timur menempati urutan kedelapan kasus TBC dari 33

provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus TBC BTA positif sebanyak

23.456. Untuk cakupan suspek TBC Paru di Banyuwangi tahun 2014 tercapai

8.298 suspek diperiksa (49%) dari target 16.912 suspek sedangkan cakupan

penemuan penderita BTA Positip 900 penderita (53,2 %) dari target 1.869

penderita (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2015).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada tanggal 26 Februari 2018

pukul 09.00 WIB, Puskesmas Wongsorejo termasuk 5 besar penderita

tuberkulosis terbanyak di Banyuwangi. Total jumlah kasus TBC Paru di

Puskesmas Wongsorejo tahun 2017 sebanyak 56 penderita dengan 58,6%

penderita wanita. Dari 5 desa cakupan Puskesmas Wongsorejo (Bangsring,

Bengkak, Alasbuluh, Wongsorejo, dan Alasrejo), wilayah terbanyak terdapat

di Desa Alasbuluh sejumlah 19 penderita (33,9%). Untuk mendeteksi adanya

penderita tuberkulosis di wilayah Puskesmas Wongsorejo, Pemerintah


3

kabupaten Banyuwangi membentuk kader pemburu Tuberkulosis yang

dimulai pada tahun 2016.

TBC paru tidak hanya mempunyai dampak secara fisik, tetapi juga

mempunyai dampak psikososial pada penderitanya (Suryani, dkk, 2014).

Berbagai macam pengobatan TBC yang diterima pasien diantaranya adalah

dengan pengobatan secara rutin guna mengurangi penyakit yang

ditimbulkannya. Namun pengobatan yang seringkali dilakukan oleh penderita

tidak berjalan dengan semestinya. Pasien dengan pengobatan lama juga akan

menimbulkan tekanan psikologis pada diri pasien (Sukarja, 2010). Dukungan

sosial yang kurang juga dapat memperberat tekanan psikologis penderita.

Fenomena di masyarakat sekarang ini adalah masih ada anggota

keluarga yang takut apalagi berdekatan dengan seseorang yang disangka

menderita TBC paru, sehingga muncul sikap berhati-hati secara berlebihan,

misalnya mengasingkan penderita, enggan berbicara dengan penderita, kalau

dekat dengan penderita akan segera menutup hidung dan sebagainya.

Penderita akan tertekan dan merasa dikucilkan, sehingga dapat berdampak

pada kondisi psikologisnya yang menyebabkan stres dan akhirnya akan

mempengaruhi keberhasilan pengobatan yang kemudian semakin

menurunkan kualitas hidupnya. Kualitas hidup yang menurun pada pasien

tuberkulosis dapat menyebabkan keterlambatan pengobatan dan berdampak

negatif terhadap kelangsungan pengobatan sehingga menyebabkan

pengobatan menjadi terputus atau tidak tuntas (drop out) (Ratnasari, 2012).

Untuk menghindari terjadinya putus obat yang berakibat drop out,

diperlukan dukungan sosial sebagai salah satu faktor yang mendukung


4

penderita TBC paru dalam menjalani pengobatan yang rutin dan lama

tersebut. Penderita kronis seperti TBC paru perlu mendapat dukungan sosial

lebih, karena dengan dukungan sosial dari orang tersebut dapat mengurangi

beban psikologis berhubungan dengan penyakit yang dideritanya (Jurnal

PPTI, 2012). Menurut Mazbow (2009), dukungan sosial mempunyai peranan

penting untuk mencegah dari bahaya kesehatan mental. Dukungan sosial

dapat memotivasi penderita tuberkulosis selama menjalani pengobatan yang

berperan dalam peningkatan kualitas hidup.

Dari uraian diatas penulis tertarik melakukan penelitian tentang

hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup pada penderita tuberkulosis

di wilayah kerja Puskesmas Wongsorejo tahun 2018.

1.2. Rumusan Masalah

“Adakah hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup pada penderita

tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Wongsorejo tahun 2018?”

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup pada

penderita tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Wongsorejo

tahun 2018.

1.3.2. Tujuan Khusus

1.3.2.1. Mengidentifikasi dukungan sosial pada penderita

tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Wongsorejo

tahun 2018.
5

1.3.2.2. Mengidentifikasi kualitas hidup pada penderita tuberkulosis

paru di wilayah kerja Puskesmas Wongsorejo tahun 2018.

1.3.2.3. Menganalisis hubungan dukungan sosial dengan kualitas

hidup pada penderita tuberkulosis paru di wilayah kerja

Puskesmas Wongsorejo tahun 2018.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan /

informasi tentang hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup

pada penderita tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas

Wongsorejo tahun 2018.

1.4.2. Manfaat Praktis

1. Manfaat bagi institusi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan bagi institusi pendidikan sebagai bahan pertimbangan

untuk dijadikan bahan masukan dalam mengembangkan program

pendidikan keperawatan terhadap masalah kepada penderita

tuberkulosis paru.

2. Manfaat bagi peneliti lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan dasar

acuan bagi mahasiswa lain yang ingin melakukan penelitian

berikutnya tentang tuberkulosis.


6

3. Manfaat bagi tempat peneltian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

masukan bagi tempat penelitian khususnya pelayanan kesehatan

yang dalam hal ini adalah puskesmas dalam mengembangkan

programnya di bidang promotif, preventif, kuratif maupun

rehabilitatif terkait dengan penyakit tuberkulosis paru.

4. Manfaat bagi keluarga

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memotivasi keluarga

dalam merawat anggota keluarga yang menderita tuberkulosis

dan menambah pengetahuan tentang penyakit TBC untuk dapat

diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai