Anda di halaman 1dari 39

Laporan Kasus

HIPERTROFI TONSIL DAN HIPERTROFI ADENOID

Oleh:
Putri Dunda, S.Ked
Rani Gustini, S.Ked 04054821719094
Rostika Fajrastuti, S.Ked 04054821719095

Pembimbing:
dr. Lisa Apri Yanti, Sp.THT-KL (K), FICS

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL RSMH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul: Hipertrofi Tonsil dan Hipertrofi Adenoid

Disusun oleh :
Putri Dunda, S.Ked
Rani Gustini, S.Ked 04054821719094
Rostika Fajrastuti, S.Ked 04054821719095

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya/RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang periode Oktober ─ November
2018.

Palembang, Oktober 2018


Pembimbing,

dr. Lisa Apri Yanti, Sp.THT-KL (K), FICS


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Hipertrofi Tonsil dan Hipertrofi Adenoid” untuk memenuhi tugas sebagai bagian
dari sistem pembelajaran dan penilaian kepaniteraan klinik, khususnya Bagian
Ilmu Kesehatan THT-KL Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Lisa Apri Yanti, Sp.THT-KL (K), FICS, selaku pembimbing yang telah
membantu memberikan ajaran dan masukan sehingga laporan kasus ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini yang disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan
demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat memberi
manfaat dan pelajaran bagi kita semua.

Palembang, Oktober 2018

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................................1
BAB II. STATUS PASIEN ......................................................................................2
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….10
BAB IV. ANALISIS KASUS ................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................33
BAB I
PENDAHULUAN

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari


cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina
(faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band
dinding faring/ Gerlach’s tonsil).
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada
tenggorokan terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan
pada tonsil oleh karena kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada
penderita tonsilitis akut. Ketidaktepatan terapi antibiotik pada penderita tonsilitis
akut akan merubah mikroflora pada tonsil, merubah struktur pada kripta tonsil dan
adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi bahkan faktor penyebab
terjadinya tonsilitis kronis.
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh
radang tenggorok yang berulang. Tonsilitis dapat menyebar dari orang ke orang
melalui kontak tangan, menghirup udara tetesan setelah seseorang dengan
tonsilitis bersin atau berbagi peralatan atau sikat gigi dari orang yang terinfeksi.
Anak-anak dan remaja berusia 5-15 tahun yang paling mungkin untuk
mendapatkan tonsilitis, tetapi dapat menyerang siapa saja. Hanya sekitar 30 %
dari tonsilitis pada anak disebabkan oleh radang tenggorokan dan hanya 10% dari
tonsilitis pada orang dewasa disebabkan oleh radang tenggorokan.
Gejala klinik tonsilitis kronis adalah rasa ada sesuatu yang mengganjal di
tenggorok, mulut berbau, badan lesu, nafsu makan menurun, sakit kepala dan
badan terasa meriang – meriang.
BAB II
STATUS PASIEN

1. Identitas Pasien

a. Nama : M. Heris Badaruddin

b. Jenis Kelamin : Laki-laki

c. Tanggal Lahir : 2 Desember 1994

d. Pekerjaan : Mahasiswa

e. Alamat : Pulau Gematung OKI No. 153 Kab. OKI

f. Medical Record : 0000832603

2. Anamnesis
Keluhan Utama
Rasa mengganjal di tenggorokan sejak ± 1 tahun yang lalu
Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak ± 1 tahun yang lalu pasien mengeluh rasa mengganjal di
tenggorokan. Pasien juga mengeluh nyeri menelan yang hilang timbul dan tidur
mengorok. Keluhan sulit menelan disangkal. Pasien mengeluh sering terbangun
karena sesak. Pasien sering demam berulang namun tidak terlalu tinggi. Riwayat
batuk pilek berulang (+) dalam 1 bulan dapat berulang 3 kali. Keluhan bau mulut
disangkal. Hidung tersumbat (-), pilek (-), mimisan (-), nyeri telinga (-), keluar
cairan dari telinga (-), telinga terasa penuh (-), telinga berdenging (-), penurunan
pendengaran (-).
Sejak 3 bulan yang lalu keluhan dirasakan semakin memberat. Pasien
kemudian berobat ke Poli THT RSMH.

Riwayat Penyakit Dahulu


Sejak usia 5 tahun pasien mengalami pembesaran amandel.
Riwayat asma dan alergi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluhan yang sama dalam keluarga disangkal
Riwayat infeksi saluran napas disangkal.
Riwayat keganasan disangkal.

Riwayat Pengobatan
Setiap kali pasien mengalami keluhan nyeri terkait pembesaran amandelnya,
pasien berobat ke Puskesmas dan diberi obat antibiotik dan antinyeri
Riwayat operasi sebelumnya disangkal.

Riwayat Kebiasaan
Pasien mengaku sering meminum air es dan jajan sembarangan

2.3. Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Gizi : Baik
Tekanan Darah : 120/70mmHg
Nadi : 82 kali/menit
Pernafasan : 20 kali/menit
Suhu : 36,5oC
Jantung : Dalam batas normal
Paru-paru : Dalam batas normal
Abdomen : Datar, lemas, hepar& lien tidak teraba, bising usus (+)
Ekstremitas : Akral pucat (-)
Status Lokalis
Telinga
I. Telinga Luar Kanan Kiri
Regio Retroaurikula
-Abses - -
-Sikatrik - -
-Pembengkakan - -
-Fistula - -
-Jaringan granulasi - -

Regio Zigomatikus
-Kista Brankial Klep - -
-Fistula - -
-Lobulus Aksesorius - -

Aurikula
-Mikrotia - -
-Efusi perikondrium - -
-Keloid - -
-Nyeri tarik aurikula - -
-Nyeri tekan tragus - -

Meatus Akustikus Eksternus


-Lapang/sempit Lapang Lapang
-Oedema - -
-Hiperemis - -
-Pembengkakan - -
-Erosi - -
-Krusta - -
-Sekret - -
(serous/seromukus/mukopus/pus) - -
-Perdarahan - -
-Bekuan darah - -
-Cerumen plug - -
-Epithelial plug - -
-Jaringan granulasi - -
-Debris - -
-Benda asing - -
-Sagging - -
-Exostosis
II.Membran Timpani
-Warna Putih Putih
(putih/suram/hiperemis/hematoma)
-Bentuk (oval/bulat) Oval Oval
-Pembuluh darah Pelebaran (-) Pelebaran (-)
-Refleks cahaya + +
-Retraksi - -
-Bulging - -
-Bulla - -
-Ruptur - -
-Perforasi - -
(sentral/perifer/marginal/attic)
(kecil/besar/ subtotal/ total)
-Pulsasi - -
-Sekret (serous/ seromukus/ - -
mukopus/ pus) - -
-Tulang pendengaran - -
-Kolesteatoma - -
-Polip - -
-Jaringan granulasi - -
Gambar Membran Timpani

III. Tes Khusus Kanan Kiri


1.Tes Garpu Tala
Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Weber
Tes Scwabach

2. Tes Audiometri Tidak dilakukan Tidak dilakukan


3.Tes Fungsi Tuba Kanan Kiri
-Tes Valsava Tidak dilakukan Tidak dilakukan
-Tes Toynbee Tidak dilakukan Tidak dilakukan
4.Tes Kalori Kanan Kiri
-Tes Kobrak Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Hidung
I.Tes Fungsi Hidung Kanan Kiri
-Tes aliran udara
-Tes penciuman Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Teh
Kopi
Tembakau
II.Hidung Luar Kanan Kiri
-Dorsum nasi Normal Normal
-Akar hidung Normal Normal
-Puncak Hidung Normal Normal
-Sisi hidung Normal Normal
-Ala nasi Normal Normal
-Deformitas - -
-Hematoma - -
-Pembengkakan - -
-Krepitasi - -
-Hiperemis - -
-Erosi kulit - -
-Vulnus - -
-Ulkus - -
-Tumor - -
-Duktus nasolakrimalis - -
(tersumbat/tidak tersumbat)
III.Hidung Dalam Kanan Kiri
1. Rinoskopi Anterior
a.Vestibulum nasi
-Sikatrik - -
-Stenosis - -
-Atresia - -
-Furunkel - -
-Krusta - -
-Sekret - -
(serous/seromukus/mukopus/pus)
b.Kolumela
-Utuh/tidakutuh Utuh Utuh
-Sikatrik - -
-Ulkus - -
c. Kavum nasi
-Luasnya Lapang Lapang
(lapang/cukup/sempit)
-Sekret - -
(serous/seromukus/mukopus/pus)
-Krusta - -
-Bekuan darah - -
-Perdarahan - -
-Benda asing - -
-Rinolit - -
-Polip - -
-Tumor - -
d. Konka Inferior
-Mukosa (erutopi/ Eutropi Eutropi
hipertropi/atropi)
(basah/kering) Basah Basah
(licin/tak licin) Licin Licin
-Warna (merah Merah muda Merah muda
muda/hiperemis/pucat/livide)
-Tumor - -
e. Konka media
-Mukosa (eutropi/ Eutropi Eutropi
hipertropi/atropi) Basah Basah
(basah/kering) Licin Licin
(licin/tak licin) Merah muda Merah muda
-Warna (merah - -
muda/hiperemis/pucat/livide)
-Tumor
f.Konka superior
-Mukosa (erutopi/ Sulit dinilai Sulit dinilai
hipertropi/atropi)
(basah/kering)
(licin/tak licin)
-Warna (merah
muda/hiperemis/pucat/livide)
-Tumor
g. Meatus Medius
-Lapang/ sempit Sulit dinilai Sulit dinilai
-Sekret
(serous/seromukus/mukopus/pus)
-Polip
-Tumor
h. Meatus inferior
-Lapang/ sempit Sulit dinilai Sulit dinilai
-Sekret
(serous/seromukus/mukopus/pus)
-Polip
-Tumor
i. Septum Nasi
-Mukosa (eutropi/ Eutropi Eutropi
hipertropi/atropi)
(basah/kering) Basah Basah
(licin/tak licin) Licin Licin
-Warna (merah Merah muda Merah muda
muda/hiperemis/pucat/livide)
-Tumor - -
-Deviasi - -
(ringan/sedang/berat)
(kanan/kiri)
(superior/inferior)
(anterior/posterior)
(bentuk C/bentuk S)
-Krista - -
-Spina - -
-Abses - -
-Hematoma - -
-Perforasi - -
-Erosi septum anterior - -

Gambar Dinding Lateral Hidung Dalam

Gambar Hidung Dalam Potongan Frontal

2.Rinoskopi Posterior Kanan Kiri


-Postnasal drip
-Mukosa (licin/tak licin)
(merah muda/hiperemis)
-Adenoid
-Tumor Tidak dilakukan Tidak dilakukan
-Koana (sempit/lapang)
-Fossa Russenmullery (tumor/tidak)
-Torus tobarius (licin/tak licin)
-Muara tuba (tertutup/terbuka)
(sekret/tidak)

Gambar Hidung Bagian Posterior

IV.Pemeriksaan Sinus Paranasal Kanan Kiri


-Nyeri tekan/ketok
-infraorbitalis
-frontalis
-kantus medialis Tidak dilakukan Tidak dilakukan
-Pembengkakan
-Transiluminasi
-regio infraorbitalis
-regio palatum durum

Tenggorok
I.Rongga Mulut Kanan Kiri
-Lidah (hiperemis/udem/ulkus/fissura) Normal Normal
(mikroglosia/makroglosia)
(leukoplakia/gumma)
(papilloma/kista/ulkus)
-Gusi (hiperemis/udem/ulkus) Normal Normal
-Bukal (hiperemis/udem) Normal Normal
(vesikel/ulkus/mukokel)
-Palatum durum (utuh/terbelah/fistel) Utuh Utuh
(hiperemis/ulkus)
(pembengkakan/abses/tumor)
(rata/tonus palatinus)
-Kelenjar ludah Normal Normal
(pembengkakan/litiasis)
(striktur/ranula)
-Gigi geligi Normal Normal
(mikrodontia/makrodontia)
(anodontia/supernumeri)
(kalkulus/karies)

II.Faring Kanan Kiri


-Palatum molle (hiperemis/udem/asimetris/ulkus) Normal Normal
-Uvula (udem/asimetris/bifida/elongating) Ditengah Ditengah
-Pilar anterior (hiperemis/udem/perlengketan) Normal Normal
(pembengkakan/ulkus)
-Pilar posterior (hiperemis/udem/perlengketan) Normal Normal
(pembengkakan/ulkus)
-Dinding belakang faring (hiperemis/udem) Normal Normal
(granuler/ulkus)
(sekret/membran)
-Lateral band (menebal/tidak) Tidak Tidak
-Tonsil Palatina (derajat pembesaran) T2 T3
(permukaan rata/tidak) Tidak Rata Tidak Rata
(konsistensi kenyal/tidak) Kenyal Kenyal
(lekat/tidak) - -
(kripta lebar/tidak) Melebar Melebar
(dentritus/membran) Detritus (-) Detritus (-)
(hiperemis/udem) - -
(ulkus/tumor) - -

Gabar rongga mulut dan faring

Rumus gigi-geligi

III.Laring Kanan Kiri


1.Laringoskopi tidak langsung (indirect)
-Dasar lidah (tumor/kista) Normal Normal
-Tonsila lingualis (eutropi/hipertropi) Eutropi Eutropi
-Valekula (benda asing/tumor) - -
-Fosa piriformis (benda asing/tumor) - -
-Epiglotis Normal Normal
(hiperemis/udem/ulkus/membran)
-Aritenoid Normal Normal
(hiperemis/udem/ulkus/membran)
-Pita suara (hiperemis/udem/menebal) Normal Normal
(nodus/polip/tumor) Normal Normal
(gerak simetris/asimetris) Normal Normal
-Pita suara palsu (hiperemis/udem) Normal Normal
-Rima glottis (lapang/sempit) Normal Normal
-Trakea Normal Normal
2.Laringoskopi langsung (direct) Normal Normal

Gambar laring (laringoskopi tidak langsung)

2.4. Pemeriksaan Penunjang


2.4.1. Pemeriksaan Laboratorium
(17 Oktober 2018)
Hb : 16,1 g/dL
Eritrosit : 5,63 x 106/mm3
Leukosit : 7,0 x103/mm3
Hematokrit : 49 %
Trombosit : 206 x 103/µL
Diff Count : 0/3/53/37/7
CT :9
BT :1
GDS : 73 mg/dL
Ureum : 26 mh/dL
Kreatinin : 0,99 mg/dL
SGOT : 24 U/L
SGPT : 31 U/L
Natrium : 147 mEq/L
Kalium : 4,1 mEq/L
HBsAg : Non Reactive

Tes alergi (prick test)


Tidak dilakukan

2.4.2. Periksaan Radiologis


- Rontgen Thorax PA (17 Oktober 2018)
-
Kesan: Tak tampak kelainan radiologis pada foto thorax pada saat ini.

2.4.3 CT Scan SPN

Kesan: Tak tampak kelainan pada CT Scan sinus paranasal saat ini.

2.5. Diagnosa kerja


Hipertrofi Tonsil dan Hipertrofi Adenoid
2.6. Diagnosis Banding
Tonsilitis kronis Hipertrofi adenoid
Tonsilitis difteri Karsinoma nasofaring
Faringitis tuberculosis Kista nasofaring

2.7. Pengobatan
I. Istirahat (bed rest)
II. Diet nasi biasa
III. Medikamentosa:
- IVFD RL gtt X/menit
IV. Edukasi:
- Puasa 6 jam sebelum operasi
V. Operatif
R/ pro tonsiloadenoidektomi (26 Oktober 2018)

Dilakukan tindakan Operasi Elektif (Tanggal: 26 Oktober 2017)


Ruangan : OK IBS
Pembedah : dr Lisa Apri Yanti, Sp.THT-KL (K) FICS
Diagnosa Prabedah : Hipertrofi Tonsil dan Hipertrofi Adenoid
Diagnosa Pascabedah : Post Tonsiloadenoidektomi a.i hipertrofi tonsil +
hipertrofi adenoid
Disinfeksi Kulit dengan : Povidon Iodine 10%
Jenis Anestesi : General Anestesi
Indikasi Operasi : Diagnostik + Terapeutik
Nama Prosedur Operasi : Tonsiloadenoidektomi
Mulai Operasi : Pukul 09.15 WIB
Selesai Operasi : Pukul 12.55 WIB

2.8. Pemeriksaan Anjuran


- Pemeriksaan patologi anatomi jaringan tonsil dan adenoid
2.9 Follow Up
26 Oktober 2018
S : Nyeri luka operasi dan nyeri menelan
O: Kesadaran: Compos Mentis
TD: 120/80 mmHg
Nadi: 80x/menit
RR: 18 x/Menit
Temp: 36,5o C
Saturasi: 99%
Perdarahan dari orofaring berkurang
A: Post Tonsiloadenoidektomi hari ke-1
P: - Observasi TTV dan perdarahan orofaring
- IVFD RL 500cc + Ketorolac 60mg drip gtt xx/menit
- Ceftriaxon 1gr/12 jam IV
- Ranitidin 50mg/12 jam IV
- Diet bubur saring dingin
- Kompres leher dengan batu es
- Tidur miring ke salah satu sisi

Foto 1 hari post operasi tonsiloadenoidektomi


2.10. Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Tonsilitis Kronik


3.1.1. Definisi
Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap
sebagai akibat infeksi akut atau subklinis yang berulang. Ukuran
tonsil membesar akibat hiperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid
dengan obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil
yang relatif kecil akibat pembentukan sikatrik yang kronis.1
Tonsilitis kronis adalah peradangan kronis tonsila palatina lebih
dari 3 bulan, setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi
subklinis. Terjadinya perubahan histologi pada tonsil, dan terdapatnya
jaringan fibrotik yang menyelimuti mikroabses dan dikelilingi oleh zona
sel-sel radang.5
Menurut Brook dan Gober tonsilitis kronis adalah suatu kondisi
yang merujuk kepada adanya pembesaran tonsil sebagai akibat infeksi
tonsil yang berulang. Brodsky menjelaskan durasi maupun beratnya
keluhan nyeri tenggorok sulit dijelaskan. Biasanya nyeri tenggorok
dan nyeri menelan dirasakan lebih dari 4 minggu dan kadang dapat
menetap. 1
3.1.2. Anatomi dan Fisiologi
Tonsil merupakan massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan
ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3
macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil
lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer. 3
Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring. Tonsil dibatasi dari anterior oleh pilar
anterior yang dibentuk otot palatoglossus, posterior oleh pilar
posterior dibentuk otot palatofaringeus, bagian medial oleh ruang
orofaring, bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring superior,
bagian superior oleh palatum mole, bagian inferior oleh tonsil lingual.
Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh jaringan alveolar yang tipis dari
fasia faringeal dan permukaan bebas tonsil ditutupi oleh epitel yang
meluas ke dalam tonsil membentuk kantong yang dikenal dengan
kripta. Kripta pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah. Epitel kripta
tonsil merupakan lapisan membran tipis yang bersifat semipermiabel,
sehingga epitel ini berfungsi sebagai akses antigen baik dari
pernafasan maupun pencernaan untuk masuk ke dalam tonsil.
Pembengkakan tonsil akan mengakibatkan kripta ikut tertarik sehingga
semakin panjang. Inflamasi dan epitel kripta yang semakin longgar
akibat peradangan kronis dan obstruksi kripta mengakibatkan debris dan
antigen tertahan di dalam kripta tonsil.4

Gambar 1. Uvula dan tonsil

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis


eksterna, melalui cabang-cabangnya yaitu : A. maksilaris eksterna (A.
fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina asenden. A.
maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden, A. lingualis
dengan cabangnya A. lingualis dorsal. A. faringeal asenden. Sumber
perdarahan daerah kutub bawah tonsil :
a. Anterior : A. lingualis dorsal
b. Posterior : A. palatine asenden
c. Diantara keduanya : A. tonsilaris
Sumber perdarahan daerah kutub atas tonsil :
a. A. faringeal asenden
b. A, palatina desenden

Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar ke


seluruh tubuh dengan cara menahan kuman memasuki tubuh
melalui mulut, hidung, dan kerongkongan, oleh karena itu tidak jarang
tonsil mengalami peradangan. Peradangan pada tonsil disebut dengan
tonsilitis, penyakit ini merupakan salah satu gangguan Telinga, Hidung
dan Tenggorokan ( THT ). Tonsil merupakan organ limfatik sekunder
yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang
sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu : 5
a. Menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan efektif
b. Tempat produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yang
berasal dari diferensiasi limfosit B. Limfosit terbanyak ditemukan
dalam tonsil adalah limfosit B.

Bersama-sama dengan adenoid limfosit B berkisar 50-


65% dari seluruh limfosit pada kedua organ tersebut. Limfosit T
berkisar 40% dari seluruh limfosit tonsil dan adenoid. Tonsil
berfungsi mematangkan sel limfosit B dan kemudian
menyebarkan sel limfosit terstimulus menuju mukosa dan kelenjar
sekretori di seluruh tubuh. Antigen dari luar, kontak dengan permukaan
tonsil akan diikat dan dibawa sel mukosa ( sel M ), antigen presenting
cells (APCs), sel makrofag dan sel dendrit yang terdapat pada
tonsil ke sel Th di sentrum germinativum. Kemudian sel Th
ini akan melepaskan mediator yang akan merangsang sel B.
Sel B membentuk imunoglobulin (Ig)M pentamer diikuti oleh
pembentukan IgG dan IgA. Sebagian sel B menjadi sel memori.
Imunoglobulin (Ig)G dan IgA secara fasif akan berdifusi ke lumen.
Bila rangsangan antigen rendah akan dihancurkan oleh makrofag.
Bila konsentrasi antigen tinggi akan menimbulkan respon proliferasi
sel B pada sentrum germinativum sehingga tersensititasi terhadap
antigen, mengakibatkan terjadinya hiperplasia struktur seluler.
Regulasi respon imun merupakan fungsi limfosit T yang akan
mengontrol proliferasi sel dan pembentukan imunoglobulin. Aktivitas
tonsil paling maksimal antara umur 4 sampai 10 tahun. Tonsil mulai
mengalami involusi pada saat puberitas, sehingga produksi sel B
menurun dan rasio sel T terhadap sel B relatif meningkat. Pada
Tonsilitis yang berulang dan inflamasi epitel kripta retikuler terjadi
perubahan epitel squamous stratified yang mengakibatkan rusaknya
aktifitas sel imun dan menurunkan fungsi transport antigen.
Perubahan ini menurunkan aktifitas lokal sistem sel B, serta
menurunkan produksi antibodi. Kepadatan sel B pada sentrum
germinativum juga berkurang. 5
3.1.3. Epidemiologi
Menurut National Center of Health Statistics pada Januari 1997 di
United States seperti dikutip oleh Edayu (2011), prevalensi penyakit
tonsilitis kronis pada anak yang berusia di bawah 18 tahun didapatkan
24,9% dari 1000 orang anak. Pada penelitian Khasanov et al di Rusia
mengenai prevalensi tonsilitis kronis pada keluarga, didapatkan 335 anak
usia 1-15 tahun dari 321 keluarga mengalami penyakit tonsilitis kronis.
Seperti halnya pada penelitian Khan et al di RS Khyber Peshawar Pakistan
pada periode April 2011 sampai dengan Mei 2012, dilakukan analisa
tentang distribusi penyakit Telinga Hidung Tenggorok (THT) dan
didapatkan 8980 orang menderita tonsilitis kronis (27,37%) dari 32.800
total sampel. Dalam penelitian ini tonsilitis kronis berada di urutan
teratas dari insiden penyakit THT lainnya. Tarasov dan Morozov
juga melakukan pemeriksaan kesehatan pada anak dan dewasa,
mendapatkan total penyakit THT berjumlah 190-230 per 1.000
penduduk, dan 38,4% di antaranya menderita penyakit tonsilitis
kronis.6
Di Indonesia, tonsilitis kronis juga menjadi salah satu peyakit THT
yang paling banyak dijumpai terutama pada anak. Penelitian Sapitri
tentang karakteristik penderita tonsilitis kronis yang diindikasikan
tonsilektomi di RSUD Raden Mattaher Jambi, dari 30 sampel didapatkan
distribusi terbanyak usia 5-14 tahun (50%), jenis kelamin perempuan
(56,7%) dan memiliki keluhan nyeri pada tenggorok/sakit menelan
(100%). Menurut data dari RSUD Raden Mattaher Jambi diketahui jumlah
penderita tonsilitis kronis pada tahun 2010 berjumlah 978 dari 1365
jumlah kunjungan dan pada tahun 2011 berjumlah 789 dari 1144
jumlah kunjungan, sedangkan tonsilitis yang diindikasikan
tonsilektomi pada tahun 2010 berjumlah 44 orang dan data pada tahun
2011 berjumlah 58 orang. Ada peningkatan jumlah penderita tonsilitis
kronis yang diindikasikan tonsilektomi pada tahun 2010-2011 di RSUD
Raden Mattaher Jambi. Berdasarkan data rekam medis tahun 2010 di
RSUP dr. M. Djamil Padang bagian Poliklinik THT-KL subbagian laring
faring ditemukan tonsilitis sebanyak 465 dari 1110 kunjungan. 6
3.1.4. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu :3
 Rangsangan kronis (rokok, makanan)
 Higiene mulut yang buruk
 Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah- ubah)
 Alergi (iritasi kronis dari allergen)
 Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)
 Pengobatan Tonsilitis Akut yang tidak adekuat
3.1.5. Tanda dan Gejala
Pada pemeriksaan pada tonsil akan didapati tonsil hipertrofi, tetapi
kadang-kadang atrofi, hiperemi dan odema yang tidak jelas. Didapatkan
detritus atau detritus baru tampak jika tonsil ditekan dengan spatula lidah.
Kelenjar leher dapat membesar tetapi tidak terdapat nyeri tekan.2,3
Ukuran tonsil pada tonsilitis kronik dapat membesar (hipertrofi)
atau atrofi. Pembesaran tonsil dapat dinyatakan dalam ukuran T1 – T4.
Cody& Thane (1993) membagi pembesaran tonsil dalam ukuran berikut :
T1 = batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar
anterior uvula
T2 = batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai
½ jarak pilar anterior-uvula
T3 = batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai
¾ jarak pilar anterior-uvula
T4 = batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula atau
lebih.

Gambar 2. Grading of palatine tonsils


3.1.6. Diagnosis
Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut:
a. Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena
hampir 50% diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita
sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus
menerus, sakit waktu menelan, rasa mengganjal di tenggorok, nafas
bau, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam
dan nyeri pada leher.
b. Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan
jaringan parut, permukaan tonsil tidak rata, kriptus melebar
dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Sebagian kripta
mengalami stenosis, tepi eksudat (purulent) dapat
diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Gambaran klinis
yang lain yang sering adalah dari tonsil yang kecil, biasanya
membuat lekukan, tepinya hiperemis dan sejumlah kecil sekret purulen
yang tipis terlihat pada kripta.
c. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari
sediaanapus tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam
kuman dengan derajat keganasan yang rendah, seperti Streptococcus
haemolitikus, Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus.
3.1.7. Terapi

Terapi lokal ditujukan pada hygiene mulut dengan berkumur atau


3
obat isap. Pengobatan tonsilitis meliputi medikamentosa dan
pembedahan. Terapi medikamentosa ditujukan untuk mengatasi
infeksi yang terjadi baik pada tonsilitis akut maupun tonsilitis rekuren
atau tonsilitis kronis eksaserbasi akut. Antibiotik jenis penisilin
merupakan antibiotik pilihan pada sebagian besar kasus. Pada kasus
yang berulang akan meningkatkan terjadinya perubahan bakteriologi
sehingga perlu diberikan antibiotik alternatif selain jenis penisilin.
Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan
pengangkatan tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus di
mana penatalaksanaan medis atau yang lebih konservatif gagal untuk
meringankan gejala-gejala. Penatalaksanaan medis termasuk pemberian
penisilin yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari, dan usaha untuk
mernbersihkan kripta tonsilaris dengan alat irigasi gigi atau oral. 7
The American Academy of Otolaryngology-Head and Surgery
(AAO- HNS) merilis indikasi klinis untuk melakukan tonsilektomi
adalah:
1. Indikasi Absolut
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran
napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi
kardiopulmoner.
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan
pengobatan medis dan drainase
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan
patologi anatomi
2. Indikasi Relatif
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan
terapi antibiotik yang adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak
membaik dengan pemberian terapi medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus
yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik
β-laktamase resisten Brodsky menyatakan tonsilitis
rekuren dindikasikan untuk tonsilektomi jika terjadi
serangan tonsilitis akut berulang lebih dari 4 kali dalam
satu tahun kalender, atau lebih dari 7 kali dalam 1 tahun, 5
kali setiap tahun selama 2 tahun, atau 3 kali setiap tahun
selama 3 tahun. Bila masih diragukan berikan antibiotik
spektrum luas sebelum didapatkan hasil kultur tonsil
kemudian lanjutkan dengan antibiotik sesuai kultur.
Bila terdapat rekurensi dalam 1 tahun diindikasikan
untuk tonsilektomi. Bila ditemukan gejala yang
persisten yang nyata lebih dari 1 bulan dengan
eritema peritonsil indikasi untuk tonsilektomi. Bila gejala
dimaksud masih diragukan berikan antibiotik selama 3-
6 bulan sesuai kultur, jika gejala masih menetap indikasi
tonsilektomi.
3.1.8.Komplikasi
Komplikasi tonsilitis akut dan kronik yaitu :
a. Abses pertonsil : terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar
anterior dan palatum mole, abses ini terjadi beberapa hari
setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptococcus
group A .
b. Otitis media efusi : patofisiologi utama dari terjadinya otitis media
efusi karena obstruksi tuba eustachius akibat pembesaran
tonsil. Mekanisme yang menghubungkan tonsilitis kronis dan
otitis media efusi selain dari mekanisme obstruksi adalah
melalui perkontinuitatum. Penyebaran mikroorganisme secara
perkontinuitatum dari rongga mulut ke rongga telinga melalui
tuba eustachius ini dapat pula dipengaruhi oleh imunitas
pasien, bila imunitasnya sangat baik maka mikroorganisme pun
akan sulit menyebar ke rongga telinga bagian tengah.
c. Mastoiditis akut : ruptur spontan gendang telinga lebih jauh
menyebarkan infeksi ke dalam sel-sel mastoid.
d. Laringitis : proses peradangan dari membran mukosa
yang membentuk larynx. Peradangan ini mungkin akut atau
kronis yang disebabkan bisa karena virus, bakteri, lingkungan,
maupunm karena alergi.
e. Sinusitis : suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satua
atau lebih dari sinus paranasal. Sinus adalah merupakan suatu
rongga atau ruangan berisi udara dari dinding yang terdiri dari
membran mukosa.
f. Rhinitis : penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal
dan nasopharynx.

3.2. Hipertrofi Adenoid


3.2.1.Definisi
Adenoid ialah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang
terletak di dinding posterior nasofarig, termasuk dalam rangkaian
cincin Waldeyer. Secara fisiologi, adenoid ini membesar pada anak usia 3
tahun dan kemudian akan mengecil dan hilang sama sekali pada usia 14
tahun. Bila sering terjadi infeksi saluran napas bagian ataas maka dapat
terjadi hipertrofi adenoid. Akibat dari hipertrofi ini akan timbul
sumbatan koana dan sumbatan tuba Eusthacius. Akibat sumbatan koana
pasien akan bernapas melalui mulut sehingga terjadi (a) fasies adenoid
yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan (prominen), arkus
faring tinggi yang menyebabkan kesan wajah pasien tampak seperti orang
bodoh, (b) faringitis dan bronkitis, (c) gangguan ventilasi dan drainase
sinus paranasal sehingga menimbulkan sinusitis kronik. Akibat hipertrofi
adenoid juga akan menimbulkan gangguan tidur, tidur ngorok, retardasi
mental, dan pertumbuhan fisik kurang. Akibat sumbatan tuba Eustachius
akan terjadi otitis media akut berulang, otitis media kronik, dan akhirnya
dapat terjadi otitis media supuratif kronik. Dengan adanya gejala-gejala
sumbatan tersebut, hipertrofi adenoid dapat di diagnosis banding dengan
massa nasofaring seperti karsinoma nasofaring dan kista nasofaring. 7
3.2.2. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinik,
pemeriksaan rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya gerakan
velum palatum mole pada waktu fonasi, pemeriksaan rinoskopi posterior
(pada anak biasanya sulit), pemeriksaan digital untuk meraba adanya
adenoid dan pemeriksaan radiologik dengan membuat foto lateral kepala
(pemeriksaan ini lebih sering dilakukan pada anak). 7
3.2.3.Terapi
Pada hipertrofi adenoid dilakukan terapi bedah adenoidektomi
dengan cara kuratase memakai adenotom. Indikasi adenoidektomi:7

Sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas dari mulut

Sleep apnea

Gangguan menelan

Gangguan berbicara

Kelainan bentuk wajah dan gigi

Adenoiditis berulang

Otitis media efusi berulang

Otitis media akut berulang

Kecurigaan neoplasma
3.2.4.Komplikasi
Komplikasi tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila
pengerokan adenoid kurang bersih. Bila terlalu dalam menguretnya akan
terjadi kerusakan dinding belakang faring. Bila kuratase teralu ke lateral
maka torus tubarius akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba
Eustachius dan akan timbul tuli konduktif. 7
BAB IV
ANALISIS KASUS

Dari informasi yang didapatkan melalui auto dan alloanamnesis, diketahui


bahwa pasien telah mengalami keluhan adanya rasa mengganjal di tenggorokan
dan nyeri menelan sejak 1 tahun lalu. Tonsil merupakan organ linfoid yang
berperan dalam imunitas saluran pernapasan atas. Pembesaran tonsil terjadi
sebagai respon perlawanan terhadap infeksi yang terjadi di saluran pernapasan
atas akibat berbagai sitokin inflamasi yang memicu proliferasi sel-sel imun yang
ada di dalam sentrum germinativum. Pembesaran tonsil dan adanya reaksi radang
inilah yang menimbulkan keluhan adanya rasa mengganjal di tenggorokan dan
nyeri menelan.
Dalam 1 bulan terakhir, pasien menjelaskan bahwa pasien mengalami batuk
pilek serta demam berulang yang terjadi sebanyak 3 kali. Infeksi yang berulang
dapat menimbulkan sumbatan pada kripta tonsil dan mengakibatkan peningkatan
statis debris maupun antigen di dalam kripta, juga terjadi penurunan integritas
epitel kripta sehingga memudahkan bakteri masuk ke parenkim tonsil. Parenkim
tonsil yang normal jarang ditemukan adanya bakteri pada kripta, namun pada
tonsilitis kronis bisa ditemukan bakteri yang berlipat ganda. Bakteri yang menetap
dalam kripta tonsil menjadi sumber infeksi berulang terhadap tonsil sehingga pada
suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman dan kemudian tonsil
menjadi sarang kuman.
Tonsilitis akut dapat sembuh sendiri atau sembuh dengan antibiotik jika
penyebabnya adalah bakteri. Namun, tonsilitis akut atau subakut yang terus
berulang dapat menjadi tonsilitis kronik. Riwayat kebiasaan pasien sering jajan
sembarangan dan sering minum es menjadi faktor risiko terjadinya tonsilitis
kronik ini. Hal ini disebabkan karena pajanan tonsil terhadap kuman yang terus
terjadi dari jajanan yang dikonsumsi. Selain itu, seringnya minum es
menyebabkan suasana dirongga mulut dan orofaring menjadi dingin sehingga
menjadi tempat yang baik bagi kuman untuk berkembangbiak.
Dari autoanamnesis juga diketahui bahwa pasien juga mengalami keluhan
telinga yaitu rasa penuh di telinga kiri dan penurunan pendengaran telinga kiri.
Pemeriksaan nasofaring dari rinoskopi posterior tidak dapat dinilai dengan pasti,
namun dari pemeriksaan radiologi nasofaring didapatkan pembesaran adenoid
(tonsil faringeal). Selain tonsil palatina, jaringan adenoid juga termasuk dalam
jaringan limfoid disekitar faring yang ikut berperan dalam imunitas saluran
pernapasan atas. Infeksi saluran napas atas berulang juga dapat menyebabkan
hipertrofi adenoid. Selain itu, melalui alloanamnesis, keluarga pasien menyatakan
bahwa pasien sering ngorok ketika tidur. Mengorok merupakan salah satu tanda
dari obstructive sleep apnea yang timbul akibat adanya sumbatan ataupun
penyempitan koana. Penyempitan koana pada pasien ini disebabkan oleh
hipertrofi adenoid karena jaringan adenoid ini terletak di nasofaring berhadapan
dengan koana. Tidak adanya keluhan hidung tersumbat dapat menunjukkan bahwa
pembesaran adenoid belum sampai menutupi nares posterior.
Dari pemeriksaan orofaring didapatkan tonsil palatina bilateral membesar
dengan ukuran T2-T3, lekat pada fosa tonsilaris, kripta melebar tanpa detritus, dan
tidak hiperemis. Kripta yang melebar merupakan tanda dari tonsilitis kronik. Hal
ini dapat terjadi karena proses radang berulang yang timbul menyebabkan epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis dan digantikan oleh jaringan parut yang
akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Proses ini akan berjalan
terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan
dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Tidak adanya detritus dan tidak
hiperemis menunjukkan bahwa tonsilitis sedang tidak eksaserbasi. Hal ini juga
dapat menjadi pertimbangan untuk dilakukan operasi.
Tonsilitis kronik dapat didiagnosis banding dengan tonsilitis difteri dan
faringitis tuberkulosis karena kesamaan beberapa gejala klinis dan perjalanan
penyakit yang berlangsung kronik. Gejala klinis yang sama antara lain adanya
rasa mengganjal di tenggorok, nyeri menelan, demam berulang, serta adanya
pembesaran tonsil. Namun pada tonsilitis difteri, gambaran klinis akan lebih
buruk dan pembesaran tonsil disertai dengan membran putih yang mudah
berdarah jika dilepas dari perlekatannya di tonsil. Pada pasien ini, riwayat batuk
lama secara terus menerus, riwayat minum OAT, dan riwayat keluarga yang
menderita infeksi saluran napas disangkal. Untuk menyingkirkan diagnosis
banding tersebut dengan lebih pasti maka dapat dilakukan pemeriksaan gram atau
kultur swab tonsil.
Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis banding dengan massa nasofaring
seperti karsinoma nasofaring (KNF) dan kista nasofaring (Tornwald’s cyst) karena
kesamaan gejala klinis yaitu adanya gejala obstructive sleep apnea syndrome
yaitu mengorok serta gejala terkait sumbatan muara tuba Eustachius. Secara
epidemiologi, KNF sering terjadi pada dekade ke 4-5, sedangkan kista nasofaring
sering terjadi pada dekade 2-3.18 Selain itu, dari anamnesis diketahui bahwa
pasien ini tidak memiliki faktor risiko keganasan seperti riwayat genetik keluarga,
merokok, makan makanan berpengawet nitrosamin, dll. Untuk menyingkirkan
diagnosis banding tersebut dengan lebih pasti maka harus dilakukan pemeriksaan
histopatologi terhadap jaringan adenoid setelah operasi pengangkatan.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka tegak
diagnosis pasien ini adalah tonsilitis kronik dan hipertrofi adenoid. Tatalaksana
terhadap pasien ini adalah langsung ke tatalaksana pembedahan karena kondisi
tonsil tidak sedang eksaserbasi akut dan adanya beberapa indikasi
adenotonsilektomi berikut:
1. Hipertrofi adenoid yang telah menyebabkan gejala sleep apnea (ngorok)
2. Hipertrofi tonsil yang menyebabkan gangguan menelan
3. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respons terhadap
penatalaksanaan medikamentosa
4. Otitis media efusi
Jaringan yang diperoleh dari pembedahan diperiksakan histopatologinya
untuk mengetahui apakah ada suatu keganasan yang mendasari proses pembesaran
jaringan tersebut. Setelah operasi adenotonsilektomi, pasien diberikan antibiotik
profilaksis dan obat analgetik untuk mengatasi nyeri luka operasi. Pemberian
ranitidin dilakukan dengan tujuan mencegah terjadinya refluks lambung dan
menekan rasa mual muntah agar tidak mengganggu daerah bekas operasi. Untuk
memudahkan asupan nutrisi, pasien diberikan nutrisi dengan bubur saring dingin.
Untuk menghentikan proses radang dan perdarahan, pasien diedukasi untuk
mengompres lehernya (sekitar daerah operasi) dengan kompres es. Pasien juga
diedukasi untuk tidur dengan posisi miring ke salah satu sisi dengan tujuan untuk
menghindari aspirasi darah bekas luka operasi ke saluran pernapasan.
Prognosis vitam pasien ini adalah bonam karena penyakit yang dialami
pasien tidak berkaitan dengan kondisi vital pasien. Prognosis sanationam pasien
ini juga bonam karena pembesaran jaringan tonsil ini tidak akan berulang kembali
karena telah dilakukan pengangkatan secara total. Sedangkan prognosis
functionam pasien ini adalah dubia ad bonam karena kadar IgG, IgA dan IgG
pasien tonsilitis kronis mengalami penurunan setelah dilakukan tonsilektomi, pada
awal periode pasca operasi dan kemudian mungkin dapat berangsur-angsur
menjadi normal kembali.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tom LWC, Jacobs. Deseases of the oral cavity, oropharynx, and


nasopharynxn. In: Snow JB, Ballenger JJ editors. Ballenger’s
otorhinolaryngology head and neck surgery, 16th ed. Hamilton Ontario.
2. Adams.G.L, Boies.L.R, Higler. P.A. Boies Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed.
Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 1997. pg: 330-44.
3. Soepardi.E.A,et all. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007. pg:212-25.
4. Brodsky L, Poje Ch. Tonsillitis, tonsilectomy and adenoidectomy. In:
Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD editors. Ototlaryngology Head and Neck
Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
2006:p.1183-98.
5. Wiatrak BJ, Woolley AL. Pharyngitis and adenotonsilar desease. In :
Cummings CW editor. Otolaryngology Head & Neck Surgery, 4th ed.
Philadelphia Elsevier Mosby. 2007:p.4136-65.
6. Skevas T, Christoph K, Serkan S, Peter K, Plinkert, Ingo B. Measuring
quality of life in adult patients with chronic tonsillitis. The Open
Otorhinolaryngology Journal. 2010;(4):34-46.
7. Rusmarjono, Efiaty AS. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid.
Dalam: Iskandar N, Efiaty J, Jenny B, Ratna D,Editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan THT-KL. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012. Hlm. 195-203.

Anda mungkin juga menyukai