Oleh :
SURAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia selalu mengembangkan ilmu dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Dalam perkembangannya, pengembangan ilmu dan teknologi tidak bebas dari
problematika moral. Seringkali terdapat perdebatan terkait penerapan ilmu dan pemanfaatan
teknologi bagi masyarakat maupun negara. Perdebatan tersebut didasari oleh kepentingan-
kepentingan yang terlibat dalam suatu pengembangan ilmiah. Siapapun yang merasa mendapat
keuntungan dari suatu kegiatan pengembangan ilmu akan berusaha keras untuk bisa
memanfaatkan hasil suatu penelitian tersebut.
Kerugian juga bisa didapati dari pengembangan ilmu dan teknologi. Kerugian bisa
datang ketika manusia tidak memanfaatkan suatu temuan ilmiah secara tepat. Suatu contoh
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merugikan manusia adalah penggunaan
perantara biologi untuk melancarkan aksi teror atau bioterorisme. Terorisme dalam bentuk
apapun bukan suatu hal yang dapat dimaklumi dan disepelekan. Secara etimologi, terorisme
berasal dari kata latin terrere yang artinya menggetarkan. Secara terminologi, terorisme dapat
diartikan sebagai setiap tindakan yang menimbulkan suasana ketakutan dan keputusasaan.
Pengertian terorisme mengalami perluasan paradigma dalam European Convention on the
Suppression of Terrorism (ECST) dari “Crimes against State” menjadi “Crimes against
Humanity”. Berkaitan dengan HAM, “crimes against humanity” masuk kategori “gross
violation of human rights” yang dilakukan sebagai serangan meluas atau sistematik yang
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil (Jenggis, 2012)
1. Apakah yang dimaksud dengan bakteri Clostridium botulinum serta toksin botulinum
yang dihasilkannya?
2. Bagaimana patogenisitas bakteri penghasil toksin botulinin?
3. Bagaimana potensi toksin tersebut sebagai agen bioterorisme?
4. Apa saja gejala dari botulisme?
5. Bagaimana pengobatan dan pencegahan resiko dari botulisme?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui bakteri Clostridium botulinum serta toksi botulinum yang dihasilkannya
2. Memahami patogenensis bakteri penghasil toksin botulinum
3. Memahami potensi toksin botulinum sebagai agen bioterorisme
4. Mengetahui gejala-gejala klinis dari botulisme
5. Mengetahui langkah pengobatan serta pencegahan resiko botulisme
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Bioterorisme
Agen biologis biasanya relative mudah dan murah untuk didapatkan, dapat didiseminasi
dengan mudah, dan dapat menyebabkan kepanikan masal yang lebih luas dibandingkan
penyerangan langsung secara fisik. Beberapa agen bioterorisme juga dapat menular dari satu
manusia ke manusia lain, seperti cacar. Meski begitu, bioterorisme memiliki beberapa limitasi,
yaitu sulit untuk mengembangan senjata biologis yang hanya menyerang musuh.
1. Kategori A
Agen ini memiliki potensi untuk mengancam keamanan nasional, mudah
ditransmisikan dan didiseminasi dengan hasil mortalitas yang tinggi. Hal ini
menyebabkan agen tersebut berpotensi dalam menyebabkan kepanikan masal, sehingga
membutuhkan kesiapan fasilitas kesehatan. Contoh agen kategori A yaitu tularemia,
anthrax, toksin botulinum, dan demam hemoragik viral (seperti virus Ebola atau virus
Lassa).
2. Kategori B
Agen-agen ini relatif mudah diseminasinya dan memiliki tingkat mortilitas rendah.
Contohnya kolera, toksin epsilon, toksin abrin, dan typhus.
3. Kategori C
Agen-agen kategori C merupakan pathogen yang dapat muncul dan dapat didesain
khusus untuk diseminasi masal karena availibilitas yang tinggi, produksi mudah, dan
tingkat mortilitas tinggi. Contohnya virus Nipah, SARS, H1N1, dan HIV/AIDS.
Clostridium botulinum adalah nama jenis bakteri yang umumnya ditemukan di tanah
dengan kondisi yang kandungan oksigennya sangat rendah. Dalam bentuk spora, bakteri
tersebut hanya dapat bertahan hidup hingga suatu saat bakteri tersebut dapat berkembang biak
pada kondisi tertentu yang menghasilkan racun botulinum. Clostridium Botullinum pertama
kali di identifikasi tahun 1897 di Belgia oleh Prof. Emile van Ermengem yang menginvestigasi
kasus keracunan makanan setelah mengkonsumsi ham terkontaminasi. Bakteri ini dinamakan
berdasarkan penyakit yang disebabkannya, botulisme, suatu bentuk keracunan makanan yang
mematikan dikaitkan dengan sosis daging (botulus = sosis, dalam bahasa latin).
Sel vegetatif C. botulinum berbentuk batang dan berukuran cukup besar untuk
ukuran bakteri. Panjangnya antara 3 μm hingga 7 – 8 μm. Lebarnya antara 0,4 μm
hingga 1,2 μm. C. botulinum termasuk bakteri Gram positif.. Lapisan paling luar spora
disebut dengan exosporium. Exosporium ini bervariasi antara masing – masing species,
terkenal pada species yang bersifat patogen, termasuk C. botulinum.
3. Fisiologi
Sel vegetatif Clostrium Botulinum tidak terlalu tahan panas sehingga proses
panas dirancang untuk menonaktifkan spora yang tahan panas dari patogennya. Yang
paling tahan panas dari Clostrium botulinum Grup I yaitu (D121°C – 21 menit).
Akibatnya makanan yang akan disimpan disuhu 10°C atau di atasnya diberi perlakuan
“botulinum cook” untuk menginaktifkan spora dari grup I. Biasanya dilakukan pada
makanan botol / kaleng yang mempunyai pH >4.6. “Botulinum cook” biasanya
dilakukan pada suhu 121°C selama minimal 3 menit. Sedangkan grup II tidak begitu
tahan panas daripada grup I. Pada makanan yang didinginkan C. botulinum dapat
tumbuh (pH >4.9 dan Aw 0.96) sehingga diperlukan proses panas untuk menonaktifkan,
yang biasanya terjadi pada akhir proses pada minimum 90°C selama 10 menit. Semua
racun yang dihasilkan oleh Clostrium Botulinum dapat dinonaktifkan dengan
pemanasan 80°C selama setidaknya 10 menit. Namun, racun lebih stabil panas pada pH
yang rendah.
Produksi toksin dari C. botulinum tergantung dari kemampuan sel untuk tumbuh
di dalam makanan dan menjadi autolisis disana (Suardana, 2001; Frazier dan Westhoff,
1988). Lebih lanjut produksi toksin dipengaruhi oleh komposisi dari makanan atau
medium terutama glukosa atau maltosa yang diketahui sangat potensial
terhadap produksi toksin, kelembaban, pH, potensial redok, kadar garam, temperatur
dan waktu penyimpanan.
Toksin Clostridium botulinum merupakan substansi paling toksik yang diketahui. Dosis
letal bagi manusia mungkin sekitar 1-2 µg. Toksin dirusak oleh pemanasan selama 20 menit
pada suhu 1000C. Pembentukan toksin dibawah kendali suatu gen virus. Beberapa strain
Clostridium botulinum pembentuk toksin menghasilkan bakteriofaga yang dapat menginfeksi
strain nontoksigenik dan mengubahnya menjadi toksigenik. Racun botulinum sangat mirip
dalam struktur dan fungsi terhadap toksin tetanus, tetapi berbeda secara efek klinis karena
mereka menargetkan sel-sel yang berbeda dalam sistem saraf. Botulinum neurotoksin dominan
mempengaruhi sistem saraf perifer mencerminkan preferensi toksin untuk stimulasi motor
neuron pada sambungan neuromuskuler. Gejala utama adalah kelemahan atau kelumpuhan
lembek. Toksin tetanus dapat mempengaruhi sistem yang sama, namun tetanospasmin yang
menunjukkan tropisme untuk penghambatan motor neuron sistem saraf pusat, dan efeknya
terutama kekakuan dan kelumpuhan spastik.
Toksin botulinum disintesis sebagai rantai polipeptida tunggal dengan berat molekul
sekitar 150 kDa. Dalam bentuk ini, racun tersebut memiliki potensi yang relatif rendah. Toksin
ini dibentuk dari rantai ringan dan rantai berat yang diikat oleh pita disulfida. Rantai berat
diduga untuk mengikat toksin secara spesifik dan kuat pada ujung saraf motorik dan dengan
internalisasi toksin. Rantai ringan menghambat pelepasan asetilkolin yang diperantai kalsium.
Toksin bekerja dengan menghambat pelepasan asetilkolin pada sinaps dan hubungan saraf-
otot, mengakibatkan paralisis flasid. Toksin dibelah oleh protease bakteri (atau mungkin oleh
protease lambung) untuk menghasilkan dua rantai: rantai cahaya (fragmen A) dengan berat
molekul 50 kDa, dan rantai berat (fragmen B), dengan berat molekul 100kDa.
Toksin Botulinum telah melalui berbagai pengembangan dan telah digunakan sebagai
senjata biologis. Jepang menggunakannya terhadap tahan perang pada tahun 1930, dengan efek
fatal. Tentara-tentara sekutu menerima vaksin botulinum selama Perang Dunia II karena
kekhawatiran bahwa Jerman telah menggunakannya sebagai senjata. Amerika Serikat
memproduksi toksin botulinum sebagai senjata biologis pada Perang Dunia II, sebelum
akhirnya program tersebut dibatalkan pada 1972. Uni Soviet juga melakukan berbagai riset
mengenai potensi senjata dari toksin tersebut hingga awal 1990.
Toksin botulinum banyak digunakan sebagai senjata biologis karena berbagai alasan,
salah satunya adalah sifatnya yang sangat letal, yaitu 1 gram toksin yang teraerosol dapat
membunuh hingga 1 juta orang. Toksin ini juga dapat diisolasi dengan cukup mudah dari tanah.
Dalam pemanfaatannya sebagai senjata, toksin dapat dilepaskan sebagai aerosol maupun
sebagai kontaminan dalam persediaan makanan.
Ingesti toksin merupakan penyebab botulisme, bukan ingesti bakteria. Namun, pada
botulisme tak langsung melalui makanan, ingesti makanan yang terkontaminasi oleh spora
bakteri, dengan keadaan lingkungan anaerobik, dapat membuat spora untuk terus berkembang,
setelah itu bakteri dapat bereproduksi dan menghasilkan toksin.
Toksin botulinum memiliki toksisitas sangat tinggi, yaitu 50-100 kali secara oral lebih
toksik daripada sodium sianida. Bakteri mudah untuk ditumbuhkan, dan toksi secara realtif
juga mudag diproduksi dalam kuantitas besar. Sehingga, botulinum menjadi kandidat utama
dalam pengembangan bioterorisme. Mengubah agen biologis menjadi senjata merupakan
proses yang bertahap. Tahap terakhir memerlukan pengikatan bakteri pada material bubuk
seperti bentonit atau gel silika, sehingga material tetap tersuspensi, membentuk aerosol stabil
sebagai perantara desiminasi. Pelepasan aerosol ini dapat melumpuhkan bahkan membunuh
10% dari orang-orang pada jarak satu pertiga mil dari titik pelepasan. Karena persiapan toksin
botulinum sebagai agen bioterorisme harus benar-benar hati-hati, sebagian besar kelompok
teroris biasanya tak mempunyai peralatan kompleks yang diperlukan dalam mengembangkan
toksin tersebut. Persiapan toksin botulinum yang tidak sesuai dengan sistem yang terlalu
sederhana dapat mengakibatkan eksposur toksin ke publik dalam level yang sangat berbahaya
dan tak terkontrol.
Gejala-gejala dimulai 18-24 jam setelah makan makanan yang beracun, dengan
gangguan penglihatan (inkoordinasi otot-otot mata, penglihata ganda), ketidakmampuan
menelan, dan kesulitan bicara, tanda-tanda paralisis bulbar berjalan progresif, dan kematian
terjadi karena paralisis pernafasan atau henti jantung. Gejala gastrointestinal biasanya tidak
menonjol. Tidak ada demam. Penderita tetap sadar sepenuhnya. Penderita yang sembuh tidak
membentuk antitoksin dalam darah.
Di Amerika Serikat, botulisme pada bayi lazim atau lebih lazim ditemui daripada bentuk
klasik botulisme paralitik yang berkaitan dengan memakan makanan terkontaminasi toksin.
Bayi menjadi tidak mau makan, lemah, dan adanya tanda-tanda paralisis (floopy baby).
Botulisme bayi mungkin merupakan satu dari sekian penyebab kematian akibat sindroma
kematian bayi yang tiba-tiba. Clostridium botulinum dan toksin botulinum ditemukan di feses
tetapi tidak di dalam serum. Disimpulkan bahwa spora Clostridium botulinum berada dalam
makanan bayi, mengakibatkan produksi toksin dalam usus. Diduga, merupakan media yang
digunakan untuk spora. Sebagian besar bayi sembuh hanya dengan terapi suportif.
Kecurigaan akan botulisme sudah harus dipikirkan dari riwayat pasien dan pemeriksaan
klinik. Bagaimanapun, baik anamnesa dan pemeriksaan fisik tidak cukup untuk menegakkan
diagnosa karena penyakit lain yang merupakan diagnosa banding, seperti Guillain-Barre
Syndrome, stroke dan myastenia gravis memberikan gambaran yang serupa. Dari anamnesa
didapatkan gejala klasik dari botulisme berupa diplopia, penglihatan kabur, mulut kering,
kesulitan menelan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kelemahan otot. Jika sudah lama,
keluhan bertambah dengan paralise lengan, tungkai sampai kesulitan nafas karena kelemahan
otot-otot pernafasan. Pemeriksaan tambahan yang sangat menolong untuk menegakkan
diagnosa botulisme adalah
1. CT-Scan
2.8. Pengobatan
1. Perangsangan muntah.
2. Pengosongan lambung melalui lavase lambung
3. Pemberian obat pencahar untuk mempercepat pengeluaran isi usus.
Bahaya terbesar dari botulisme ini adalah masalah pernafasan. Tanda-tanda vital
(tekanan darah, denyut nadi, frekuensi nafas dan suhu) harus diukur secara rutin. Jika gangguan
pernafasan mulai terjadi, penderita dibawa ke ruang intensif dan dapat digunakan alat bantu
pernafasan. Perawatan intensif telah mengurangi angka kematian karena botulisme, dari 90%
pada awal tahun 1900 sekarang menjadi 10%. Mungkin pemberian makanan harus dilakukan
melalui infus.
Antitoksin yang poten terhadap tiga tipe toksin botulinum telah dibuat pada hewan.
Karena tipe penyebab pada suatu kasus tertentu biasanya tidak diketahui, antitoksin trivalent
(A, B, E) harus diberikan secara intravena sedini mungkin dengan hati-hati. Bila perlu, ventilasi
yang adekuat harus dipertahankan oleh respirator mesin. Secara eksperimental telah dicoba
pemberian guanidine hidroklorida yang kadang-kadang berhasil. Tindakan-tindakan ini
mengurangi angka kematian dari 65% menjadi di bawah 25%.
Spora sangat tahan terhadap pemanasan dan dapat tetap hidup selama beberapa jam
pada proses perebusan. Tetapi toksinnya dapat hancur dengan pemanasan, Karena itu memasak
makanan pada suhu 80 derajat Celsius selama 30 menit, bisa mencegah foodborne botulism.
Memasak makanan sebelum memakannya, hampir selalu dapat mencegah terjadinya foodborne
botulism. Tetapi makanan yang tidak dimasak dengan sempurna, bisa menyebabkan botulisme
jika disimpan setelah dimasak, karena bakteri dapat menghasilkan toksin pada suhu di bawah
3oC (suhu lemari pendingin).
Penting untuk memanaskan makanan kaleng sebelum disajikan. Makanan kaleng yang
sudah rusak bisa mematikan dan harus dibuang. Bila kalengnya penyok atau bocor, harus
segera dibuang. Anak-anak dibawah 1 tahun sebaiknya jangan diberi madu karena mungkin
ada spora di dalamnya.
Toksin yang masuk ke dalam tubuh manusia, baik melalui saluran pencernaan, udara
maupun penyerapan melalui mata atau luka di kulit, bisa menyebabkan penyakit yang serius.
Karena itu, makanan yang mungkin sudah tercemar, sebaiknya segera dibuang. Hindari kontak
kulit dengan penderita dan selalu mencuci tangan segera setelah mengolah makanan.
KESIMPULAN