Anda di halaman 1dari 29

PRESENTASI KASUS

HIPERBILIRUBINEMIA NEONATUS

Pembimbing:
dr. Djaja Noezoeliastri, Sp.A

Disusun oleh:
Nurul Dahniar Latupono
1102013220

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA CILEGON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI 2018

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.
 Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena

atas berkat rahmat-Nya, penulis berhasil menyelesaikan penulisan presentasi kasus yang
berjudul “Hiperbilirubinemia neonatus ”.
Presentasi kasus ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik di bagian Ilmu kesehatan anak Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon. Penulisan
presentasi kasus ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena
itu dalam kesempatan ini penulisan menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Djaja
Noezoeliastri, Sp.A selaku konsulen sekaligus pembimbing pada kepaniteraan stase Ilmu
Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon, yang selalu membimbing dan memberi
saran selama kepaniteraan klinik di bagian ilmu kesehatan Anak.
Dalam penulisan Presentasi kasus ini penulis menyadari bahwa masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun dari segi isi
materi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun untuk perbaikan pada penulisan dan penyusunan presenasi kasus ini. Penulis
berharap presentasi kasus ini dapat membawa manfaat bagi semua pihak. Semoga Allah SWT
senantiasa membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Aamiin ya
rabbal’alamin.
Wassalamualaikum wr.wb

Cilegon, 3 desember 2018

Nurul Dahniar Latupono

2
BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tgl lahir/ Umur : 20/11/2018
Pekerjaan : Belum bekerja
Alamat : Link selilit, suralaya pulo merak.
Stastus Pernikahan : belum menikah
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 22 November 2018
No. Rekam Medis : xx-xx-xx
Ruangan : NICU/PERINA
Nama RS ` : RSUD CILEGON

Nama Ayah : Tn. R


Umur : 35 Tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : wiraswasta

Nama Ibu : Ny. N


Umur : 31 tahun
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu rumah tangga

II. ANAMNESIS

Diperoleh secara autoanamnesis pada tanggal 23 November 2018 pukul 10.30 WIB
A. Keluhan utama
Kuning sejak hari kedua kehidupan

3
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Bayi laki-laki lahir secara SC (seksio caesarea) di VK Kebidanan RSUD
Cilegon, dari ibu G2P1A0 dengan PED (preeklamsia berat) dan KPD (ketuban pecah
dini) 8jam, leukosit ibu 11.60 mm2 kondisi air ketuban jernih, volume air ketuban
kurang lebih 50 cc. Bayi lahir ditolong bidan dan dokter, saat lahir pasien langsung
menangis, gerakan aktif (+) APGAR Score 5/6.
Sejak ± umur 2hari penderita mulai tampak kuning, ASI (+) malas minum (-),
demam (-), lemah (-), muntah (-), BAB dan BAK (+)

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada

D. Riwayat Penyakit keluarga


Tidak ada

E. Riwayat Kehamilan, Persalinan, dsn Pasca Lahir


Riwayat Kehamilan:
Kehamilan ini merupakan kehamilan yang kedua. Anak pertama perempuan,
lahir normal di bidan cukup bulan, riwayat sakit kuning tidak ada. Selama kehamilan
ibu pasien juga tidak merasakan keluhan, hanya perasaan mual diawal kehamilan. Ibu
pasien mengatakan rutin kontrol kehamilannya di puskesmas dan bidan, awalnya
rencana melahirkan di bidan namun ternyata tekanan darah pasien tinggi sehingga di
bawah ke RSUD cilegon.

Riwayat Persalinan:
Riwayat kelahiran lahir bayi laki-laki tanggal 20/11/2018 pukul 08.45 WIB SC
a/i PEB + KPD 8jam, G2P1A0 hamil 38 minggu. Masa kehamilan cukup bulan.
Langsung menangis. Kelainan bawaan (-). Berat badan lahir 3400 gram. Panjang badan
48 cm. APGAR Score 5/6. Ketuban jernih. Lahir di RSUD Cilegon. Dirawat selama 5
hari 4 malam

Riwayat Pasca Lahir:


Bayi lansung menangis kencang dan keras, warna kulit bayi kemerahan, ubun-ubun
lunak, palatum tertutup, terdapat lubang anus.
4
F. Imunisasi
 Hepatitis B : setelah lahir
 Polio :-
 BCG :-
 DTP :-
 Campak :-
G. Riwayat Makanan
ASI (+)
H. Riwayat Perkembangan
Psikomotor :
Tengkurap : belum Berjalan : belum
Duduk : belum Bicara : belum
Berdiri : belum Merangkak : belum

I. Sosial Ekonomi
Pasien adalah anak kedua. Ayah penderita berusia 35tahun, pendidikan terakhir
SD yang bekerja sebagai wiraswasta. Ibu penderita berusia 31 tahun dengan pendidikan
terakhir SD dan bekerja sebagai ibu rumah tangga.

I. PEMERIKSAAN FISIK
A. Pemeriksaan Umum
1. Keadaan Umum : baik
2. Kesadaran : Composmentis
3. Tanda vital
Heart Rate : 96 x/menit
Respiration Rate : 138x/menit
Suhu : 36,5 0C
4. Antropometri
Berat Badan (BB) : 3400gr
Tinggi Badan (TB) : 49 cm
Lingkar Kepala : 34 cm
Lingkar Lengan Atas : 12 cm

5
B. Status Generalis
1. Kepala
Normocephal, rambut hitam merata, tipis, ubun-ubun besar belum menutup.
2. Mata
Palpebra superior kanan dan kiri tidak edema, konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak ikterik, kornea jernih, pupil isokor, reflek cahaya langsung dan tidak langsung
positif, Pupil bulat isokor 2/2, air mata +/+
3. Telinga
Daun telinga simetris kanan dan kiri, lekukan sempurna, liang telinga lapang, tidak
ada serumen, tidak ada sekret.
4. Hidung
Bentuk normal, deviasi septum tidak ada, mukosa tidak hiperemis, sekret tidak ada,
napas cuping hidung tidak ada.
5. Leher
Tidak teraba pembesaran KGB
6. Thoraks
Normochest, tidak ada retraksi, simetris saat statis dan dinamis, tidak ada sikatriks.
7. Paru

Inspeksi :Simetris saat statis dan dinamis, tidak ada retraksi


supraclavicular, intercostalis, epigastial.
Palpasi : Tidak teraba masa, vokal fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : Suara napas dasar vesikuler
Suara napas tambahan tidak ada rhonki, tidak ada wheezing
8. Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tampak pada sela iga IV LMC kiri


Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga IV LMC kiri,
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, gallop tidak ada, murmur tidak ada
9. Abdomen

Inspeksi : Cembung, tidak ada benjolan / luka / sikatrik / venektasi / perdarahan.


Auskultasi: Bising usus normal

6
Palpasi: Supel, nyeri tekan tidak ada, hati tidak teraba, limpa tidak teraba, ginjal
tidak teraba
Perkusi : tidak dilakukan
10. Ekstremitas
Akral hangat, edema tidak ada, tidak ada pitting edema, tidak ada sianosis
11. Kulit
Kuning pada wajah (+), dada, perut (-), tungkai, kaki, lengan, dan tangan (-).
(kramer I).

Berdasarkan Grafik Ballard dengan menilai kematangan fisik dan


neuromuskular, masa gestasi sesuai dengan kehamilan 39 minggu (Neonatus Cukup
Bulan).
Maturitas fisik
Kulit : bercak-bercak, pucat dan retak, vena jarang : 4
Lanugo : menipis : 2
Permukaan plantar: seluruh telapak : 4
Payudara : areola menimbul, benjolan 2-3 mm : 3
Mata/telinga : pinna lenkung baik, lunak, rekoil cepat : 2
Genital : testis berada dibawah : 3

Maturitas Neuromuscular
Sikap tubuh : 3
Jendela pergelangan : 3
Rekoil lengan : 3
Sudut popliteal : 3
Tanda selempang : 3
Tumit ke kuping : 3

Total score : 36 → Tingkat maturitas 39 minggu


(Neonatus Cukup Bulan)

7
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Hematologi Rutin ( 20-11-2018)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan


15.0-24.0
Hemoglobin 16.1 g/dL

Hematokrit 51.4 % 44.0-70.0

Eritrosit 4.97 106/ 3.00 – 5.40

MCV/VER 103.4 fL 99.0 – 115.0

MCH/ HER 32.4 L Pg 33.0 - 9.0

MCHC / KHER 31.3 L g/dL 32.0 – 36.0

Leukosit 28.76 103/µL 9.10 – 34.00


Trombosit 228 103/µL 150– 450

Pemeriksaan golongan darah :

 Golongan darah ibu : A rh +


 Golongan darah bayi : O

Pemeriksaan Kimia Klinik ( 22-11-2018)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Bilirubin total 15.00 H Mg/dL < 7.00
Bilirubin direk 1.00 H Mg/dL < 0.30
Bilirubin indirek 14.00 H Mg/dL 0.30 – 0.90

8
Pemeriksaan Kimia Klinik ( 25- 11-2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Bilirubin total 10.50 Mg/dL < 12 .00
Bilirubin direk 1.00 H Mg/dL < 0.30
Bilirubin indirek 9.50 H Mg/dL 0.30 – 0.90

IV. DIAGNOSIS KERJA

a. Diagnosis kerja
• Hiperbilirubinemia ec infeksi
b. Diagnosis Banding
 Breast milk Jaundice
 Inkompatibilitas ABO

V. TATALAKSANA

Inj cefotaxime 4 x 90 mg
Fototerapi
ASI ad Libitum

VI. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam


Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFENISI

Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai dengan
pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang
berlebih. ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi lahir bila kadar bilirubin darah
5-7 mg/dl (Kosim M dkk, 2008)
Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin standar
deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari
persentil 90 (Kosim M dkk, 2008)

II. EPIDEMIOLOGI

Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit


pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat
Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi
ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3%
dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito
melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5
mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada
hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan
hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi
kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56%
bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang
dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.3
Prosentase kejadian hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO sebanyak
21,74 %, asfiksia sedang sebanyak 4,35%, infeksi sebanyak 30,43%, BBLR sebanyak
43,48%. Diketahui juga hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO terjadi pada ibu
yang bergolongan darah O melahirkan bayi yang bergolongan darah A sebanyak 13% dan
ibu yang bergolongan darah O melahirkan bayi yang bergolongan darah B sebanyak 8,8 %
dengan derajat hiperbilirubinemia yaitu derajat I sebanyak 13 %, derajat II sebanyak 4,4 %

10
dan derajat IV sebanyak 4,4 %. Kesimpulan Kejadian hiperbilirubinemia akibat
inkompatibilitas ABO ditemukan sebanyak 21,74 % atau 5 bayi dari 23 bayi yang
mengalami hiperbilirubinemia dengan persalinan sejumlah 235 persalinan (Apriyastuti,
2011 )

III. KLASIFIKASI

a. Hiperbilirubinemia Fisiologis
Kadar bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated bilirubin, UCB) pada
neonatus cukup bulan dapat mencapai 6-8 mg/dl pada usia 3 hari, setelah itu berangsur
turun. Kadar bilirubin akan mencapai <2 mg/dl setelah usia 1 bulan, baik pada bayi
cukup bulan maupun prematur ( Pudjiadi AH dkk, 2011)

Tabel 1. Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis

b. Hiperbilirubinemia Non Fisiologis


Keaadaan dibawah ini menandakan kemungkinan hiperbilirubinemia nonfisiologis:
(Pudjiadi AH,2011)
 Awitan ikterus sebelum usia 24 jam
 Peningkatan bilirubin serum yang membutuhkan fototerapi
 Peningkatan bilirubin serum > 5mg/dl/24 jam
 Kadar bilirubin tak terkonjugasi >2 mg/dl atau >20% bilirubin total
 Bayi menunjukkan tanda sakit (muntah, letargi, kesulitan minum, penurunan berat
badan, apne, takipnu, instabilitas suhu)
 Ikterus yang menetap >2 minggu

11
c. Hiperbilirubinemia Indirek
Merupakan peningkatan bilirubin serum tak terkonjugasi.3 Etiologi dijabarkan ditabel
di bawah ini:

Tabel 2. Penyebab neonatal hiperbilirubinemia indirek

d. Hiperbilirubinemia Direk
Merupakan tanda disfungsi hepatobiliaris. Hiperbilirubinemia direk atau
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi didefinisikan sebagai peningkatan kadar bilirubin
direk >20% dari total bilirubin serum. Etiologinya yaitu:
 Obstruksi ekstrahepatik biliaris
o Atresia biliaris
o Kista koledokal
 Kompresi eksternal, misalnya node lymph
 Kolestasos intrahepatik dengan kurangnya duktus biliaris, misalnya sindroma
Allagille
 Kolestasis intrahepatik dengan duktus biliaris normal
 Infeksi (misalnya hepatitis karena virus)
 Kesalahan metabolisme sejak lahir misalnya galaktosemia

12
 Sondroma Dubin-Johnson, sindrom Rotor’s
 Kolestasi yang diinduksi TPN

IV. ETIOLOGI

Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, ± 60%
neonatus (ikterus fisiologis), disebabkan: 2,4
1. Bilirubin selama masa janin diekskresi melalui plasenta ibu sekarang harus diekskresi
bayi sendiri
2. Jumlah eritrosit dan hemolisisnya lebih banyak pada neonatus
3. Lama hidup eritrosit pada neonatus lebih singkat (70-90 hari)
4. Jumlah albumin untuk mengikat bilirubin pada bayi prematur atau bayi yang
mengalami gangguan pertumbuhan intra-uterin kurang
5. Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase,
uridine diphosphate glukoronil transferase dan ligand dalam protein belum adekuat)
atau penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.
6. Sirkulus enterohepatik meningkat karena masih berfungsinya enzim β- glukuronidase
di usus dan belum ada nutrien

Etiologi hyperbilirubinemia indirek tak terkonjugasi


Icterus fisiologis merupakan penybab umum hyperbilirubinemia pada bayi baru
lahir. Keadaan ini adalah diagnosis eksklusi, yang dibuat setelah menyingkirkan
kemungkinan penyebab lain yang lebih serius, seperti hemolysis, infeksi dan penyakit
metabolic. Icterus fisiologis merupakan hasil dari berbagai factor fisiologis normal
pada bayi lahir seperti: peningkatan produksi bilirubin akibat peningkatan massa SDM,
usia SDM yang pendek, dan imaturitas hati dari ligandin dan glukuroniltransferase.
Icterus fisiologis dapat berlebihan pada bayi keturunan yunani dan asia.
Pola klinis icterus fisiologis pada bayi cukup bulan meliputi kadar bilirubin
indirek puncak tidak lebih dari 1 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan. Pada bayi premature,
puncak ini lebih tinggi yaitu 15 mg/dL dan lambat (hari kelima). Kadar puncak bilirubin
indirek selama periode icterus fisiologis lebih tinggi pada bayi mendapat ASI daripada
formula (15 sampai 17 mg/dL vs 12 mg/dL). Kadar yang lebih tinggi ini mungkin
berhubungan dengn kurangnya asupan cairan pada bayi ASI. Icterus disebut patologis

13
bila terlihat sejak hari pertama kehidupan, bila kadar bilirubin meningkat lebih dari 0,5
mg/dL/jam, kadar puncak bilirubin lebih tinggi dari 13 mg/dL pada neonates cukup
bulan (NCB), bilirubin direk lebih dari 1,5 mg/dL, atau bila terdapat
hepatosplenomegali dan anemia.

Sindrom crigler-najjar merupakan kelainan yang serius, jarang terjadi,


autosomal resesif, dan merupakan defisiensi permanen glukuroniltransferase yang
berakibat hyperbilirubinemia indirek berat. Tipe II berespons terhadap induksi enzim
oleh fenobarbital, yang menghasilkan peningkatan aktivitas enzim dan berkurangnya
kadar bilirubin. Tipe I tidak berespons pada fenobarbital dan bermanifestasi sebagai
hyperbilirubinemia indirek pasisten, dan terkadang berlanjut ke kernicterus. Penyakit
gilber disebabkan karena mutase region promoter dari glukoniltransferase dan
menyebabkan hyperbilirubinemia indirek ringan. Bila terdapat factor ikterogenik lain
(hemolysis), dapat terjadi icterus yang lebih berat

Brest milk jaundice dapat berhubungan dengan hyperbilirubinemia tak


terkonjugasi tanpa bukti terjadinya hemolisis pada minggu pertama sampai kedua
kehidupan. Kadar bilirubin akibat brest milk jaundice jarang mencapai lebih dari 20
mg/dL. Penghentian ASI selama 1-2 hari menyebaban penurunan kadar bilirubin yang
cepat, dan tidak meningkat bermakna saat disusui kembali. ASI dapat mengandung
inhibitor untuk proses konjugasi bilirubin dan meningkatkan system sirkulasi
enterohepatic bilirubin oleh glukuronidase di ASI.
Icterus pada hari pertama kehidupan selalu bersifat patologis dan harus dicari
penyebabnya segera. Awitan dini biasanya akibat hemolysis, perdarahan internal
(sefalhematom, hematom hati atau limpa) atau infeksi (table 3.1). infeksi juga sering
dihubungkan dengan meningkatnya bilirubin direk akibat infeksi kongenital perinatal
atau sepsis bacterial.
Bukti fisis icterus terlihat pada bayi kadar bilirubin mencapai 5-10 mg/dL (vs 2
mg/dL pada dewasa). Bila terlihat icterus, maka evaluasi laboratorium untuk
hyperbilirubinemia harus mencakup pengukuran bilirubin total untuk menentukan
tingkat beratnya hyperbilirubinemia. Kadar bilirubin lebih dari 5 mg/dL pada bayi hari
pertama atau lebih dari 13 mg/dL setelahnya pada bayi cukup bulan memerlukan
evaluasi lanjutan dngan pemeriksaan kadar bilirubin indirek dan direk, golongan darah,
uji coombs, darah lengkap, apusan darah dan jumlah retikulosit. Uji-uji ini harus
14
dilakukan sebelum terapi hyperbilirubinemia di fototerapi atau tranfuai tukar. Bila tidak
tanda hemolysis atau bukti untuk penyebb dari hyperbilirubinemia indirek non
hemolitik yang sering maupun jarang terjadi, diagnosis dianggap icterus fisiologis atau
bresmilk jaundice, icterus yang bertahan setelah 2 minggu dianggap patologis dan
merupakan petunjuk terdapatya peningkatan kadar hyperbilirubinemia direk.

Table 3.1 etiologi hyperbilirubinemia tak terkonjugasi


Hemolysis (+) Hemolysis (-)
Umum Imkompatibilitas golongan darah; Icterus fisiologis, brest milk
ABO, Rh, Kell, infeksi duffy jaundice, perdarahan organ dalam,
polisitemia, bayi dari ibu diabetes
Jarang Defek enzim sel darag merah; Mutase enzim glukuronil transferase
glucose 6-phosphatase (sindrom crigler-najjar, penyakit
dehydrogenase, piruvat kinase gilbert) stenosis pylorus,
Kelainan membrane sel darah merah; hipotiroidisme, trombositopenia
sferositosis, ovalositosis imun.
Hemoglobinopati; thalassemia.

Etiologi hyperbilirubinemia terkonjugasi direk


Hyperbilirubinemia direk (didefenisikan sebagai kadar bilirubin direk >2mg/dL
atau 20% dari bilirubin total) tidak pernah fisiologis harus selalu dievaluasi menyeluruh
sesuai dengan kategori diagnostic (table 62.2). bilirubin direk (sebagian besar
merupakan bilirubin terkonjugasi) tidak bersifat neurotoksik pada bayi namun
menandakan kelainan dasar serius yang meliputi kolestasis atau gangguan hati.
Evaluasi diagnostic pasien dengan hyperbilirubinemia direk meliputi penentuan kadar
enzim hati (aspartate amiotranferase, alkalin fosfatase, alanine aminotransferase dan y-
glutamil transpeptidase), kultur bakteri dan virus, uji tapis kelainan metabolic, usg hati,
uji keringat klorida dan bila diperlukan biopsy hati. Bila didaptkan urin yang gelap dan
fese berwarna putih keabuan (akolik) disertai dengan icterus setelah usia 2 minggu
merupakan petunjuk kuat terdapatnya atresia bilier. Terapi kelainan yang
bermanifestasi sebagai bilirubinemia direk ini spesifik untuk penyakitnya seperti

15
terlihat pada table 3.2. kelainan tersebut tidak berespons terhadap fototerapi maupun
tranfusi tukar.
Table 3.2 Etiologi hyperbilirubinemia terkonjugasi
Umum Jarang
Kolestasis hiperalimentasi Infark hati
Infeksi CMV Kelainan metabolic bawaan (galaktosemia,
Infeksi kogenital perinatal lain tirosinemia
(TORCH) Fibrosis kistik
Inspissated bile akibat hemolysis Atresia bilier
berkepanjangan Kista koledokal
Hepatitis pada neonates Defisiensi a1-anitripsin
sepsis Penyakit cadangan besi pada neonates
Sindrom alagille (dysplasia arteriohepatik)
Penyakit byler

Kernicterus (ensefalitis bilirubin)


Fraksi bilirubin indrek, tidak terkonjugasi yang larut dalam lemak bersifat
toksik terhadap susunan saraf pusat yang sedang berkembang, terutama bila onsentrasi
bilirubin indirek tinggi dan melampauo kapasitas albumin untuk mengikatnya.
Kernicterus terjadi ketika bilirubin indirek dideposit di sel-sel otak terutama di daerah
ganglia basalis serta menggangu metabolism dan fungsinya. Bilirubin indirek dapat
melewati sawar darah otak karena dapat larut dalam lemak. Teori lain menjelaskan
bahwa gangguan pada sawar darah otak menyebabkan kompleks bilirubin-albumin atau
bilirubin bebas-asam lemak untuk menembusnya.
Kernicterus biasanya terjadi bila kadar bilirubin sangat tinggi sesuai usia
gestasinya. Kern icterus biasanya tidak terjadi pada bayi cukup bulan bila kadar
bilirubin kurang dari 20-25 mg/dL, namun insidensinya akan meningkat bila
melampaui 25 mg/dL. Kernicterus dapat terjadi pada bilirubin kurang dari 20 mg/dL
bila disertai sepsis, meningitis, hemolisi, asfiksia, hipoksia, hipotermia, hipoglikeia,
obat-obatan melepaskan ikatan bilirubin (sulfa) dan prematuritas.
Resiko lain yang dapat menimbukan kernicterus pada bayi cukup bulan adalah
hemolysis, icterus yang terlihat dalam 24 jam pertama, dan terlambatnya diagnosis
hyperbilirubinemia. Kernicterus dapat terjadi pada bayi yang sangat premature dengan

16
berat lahir kurang dari 1000 g ketika kadar bilirubin kurang dari 10 mg/dL. Kadaan ini
karena sawar darah otak yang lebh permeable akibat prematuritasnya.
Manifestasi klinis yang terjadi paling awal dari kern icterus adalah letargi,
hipotonia, iritabilitas, berkurangnya reflex moro, dan toleransi minum yang buruk.
Gejala lainnya adalah tangisan yang melengking (hgh pitched cry) dan emesis. Tanda
dini ini terlihat setelah hari keempat kehidupan. Tanda selanjutnya mencakup ubun-
ubun membonjol, postur opistotonus, perdrahan paru demam, hipertonisitas, paralisis
lirikan ke atas dan kejang. Bayi dengan kasus kernicterus berat dapat meninggal pada
periode neonates. Spastisitas akan membaik pada bayi yang selamat, namun dapat
berlanjut menjadi gejala sisa yang menetap seperti tuli saraf, palsi serebral,
kortikosteroid, retradasi mental, dysplasia enamel, dan diskolorasi gigi. Kernicterus
dapat dicegah dengan menghindari kadar bilirubin indirek yang sangat tinggi dan
kondisi-kondisi maupun atau obat yang mengganggu bilirubin berikatan dengan
albumin. Tanda awal kerikterus mungkin dapat dihilangkan dengan segera
malelakukan tranfusi tukar.

V. PATOFISIOLOGI

1. Pembentukan Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan
bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi –
reduksi. Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari heme
dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar
terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terdapat besi yang
digunakan kembali untuk pembentukan haemoglobin dan karbon monoksida yang
dieksresikan ke dalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh
enzim biliverdin reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan
dirubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan
biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hydrogen serta pada pH
normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan, diperlukan mekanisme
transport dan eliminasi bilirubin. Bayi akan memproduksi bilirubin 8-10
mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa sekitar 3-2 mg/kgBB/hari. Peningkatan
produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan masa hidup eritrosit bayi lebih

17
pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan
degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorpsi dari usus yang
meningkat (sirkulasi enterohepatik) (Kosim, M dkk, 2008)
Dalam keadaan normal, sejumlah kecil bilirubin direabsorpsi oleh usus untuk
kembali ke darah, dan sewaktu akhirnya dikeluarkan melalui urin (Sherwood, 2001)

2. Transportasi Bilirubin

Pembentukan bilirubin yang terjadi di system retikulo endothelial, selanjutnya


dilapaskan kesirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir
mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi
albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat
pada albumin serum ini merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air dan
kemudian akan di transportasi kedalam sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan
albumin tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan bersifat nontoksik. Selain itu

18
albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat – obatan yang bersifat
asam seperti penicillin dan sulfonamide. Obat – obat tersebut akan menempati tempat
utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat competitor serta dapat pula
melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin. Obat- obat yang dapat melepaskan ikatan
bilirubin dari albumin dengan cara menurunkan afinitas albumin adalah digoksin,
gentamisin, furosemide (Kosim, M, 2008)

VI. DIAGNOSIS

Diagnosis hiperbilirubinemia dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut


(Mansjoer, 2000)
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk mengetahui:
 Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu dengan dabetes
mellitus, gawat janin, malnutrisi intrauterine, infeksi intranatal)
 Riwayat persalinan dengan tindakan/komplikasi
 Riwayat ikterus/terapi sinar/transfusi tukar pada bayi sebelumnya
 Riwayat inkompatibilitas darah
 Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa

2. Pemeriksaan Fisik
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
setelah beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup.
Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan
penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Salah satu cara
memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan sederhana adalah
dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan
pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,dada,lutut dan
lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar
bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah
diperkirakan kadar bilirubinnya (Mansjoer, 2000).

19
Daerah Luas Ikterus Kadar Bilirubin (mg%)
1 Kepala dan leher 5
2 Daerah 1 + badan bagian atas 9
3 Daerah 1,2 + badan bagian bawah dan tungkai 11
4 Daerah 1,2,3 + lengan dan kaki dibawah tungkai 12
5 Daerah 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16
Sumber: Mansjoer A, 2000. Hal 504

Gambar 1. Pembagian hiperbilirubinemia menurut Kramer

3. Pemeriksaan penunjang
Riwayat rinci dan pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa bayi yang
berkembang dan menyusui cukup merupakan elemen kunci untuk diagnosis. Pengujian
berikut ini harus dipertimbangkan jika kadar bilirubin serum lebih dari 12 mg/dl.
 Kadar bilirubin terkonjugasi lebih besar dari 2 mg/dL menunjukkan kolestasis,
atresia bilier, atau sepsis.
 Hitung darah lengkap dengan temuan jumlah retikulosit adalah sebagai berikut:
o Polisitemia (hematokrit > 65%)
o Anemia (hematokrit <40%)
o Sepsis (leukosit <5000/mL atau >20.000/mL) dengan rasio neutrofil immatur
dan matang lebih besar dari 0,2
 Berat jenis urine dapat berguna dalam penilaian status hidrasi.
 Jika hemolisis dicurigai, pertimbangkan tes berikut:

20
o Golongan darah untuk mengevaluasi ABO, Rh atau ketidakcocokan golongan
darah lainnya
o Coombs tes, serta tes elusi untuk antibodi terhadap A atau B, untuk
mengevaluasi hemolisis dimediasi kekebalan
o Apusan darah tepi untuk mencari bentuk sel darah merah abnormal (ovalocytes,
acanthocytes, spherocytes, schistocytes).
o Kadar enzim G6PD
o Hitung retikulosit

Faktor-faktor yang menunjukkan kemungkinan penyakit hemolitik meliputi:


o Riwayat keluarga penyakit hemolitik
o Ikterus sebelum 24 jam hidup
o Kenaikan kadar bilirubin serum lebih dari 0,5 mg/dL/ jam
o Pucat, hepatosplenomegali
o Peningkatan pesat dalam kadar bilirubin serum setelah 24-48 jam (defisiensi
G6PD)
o Etnis sugestif kekurangan G6PD
o Kegagalan fototerapi untuk menurunkan kadar bilirubin

 Jika dicurigai sepsis, pertimbangkan tes berikut:


o Kultur darah
o Diferensial leukosit
o Jumlah trombosit
o Analisa dan kultur urin

Faktor-faktor yang menunjukkan kemungkinan sepsis meliputi:


o Poor feeding
o Muntah
o Kelesuan
o Ketidakstabilan suhu
o Apnea
o Takipnea

21
 Tanda-tanda penyakit kuning kolestatik menyingkirkan atresia bilier atau penyebab
lain dari kolestasis adalah sebagai berikut:
o Urin gelap atau positif bagi bilirubin
o Tinja berwarna terang
o Ikterus persisten selama lebih dari 3 minggu

 Uji fungsi hati, pemeriksaan galaktosemia, defek metabolik, dan hipotiroidisme.

Gambar 2. Pendekatan skematis terhadap diagnosis ikterus neonatorum.

VII. TATALAKSANA

Tujuan penatalaksanaan ikterus pada neonatus adalah untuk mengendalikan agar


kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kern ikterus, serta
mengobati penyebab langsung ikterus. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan
dengan mengusahakan agar konjugasi bilirubin lebih cepat terjadi dengan memberikan
luminal atau agar yang dapat merangsang terbentuknya enzim glukoronil transferase.

22
1) Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma,
albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolestiramin), terapi sinar
atau transfusi tukar dapat juga dilakukan untuk mengendalikan kenaikan kadar
bilirubin.4 Dikemukakan pula bahwa obat-obatan (IVIG: Intra Venous Immuno
Globulin dan Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud menghambat hemolisis,
meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin (Sylviati M, 2014)
Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas.
Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin biasanya
diberikan sebelum transfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat
keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya
lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar. Glukosa perlu diberikan untuk
konjugasi hepar sebagai sumber energi.

2) Terapi Sinar

Bilirubin indirek tidak larut dalam air. Cara kerja terapi sinar adalah dengan
mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui
empedu atau urin. Ketika bilirubin mengabsorbsi sinar, terjadi reaksi fotokimia yaitu
isomerisasi (80%). Juga terdapat konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya
yaitu lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari plasma (tanpa konjugasi) melalui
empedu. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar pada
manusia. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonjugasi diubah oleh cahaya (foto
oksidasi, 20%) menjadi dipyrole yang diekskresikan melalui urin. Foto isomer bilirubin
lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa dieksreksikan melalui
empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang bisa diekskresikan lewat urin.
Pada terapi sinar, panjang gelombang lampu yang digunakan 425-475 nm
dengan panjang gelombang sinar biru 425 sampai 475 nm dan gelombang sinar putih
380 sampai 700 nm, serta intensitas cahaya 6-12 μwatt/cm2 per nm. Cahaya diberikan
pada jarak 35-50 cm di atas bayi. Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-
8 buah, terdiri dari biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight
fluorescent tubes.
Indikasi terapi sinar:
 Bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar bilirubin >10 mg/dL.

23
 Bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin >15 mg/dL.
Kontraindikasi terapi sinar:
 Hiperbilirubin direk/konjugasi
 Phorfiria kongenital
Alat untuk terapi sinar:
1. Unit terapi sinar
2. Lampu dapat berupa:
a. Tabung fluoresens penghasil sinar blue-green spectrum (panjang gelombang
430-490 nm) dengan kekuatan 30 uW/cm2
b. Lampu halogen
c. Sistem fibreoptic
d. Lampu gallium nitrid
3. Pelindung mata
4. Pelindung lampu
5. Kotak penghangat atau incubator
6. Kain atau tirai putih
7. Pengukur suhu tubuh dan ruangan
Persiapan Alat :
 Hangatkan ruangan sehingga suhu di bawah lampu 28-300C.
 Nyalakan tombol alat dan periksa apakah seluruh lampu fluoresens menyala dengan
baik.
 Ganti lampu fluoresens bila terbakar atau mulai berkedap-kedip:
 Catat tanggal kapan lampu mulai dipasang dan hitung total durasi penggunaan
lampu.
 Ganti lampu setiap 2000 jam atau setelah penggunaan 3 bulan, walaupun lampu
masih menyala.
 Gunakan kain pada boks bayi atau incubator, letakkan tirai putih mengelilingi area
sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin
ke arah bayi.
Bayi
 Bila berat bayi 2000 gram atau lebih, letakkan bayi dalam keadaan telanjang di box
bayi. Bayi yang lebih kecil diletakkan dalam inkubator.

24
 Tutup mata bayi dengan penutup, pastikan penutup mata tidak menutup lubang
hidung. Jangan gunakan plester untuk memfiksasi penutup.
Pemberian terapi sinar
 Letakkan bayi di bawah lampu terapi sinar dengan jarak 45-50 cm.
 Letakkan bayi sedekat mungkin dengan lampu sesuai dengan petunjuk atau manual
dari pabrik pembuat alat.
 Ubah posisi bayi setiap 3 jam.
 Pastikan bayi terpenuhi kebutuhan cairannya.
 Pantau suhu tubuh bayi dan suhu udara ruangan setiap 3 jam.
 Periksa kadar bilirubin serum tiap 6-12 jam pada bayi dengan kadar bilirubin yang
cepat meningkat, bayi kurang bulan, atau bayi sakit. Selanjutnya lakukan
pemeriksaan ulang setelah 12-24 jam terapi sinar dihentikan.
 Hentikan terapi sinar bila kadar bilirubin turun di bawah batas untuk dilakukan
terapi sinar atau mendekati nilai untuk dilakukan transfusi tukar.
Perhatian
1. Bila kadar bilirubin tidak menurun atau cenderung naik pada bayi-bayi yang
mendapat fototerapi intensif, kemungkinan besar terjadi proses hemolisis.
2. Kebutuhan cairan meningkat selama pemberian terapi sinar
- Anjurkan ibu menyusui sesuai keinginan bayi, paling tidak setiap 3 jam, tidak
perlu menambah atau mengganti ASI dengan air, dekstrosa atau formula.
- Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan menggunakan salah
satu cara alternative pemberian minum. Selama dilakukan terapi sinar, naikkan
kebutuhan hariannya dengan menambah 25 ml/kgBB.
- Bila bayi mendapat cairan IV, naikkan kebutuhan hariannya 10-20%.
- Bila bayi mendapat cairan IV atau diberi minum melalui pipa lambung, bayi
tidak perlu dipindahkan dari lampu terapi sinar.
3. Selama dilakukan terapi sinar, feses bayi bisa menjadi cair dan berwarna kuning.
Keadaan ini tidak memerlukan terapi khusus.
4. Bayi dipindahkan dari alat terapi sinar hanya bila akan dilakukan tindakan yang
tidak dapat dikerjakan di bawah lampu terapi sinar.
5. Bila bayi mendapat terapi oksigen, matikan lampu saat memeriksa bayi untuk
mengetahui sianosis sentral.

25
6. Warna kulit tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar
bilirubin serum selama bayi dilakukan terapi sinar dan selama 24 jam setelah
dihentikan.
Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus-menerus, istirahat 12 jam, bila
perlu dapat diberikan dosis kedua selama 24 jam. Komplikasi terapi sinar umumnya
ringan, sangat jarang terjadi dan reversibel.

Tabel 4. Komplikasi terapi sinar


Komplikasi Mekanisme yang mungkin terjadi
Bronze baby syndrome Berkurangnya ekskresi hepatik hasil penyinaran bilirubin
Diare Bilirubin indirek menghambat laktase
Hemolisis Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi eritrosit
Dehidrasi IWL ↑ (30-100%) karena menyerap energi foton
Ruam kulit Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast kulit dengan
pelepasan histamin

3) Transfusi Tukar
Merupakan suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang dilanjutkan
dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan
berulang-ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar. Transfusi tukar ini
bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati bilirubin dengan cara mengeluarkan
bilirubin indirek dari sirkulasi, membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi
bayi, mengganti RBC yang sensitized dengan RBC yang tak dapat dihemolise,
memperbaiki volume darah dan mengoreksi anemia, memberi albumin, dan membuang
zat toksik dan koreksi imbalans elektrolit.
Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut3
a. Kadar bilirubin tidak langsung >20 mg/dL
b. Kadar bilirubin tali pusat >4 mg/dL dan Hb <10 mg/dL
c. Peningkatan bilirubin >1 mg/dL
Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada indikasi:
1. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb < 10 gr/dL
2. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12 jam walaupun sedang mendapatkan terapi
sinar

26
3. Anemia dengan early jaundice dengan kadar Hb 10–13gr/dL dan kecepatan
peningkatan bilirubin 0,5 mg/dL/jam
4. Anemia yang progresif pada waktu pengobatan hiperbilirubinemia
5. Bayi menunjukkan tanda-tanda ensefalopati bilirubin akut (hipotoni, kaki
melengkung, retrocolis, panas, tangis melengking tinggi)
6. Kadar bilirubin total >25 mg/dL
Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:
- Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis
- Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia
- Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin
- Perforasi pembuluh darah
Komplikasi tranfusi tukar:
- Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis
- Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung
- Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis
- Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih
- Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan
- Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia.

VIII. PENCEGAHAN

Hiperbilirubinemia dapat dicegah dan dihentikan laju peningkatannya dengan:3


a. Pengawasan antenatal yang baik
b. Menghindari obat yang dapat meningkatkan hiperbilirubinemia pada bayi pada masa
kehamilan dan kelahiran, mislnya sulfafurazol, novobiotin, oksitosin, dan lain-lain.
c. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus
d. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir
e. Pemberian makanan yang dini
f. Pencegahan infeksi
g. Pemberian ASI eksklusif
h. Bila memungkinkan, skrining golongan darah ibu dan ayah sebelum lahir.
i. Bila ada riwayat bayi kuning dalam keluarga, periksa kadar G6PD

27
IX. PROGNOSIS

Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah


melalui sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kernikterus atau
ensefalopati biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat segera terlihat pada masa
neonatus atau baru tampak setelah beberapa lama kemudian. Pada masa neonatus gejala
mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan minum, latergi dan hipotonia.
Selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan epistotonus. Pada stadium lanjut
mungkin didapatkan adanya atetosis disertai gangguan pendengaran dan retardasi mental
di hari kemudian. Dengan memperhatikan hal di atas, maka sebaiknya pada semua
penderita hiperbilirubinemia dilakukan pemeriksaan berkala, baik dalam hal pertumbuhan
fisis dan motorik, ataupun perkembangan mental serta ketajaman pendengarannya (Asil
Aminullah, 1999)

28
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Pediatrics. Subcomitte on hyperbilirubinemia. Management of


hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Clinical
Practice Guidlines. Pediatrics 2004; 114: 297-316
2. Apriyastuti,Dwi. Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO di RSU
Pandan Arang Boyolali. Diakses dari digilib.uns.ac.id.pada tgl 02 desember 2018
3. Asil Aminullah; Ikterus dan Hiperbilirubinemia pada Neonatus dalam A.H. Markum
(ed), Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, edisi 6, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,
1999, hal : 313-317.
4. Blackburn ST, penyunting. Bilirubin metabolism, maternal, fetal, & neonatal
physiology, a clinical perspective. Edisi ke-3. Saunders. Missouri; 2007.
5. Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan. 2004. HTA Indonesia 2004 Tatalaksana
Ikterus Neonatorum. Kementrian kesehatan RI: Jakarta
6. Indrasanto E, Darmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban KR. Hiperbilirubinemia
pada neonatus. Dalam: Paket Pelatihan Obstetri dan Neonatal Emergensi Pudjiadi
AH, Hegar B, Handryastuti S, dkk. Hiperbilirubinemia. Dalam: Pedoman Pelayanan
Medis Ikatan Dokter Indonesia Edisi II. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia. 2011;
h.114-122
7. Komprehensif (PONEK). Jakarta: JNPK-KR, IDAI, POGI,USAID; 2008. h.183-90.
8. Kosim, M Sholeh dkk. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2008.
9. Sylviati M. Damanik. Hiperbilirubinemia. Diambil dari: http//www.pediatrik.com.
10. Sherwood, Lauree. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2001. Hal 567-9.

29

Anda mungkin juga menyukai