Dosen Pembimbing :
Kelompok 3 :
BAB 1
PENDAHULUAN
Tetanus adalah kejang bersifat spasme (kaku otot) yang dimulai pada rahang
dan leher. Kondisi ini disebabkan oleh racun berbahaya bakteri Clostridium tetani,
yang masuk menyerang saraf tubuh melalui luka kotor. Tetanus merupakan
infeksi yang tergolong serius dan disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani.
Bakteri ini dapat hidup lebih dari 40 tahun di luar tubuh manusia dalam bentuk
spora. Spora tersebut umumnya terdapat dalam debu, tanah, kotoran hewan dan
manusia, besi berkarat, kawat duri, serta ujung jarum yang tidak steril (Alodokter,
2017). Terdapat 4 tipe tetanus, yaitu tetanus generalisata, lokal, neonatal, dan
50% dari neonatus. Kebanyakan kasus di negara maju terjadi pada orang
dewasa yang lebih tua, dimana laki-laki lebih sering daripada wanita, yaitu
2,5:1. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO.
Berdasarkan data dari WHO, penelitian yang dilakukan oleh Stanfield dan
Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan insidens tetanus di seluruh dunia
adalah sekitar 700.000 – 1.000.000 kasus per tahun. Tetanus ibu dan bayi baru
lahir didunia merupakan penyebab penting dari kematian ibu dan bayi sekitar
180.000 kehidupan di seluruh dunia setiap tahun, hampir secara ekslusif di Negara
33
4
dengan vaksin, dan aseptic obstetric, tetanus ibu dan bayi tetap sebagai masalah
neonatorum di Indonesia masih tinggi, data tahun 2007 sebesar 12,5 per 1000
Gambaran klinis tetanus awalnya timbul kejang otot sekitar luka, gelisah,
lemah, cemas, mudah tersinggung dan sakit kepala. Kemudian kaku pada
rahang, perut dan punggung yang mengeras dan kesukaran untuk menelan.
Gejala ini timbul sebagai akibat pengaruh toksin pada susunan saraf pusat,
kekakuan dan kejang otot. Kekakuan mengenai 3 kelompok utama yaitu: otot
sadar penuh. Gejala-gejala sistemik dapat timbul, seperti panas akibat sepsis,
saja, tidak ada tes laboratorium yang spesifik untuk penyakit ini, namun hasil
tetanus ditemukan hanya pada sekitar 30% pada kultur anaerob dari luka yang
mengontrol kejang. Pada pasien yang terdapat luka disertai jaringan nekrotik
dilakukan debridement. Komplikasi yang bisa terjadi adalah henti napas pada
lambung, aspirasi sekret pada saat atau setelah kejang, yang dapat
33
5
bisa terjadi takikardi dan aritmia oleh karena rangsangan simpatis yang lama
(Astawa, 2014).
Indonesia, vaksin tetanus termasuk dalam daftar imunisasi wajib untuk anak.
Imunisasi ini diberikan sebagai bagian dari vaksin DTP (difteri, tetanus, pertusis).
Proses vaksinasi ini harus dijalani dalam 5 tahap, yaitu pada usia 2, 4, 6, 18 bulan,
dan 5 tahun. Vaksin ini kemudian akan diulangi pada saat anak berusia 12 tahun
yang berupa imunisasi Td. Namun, DTP termasuk imunisasi yang tidak
dilisensikan bagi anak berusia 7 tahun ke atas, remaja, serta dewasa. Untuk
menikah dan 1 kali pada saat hamil. Tujuan imunisasi ini adalah untuk mencegah
tetanus pada bayi yang baru lahir. Di samping vaksinasi, pencegahan tetanus juga
dapat dilakukan dengan selalu menjaga kebersihan. Terutama saat merawat luka
agar tidak terkena infeksi. Infeksi tetanus yang tidak segera ditangani dapat
dapat terjadi meliputi jantung yang tiba-tiba berhenti, emboli paru, serta
33
6
1.4 Manfaat
33
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan
berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang
disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi
oleh Clostridium tetani.Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease" (Harum,
2014). Setara dengan pernyataan Laksmi (2014), tetanus merupakan penyakit
infeksi akut disebabkan eksotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani,
ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan kejang- kejang otot rangka.
Penyakit ini tidak meyebar dari orang ke orang, tetapi melalui kotoran yang
masuk ke dalam luka.
2.2 Etiologi
Penyebab tetanus adalah Clostridum tetani yang dapat berkembang biak dan
memproduksi racun sehingga menimbulkan gangguan terhadap sistem saraf
manusia. (Manutu, et al., 2013). Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk
batang lurus, memiliki ukuran tubuh dengan panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-
0,5 mikron. Bakteri ini termasuk bakteri gram positif anaerobic berspora, yang
mengeluarkan eksotoksin. Eksotoksin yang dihasilkan yaitu tetanospamin dan
tetanolisin. Namun yang menyebabkan penyakit tetanus adalah
tetanospamin.Clostridium tetani ini biasanya terdapat di tanah yang tercemar tinja
manusia dan binatang. Spora dari clostridium tetani resisten terhadap panas.
Selain itu biasanya terdapat antiseptis. Sporanya dapat bertahan pada autoclave
pada suhu 249,80F (1210C) selama 10-15 menit. Sporanya juga resisten terhadap
phenol dan agen kimia lainnya. Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam
tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong, Gigi berlubang, tertusuk
ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum) (Harum,
2014).
33
8
33
9
pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu yang tampak pada
lebih dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus, kaku leher, dan nyeri
punggung. Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal menimbulkan ciri khas risus
sardonicus, sakit tenggorokan, dan disfagia. Peningkatan tonus otot- otot trunkal
meng akibatkan opistotonus. Kelompok otot yang berdekatan dengan tempat
infeksi sering terlibat, menghasilkan penampakan tidak simetris.
Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :
1. Lokalized tetanus ( Tetanus Lokal )
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada
daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah
merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa
bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara
bertahap.
2. Cephalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di
India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam
rongga hidung
3. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi
yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-
diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50
%), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan
kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk
dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin)
yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot punggung), kejang
dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan
sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi
urine,kompressi frak tur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur
biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai
hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai
takhikardia, penderita biasanya meninggal.
33
10
33
11
2.4 Patofisologi
33
12
2.5 Penalaksanaan
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus menurut Laksmi (2014), antara lain :
33
13
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin
yang telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani
di ICU agar bisa diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme
paroksimal yang dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di
ruangan gelap dan tenang. Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia
aspirasi.Cairan intravena harus diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas
darah penting sebagai penuntun terapi.
Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien
tersedasi lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil
kemungkinannya mengalami spasme otot. Diazepam efektif mengatasi spasme
dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang
direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/ kali dengan interval 2-4 jam sesuai
gejala klinis, dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8
mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera
dihentikan dengan diazepam 5 mg per rektal untuk berat badan <10 kg dan 10 mg
per rektal untuk anak dengan berat badan ≥10 kg, atau diazepam intravena untuk
anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan
dengan dosis rumatan sesuai keadaan klinis.
33
14
1. Pencegahan
a. Bersihkan port d’entree dengan larutan H2O2 3%
b. Antitetanus Serum (ATS) 1500 U/IM
c. Toksoid Tetanus (TT) dengan memperhatikan statsus imunisasi.
d. Antimikroba pada keadaan yang beresiko poliferasi kuman
Clostridium tetani seperti pada patah tulang terbuka dan lainnnya.
2. Pengobatan
a. Antitetanus Serum (ATS)
1) Dewasa 50.000 U/hari, selama 2 hari berturut-turut, (hari I)
diberikan dalam infus glukosa 5% 100 ml, (hari II) diberikan IM
lakukan uji kulit sebelum pemberian.
2) Anak 20.000 U/hari, selama 2 hari. Pemberian secara drip infus
40.000 U bisa dilakukan sekaligus melewati IV line.
3) Bayi 10.000 U/hari, selama 2 hari. Pemberian secara drip infus
20.000 U bisa dilakukan sekaligus melewati IV line.
b. Fenobarbital : dosis initial 50 mg (umur < 1 tahun) : 75 mg, (umur
> 1 tahun) dilanjutkan 5 mg/kg/BB/hari dibagi 6 dosis.
c. Diazepam dosis 4 mg/kg/BB/ hari dalam 6 dosis.
d. Largactil : dosis 4 mg/kg/BB/hari.
e. Antimikroba
f. Diet tinggi kalori tinggi protein bila trismus diberi diet cair
melalui NGT, membuat kejang, kolaborasi emberian obat
penenang.
g. Debridemen luka, biarkan luka terbuka.
h. Oksigen 2 liter/menit.
33
15
33
16
33
17
a. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa
anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang,
dan penurunan tingkat kesadaran.
b. Riwayat penyakit sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena unutk mengetahui
predisposisi penyebab sumber luka. Disini harus ditanya dengan jelas tentang
gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk.
Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih
mendalam, bagaimana sifat timbulnya kejang, stimulus apa yang sering
menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah diberikan dalam upaya
menurunkan keluhan kejang tersebut.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernakah
33
18
klien mengalami tubuh terluka atau tertusuk yang dalam misalnya tertusuk paku,
pecahan kaca, terkena keleng, atau luka yang menjadi kotor karena terjatuh di
tempat yang kotor dan terluka atau kecelakaan dan timbul luka yang tertutup
debu/kotoran juga luka bakar dan patah tulang terbuka. Adakah porte d’entree
lainya seperti luka gores yang ringan kemudian menjadi bernanah dan gigi
berlubang dikorek dengan benda yang kotor.
Pemeriksaan fisik
1. B 1 (Breathing)
Inspeksi : apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan
otot bantu nafas dan peningkatan frekuensi pernafasan.
Palpasi : taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi : bunyi nafas tambahan seperti ronkhi karena peningkatan produksi
secret.
2. B 2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan syok hipolemik. Tekanan
darah normal, peningkatan heart rate, adanya anemis karena hancurnya eritrosit.
3. B 3 (Brain)
a) Tingkat kesadaran
Compos mentis, pada keadaan lanjut mengalami penurunan menjadi
letargi, stupor dan semikomatosa.
b) Fungsi serebri
Mengalami perubahan pada gaya bicara, ekspresi wajah dan aktivitas
motorik.
33
19
d) Sistem motorik
e) Pemeriksaan refleks
f) Gerakan involunter
Tidak ditemukan tremor, Tic, dan distonia. Namun dalam keadaan tertentu
terjadi kejang umum, yang berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal yang
peka.
4. B 4 (Bladder)
33
20
5. B 5 (Bowel)
6. B 6 (Bone)
Diagonosa Keperawatan
1. Hipertemia berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksin jaringan
otak
2. Risiko tinggi kejang berulang yang berhubungan dengan kejang rangsang
(terhadap visual, suara, dan taktil)
3. Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan kejang
abdomen, trismus.
Intervensi Keperawatan
33
21
33
22
33
23
BAB 3
TINJAUAN KASUS
I. Pengkajian
1. Biodata Klien bernama Tn.R, usia 68 tahun. Bekerja sebagai nelayan,
bertempat tinggal di desa Tasikmadu RT/RW. 22/04, Kec. Watulimo,
Trenggalek. Klien beragama islam dengan status sudah menikah. Bersuku
jawa dengan pendidikan terakhir SD. Klien masuk rumah sakit 5 April 2018
dengan diagnosa observasi tetanus. Sebagai penanggung jawab klien di
rumah sakit adalah istri klien yang bernama Ny.D usia 55 tahun dan bekerja
sebagai ibu rumah tangga.
33
24
33
25
33
26
33
27
33
28
33
29
keperawatan intervensi.
selama 3x24
jam, tidak 2.Berikan perubahan 2.Perubahan posisi
terjadi posisi yang teratur teratur dapat
kontraktur, pada klien. mendistribusikan berat
footdrop, badan secara
gangguan menyeluruh dan
integritas kulit, memfasilitasi
fungsi bowel peredaran darah serta
dan bladder 3.Pertahankan body peristaltik usus.
optimal serta aligment adekuat serta
peningkatan berikan latihan ROM 3.Mencegah
kemampuan pasif jika pasien sudah terjadinya kontraktur
fisik, dengan bebas hipertermi dan dan footdrop.
kriteria hasil : kejang.
-Skala
ketergantungan 4.Ajarkan kepada
klien keluarga perawatan
meningkat, kulit, massage, dan
menjadi perawatan mata pada 4. Memfasilitasi
bantuan klien sirkulasi dan
minimal. mencegah gangguan
5.Kaji adanya integritas kulit dengan
bengkak dan melibatkan keluarga
kemerahan pada kulit. dalam proses
keperawatan.
5.Indikasi adanya
kerusakan kulit dan
deteksi dini adanya
dekubitus pada area
lokal yang tertekan.
33
30
33
31
4. Kolaborasi
dengan tim medis
untuk pemberian
obat pencahar.
3. 6 april 1. Mengkaji adanya ₰₰₰ S: klien
2018 bengkak dan mengatakan
12.00 kemerahan pada sebagaian
WIB kulit anggota tubuh
2. mereview bisa digerakan
kemampuan fisik O: klien tampak
dan kerusakan menggerakan
yang terjadi. bagian jari
3. Memberikan tangan dan
perubahan posisi kainya
yang teratur pada A: Masalah
klien. teratasi sebagian
4. Mempertahankan P: intervensi
body aligment dilanjutakan
adekuat serta 2,3,4
berikan latihan
ROM pasif jika
pasien sudah
bebas hipertermi
dan kejang.
5. Mengajarkan
kepada keluarga
perawatan kulit,
massage, dan
perawatan mata
pada klien
33
32
BAB 4
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan dari hasil pengkajian yang sudah dilakukan dan teori
perjalanan klinis, klien merasakan nyeri pada luka dan mengeluh kaku pada leher
belakang sampai mulut hingga mengalami bicara pelo. Pada saat dilakukan
inspeksi pasien tidak batuk dan tidak mengalami sesak nafas, tidak didapati syok
hipovelemik dan kesadaran pasien compos mentis.
Saran
1. Pasien
Pasien dapat menjadikan pengalaman sakit yang sedang dialami sekarang agar
lebih berhatu-hati untuk kedepannya dan sekitarnya dapat menuntaskan
pengobatan demi penyembuhan yang maksimal.
2. Keluarga
Keluarga harus sabar dalam membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sehari-
hari selama klien pada masa kesembuhan.
3. Perawat dan tenaga medis
Disarankan untuk berkolaborasi dengan maksimal untuk mempercepat proses
penyembuhan pada pasien dan menggunakan sistem penanganan pasien
tetanus terbaru akan memaksimalkan kriteria hasil yang dicapai.
4. Instansi medis/ Rumah Sakit
Disarankan untuk mengutamakan kesembuhan tanpa mengesampingkan keinginan
pasien akan membuat bertambahnya tingkat kepercayaan dalam pengobatan.
33
33
DAFTAR PUSTAKA
https://agroteknologi.web.id/sains/bakteri-clostridium-tetani/
33