Anda di halaman 1dari 17

Syarat Pemberian Surat Berobat untuk Pasien yang Berstatus Tahanan

Tindak Pidana
Melisa 102012226
Imanuel Sutopo 102013047
Rayka Christin Nadeak 102013057
Akrestivany Tandilimbong 102013329
Samdaniel Sutanto 102013382
Maria Lorensia 102013469
Jefryanto 102013472
Sharifah Khalidah Binti Syed Khalid 102014229

Kelompok D4
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510

Pendahuluan
Dalam praktik sehari-hari, seorang dokter disamping melakukan tindakan medis, juga
berperan dalam memberikan surat keterangan dokter. Surat keterangan dokter memuat
keterangan mengenai keadaan kesehatan atau sakit seorang pasien yang dibuat dan
ditandatangani oleh seorang dokter. Dengan demikian maka surat keterangan medis dapat
menjelaskan tentang penyakit atau bagaimana sakitnya pasien. Dalam memberikan surat
keterangan dokter, seorang dokter diharapkan untuk selalu berhati-hati dan mengerti
mengenai maksud dan tujuan dari pemberian surat keterangan dokter. Apabila hal tersebut
tidak diperhatikan oleh dokter, maka dapat menimbulkan aspek hukum dan permasalahan
bagi dokter yang memberikan surat tersebut.
Di dalam praktik sehari-hari sebagai seorang dokter, perlu dipelajari tentang etika
yang merupakan disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu
tindakan perbuatan seseorang/ institusi dilihat dari moralitas.

Pembahasan
Ilustrasi Kasus
Seorang laki-laki, pasien lama Anda, datang ke tempat praktik Anda. Ia menyapa
dengan baik seperti biasanya, dan kemudian meminta tolong ke pada Anda untuk melakukan
sesuatu.
Kakak kandungnya saat ini sedang diperiksa oleh kejaksaan karena diduga telah
melakukan tindak pidana korupsi, dengan status tahanan. Ia sebenarnya menderita penyakit
jantung yang telah lama dideritanya, penyakit liver, dan penyakit pada lutut (osteochondritis
genu) sehingga ia mengalami hambatan dalam berjalan. Pasien lama Anda tersebut
menunjukkan ke pada Anda data-data medik dari kakaknya. Pasien lama Anda tersebut
mendengar bahwa di Jepang terdapat seorang profesor ortopedi yang sangat mahir dalam
menangani penyakit lututnya. Oleh karena itu ia meminta ke pada Anda untuk dapat
membuatkan surat pengantar berobat ke profesor di Jepang tersebut.

Etika Kedokteran
Etik (ethics) berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti akhlak, adat kebiasaan,
watak, perasaan, sikap, yang baik, yang layak. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia,
etika adalah suatu ilmu pengetahuan tentang azas akhlak, sedangkan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, etika adalah:1

1. Ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral.
2. Kumpulan atau seperangkat azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3. Nilai yang benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Etika merupakan cara pandang, pertimbangan, dan penilaian terhadap aspek-aspek


moral tingkah laku manusia, baik secara individu maupun pada taraf sosial. Dalam etika, kita
akan bertanya apakah suatu perbuatan terpuji atau tidak tercela, pantas atau tidak pantas
dilakukan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dalam etika juga kita menyelidiki
norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku atau barangkali tidak berlaku.2
Ada dua macam etika yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan
buruknya perilaku manusia terutama apabila menyangkut ilmu profesi kedokteran yang
berhadapan dengan pasien:3

1. Etika deskriptif, yaitu etika yang mempelajari pengetahuan empiris tentang moralitas
atau menjelaskan pandangan moral yang saat itu berlaku tentang isu-isu tertentu.
2. Etika normatif, yaitu di mana pada etika ini para filosof mencoba menegakkan apa
yang benar secara moral dalam kaitannya dengan tindakan manusia

Dalam profesi kedokteran, etika profesi kedokteran sangat dihandalkan untuk


memberikan pelayanan profesi kedokteran ke pada masyarakat. Etik profesi kedokteran
merupakan seperangkat perilaku para dokter dan dokter gigi dalam hubungannya dengan
pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat, dan mitra kerja. Tujuan pendidikan etika dalam
pendidikan dokter adalah untuk menjadikan calon dokter lebih manusiawi dengan memiliki
kematangan intelektual dan emosional.1
Saat ini, perkembangan yang pesat dalam bidang biologi dan ilmu kedokteran
membuat etika kedokteran tidak mampu lagi menampung keseluruhan permasalahan yang
berkaitan dengan kehidupan. Oleh sebab itu, maka dibentuklah bioetika atau dikenal sebagai
etika biomedis. Bioetika adalah prinsip dasar yang harus dipegang oleh para dokter dalam
menjalankan praktek sehari-hari.
Bioetika merupakan istilah yang relatif baru dan terbentuk dari dua kata yaitu bios
yang bermaksud hidup dan ethos yang norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetika
merupakan studi interdisipliner tentang masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan di
bidang biologi dan ilmu kedokteran baik skala mikro maupun makro, masa kini dan masa
mendatang. Bioetika mencakup isu-isu agama, sosial, ekonomi dan hukum bahkan politik.
Bioetika selain membicarakan bidang medis, seperti abortus, eutanasia, tranplantasi organ,
teknologi reproduksi buatan, dan rekayasa genetik, membahas pula masalah kesehatan, faktor
budaya yang berperan dalam lingkup kesehatan masyarakat, hak pasien, moralitas
penyembuhan tradisional, lingkungan kerja, demografi, dan sebagainya. Bioetika memberi
perhatian yang besar pula terhadap penelitian kesehatan pada manusia dan hewan percobaan.1

Prinsip-prinsip dalam Bioetika


Terdapat empat prinsip dasar dalam bioetika, yaitu beneficence, non-maleficence,
autonomy dan justice. Beneficence adalah prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditujukan untuk kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk
kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi
buruknya. Sebagai contoh adalah memberi obat generik tidak polifarmasi, memberikan
edukasi ke pada pasien sesudah terapi, pemberian obat analgesik pada pasien terminal,
menolong anak yang diduga menjadi korban kekerasan dalam keluarga, membuat rujukan
yang dianggap perlu dan memutuskan dan menjelaskan kepada keluarga untuk melakukan
amputasi pada kondisi gawat.4
Prinsip yang kedua adalah non-maleficence, yaitu suatu prinsip moral yang melarang
tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non
nocere” atau “above all do no harm”. Sebagai contoh, dokter menolak tindakan aborsi tanpa
indikasi medis, melakukan kuretase atas indikasi medis misalnya pendarahan pervaginam,
mengutamakan pasien gawat darurat, melakukan bius terlebih dahulu sebelum tindakan
medis, tidak memberi obat yang sebenarnya tidak diperlukan hanya demi mendapat komisi.4
`
Prinsip ketiga adalah autonomy di mana seorang dokter wajib menghormati martabat
dan hak manusia terutama dalam menentukan nasibnya sendiri dengan cara membuat
keputusannya sendiri. Dalam autonomy, seorang dokter menghormati hak-hak pasien,
terutama hak otonomi pasien. Contoh umum adalah melakukan informed consent, memberi
pasien hak untuk membuat keputusannya sendiri, serta dokter senantiasa jujur demi kebaikan
pasien.4
Prinsip keempat adalah justice yaitu tindakan yang memegang prinsip sama rata
dengan tidak membedakan pasien atas dasar sara, status sosial dan melindungi kelompok
yang rentan. Contoh umum adalah dokter tidak membedakan-bedakan pelayanan walaupun
beda suku atau agama, pemerintah menempatkan tenaga kesehatan secara merata sampai ke
daerah, dan sebagainya.4

Disiplin Kedokteran
Disiplin kedokteran adalah aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan
dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi. Penegakan
disiplin adalah penegakan aturan-aturan dan atau ketentuan penerapan keilmuan dalam
pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi. Aturan-aturan tersebut
tersebar dalam UU Praktik Kedokteran, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Kesehatan,
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia, Ketentuan dan Pedoman Organisasi Profesi, Kode
Etik Profesi dan juga kebiasaan umum (common practice) di bidang kedokteran dan
kedokteran gigi. Pelanggaran disiplin adalah penyimpangan terhadap standar profesi yang
ditentukan oleh organisasi profesi dan prosedur professional yang ditentukan oleh sarana
pelayanan kesehatan setempat.1 Pelanggaran disiplin kedokteran dapat dikelompokan dalam 3
hal, yaitu:

1. Melaksanakan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.


2. Tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan baik.
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi kedokteran sesuai
UU No. 29 tahun 2004.

Jenis pelanggaran disiplin kedokteran yang dimuat dalam Peraturan Konsil


Kedokteran Indonesia No. 4 tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi
Indonesia adalah sebagai berikut:5

1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten


2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki kompetensi
sesuai
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki
kompetensi untuk melakukan dan melaksanakan pekerjaan tersebut
4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki
kompetensi dan kewenangan sesuai, atau tidak melakukan pemberitahuan perihal
penggantian tersebut
5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik atau mental
sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien
6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau
tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab
profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat
membahayakan pasien
7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan pasien
8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information)
kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran
9. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga
dekat atau wali atau pengampunya
10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik, sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi
11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak
sesuai dengan ketentuan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
dan etika profesi
12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan
sendiri atau keluarganya
13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau keterampilan
atau teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara praktik kedokteran yang
layak
14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan manusia
sebagai subjek penelitian, tanpa memperoleh persetujuan etik (ethical clerance) dari
lembaga yang diakui pemerintah
15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak
membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan
mampu melakukannya
16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang
layak dan sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika
profesi
17. Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan atau etika profesi
18. Membuat keterangan medik yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang
diketahuinya secara benar dan patut
19. Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan (torture) atau
eksekusi hukuman mati
20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat adiktif
lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan etika
profesi
21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi atau tindakan kekerasan terhadap
pasien di tempat praktik
22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya
23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta pemeriksaan atau
memberikan resep obat/alat kesehatan
24. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/pelayanan yang
dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang tidak benar atau menyesatkan
25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif lainnya
26. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Ijin Praktik
(SIP) dan/atau sertifikat yang tidak sah
27. Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medik
28. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang diperlukan
MKDKI untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disiplin

Fitness to Stand Trial6


Fitness to stand trial atau kelayakan seseorang untuk menjalani persidangan adalah
suatu ukuran kemampuan seseorang untuk memahami materi dan maksud persidangan.
Tanpa pemahaman materi dan maksud persidangan maka seseorang tidak dapat dianggap
hadir dalam suatu persidangan. Kapasitas yang harus dimiliki seseorang untuk dapat
dikatakan kompeten memberikan kesaksian di pengadilan adalah mampu mengamati,
mengingat dan berkomunikasi tentang peristiwa yang dipertanyakan, serta memahami sifat
dan dampak dari sumpah yang diucapkannya (be capable of observing, remembering, and
communicating about events in question, understand the nature of an oath).
Sidang yang dilaksanakan pengadilan harus bersifat tertib. Orang-orang yang berada
di ruang sidang tanpa terkecuali harus bersikap tenang, sopan, dan harus menaati peraturan
yang berlaku. Terperiksa baik dalam kedudukan sebagai terdakwa, penggugat, saksi ataupun
kedudukan yang lain harus pula mampu menaati peraturan tersebut dalam arti di dalam
sidang terperiksa harus mampu duduk tenang dan sopan selama waktu relatif lama serta harus
mampu berkomunikasi secara baik wajar dan sopan.
Sidang pengadilan merupakan tempat berkomunikasi dimana mereka yang terlibat
saling bertanya jawab. Tanya jawab harus berlangsung tertib dengan harapan hakim dapat
memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya sehingga dapat mengambil
keputusan hukum yang tepat, objektif, dan adil.
Di lain pihak dimaklumi bahwa situasi sidang pengadilan bagi terperiksa sangat
menekan (stressful). Tidak diharapkan selama sidang atau setelah sidang, akibat rasa tertekan
terperiksa menjadi sakit atau penyakitnya menjadi lebih berat atau penyakit yang sudah
sembuh timbul kembali.

Syarat-syarat Menjalankan Persidangan6


Apabila seseorang (terperiksa) akan diajukan ke sidang pengadilan, terlebih dulu
harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Apakah sidang dapat dilaksanakan (applicable)?


Sidang dapat dilaksanakan apabila terperiksa menaati peraturan ketertiban sidang.
Sidang tidak mungkin dilaksanakan apabila terperiksa gelisah, tidak dapat duduk
tenang, harus dalam posisi berbaring, misalnya karena cedera tulang punggung atau
harus diinfus, atau terperiksa berbicara tidak terkendali.
2. Apakah sidang tidak berbahaya (harmful) bagi terperiksa?
Sidang tidak dapat dilaksanakan apabila suasana sidang terlalu menekan sehingga
terperiksa dapat menjadi sakit atau bahkan meninggal.
3. Apakah sidang bermanfaat (beneficial)?
Sidang merupakan arena tanya jawab dimana semua pihak berusaha mengemukakan
informasi menurut visi mereka masing-masing agar dapat dipergunakan hakim untuk
mengambil keputusan. Diharapkan dalam tanya jawab, terperiksa dapat mengerti apa
yang ditanyakan padanya dan dapat mengemukakan pendapat yang dapat dipahami
oleh orang lain. Dengan demikian, pemeriksaan mengenai kemampuan seseorang
untuk diajukan di sidang pengadilan (fitness to stand trial) memerlukan pemeriksaan
tentang kemampuan terperiksa untuk menaati peraturan sidang bahwa sidang tidak
membahayakan bagi terperiksa.

Penentuan mengenai kecakapan untuk bertanya jawab (competence to be interviewed)


dapat dinilai dari kemampuan terperiksa memahami kedudukan dirinya dan memahami
situasi lingkungannya. Ia harus mengetahui kedudukannya dalam sidang (sebagai saksi,
terdakwa, atau penggugat). Ia juga harus mengetahui persoalan yang dihadapinya
(perkaranya) dan mampu mengusahakan pembelaan atau mampu minta pertolongan
seseorang untuk minta pembelaan persoalannya. Selain itu ia harus memahami situasi
lingkungannya. Dalam arti bahwa ia memahami ia berada di ruang sidang pengadilan
berhadapan dengan hakim, jaksa, penasihat hukum, dan lain-lain.
Dalam sidang, terperiksa harus mampu berkomunikasi dengan baik. Kemampuan
berkomunikasi ini dapat kita nilai dengan cara penilaian kemampuan mengemukakan ide,
atau pendapat yang dipahami oleh orang lain; serta dapat memahami pendapat atau ide orang
lain dengan wajar dan baik. Apabila terperiksa dapat memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut
di atas, ia dianggap cakap dan layak untuk diajukan ke sidang pengadilan (competence and fit
to stand trial). Mungkin seseorang dianggap tidak cakap dan tidak layak yang dapat bersifat
permanen (menetap) atau temporer (sementara). Dalam keadaan tidak cakap dan tidak layak
yang bersifat sementara, maka terperiksa dapat lebih dulu diterapi dan diajukan ke sidang
pengadilan setelah sembuh. Sering pula terperiksa tidak menjadi sakit, tetapi dalam sidang
menjadi sangat tertekan sehingga tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Dalam keadaan
seperti ini, terperiksa dapat didampingi oleh seseorang yang ditunjuk atau disetujui oleh
hakim.

Aspek Medikolegal Fitness to Stand Trial


Dasar hukumnya yang pertama adalah Pasal 44 (1) KUHP, yang berbunyi: barang
siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya disebabkan
karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena
penyakit (ziekelijke storing) tidak dipidana. Jadi yang dapat dikenakan pasal ini tidak hanya
orang yang menderita penyakit jiwa (psikosis) tetapi juga yang retardasi mental. Yang
dimaksud pelayanan kesehatan jiwa/RSJ adalah RSJ pemerintah pusat/daerah. Ternyata
perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan pada seseorang karena ayat 1. Maka hakim
dapat meminta untuk mendapatkan perawatan di RSJ paling lama 1 tahun.
Dasar hukum yang kedua adalah UU Kesehatan Nomor 36 tahun 2011, Pasal 150 (1)
pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum (visum et repertum
psychiatricum) hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa pada fasilitas
pelayanan kesehatan. Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami
gangguan kesehatan jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan
kompetensi sesuai dengan standar profesi.

Interpretasi
Seseorang layak menjalani persidangan kalau dia mampu memahami materi dan
maksud persidangan. Tanpa pemahaman materi dan maksud persidangan maka seseorang
tidak dapat dianggap hadir dalam suatu persidangan. Dalam kasus ini kelayakan dihubungkan
dengan kondisi medis tersangka, terutama kondisi mental tersangka. Mampu tidaknya
tersangka berkomunikasi dengan jelas dan rasional dengan penasihat hukum dan aparat
hukum menjadi patokan kelayakannya menjalani persidangan.

Fitness to be Detained7
Terdakwa harus memenuhi kriteria, salah satunya adalah kelayakan/ukuran
kemampuan seseorang secara medis untuk menjalani penahanan yang disebut fitness to be
detained. Pemeriksaan kelayakan pada kasus ini dapat diperiksa oleh dokter kejaksaan atau
dokter forensik baik melalui permintaan kejaksaan maupun penasihat hukum kondisi
kesehatannya layak untuk penahanan, maka tersangka akan ditahan di tempat tahanan yang
disiapkan, bila kondisi kesehatan tersangka tidak memungkinkan untuk penahanan, maka
tersangka akan dirawat di rumah sakit dengan pengawasan dari pihak kepolisian dan atau
kejaksaan. Penahanan menurut KUHAP hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau
terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan
dalam tindak pidana tersebut dalam hal [Pasal 21 ayat (4) KUHAP].

Syarat Penentuan Penahanan


Pada dasarnya penahanan merupakan salah satu bentuk pengekangan kebebasan
terhadap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana, sehingga penahanan dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Namun demikian dalam proses
peradilan pidana, penahanan boleh dilakukan oleh pejabat yang memiliki kewenangan
dengan memperhatikan syarat sahnya dan perlunya penahanan yang telah ditentukan oleh
Undang-undang. Suatu penahanan dinyatakan sah apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu.7,8
Secara teoritis, dibedakan antara sahnya penahanan (rechtsvaardigheid) dan perlunya
penahanan (noodzakelijkheid). Sahnya penahanan bersifat objektif dan mutlak, artinya dapat
dibaca di dalam undang-undang tentang tindak pidana yang tersangkanya dapat ditahan.
Mutlak karena pasti, tidak dapat diatur-atur oleh penegak hukum. Sedangkan perlunya
penahanan bersifat relatif (subyektif) karena yang menentukan kapan dipandang perlu
diadakan penahanan tergantung penilaian pejabat yang akan melakukan penahanan.

Pasal 20 KUHAP menentukan:

1. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah


penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan.
2. Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan
atau penahanan lanjutan.
3. Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya
berwenang melakukan penahanan. Di dalam Pasal 20 KUHAP tersebut, ditentukan
pejabat yang berwenang melakukan penahanan.

Pejabat yang dimaksud adalah penyidik atau penyidik pembantu atas perintah
penyidik, penuntut umum dan hakim pada setiap tingkat pengadilan. Ketentuan ini
mempertegas tujuan penahanan yakni untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di pengadilan. Aturan penahanan dalam Pasal 20 KUHAP digolongkan sebagai
syarat objektif. Artinya, penahanan baru sah, jika pejabat yang menahan berwenang
melakukan penahanan. Apabila penahanan itu dilakukan oleh pejabat yang tidak berwenang,
maka penahanan itu tidak sah.

Selanjutnya syarat penahanan dipertegas dalam Pasal 21 KUHAP yang menentukan:

1. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka


atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindakan pidana berdasarkan bukti yang
cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka
atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan
atau mengulangi tindak pidana.
2. Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau Penuntut umum
terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau
penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan
menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang
dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.
3. Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim
sebagai mana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya.
4. Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang
melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam
tindak pidana tersebut dalam hal:
a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296,
Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378,
Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal
506. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechten
Ordonnantie Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan staatssblad Tahun 1931
(Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 Undang-undang Imigrasi
(Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955
Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal
48 Undang-undang nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara
Tahun 1976 Nomor 37 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).

Hal penting yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP adalah unsur perlunya
penahanan dilakukan atau disebut juga syarat subjektif. Syarat subjektif diletakkan pada
keadaan yang menimbulkan adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana.
Syarat subjektif dan objektif berlaku juga terhadap mekanisme penahanan yang diatur
dalam Undang-undang khusus seperti Undang-undang nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Penahanan menurut Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dilakukan terhadap anak yang diduga
keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Namun dalam pelaksanaannya, pejabat yang berwenang melakukan penahanan harus
memperhatikan syarat subjektif dan objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4)
KUHAP. Syarat subjektif menurut Pasal 12 ayat (3) tersebut adalah adanya kekhawatiran
tersangka atau terdakwa melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti atau
mengulangi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Syarat objektif adalah tersangka atau
terdakwa diduga melakukan pelanggaran HAM yang berat yakni kejahatan genosida atau
kejahatan kemanusiaan.

Tata Cara Penahanan


Tata cara penahanan atau penahanan lanjutan harus didasarkan pada Pasal 21 ayat (2)
dan ayat (3) KUHAP. Meskipun penahanan tersebut telah memenuhi syarat subjektif dan
objektif, tetapi dalam pelaksanaannya tidak dibolehkan dilakukan secara sewenang-wenang.
Penyidik atau penuntut umum harus menerbitkan surat perintah penahanan apabila
melaksanakan penahanan atau surat penetapan penahanan apabila penahanan itu dilakukan
oleh hakim.
Surat perintah penahanan atau surat penetapan penahanan yang diterbitkan, harus
berisi empat hal pokok. Pertama, identitas tersangka atau terdakwa yang terdiri atas, nama
lengkap, umur, pekerjaan, jenis kelamin dan tempat tinggal. Kedua, alasan hukum sehingga
tersangka atau terdakwa dikenakan penahanan misalnya untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan atau pemeriksaan di pengadilan. Ketiga, uraian secara singkat dan jelas tindak
pidana yang disangkakan atau didakwakan dan keempat, menyebutkan secara pasti tempat
atau lokasi penahanan.7
Selanjutnya, surat perintah penahanan atau surat penetapan penahanan harus
ditembuskan kepada pihak keluarga tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan. Hal
ini dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada keluarga tersangka atau terdakwa
mengenai penahanan yang dilakukan dan menjadi alat kontrol untuk memastikan keberadaan
tersangka atau terdakwa, serta menjadi dasar untuk mengajukan keberatan melalui
praperadilan apabila penahanan tersebut dipandang tidak sah. Tata cara penahanan yang
dimaksud pada Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP merupakan upaya mencegah terjadinya
penahanan yang sewenang-wenang. penahanan yang sewenang-wenang jelas merupakan
pelanggaran HAM yang tidak hanya dilarang oleh KUHAP, tetapi juga oleh Kovenan
ICCPR. Pasal 9 ayat (1) kalimat kedua dan ketiga ICCPR menentukan bahwa tidak
seorangpun dapat diketahui penangkapan atau penahanan secara sewenang-wenang.

Pemeriksaan Fisik
Dalam kasus, pasien menderita penyakit lutut atau osteochondritis genu sehingga ia
mengalami hambatan dalam berjalan. Maka, untuk memastikan apakah kondisi pasien
memerlukan perawatan atau tidak, beberapa pemeriksaan harus dilakukan terhadap pasien.
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik juga
disesuaikan dengan keadaan dan kondisi penderita, misalnya penderita yang memerlukan
penanganan darurat maka pemeriksaan fisik yang dilakukan seperlunya sesuai dengan
kebutuhan yang ada.
1. Status Generalis
Dalam pemeriksaan ortopedi secara umum, saat penderita datang pada kita
sudah merupakan suatu pemeriksaan awal menyeluruh secara sambil lalu dengan
melihat postur dan cara berjalan penderita. Pemeriksaan fisik ortopedi yang dilakukan
meliputi pemeriksaan bagian dengan keluhan utama yang dikeluhkan dilakukan
secara teliti. Tetapi harus diingat bahwa keluhan pada satu tempat mungkin akibat
dari kelainan pada tempat lain, sehingga tidak cukup hanya dengan memeriksa pada
tempat dengan keluhan utama.
Selain itu, dilakukan pemeriksaan kemungkinan nyeri kiriman dari sumber di
tempat lain (reffered pain) Pemeriksaan fisik sebenarnya sudah dimulai ketika
penderita datang ke dokter dengan mengamati penampakan umum penderita, raut
muka, cara berjalan, cara duduk dan cara tidur, proporsi tinggi badan terhadap
anggota tubuh lainnya, keadaan simetris bagian tubuh kiri dan kanan, cara berjalan
dan tingkah laku, ekspresi wajah, kecemasan serta reaksi emosional lainnya untuk
melihat aspek-aspek emosional dan somatis dari penderita. Pemeriksaan fisik
mempunyai nilai yang paling penting dalam memperkuat penemuan-penemuan yang
berhasil kita dapatkan dari riwayat dan anamnesis yang telah kita buat dan menambah
atau mengurangi pilihan diagnosis yang dapat kita lakukan.
2. Pemeriksaan Lokalis
Pemeriksaan lokalis dilakukan secara sitematis dengan urutan-urutan sebagai
berikut:
a. Inspeksi (Look)
b. Palpasi (Feel)
c. Kekuatan otot (Power)
d. Penilaian gerakan sendi baik pergerakan aktif maupun pasif (Move)
e. Auskultasi
f. Uji-uji fisik khusus
Setelah itu, dilakukan pemeriksaan penunjang. Sebagai penunjang, pemeriksaan yang
penting adalah pencitraan menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran
3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang sulit, oleh karena itu minimal diperlukan 2 proyeksi
tambahan (khusus) atas indikasi khusus untuk memperlihatkan patologi yang dicari, karena
adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang tersebut dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu pemeriksaan dengan teknik khusus
seperti:
1. CT (Computerized Tomography) yang dapat membuat selain potongan longitudinal
juga potongan transversal/aksial. Atau dengan contrast, seperti: myelography,
arthrography, fistulography, scintigraphy menggunakan radioisotop untuk mengetahui
penyebaran (metastasis).
2. MRI/NMR (Magnectic Resonance Imaging atau Nuclear Magnectic Resonance)

Pemeriksaan penunjang lainnya adalah untuk mengetahui tempat berapa jauh dari
patologi muskuloskeletal mengakibatkan gangguan saraf, yaitu pemeriksaan: EEG, EMG,
MMT. Pemeriksaan ini ditujukan untuk membedakan kekuatan otot (0–5) dan sensoris atau
sensible deficit dengan pemeriksaan neurologis yang baik.
Pemeriksaan laboratorium penunjang lainnya adalah dilakukan pemeriksaan darah
rutin untuk mengetahui keadaan umum, infeksi akut atau menahun. Atas indikasi tertentu,
diperlukan pemeriksaan kimia darah, reaksi imunologi, fungsi hati atau ginjal.9

Aspek Medikolegal

SURAT EDARAN TENTANG PEMBERIAN IJIN BEROBAT KE LUAR NEGERI


BAGI TERSANGKA/TERDAKWA PERKARA PIDANA

Nomor: SE-001/A/J.A/03/2004 Jakarta, 31 Maret 2004

Memperhatikan semakin banyak tersangka/terdakwa perkara pidana umum maupun


khusus) yang mengajukan ijin berobat ke luar negari dengan berbagai alasan dan ternyata ijin
berobat ke luar negari banyak disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh tersangka/terdakwa
untuk menghindari proses penyidikan, penuntutan atau eksekusi putusan pengadilan.
Mengingat Pasal 33 Undang-undang No. 5I Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, dan
untuk mengantisipasi hal-hal diatas, dengan ini diberikan petunjuk sebagai berikut:

1. Pada prinsipnya seorang tersangka/terdakwa perkara tindak pidana (umum/khusus)


yang perkaranya sedang dalam proses penyidikan atau penuntutan tidak diijinkan
untuk berobat ke luar negeri, karena rumah sakit rumah sakit di Indonesia pada
umumnya telah dapat mengobati semua jenis penyakit. Ijin berobat ke luar negeri
hanya dapat diberikan terhadap kondisi-kondisi dan jenis penyakit tertentu yang
belum dapat diobati di rumah sakit-rumah sakit di Indonesia.
2. Ijin berobat ke luar negeri bagi tersangka/terdakwa hanya dapat diberikan oleh Jaksa
Agung RI, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu.
3. Ijin berobat ke luar negeri harus diajukan oleh tersangka/terdakwa atau keluarganya
setelah mendapatkan rekomendasi dari dokter sepesialis penyakit yang bersangkutan,
dan dilengkapi surat keterangan resmi dari rumah sakit pemerintah yang ditunjuk
untuk dapat memberikan rujukan guna berobat ke luar negeri (Rumah Sakit Umum
Pusat Cipto Mangunkusumo Jakarta) dengan penjelasan bahwa rumah sakit di
Indonesia belum dapat memberikan pelayanan medis / pengobatan terhadap penyakit
yang diderita oleh tersangka/terdakwa.
4. Ijin berobat ke luar negeri diajukan kepada Jaksa Agung RI, melalui jalur berjenjang
(Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, Jaksa Agung Muda yang bersangkutan) dengan
menjelaskan nama dan alamat lengkap rumah sakit di luar negeri yang akan merawat
tersangka/terdakwa agar sewaktu-waktu dapat dihubungi.
5. Harus ada jaminan dari tersangka/terdakwa dan keluarganya bahwa
tersangka/terdakwa yang bersangkutan akan segera kembali ke Indonesia setelah
rumah sakit yang bersangkutan memberikan keterangan bahwa tersangka/terdakwa
dapat dirawat kembali di Indonesia.
6. Kejaksaan yang menangani perkara tersangka/terdakwa yang berobat ke luar negeri
wajib memantau dan meminta perkembangan hasil pengobatan tersangka/terdakwa
dari rumah sakit di luar negeri yang bersangkutan, sekurang kurangnya 1 (satu) bulan
sekali, dan meminta penjelasan masih perlu atau tidaknya tersangka/terdakwa dirawat
di rumah sakit tersebut. Laporan hasil pemantauan dikirim setiap bulan kepada Jaksa
Agung RI, tembusan kepada Jaksa Agung Muda Intelijen dan Jaksa Agung Muda
yang bersangkutan.
Interpretasi
Seseorang dapat dikatakan layak ditahan dengan melakukan pemeriksaan kelayakan
oleh dokter kejaksaan atau oleh dokter forensik baik melalui permintaan perjaksaan maupun
penasihat hukum tersangka. Dokter penilai akan menilai kondisi kesehatan fisik dan mental
tersangka. Bila melalui pemeriksaan medis kondisi kesehatan seseorang menunjukkan hasil
yang layak untuk dilakukan penahanan, maka tersangka akan ditahan di tempat tahanan yang
disiapkan. Namun, bila kondisi kesehatan tersangka tidak memungkinkan untuk penahanan,
maka tersangka akan dirawat di rumah sakit dengan pengawasan dari pihak kepolisian dan
atau kejaksaan.
Pada kasus ini dokter tidak memberikan surat keterangan dokter atau dalam hal ini
surat pengantar berobat ke Jepang. Hal ini dia tidak lakukan karena menurutnya tidak sesuai
dengan Kode Etik Profesi Kedokteran di Indonesia, di mana dokter tidak boleh memberikan
surat keterangan dokter tanpa melakukan pemeriksaan medis terlebih dahulu. Jika dia
melakukan hal tersebut dan ada pihak ketiga yang dirugikan maka dokter dan orang yang
menggunakan surat keterangan tersebut bisa dikenakan sanksi pidana.

Kesimpulan
Seseorang dapat dikatakan layak menjalani persidangan apabila ia memiliki kondisi
kesehatan mental yang baik untuk memahami materi dan maksud dari persidangan yang
dilakukan. Selain itu, seseorang juga dapat dikatakan layak untuk ditahan apabila ia memiliki
kondisi kesehatan fisik yang baik. Dalam membuat surat rujukan berobat ke luar negeri untuk
tahanan tindak pidana harus diperhatikan ketentuan pembuatan surat keterangan dokter di
mana pembuatan surat keterangan dokter tersebut harus diawali dulu dengan melakukan
pemeriksaan medis terlebih dahulu terhadap orang yang bersangkutan, dalam hal ini tahanan
tindak pidana.

Daftar Pustaka

1. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran & hukum kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta:
EGC; 2008.
2. Bertens K. Etika biomedis. Yogyakarta: Kanisius; 2011. h.10.
3. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran: pengantar bagi
mahasiswa kedokteran dan hukum. Jakarta: Pustaka Dwipar; 2007. h.29.
4. Goldim JR. Revisiting the beginning of bioethics: the contribution of Fritz Jahr
(1972). Perspect Biol Med 2009;52(3):377-80.
5. Safitry O. Kompilasi peraturan perundang-undangan terkait praktik kedokteran.
Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2014. h.99-101.
6. Wirasuta IMAG. Pengantar menuju ilmu forensik. Bali: Department of Pharmacy
Udayana University; 2009.
7. Ciccone JR. Competence to stand trial: efforts to clarify the concept and improve
clinical evaluations of criminal defendants. Current Opinion in Psychiatry
1999;12:647-651.
8. Budiyanto A, Widiatmaka W, dkk. Peraturan perundang-undangan bidang
kedokteran. Edisi ke-2. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1994. h 20-36.
9. Bickley, Lynn S. Buku saku pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan Bates. Edisi ke-5.
Jakarta: EGC; 2008. h.227-60.

Anda mungkin juga menyukai