Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN

BAKTERI Clostridium botulinum PENGHASIL TOKSIN


BOTULINUM SEBAGAI AGEN BIOTERORISME

Oleh :

M. Rizky Muzakki / M0416027

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia selalu mengembangkan ilmu dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Dalam perkembangannya, pengembangan ilmu dan teknologi tidak bebas dari
problematika moral. Seringkali terdapat perdebatan terkait penerapan ilmu dan pemanfaatan
teknologi bagi masyarakat maupun negara. Perdebatan tersebut didasari oleh kepentingan-
kepentingan yang terlibat dalam suatu pengembangan ilmiah. Siapapun yang merasa mendapat
keuntungan dari suatu kegiatan pengembangan ilmu akan berusaha keras untuk bisa
memanfaatkan hasil suatu penelitian tersebut.

Kerugian juga bisa didapati dari pengembangan ilmu dan teknologi. Kerugian bisa
datang ketika manusia tidak memanfaatkan suatu temuan ilmiah secara tepat. Suatu contoh
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merugikan manusia adalah penggunaan
perantara biologi untuk melancarkan aksi teror atau bioterorisme. Terorisme dalam bentuk
apapun bukan suatu hal yang dapat dimaklumi dan disepelekan. Secara etimologi, terorisme
berasal dari kata latin terrere yang artinya menggetarkan. Secara terminologi, terorisme dapat
diartikan sebagai setiap tindakan yang menimbulkan suasana ketakutan dan keputusasaan.
Pengertian terorisme mengalami perluasan paradigma dalam European Convention on the
Suppression of Terrorism (ECST) dari “Crimes against State” menjadi “Crimes against
Humanity”. Berkaitan dengan HAM, “crimes against humanity” masuk kategori “gross
violation of human rights” yang dilakukan sebagai serangan meluas atau sistematik yang
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil (Jenggis, 2012)

Pengembangan bioterorisme berkaitan pula dengan pengembangan ilmu biologi dan


perkembangan bioteknologi saat ini. Pencapaian gemilang dalam rekayasa genetika dibayangi
penyalahgunaan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Penggunaan agen biologis sebagai
senjata perang dan alat terror terhadap seseorang maupun sekelompok orang demi kepentingan
tertentu tidak hanya merugikan masyarakat tetapi juga telah jauh menyimpang dari tujuan ilmu
untuk kemanusiaan yang lebih bermartabat. Salah satu penggunaan agen biologis sebagai alat
teror adalah pemanfaatan mikroba seperti Clostridium botulinum yang diketahui dapat
memproduksi toksi botulinum yang sangat mematikan yang akan dibahas lebih lanjut dalam
makalah ini mengenai mekanisme toksin, potensi bioterosime toksin, hingga langkah
pencegahannya. Clostridium botulinum adalah nama jenis bakteri yang umumnya ditemukan
di tanah dengan kondisi yang kandungan oksigennya sangat rendah. Selama pertumbuhan
Clostridium botulinum dan selama autolysis bakteri, toksin dikeluarkan ke dalam lingkungan
sekitarnya. Toksin tersebut memiliki daya toksisitas 50-100 kali lebih besar daripada sodium
sianida, sehingga memiliki potensi bioterorisme yang sangat besar.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan bakteri Clostridium botulinum serta toksin botulinum
yang dihasilkannya?
2. Bagaimana patogenisitas bakteri penghasil toksin botulinin?
3. Bagaimana potensi toksin tersebut sebagai agen bioterorisme?
4. Apa saja gejala dari botulisme?
5. Bagaimana pengobatan dan pencegahan resiko dari botulisme?

1.3. Tujuan
1. Mengetahui bakteri Clostridium botulinum serta toksi botulinum yang dihasilkannya
2. Memahami patogenensis bakteri penghasil toksin botulinum
3. Memahami potensi toksin botulinum sebagai agen bioterorisme
4. Mengetahui gejala-gejala klinis dari botulisme
5. Mengetahui langkah pengobatan serta pencegahan resiko botulisme
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Bioterorisme

Bioterorisme merupakan suatu terorisme yang melibatkan pelepasan atau diseminasi


secara sengaja dari agen-agen biologis. Agen-agen biologis ini dapat berupa bakteri, virus,
fungi, atau toksin, dan dapat dalam bentuk alaminya maupun melalui proses rekayasa oleh
manusia. Rekayasa tersebut digunakan untuk meningkatkan kemampuan untuk membunuh,
membuatnya resisten terhadap obat-obatan tertentu, atau meningkatkan kemampuan
dispersinya pada lingkungan. Agen biologis tersebut dapat disebar melalui udara, air, maupun
makanan. Salah satu keunggulan penggunaan bioterorisme sebagai senjata adalah karena
keberadaannya yang sulit dideteksi dan baru dapat menyebabkan gejala infeksi beberapa jam
bahkan beberapa hari setelah pelepasan.

Agen biologis biasanya relative mudah dan murah untuk didapatkan, dapat didiseminasi
dengan mudah, dan dapat menyebabkan kepanikan masal yang lebih luas dibandingkan
penyerangan langsung secara fisik. Beberapa agen bioterorisme juga dapat menular dari satu
manusia ke manusia lain, seperti cacar. Meski begitu, bioterorisme memiliki beberapa limitasi,
yaitu sulit untuk mengembangan senjata biologis yang hanya menyerang musuh.

Agen bioterorisme dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

1. Kategori A
Agen ini memiliki potensi untuk mengancam keamanan nasional, mudah
ditransmisikan dan didiseminasi dengan hasil mortalitas yang tinggi. Hal ini
menyebabkan agen tersebut berpotensi dalam menyebabkan kepanikan masal, sehingga
membutuhkan kesiapan fasilitas kesehatan. Contoh agen kategori A yaitu tularemia,
anthrax, toksin botulinum, dan demam hemoragik viral (seperti virus Ebola atau virus
Lassa).
2. Kategori B
Agen-agen ini relatif mudah diseminasinya dan memiliki tingkat mortilitas rendah.
Contohnya kolera, toksin epsilon, toksin abrin, dan typhus.
3. Kategori C
Agen-agen kategori C merupakan pathogen yang dapat muncul dan dapat didesain
khusus untuk diseminasi masal karena availibilitas yang tinggi, produksi mudah, dan
tingkat mortilitas tinggi. Contohnya virus Nipah, SARS, H1N1, dan HIV/AIDS.

2.2. Clostridium botulinum

Clostridium botulinum adalah nama jenis bakteri yang umumnya ditemukan di tanah
dengan kondisi yang kandungan oksigennya sangat rendah. Dalam bentuk spora, bakteri
tersebut hanya dapat bertahan hidup hingga suatu saat bakteri tersebut dapat berkembang biak
pada kondisi tertentu yang menghasilkan racun botulinum. Clostridium Botullinum pertama
kali di identifikasi tahun 1897 di Belgia oleh Prof. Emile van Ermengem yang menginvestigasi
kasus keracunan makanan setelah mengkonsumsi ham terkontaminasi. Bakteri ini dinamakan
berdasarkan penyakit yang disebabkannya, botulisme, suatu bentuk keracunan makanan yang
mematikan dikaitkan dengan sosis daging (botulus = sosis, dalam bahasa latin).

Klasifikasi ilmiah dari C. botulinum yaitu sebagai berikut:


Domain : Bacteria
Divisi : Firmicutes
Kelas : Clostridia
Ordo : Clostridiales
Famili : Clostridiaceae
Genus : Clostridium
Spesies : Clostridium botulinum

Ada 7 jenis Clostrium Botulinum (A – G) yang dikelompokkan berdasarkan racun yang


diproduksi. Tipe A, B, E, dan F dapat menyebabkan botulisme pada manusia. Tipe C dan D
menyebabkan sebagian besar botulisme pada hewan. Hewan yang paling sering terinfeksi
adalah unggas liar dan unggas ternak, sapi, kuda, dan beberapa jenis ikan. Walaupun tipe G
telah diisolasi dari tanah di Argentina, belum ada kasus yang diketahui disebabkan oleh strain
ini. Perbedaan berdasarkan fisiologinya :

 Grup I – proteolitik, mesofilik (tipe A, B dan F).


 Grup II – nonproteolitik (tipe B, E dan F)
2.2. Karakteristik Bakteri

1. Morfologi bakteri Clostridium botulium


Clostridium botulinum merupakan bakteri berbentuk bacil (batang), anaerobik
(tidak dapat tumbuh di lingkungan yang mengandung oksigen bebas), Gram-positif,
dapat membentuk spora, dan dapat memproduksi racun syaraf yang kuat. Sporanya
tahan panas dan dapat bertahan hidup dalam makanan dengan pemrosesan yang kurang
sesuai atau tidak benar.

Gambar 1. Clostridium botulinum di bawah mikroskop elektron

Sel vegetatif C. botulinum berbentuk batang dan berukuran cukup besar untuk
ukuran bakteri. Panjangnya antara 3 μm hingga 7 – 8 μm. Lebarnya antara 0,4 μm
hingga 1,2 μm. C. botulinum termasuk bakteri Gram positif.. Lapisan paling luar spora
disebut dengan exosporium. Exosporium ini bervariasi antara masing – masing species,
terkenal pada species yang bersifat patogen, termasuk C. botulinum.

Lapisan di bawah exosporium disebut dengan membran spora, terdiri atas


protein yang strukturnya tidak biasa. Bagian tengah spora mengandung DNA spora,
ribosom, enzim, dan kation. Kandungan logam pada spora C. botulinum berbeda dari
kandungan metal pada Bacillus. Strain proteolitik C. Botulinum dapat menghasilkan
spora yang sangat resisten dengan pemanasan tinggi.C. botulinum merupakan bakteri
anaerob yang tidak dapat tumbuh di lingkungan anaerob.

3. Fisiologi

C. botulinum termasuk bakteri yang bersifat mesophilic dengan suhu optimum


untuk tumbuh yaitu 370 C untuk strain jenis A dan B serta 300 C untuk strain jenis E.
Suhu terendah dari strain jenis A dan B adalah 12,50 C namun pernah juga dilaporkan
bahwa kuman dapat tumbuh pada suhu 100 C. Disisi lain spora jenis F dilaporkan
tumbuh dan menghasilkan toksin pada suhu 40 oC . Strain jenis E memiliki suhu
maksimum 5 derajat lebih rendah dari strain A dan B dengan suhu optimumnya yaitu
300 C (Suardana, 2001; Cliver, 1990 ; Jay, 1978).

Sel vegetatif Clostrium Botulinum tidak terlalu tahan panas sehingga proses
panas dirancang untuk menonaktifkan spora yang tahan panas dari patogennya. Yang
paling tahan panas dari Clostrium botulinum Grup I yaitu (D121°C – 21 menit).
Akibatnya makanan yang akan disimpan disuhu 10°C atau di atasnya diberi perlakuan
“botulinum cook” untuk menginaktifkan spora dari grup I. Biasanya dilakukan pada
makanan botol / kaleng yang mempunyai pH >4.6. “Botulinum cook” biasanya
dilakukan pada suhu 121°C selama minimal 3 menit. Sedangkan grup II tidak begitu
tahan panas daripada grup I. Pada makanan yang didinginkan C. botulinum dapat
tumbuh (pH >4.9 dan Aw 0.96) sehingga diperlukan proses panas untuk menonaktifkan,
yang biasanya terjadi pada akhir proses pada minimum 90°C selama 10 menit. Semua
racun yang dihasilkan oleh Clostrium Botulinum dapat dinonaktifkan dengan
pemanasan 80°C selama setidaknya 10 menit. Namun, racun lebih stabil panas pada pH
yang rendah.

Produksi toksin dari C. botulinum tergantung dari kemampuan sel untuk tumbuh
di dalam makanan dan menjadi autolisis disana (Suardana, 2001; Frazier dan Westhoff,
1988). Lebih lanjut produksi toksin dipengaruhi oleh komposisi dari makanan atau
medium terutama glukosa atau maltosa yang diketahui sangat potensial
terhadap produksi toksin, kelembaban, pH, potensial redok, kadar garam, temperatur
dan waktu penyimpanan.

2.3. Toksin Botulinum


Selama pertumbuhan Clostridium botulinum dan selama autolysis bakteri, toksin
dikeluarkan ke dalam lingkungan sekitarnya. Dikenal tujuh varaiasi antigenic toksin (A-G).
Tipe A, B, dan E (kadang-kadang F) adalah penyebab utama penyakit pada manusia. Tipe A
dan B dihubungkan dengan berbagai makanan, dan tipe E terutama pada hasil ikan. Tipe C
mengakibatkan leher lemas pada unggas; tipe D botiulisme pada mamalia. Toksin merupakan
protein neurotoksik (BM 150.000) dengan struktur dan kerja yang mirip.

Toksin Clostridium botulinum merupakan substansi paling toksik yang diketahui. Dosis
letal bagi manusia mungkin sekitar 1-2 µg. Toksin dirusak oleh pemanasan selama 20 menit
pada suhu 1000C. Pembentukan toksin dibawah kendali suatu gen virus. Beberapa strain
Clostridium botulinum pembentuk toksin menghasilkan bakteriofaga yang dapat menginfeksi
strain nontoksigenik dan mengubahnya menjadi toksigenik. Racun botulinum sangat mirip
dalam struktur dan fungsi terhadap toksin tetanus, tetapi berbeda secara efek klinis karena
mereka menargetkan sel-sel yang berbeda dalam sistem saraf. Botulinum neurotoksin dominan
mempengaruhi sistem saraf perifer mencerminkan preferensi toksin untuk stimulasi motor
neuron pada sambungan neuromuskuler. Gejala utama adalah kelemahan atau kelumpuhan
lembek. Toksin tetanus dapat mempengaruhi sistem yang sama, namun tetanospasmin yang
menunjukkan tropisme untuk penghambatan motor neuron sistem saraf pusat, dan efeknya
terutama kekakuan dan kelumpuhan spastik.

Toksin botulinum disintesis sebagai rantai polipeptida tunggal dengan berat molekul
sekitar 150 kDa. Dalam bentuk ini, racun tersebut memiliki potensi yang relatif rendah. Toksin
ini dibentuk dari rantai ringan dan rantai berat yang diikat oleh pita disulfida. Rantai berat
diduga untuk mengikat toksin secara spesifik dan kuat pada ujung saraf motorik dan dengan
internalisasi toksin. Rantai ringan menghambat pelepasan asetilkolin yang diperantai kalsium.
Toksin bekerja dengan menghambat pelepasan asetilkolin pada sinaps dan hubungan saraf-
otot, mengakibatkan paralisis flasid. Toksin dibelah oleh protease bakteri (atau mungkin oleh
protease lambung) untuk menghasilkan dua rantai: rantai cahaya (fragmen A) dengan berat
molekul 50 kDa, dan rantai berat (fragmen B), dengan berat molekul 100kDa.

2.4. Potensi Bioterorisme

Toksin Botulinum telah melalui berbagai pengembangan dan telah digunakan sebagai
senjata biologis. Jepang menggunakannya terhadap tahan perang pada tahun 1930, dengan efek
fatal. Tentara-tentara sekutu menerima vaksin botulinum selama Perang Dunia II karena
kekhawatiran bahwa Jerman telah menggunakannya sebagai senjata. Amerika Serikat
memproduksi toksin botulinum sebagai senjata biologis pada Perang Dunia II, sebelum
akhirnya program tersebut dibatalkan pada 1972. Uni Soviet juga melakukan berbagai riset
mengenai potensi senjata dari toksin tersebut hingga awal 1990.

Toksin botulinum banyak digunakan sebagai senjata biologis karena berbagai alasan,
salah satunya adalah sifatnya yang sangat letal, yaitu 1 gram toksin yang teraerosol dapat
membunuh hingga 1 juta orang. Toksin ini juga dapat diisolasi dengan cukup mudah dari tanah.
Dalam pemanfaatannya sebagai senjata, toksin dapat dilepaskan sebagai aerosol maupun
sebagai kontaminan dalam persediaan makanan.

Ingesti toksin merupakan penyebab botulisme, bukan ingesti bakteria. Namun, pada
botulisme tak langsung melalui makanan, ingesti makanan yang terkontaminasi oleh spora
bakteri, dengan keadaan lingkungan anaerobik, dapat membuat spora untuk terus berkembang,
setelah itu bakteri dapat bereproduksi dan menghasilkan toksin.

Toksin botulinum memiliki toksisitas sangat tinggi, yaitu 50-100 kali secara oral lebih
toksik daripada sodium sianida. Bakteri mudah untuk ditumbuhkan, dan toksi secara realtif
juga mudag diproduksi dalam kuantitas besar. Sehingga, botulinum menjadi kandidat utama
dalam pengembangan bioterorisme. Mengubah agen biologis menjadi senjata merupakan
proses yang bertahap. Tahap terakhir memerlukan pengikatan bakteri pada material bubuk
seperti bentonit atau gel silika, sehingga material tetap tersuspensi, membentuk aerosol stabil
sebagai perantara desiminasi. Pelepasan aerosol ini dapat melumpuhkan bahkan membunuh
10% dari orang-orang pada jarak satu pertiga mil dari titik pelepasan. Karena persiapan toksin
botulinum sebagai agen bioterorisme harus benar-benar hati-hati, sebagian besar kelompok
teroris biasanya tak mempunyai peralatan kompleks yang diperlukan dalam mengembangkan
toksin tersebut. Persiapan toksin botulinum yang tidak sesuai dengan sistem yang terlalu
sederhana dapat mengakibatkan eksposur toksin ke publik dalam level yang sangat berbahaya
dan tak terkontrol.

2.5. Patogenesis Clostridium Botulinum

Mekanisme masuknya C. botulinum toksigenik ke dalam tubuh dapat melalui


kontaminasi luka, mulut/makanan dan inhalasi. C. botulinum yang sudah masuk dalam tubuh
dapat memproduksi toksin dalam saluran pencernaan atau jaringan tubuh yang luka karena
lingkungannya mendukung untuk pertumbuhannya. Toksin tidak diabsorbsi melalui kulit yang
utuh.
Sesudah toksin diabsorbsi, maka toksin masuk dalam aliran darah dan ditransportasikan
menuju synaps cholinergik perifer terutama neuromuscular junction. Pada tempat ini, heavy
chain toksin berikatan dengan membran neuronal pada bagian presynaptic synaps perifer.
Toksin kemudian memasuki sel neuronal melalui receptor-mediated endocytosis. Light chain
dari toksin menyeberangi membran vesikel endocytic dan memasuki sitoplasma. Di dalam
sitoplasma, light chain toksin (yaitu senyawa zinc yang mengandung endopeptidase) memecah
beberapa protein yang membentuk synaptic fusion complex. Protein synaptic ini disebut
sebagai protein soluble N-ethylmaleimide-sensitive factor attachment protein receptors
(SNARE), termasuk synaptobrevin (terpecah oleh toksin tipe B, D, F dan G), syntaxin (terpecah
oleh toksin tipe C), dan synaptosomal-associatedprotein (SNAP-25; terpecah oleh toksin tipe
A, C, E).

Neurotoksin clostridial mula-mula tampak terikat pada kompleks SNARE sebelum


terjadi pemecahan. Kompleks synaptic fussion akan menyatukan vesikel synaptic (yang berisi
acetyl choline) dengan membran terminal neuron. Pecahnya kompleks synaptic fussion
mencegah vesikel mengalami fusi dengan membran, yang akan mencegah pelepasan
acetylcholine ke dalam celah sinaps. Tanpa pelepasan acetylcholine neuronal, otot yang
berhubungan tidak dapat berkontraksi dan menjadi lumpuh. Blokade pelepasan acetylcholine
dapat berlangsung beberapa bulan. Fungsi normal akan kembali dengan lambat melalui
kembalinya protein SNARE ke dalam sitoplasma atau melalui produksi sinaps yang baru.
Kematian akibat botulismus secara akut terjadi karena obstruksi udara pernafasan atau
kelumpuhan otot-otot pernafasan.

2.6. Gejala Klinis

Gejala-gejala dimulai 18-24 jam setelah makan makanan yang beracun, dengan
gangguan penglihatan (inkoordinasi otot-otot mata, penglihata ganda), ketidakmampuan
menelan, dan kesulitan bicara, tanda-tanda paralisis bulbar berjalan progresif, dan kematian
terjadi karena paralisis pernafasan atau henti jantung. Gejala gastrointestinal biasanya tidak
menonjol. Tidak ada demam. Penderita tetap sadar sepenuhnya. Penderita yang sembuh tidak
membentuk antitoksin dalam darah.

Di Amerika Serikat, botulisme pada bayi lazim atau lebih lazim ditemui daripada bentuk
klasik botulisme paralitik yang berkaitan dengan memakan makanan terkontaminasi toksin.
Bayi menjadi tidak mau makan, lemah, dan adanya tanda-tanda paralisis (floopy baby).
Botulisme bayi mungkin merupakan satu dari sekian penyebab kematian akibat sindroma
kematian bayi yang tiba-tiba. Clostridium botulinum dan toksin botulinum ditemukan di feses
tetapi tidak di dalam serum. Disimpulkan bahwa spora Clostridium botulinum berada dalam
makanan bayi, mengakibatkan produksi toksin dalam usus. Diduga, merupakan media yang
digunakan untuk spora. Sebagian besar bayi sembuh hanya dengan terapi suportif.

2.7. Tes Diagnosis Laboratorium

Kecurigaan akan botulisme sudah harus dipikirkan dari riwayat pasien dan pemeriksaan
klinik. Bagaimanapun, baik anamnesa dan pemeriksaan fisik tidak cukup untuk menegakkan
diagnosa karena penyakit lain yang merupakan diagnosa banding, seperti Guillain-Barre
Syndrome, stroke dan myastenia gravis memberikan gambaran yang serupa. Dari anamnesa
didapatkan gejala klasik dari botulisme berupa diplopia, penglihatan kabur, mulut kering,
kesulitan menelan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kelemahan otot. Jika sudah lama,
keluhan bertambah dengan paralise lengan, tungkai sampai kesulitan nafas karena kelemahan
otot-otot pernafasan. Pemeriksaan tambahan yang sangat menolong untuk menegakkan
diagnosa botulisme adalah

1. CT-Scan

2. Pemeriksaan serebro spinalis

3. Nerve conduction test seperti electromyography atau EMG,

4. Tensilon test untuk myastenia gravis.

5. Diagnosa dapat ditegakkan dengan ditemukannya toksin botulisme di serum pasien


juga dalam urin. Bakteri juga dapat diisolasi dari feses penderita dengan foodborne
atau infant botulisme

2.8. Pengobatan

Penderita botulisme harus segera dibawa ke rumah sakit. Pengobatannya segera


dilakukan meskipun belum diperoleh hasil pemeriksaan laboratorium untuk memperkuat
diagnosis. Untuk mengeluarkan toksin yang tidak diserap dilakukan:

1. Perangsangan muntah.
2. Pengosongan lambung melalui lavase lambung
3. Pemberian obat pencahar untuk mempercepat pengeluaran isi usus.
Bahaya terbesar dari botulisme ini adalah masalah pernafasan. Tanda-tanda vital
(tekanan darah, denyut nadi, frekuensi nafas dan suhu) harus diukur secara rutin. Jika gangguan
pernafasan mulai terjadi, penderita dibawa ke ruang intensif dan dapat digunakan alat bantu
pernafasan. Perawatan intensif telah mengurangi angka kematian karena botulisme, dari 90%
pada awal tahun 1900 sekarang menjadi 10%. Mungkin pemberian makanan harus dilakukan
melalui infus.

Pemberian antitoksin tidak dapat menghentikan kerusakan, tetapi dapat memperlambat


atau menghentikan kerusakan fisik dan mental yang lebih lanjut, sehingga tubuh dapat
mengadakan perbaikan selama beberapa bulan. Antitoksin diberikan sesegera mungkin setelah
diagnosis ditegakkan. Pemberian ini pada umumnya efektif bila dilakukan dalam waktu 72 jam
setelah terjadinya gejala. Antitoksin tidak dianjurkan untuk diberikan pada bayi, karena
efektivitasnya pada infant botulism masih belum terbukti.

Antitoksin yang poten terhadap tiga tipe toksin botulinum telah dibuat pada hewan.
Karena tipe penyebab pada suatu kasus tertentu biasanya tidak diketahui, antitoksin trivalent
(A, B, E) harus diberikan secara intravena sedini mungkin dengan hati-hati. Bila perlu, ventilasi
yang adekuat harus dipertahankan oleh respirator mesin. Secara eksperimental telah dicoba
pemberian guanidine hidroklorida yang kadang-kadang berhasil. Tindakan-tindakan ini
mengurangi angka kematian dari 65% menjadi di bawah 25%.

2.8. Pencegahan dan Pengendalian

Spora sangat tahan terhadap pemanasan dan dapat tetap hidup selama beberapa jam
pada proses perebusan. Tetapi toksinnya dapat hancur dengan pemanasan, Karena itu memasak
makanan pada suhu 80 derajat Celsius selama 30 menit, bisa mencegah foodborne botulism.
Memasak makanan sebelum memakannya, hampir selalu dapat mencegah terjadinya foodborne
botulism. Tetapi makanan yang tidak dimasak dengan sempurna, bisa menyebabkan botulisme
jika disimpan setelah dimasak, karena bakteri dapat menghasilkan toksin pada suhu di bawah
3oC (suhu lemari pendingin).

Penting untuk memanaskan makanan kaleng sebelum disajikan. Makanan kaleng yang
sudah rusak bisa mematikan dan harus dibuang. Bila kalengnya penyok atau bocor, harus
segera dibuang. Anak-anak dibawah 1 tahun sebaiknya jangan diberi madu karena mungkin
ada spora di dalamnya.
Toksin yang masuk ke dalam tubuh manusia, baik melalui saluran pencernaan, udara
maupun penyerapan melalui mata atau luka di kulit, bisa menyebabkan penyakit yang serius.
Karena itu, makanan yang mungkin sudah tercemar, sebaiknya segera dibuang. Hindari kontak
kulit dengan penderita dan selalu mencuci tangan segera setelah mengolah makanan.

Faktor utama yang membatasi pertumbuhan untuk Clostridium botulinum adalah

1. Suhu dan pH ekstrim


2. Aktivitas air rendah karena makanan dengan kadar air yang tinggi dan dengan kadar
gula atau garam yang tinggi dapat menjadi pemicu pertumbuhan bakteri
3. Pengawet makanan misalnya pengawet seperti nitrit, asam sorbat, fenolik antioksidan,
polifosfat, dan ascorbates, dan
4. Mikroorganisme yang lainnya yang tumbuh bersamaan dengan bakteri ini misalnya
bakteri asam laktat.

Hal yang dapat mencegah Clostridium botulinum bawaan makanan:

1. Jika makanan kaleng, makanan dipanasi untuk setidaknya 80 ° C (176 ° F) selama 10


sampai 20 menit.
2. Produk makanan kaleng, baik di rumah dan komersial, harus diperiksa sebelum
digunakan. Kaleng dengan tutup menggembung atau rusak, kebocoran, atau bau yang
tidak enak tidak boleh digunakan karena pertumbuhan bakteri sering dapat
menghasilkan gas, menyebabkan berkembangnya kaleng wadah makanan .
3. Makanan kaleng harus diberi tekanan dengan waktu,suhu dan persyaratan tertentu
untuk menghindari pertumbuhan bakteri dan spora.
4. Membaca label makanan kalengan sebelem mengkonsumsi dan membuang makanan
tersebut jika sudah melewati batas kadaluarsa atau terdapat goresan,peyok,terbuka
label kaleng wadah makanan tersebut.
5. Bagi produsen makanan kalengan disarankan untuk menggunakan pengawet yang
telah direkomendasikan atau diizinkan untuk menekan pertumbahan bakteri dalam
makanan kalengan.
6. Kemasan atau kaleng vaccum harus disimpan dalam frezzer dengan waktu yang
direkomendasikan dalam waktu yang sedikit diperpanjang.
7. Jauhkan makanan panas di atas 57 ° C (135 ° F) dan makanan dingin di bawah 5 ° C
(41 ° F) untuk mencegah pembentukan spora.
8. Cuci tangan,peralatan memasak sebelum menghidangkan makanan atau
menghindarkan peralatan masak yang kontak dengan daging mentah dengan makanan
sebelum disajikan.
BAB III

KESIMPULAN

1. Clostridium botulinum merupakan bakteri berbentuk bacil (batang), anaerobik (tidak


dapat tumbuh di lingkungan yang mengandung oksigen bebas), gram-positif, dapat
membentuk spora, dan dapat memproduksi racun syaraf yang kuat yaitu toksin
botulinum.
2. Mekanisme masuknya C. botulinum toksigenik ke dalam tubuh dapat melalui
kontaminasi luka, mulut/makanan dan inhalasi. Sesudah toksin diabsorbsi, maka toksin
masuk dalam aliran darah dan dapat menghambat pengeluaran asetilkolin, sehingga
menyebabkan kelumpuhan otot.
3. Toksin botulinum memiliki toksisitas sangat tinggi, yaitu 50-100 kali secara oral lebih
toksik daripada sodium sianida. Bakteri mudah untuk ditumbuhkan, dan toksi secara
realtif juga mudag diproduksi dalam kuantitas besar. Sehingga, botulinum menjadi
kandidat utama dalam pengembangan bioterorisme.
4. Gejala-gejala dimulai 18-24 jam setelah makan makanan yang beracun, dengan
gangguan penglihatan (inkoordinasi otot-otot mata, penglihata ganda), ketidakmampuan
menelan, dan kesulitan bicara, tanda-tanda paralisis bulbar berjalan progresif, dan
kematian.
5. Untuk mengeluarkan toksin yang tidak diserap dilakukan dengan perangsangan muntah,
pengosongan lambung, dan pemberian obat pencahar, sementara untuk melawan toksin
dapat digunakan antitoksin trivalent. Spora tahan terhadap pemanasan, tetapi toksinnya
dapat hancur dengan pemanasan pada suhu 80oC selama 30 menit. Pada makanan yang
tidak dimasak dengan sempurna, bisa menyebabkan botulisme jika disimpan setelah
dimasak, karena bakteri dapat menghasilkan toksin pada suhu di bawah 3oC.
DAFTAR PUSTAKA

Jenggis, A. 2012. 10 Isu Global di Dunia Islam. Yogyakarta: NFP Publishing.

Anda mungkin juga menyukai