Tindak Pidana
Melisa 102012226
Imanuel Sutopo 102013047
Rayka Christin Nadeak 102013057
Akrestivany Tandilimbong 102013329
Samdaniel Sutanto 102013382
Maria Lorensia 102013469
Jefryanto 102013472
Sharifah Khalidah Binti Syed Khalid 102014229
Kelompok D4
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Pendahuluan
Dalam praktik sehari-hari, seorang dokter disamping melakukan tindakan medis, juga
berperan dalam memberikan surat keterangan dokter. Surat keterangan dokter memuat
keterangan mengenai keadaan kesehatan atau sakit seorang pasien yang dibuat dan
ditandatangani oleh seorang dokter. Dengan demikian maka surat keterangan medis dapat
menjelaskan tentang penyakit atau bagaimana sakitnya pasien. Dalam memberikan surat
keterangan dokter, seorang dokter diharapkan untuk selalu berhati-hati dan mengerti
mengenai maksud dan tujuan dari pemberian surat keterangan dokter. Apabila hal tersebut
tidak diperhatikan oleh dokter, maka dapat menimbulkan aspek hukum dan permasalahan
bagi dokter yang memberikan surat tersebut.
Di dalam praktik sehari-hari sebagai seorang dokter, perlu dipelajari tentang etika
yang merupakan disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu
tindakan perbuatan seseorang/ institusi dilihat dari moralitas.
Pembahasan
Ilustrasi Kasus
Seorang laki-laki, pasien lama Anda, datang ke tempat praktik Anda. Ia menyapa
dengan baik seperti biasanya, dan kemudian meminta tolong ke pada Anda untuk melakukan
sesuatu.
Kakak kandungnya saat ini sedang diperiksa oleh kejaksaan karena diduga telah
melakukan tindak pidana korupsi, dengan status tahanan. Ia sebenarnya menderita penyakit
jantung yang telah lama dideritanya, penyakit liver, dan penyakit pada lutut (osteochondritis
genu) sehingga ia mengalami hambatan dalam berjalan. Pasien lama Anda tersebut
menunjukkan ke pada Anda data-data medik dari kakaknya. Pasien lama Anda tersebut
mendengar bahwa di Jepang terdapat seorang profesor ortopedi yang sangat mahir dalam
menangani penyakit lututnya. Oleh karena itu ia meminta ke pada Anda untuk dapat
membuatkan surat pengantar berobat ke profesor di Jepang tersebut.
Etika Kedokteran
Etik (ethics) berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti akhlak, adat kebiasaan,
watak, perasaan, sikap, yang baik, yang layak. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia,
etika adalah suatu ilmu pengetahuan tentang azas akhlak, sedangkan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, etika adalah:1
1. Ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral.
2. Kumpulan atau seperangkat azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3. Nilai yang benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
1. Etika deskriptif, yaitu etika yang mempelajari pengetahuan empiris tentang moralitas
atau menjelaskan pandangan moral yang saat itu berlaku tentang isu-isu tertentu.
2. Etika normatif, yaitu di mana pada etika ini para filosof mencoba menegakkan apa
yang benar secara moral dalam kaitannya dengan tindakan manusia
Disiplin Kedokteran
Disiplin kedokteran adalah aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan
dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi. Penegakan
disiplin adalah penegakan aturan-aturan dan atau ketentuan penerapan keilmuan dalam
pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi. Aturan-aturan tersebut
tersebar dalam UU Praktik Kedokteran, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Kesehatan,
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia, Ketentuan dan Pedoman Organisasi Profesi, Kode
Etik Profesi dan juga kebiasaan umum (common practice) di bidang kedokteran dan
kedokteran gigi. Pelanggaran disiplin adalah penyimpangan terhadap standar profesi yang
ditentukan oleh organisasi profesi dan prosedur professional yang ditentukan oleh sarana
pelayanan kesehatan setempat.1 Pelanggaran disiplin kedokteran dapat dikelompokan dalam 3
hal, yaitu:
Interpretasi
Seseorang layak menjalani persidangan kalau dia mampu memahami materi dan
maksud persidangan. Tanpa pemahaman materi dan maksud persidangan maka seseorang
tidak dapat dianggap hadir dalam suatu persidangan. Dalam kasus ini kelayakan dihubungkan
dengan kondisi medis tersangka, terutama kondisi mental tersangka. Mampu tidaknya
tersangka berkomunikasi dengan jelas dan rasional dengan penasihat hukum dan aparat
hukum menjadi patokan kelayakannya menjalani persidangan.
Fitness to be Detained7
Terdakwa harus memenuhi kriteria, salah satunya adalah kelayakan/ukuran
kemampuan seseorang secara medis untuk menjalani penahanan yang disebut fitness to be
detained. Pemeriksaan kelayakan pada kasus ini dapat diperiksa oleh dokter kejaksaan atau
dokter forensik baik melalui permintaan kejaksaan maupun penasihat hukum kondisi
kesehatannya layak untuk penahanan, maka tersangka akan ditahan di tempat tahanan yang
disiapkan, bila kondisi kesehatan tersangka tidak memungkinkan untuk penahanan, maka
tersangka akan dirawat di rumah sakit dengan pengawasan dari pihak kepolisian dan atau
kejaksaan. Penahanan menurut KUHAP hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau
terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan
dalam tindak pidana tersebut dalam hal [Pasal 21 ayat (4) KUHAP].
Pejabat yang dimaksud adalah penyidik atau penyidik pembantu atas perintah
penyidik, penuntut umum dan hakim pada setiap tingkat pengadilan. Ketentuan ini
mempertegas tujuan penahanan yakni untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di pengadilan. Aturan penahanan dalam Pasal 20 KUHAP digolongkan sebagai
syarat objektif. Artinya, penahanan baru sah, jika pejabat yang menahan berwenang
melakukan penahanan. Apabila penahanan itu dilakukan oleh pejabat yang tidak berwenang,
maka penahanan itu tidak sah.
Hal penting yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP adalah unsur perlunya
penahanan dilakukan atau disebut juga syarat subjektif. Syarat subjektif diletakkan pada
keadaan yang menimbulkan adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana.
Syarat subjektif dan objektif berlaku juga terhadap mekanisme penahanan yang diatur
dalam Undang-undang khusus seperti Undang-undang nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Penahanan menurut Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dilakukan terhadap anak yang diduga
keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Namun dalam pelaksanaannya, pejabat yang berwenang melakukan penahanan harus
memperhatikan syarat subjektif dan objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4)
KUHAP. Syarat subjektif menurut Pasal 12 ayat (3) tersebut adalah adanya kekhawatiran
tersangka atau terdakwa melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti atau
mengulangi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Syarat objektif adalah tersangka atau
terdakwa diduga melakukan pelanggaran HAM yang berat yakni kejahatan genosida atau
kejahatan kemanusiaan.
Pemeriksaan Fisik
Dalam kasus, pasien menderita penyakit lutut atau osteochondritis genu sehingga ia
mengalami hambatan dalam berjalan. Maka, untuk memastikan apakah kondisi pasien
memerlukan perawatan atau tidak, beberapa pemeriksaan harus dilakukan terhadap pasien.
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik juga
disesuaikan dengan keadaan dan kondisi penderita, misalnya penderita yang memerlukan
penanganan darurat maka pemeriksaan fisik yang dilakukan seperlunya sesuai dengan
kebutuhan yang ada.
1. Status Generalis
Dalam pemeriksaan ortopedi secara umum, saat penderita datang pada kita
sudah merupakan suatu pemeriksaan awal menyeluruh secara sambil lalu dengan
melihat postur dan cara berjalan penderita. Pemeriksaan fisik ortopedi yang dilakukan
meliputi pemeriksaan bagian dengan keluhan utama yang dikeluhkan dilakukan
secara teliti. Tetapi harus diingat bahwa keluhan pada satu tempat mungkin akibat
dari kelainan pada tempat lain, sehingga tidak cukup hanya dengan memeriksa pada
tempat dengan keluhan utama.
Selain itu, dilakukan pemeriksaan kemungkinan nyeri kiriman dari sumber di
tempat lain (reffered pain) Pemeriksaan fisik sebenarnya sudah dimulai ketika
penderita datang ke dokter dengan mengamati penampakan umum penderita, raut
muka, cara berjalan, cara duduk dan cara tidur, proporsi tinggi badan terhadap
anggota tubuh lainnya, keadaan simetris bagian tubuh kiri dan kanan, cara berjalan
dan tingkah laku, ekspresi wajah, kecemasan serta reaksi emosional lainnya untuk
melihat aspek-aspek emosional dan somatis dari penderita. Pemeriksaan fisik
mempunyai nilai yang paling penting dalam memperkuat penemuan-penemuan yang
berhasil kita dapatkan dari riwayat dan anamnesis yang telah kita buat dan menambah
atau mengurangi pilihan diagnosis yang dapat kita lakukan.
2. Pemeriksaan Lokalis
Pemeriksaan lokalis dilakukan secara sitematis dengan urutan-urutan sebagai
berikut:
a. Inspeksi (Look)
b. Palpasi (Feel)
c. Kekuatan otot (Power)
d. Penilaian gerakan sendi baik pergerakan aktif maupun pasif (Move)
e. Auskultasi
f. Uji-uji fisik khusus
Setelah itu, dilakukan pemeriksaan penunjang. Sebagai penunjang, pemeriksaan yang
penting adalah pencitraan menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran
3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang sulit, oleh karena itu minimal diperlukan 2 proyeksi
tambahan (khusus) atas indikasi khusus untuk memperlihatkan patologi yang dicari, karena
adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang tersebut dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu pemeriksaan dengan teknik khusus
seperti:
1. CT (Computerized Tomography) yang dapat membuat selain potongan longitudinal
juga potongan transversal/aksial. Atau dengan contrast, seperti: myelography,
arthrography, fistulography, scintigraphy menggunakan radioisotop untuk mengetahui
penyebaran (metastasis).
2. MRI/NMR (Magnectic Resonance Imaging atau Nuclear Magnectic Resonance)
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah untuk mengetahui tempat berapa jauh dari
patologi muskuloskeletal mengakibatkan gangguan saraf, yaitu pemeriksaan: EEG, EMG,
MMT. Pemeriksaan ini ditujukan untuk membedakan kekuatan otot (0–5) dan sensoris atau
sensible deficit dengan pemeriksaan neurologis yang baik.
Pemeriksaan laboratorium penunjang lainnya adalah dilakukan pemeriksaan darah
rutin untuk mengetahui keadaan umum, infeksi akut atau menahun. Atas indikasi tertentu,
diperlukan pemeriksaan kimia darah, reaksi imunologi, fungsi hati atau ginjal.9
Aspek Medikolegal
Kesimpulan
Seseorang dapat dikatakan layak menjalani persidangan apabila ia memiliki kondisi
kesehatan mental yang baik untuk memahami materi dan maksud dari persidangan yang
dilakukan. Selain itu, seseorang juga dapat dikatakan layak untuk ditahan apabila ia memiliki
kondisi kesehatan fisik yang baik. Dalam membuat surat rujukan berobat ke luar negeri untuk
tahanan tindak pidana harus diperhatikan ketentuan pembuatan surat keterangan dokter di
mana pembuatan surat keterangan dokter tersebut harus diawali dulu dengan melakukan
pemeriksaan medis terlebih dahulu terhadap orang yang bersangkutan, dalam hal ini tahanan
tindak pidana.
Daftar Pustaka
1. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran & hukum kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta:
EGC; 2008.
2. Bertens K. Etika biomedis. Yogyakarta: Kanisius; 2011. h.10.
3. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran: pengantar bagi
mahasiswa kedokteran dan hukum. Jakarta: Pustaka Dwipar; 2007. h.29.
4. Goldim JR. Revisiting the beginning of bioethics: the contribution of Fritz Jahr
(1972). Perspect Biol Med 2009;52(3):377-80.
5. Safitry O. Kompilasi peraturan perundang-undangan terkait praktik kedokteran.
Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2014. h.99-101.
6. Wirasuta IMAG. Pengantar menuju ilmu forensik. Bali: Department of Pharmacy
Udayana University; 2009.
7. Ciccone JR. Competence to stand trial: efforts to clarify the concept and improve
clinical evaluations of criminal defendants. Current Opinion in Psychiatry
1999;12:647-651.
8. Budiyanto A, Widiatmaka W, dkk. Peraturan perundang-undangan bidang
kedokteran. Edisi ke-2. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1994. h 20-36.
9. Bickley, Lynn S. Buku saku pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan Bates. Edisi ke-5.
Jakarta: EGC; 2008. h.227-60.