Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH KEGAWAT DARURATAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS KEJANG TETANI

Dosen Pembimbing :

Nur Muji Astuti ,S.Kep.,Ns.,M.Kep

Kelompok 3 :

1. Andini Syah Putri T (141.0012)


2. Ayu Cahyaningtyas (141.0022)
3. Berianata Ayu P (141.0026)
4. Etty Khandhayoni (141.0042)
5. Riza Agustin (141.0086)
6. Rossyana V (141.0088)
7. Yesshinta Wijaya M (141.0108)

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
SURABAYA
2018
3

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tetanus adalah kejang bersifat spasme (kaku otot) yang dimulai pada rahang

dan leher. Kondisi ini disebabkan oleh racun berbahaya bakteri Clostridium tetani,

yang masuk menyerang saraf tubuh melalui luka kotor. Tetanus merupakan

infeksi yang tergolong serius dan disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani.

Bakteri ini dapat hidup lebih dari 40 tahun di luar tubuh manusia dalam bentuk

spora. Spora tersebut umumnya terdapat dalam debu, tanah, kotoran hewan dan

manusia, besi berkarat, kawat duri, serta ujung jarum yang tidak steril (Alodokter,

2017). Terdapat 4 tipe tetanus, yaitu tetanus generalisata, lokal, neonatal, dan

sefalik (Astawa, 2014).

Insiden tetanus 500.000-1.000.000 kasus per tahun diseluruh dunia

Mayoritas kasus tetanus terjadi di negara-negara berkembang yang melibatkan

50% dari neonatus. Kebanyakan kasus di negara maju terjadi pada orang

dewasa yang lebih tua, dimana laki-laki lebih sering daripada wanita, yaitu

2,5:1. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO.

Berdasarkan data dari WHO, penelitian yang dilakukan oleh Stanfield dan

Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan insidens tetanus di seluruh dunia

adalah sekitar 700.000 – 1.000.000 kasus per tahun. Tetanus ibu dan bayi baru

lahir didunia merupakan penyebab penting dari kematian ibu dan bayi sekitar

180.000 kehidupan di seluruh dunia setiap tahun, hampir secara ekslusif di Negara

Negara berkembang. Meskipun sudah dicegah dengan maternal immunization,

33
4

dengan vaksin, dan aseptic obstetric, tetanus ibu dan bayi tetap sebagai masalah

kesehatan masyarakat di 48 negara, terutama di Asia dan Afrika. Kasus tetanus

neonatorum di Indonesia masih tinggi, data tahun 2007 sebesar 12,5 per 1000

kelahiran hidup sedangkan target eleminasi tetanus neonatorum yang ingin

dicapai 1 per 1000 kelahiran hidup (Yongki, 2014).

Gambaran klinis tetanus awalnya timbul kejang otot sekitar luka, gelisah,

lemah, cemas, mudah tersinggung dan sakit kepala. Kemudian kaku pada

rahang, perut dan punggung yang mengeras dan kesukaran untuk menelan.

Gejala ini timbul sebagai akibat pengaruh toksin pada susunan saraf pusat,

toksin menghambat sinaps kolinergik perifer, menurunkan pengeluaran

asetilkolin dan mengganggu saraf simpatis. Gambaran yang spesifik adalah

kekakuan dan kejang otot. Kekakuan mengenai 3 kelompok utama yaitu: otot

masseter, otot-otot perut dan otot-otot punggung, dimana penderita selalu

sadar penuh. Gejala-gejala sistemik dapat timbul, seperti panas akibat sepsis,

ini memberi prognosa yang jelek. (Astawa, 2014).

Diagnosis tetanus adalah berdasarkan riwayat/anamnesis dan tanda klinis

saja, tidak ada tes laboratorium yang spesifik untuk penyakit ini, namun hasil

tetanus ditemukan hanya pada sekitar 30% pada kultur anaerob dari luka yang

dicurigai. Pengobatan tetanus adalah dengan pemberian antitoksin tetanus,

pemberian antibiotik, pemberian cairan untuk nutrisi dan obat-obatan untuk

mengontrol kejang. Pada pasien yang terdapat luka disertai jaringan nekrotik

dilakukan debridement. Komplikasi yang bisa terjadi adalah henti napas pada

saat kejang-kejang terutama akibat rangsangan pada waktu memasukkan pipa

lambung, aspirasi sekret pada saat atau setelah kejang, yang dapat

33
5

menimbulkan aspirasi pneumoni, atelektasis, atau abses baru. Pada jantung

bisa terjadi takikardi dan aritmia oleh karena rangsangan simpatis yang lama

(Astawa, 2014).

Langkah utama untuk mencegah tetanus adalah dengan vaksinasi. Di

Indonesia, vaksin tetanus termasuk dalam daftar imunisasi wajib untuk anak.

Imunisasi ini diberikan sebagai bagian dari vaksin DTP (difteri, tetanus, pertusis).

Proses vaksinasi ini harus dijalani dalam 5 tahap, yaitu pada usia 2, 4, 6, 18 bulan,

dan 5 tahun. Vaksin ini kemudian akan diulangi pada saat anak berusia 12 tahun

yang berupa imunisasi Td. Namun, DTP termasuk imunisasi yang tidak

dilisensikan bagi anak berusia 7 tahun ke atas, remaja, serta dewasa. Untuk

wanita, imunisasi TT (tetanus toksoid) sebaiknya diberikan 1 kali saat sebelum

menikah dan 1 kali pada saat hamil. Tujuan imunisasi ini adalah untuk mencegah

tetanus pada bayi yang baru lahir. Di samping vaksinasi, pencegahan tetanus juga

dapat dilakukan dengan selalu menjaga kebersihan. Terutama saat merawat luka

agar tidak terkena infeksi. Infeksi tetanus yang tidak segera ditangani dapat

menyebabkan komplikasi dan berakibat fatal. Beberapa komplikasi tetanus yang

dapat terjadi meliputi jantung yang tiba-tiba berhenti, emboli paru, serta

pneumonia (Alodokter, 2018).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi kejang tetani?

2. Bagaimana penanganan pada pasien kejang tetani?

3. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien kejang tetani?

33
6

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui definisi kejang tetani

2. Untuk mengetahui penanganan pada pasien kejang tetani

3. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien kejang tetani

1.4 Manfaat

Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat digunakan sebagai media

informasi ilmiah bagi perawat maupun mahasiswa keperawatan tentang asuhan

keperawatan pada pasien dengan kejang tetani.

33
7

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan
berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang
disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi
oleh Clostridium tetani.Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease" (Harum,
2014). Setara dengan pernyataan Laksmi (2014), tetanus merupakan penyakit
infeksi akut disebabkan eksotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani,
ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan kejang- kejang otot rangka.
Penyakit ini tidak meyebar dari orang ke orang, tetapi melalui kotoran yang
masuk ke dalam luka.

2.2 Etiologi
Penyebab tetanus adalah Clostridum tetani yang dapat berkembang biak dan
memproduksi racun sehingga menimbulkan gangguan terhadap sistem saraf
manusia. (Manutu, et al., 2013). Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk
batang lurus, memiliki ukuran tubuh dengan panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-
0,5 mikron. Bakteri ini termasuk bakteri gram positif anaerobic berspora, yang
mengeluarkan eksotoksin. Eksotoksin yang dihasilkan yaitu tetanospamin dan
tetanolisin. Namun yang menyebabkan penyakit tetanus adalah
tetanospamin.Clostridium tetani ini biasanya terdapat di tanah yang tercemar tinja
manusia dan binatang. Spora dari clostridium tetani resisten terhadap panas.
Selain itu biasanya terdapat antiseptis. Sporanya dapat bertahan pada autoclave
pada suhu 249,80F (1210C) selama 10-15 menit. Sporanya juga resisten terhadap
phenol dan agen kimia lainnya. Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam
tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong, Gigi berlubang, tertusuk
ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum) (Harum,
2014).

33
8

Ciri- ciri yang dapat ditemukan dari clostridium tetani adalah:


1. Clostridium tetani sensitif terhadap panas.
2. Anaerob obligat (tidak dapat mentolerir adanya oksigen) dan sangat
bergantung dengan yang namanya fermentasi.
3. Menyebabkan penyakit tetanus, karena spora bakteri ini masuk ke dalam
tubuh melalui luka terbuka dan berkecambah sekali di dalam.
4. Alat geraknya berupa flagela berputar. Organisasi flagella yang dimiliki
clostridium tetani ini adalah peritrichous yang berarti bahwa ada flagella
acak yang memiliki banyak macam di sekitar selnya.
5. Dapat ditemukan di tanah, debu, sedimen, tubuh manusia (saluran usus),
tubuh hewan.
6. Bentuk tubuh dari clostridium tetani ini adalah basil, atau berbentuk batang.
Umumnya tampak berbentuk seperti tongkat pemukul atau raket tenis.
7. Bersifat parasit.

Gambar 2.1 Clostridium Tetani


(sumber : https://agroteknologi.web.id/sains/bakteri-clostridium-tetani/)

2.3 Gejala Klinis


Menurut Laksmi (2014), periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata
7 hari). Pada 80-90% penderita, gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi.
Selang waktu sejak munculnya gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama
disebut periode onset. Periode onset maupun periode inkubasi secara signifikan
menentukan prognosis. Makin singkat (periode onset <48 jam dan periode
inkubasi <7 hari) menunjukkan makin berat penyakitnya. Tetanus memiliki
gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot, spasme otot, dan
ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot, lebih dahulu

33
9

pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu yang tampak pada
lebih dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus, kaku leher, dan nyeri
punggung. Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal menimbulkan ciri khas risus
sardonicus, sakit tenggorokan, dan disfagia. Peningkatan tonus otot- otot trunkal
meng akibatkan opistotonus. Kelompok otot yang berdekatan dengan tempat
infeksi sering terlibat, menghasilkan penampakan tidak simetris.
Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :
1. Lokalized tetanus ( Tetanus Lokal )
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada
daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah
merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa
bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara
bertahap.
2. Cephalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di
India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam
rongga hidung
3. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi
yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-
diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50
%), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan
kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk
dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin)
yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot punggung), kejang
dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan
sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi
urine,kompressi frak tur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur
biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai
hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai
takhikardia, penderita biasanya meninggal.

33
10

Klasifikasi gejala menurut Nugroho (2011) yaitu :


1. Stadium 1 : tanpa kejang tonik umum, trismus 3 cm.
2. Stadium 2 : kejang tonik umum bila dirangsang, trismus 3 cm atau
lebih kecil.
3. Stadium 3 : kejang tonik umum spontan, trismus 1 cm.

33
11

2.4 Patofisologi

Suasana yang memungkinkan organisme anaerob Clostridium Tetani


berpoliferasi disebabkan keadaan/porte d’entree antara lain : luka tusuk dalam
dan kotor serta belum terimunisasi, luka karena lalu lintas, luka bakar, luka
tembak, prawatan luka tali pusat yang tidak baik.

Clostridium tetani mengeluarkan toksik, toksin diabsorpsi pada ujung saraf


motorik dan melalui sumbu silindrik ke SSP

Dari susunan limfatik ke sirkulasi darah arteri dan masuk


ke SSP

Toksik bersifat neurotoksik/tetanospamin, tetanulisin,


menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit

Perubahan fisiologis intrakranial

Penekanan area Kejang tonik umum, Peningkatan


fokal kortikal kejang rangsang, permeabilitas
kejang spontan, darah/otak
kejang pada abdomen,
Kesulitan membuka dan retensi urine
mulut (trismus), kaku Proses
kuduk (epistotonus), inflamasi
kaku dinding perut, dan di
kaku tulang belakang Perubah Perub Penuru jaringan
an ahan nan otak
eliminas mobili kemam (peningk
Sulit menelan/ i uri dan tas puan atan suhu
menyusui alvi fisik batuk tubuh)

Intake nutrisi tidak kuat Ganggu Bersihan Hipete


Gang
an jalan rmi
guan
pemenu napas
mobi
Perubahan nutrisi han tidak
litas
kurang dari kebutuhan elimina efektif
fisik
si uri
dan
alvi

33
12

2.5 Penalaksanaan
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus menurut Laksmi (2014), antara lain :

1. Membuang sumber tetanospasmin.

Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk


mengurangi muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut.
Antibiotika diberikan untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan
pencegahan tetanus secara klinis adalah minimal. Pada penelitian di Indonesia,
metronidazole telah menjadi terapi pilihan di beberapa pelayanan kesehatan.
Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan
dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari.

Metronidazole efektif mengurangi jumlah kuman Clostridium tetani bentuk


vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan penicillin procain 50.000-100.000
U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap penicillin dapat diberi
tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penicillin
membunuh bentuk vegetatif Clostridium tetani. Sampai saat ini, pemberian
penicillin G 100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari
direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan
bahwa penicillin mungkin berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin
dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).

2. Menetralisasi toksin yang tidak terikat.

Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum


berikatan. Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera
diinjeksikan intramuskuler dengan dosis total 3.000- 10.000 unit, dibagi tiga dosis
yang sama dan diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis
tepat HTIG. Rekomendasi British National Formulary adalah 5.000- 10.000 unit
intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal.
Sebagian dosis diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka; hanya dibutuhkan
sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat pengobatan
diberikan, makin efektif. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas

33
13

terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobulin sebelumnya;


trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan
kontraindikasi pemberian intra muskular. Bila tidak tersedia maka digunakan ATS
dengan dosis 100.000- 200.000 unit diberikan 50.000 unit intra- muskular dan
50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit
intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga.

Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi


immunisasi aktif dengan toksoid, karena seseorang yang sudah sembuh dari
tetanus tidak memiliki kekebalan.

3. Perawatan penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan


dengan jaringan telah habis dimetabolisme.

Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin
yang telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani
di ICU agar bisa diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme
paroksimal yang dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di
ruangan gelap dan tenang. Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia
aspirasi.Cairan intravena harus diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas
darah penting sebagai penuntun terapi.

Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien
tersedasi lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil
kemungkinannya mengalami spasme otot. Diazepam efektif mengatasi spasme
dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang
direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/ kali dengan interval 2-4 jam sesuai
gejala klinis, dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8
mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera
dihentikan dengan diazepam 5 mg per rektal untuk berat badan <10 kg dan 10 mg
per rektal untuk anak dengan berat badan ≥10 kg, atau diazepam intravena untuk
anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan
dengan dosis rumatan sesuai keadaan klinis.

33
14

Sedangkan menurut Muttaqin (2011), penatalaksanaan medis yang dapat


dilakukan pada penyakit tetanus antara lain :

1. Pencegahan
a. Bersihkan port d’entree dengan larutan H2O2 3%
b. Antitetanus Serum (ATS) 1500 U/IM
c. Toksoid Tetanus (TT) dengan memperhatikan statsus imunisasi.
d. Antimikroba pada keadaan yang beresiko poliferasi kuman
Clostridium tetani seperti pada patah tulang terbuka dan lainnnya.
2. Pengobatan
a. Antitetanus Serum (ATS)
1) Dewasa 50.000 U/hari, selama 2 hari berturut-turut, (hari I)
diberikan dalam infus glukosa 5% 100 ml, (hari II) diberikan IM
lakukan uji kulit sebelum pemberian.
2) Anak 20.000 U/hari, selama 2 hari. Pemberian secara drip infus
40.000 U bisa dilakukan sekaligus melewati IV line.
3) Bayi 10.000 U/hari, selama 2 hari. Pemberian secara drip infus
20.000 U bisa dilakukan sekaligus melewati IV line.
b. Fenobarbital : dosis initial 50 mg (umur < 1 tahun) : 75 mg, (umur
> 1 tahun) dilanjutkan 5 mg/kg/BB/hari dibagi 6 dosis.
c. Diazepam dosis 4 mg/kg/BB/ hari dalam 6 dosis.
d. Largactil : dosis 4 mg/kg/BB/hari.
e. Antimikroba
f. Diet tinggi kalori tinggi protein bila trismus diberi diet cair
melalui NGT, membuat kejang, kolaborasi emberian obat
penenang.
g. Debridemen luka, biarkan luka terbuka.
h. Oksigen 2 liter/menit.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik


Menurut Muttaqin (2011), pemeriksaan diagnostik dapat dilakukan
melalui pemeriksaan laboratorium berupa leukositosis ringan, peninggian tekanan
cairan otak, dan deteksi kuman sulit.

33
15

2.7 Sistem Penilaian Tetanus


Terdapat beberapa sistem penilaian tetanus. Skala yang diusulkan Ablett
adalah yang paling banyak digunakan.

Tabel 2.1 Severitas Tetanus Berdasarkan Klasifikasi Ablett


Grade 1 (ringan)
Trimus ringan, spastisitas menyeluruh, tidak ada yag membahayakan respiasi,
tidak ada spasme, tidak ada disfagia.
Grade 2 (sedang)
Trismus sedang, rigiditas, spasme singkat, disfagia ringan, keterlibatan respiasi
sedang, frekuensi pernapasan > 30/menit.
Grade 3 (berat)
Trismus berat, rigiditas menyeluruh, spasme memanjang, disfagia berat,
serangan apnea, denyut nadi > 120/menit, frekuensi pernapasan > 40/menit
Grade 4 (sangat berat)
Grade 3 dengan ketidakstabilan otonom berat.
( Sumber :Laksmi, 2014 )

Selain skoring Ablett, terdapat sistem skoring untuk menilai prognosis


tetanus seperti Phillips score dan Dakar score. Kedua sistem skoring ini
memasukkan kriteria periode inkubasi dan periode onset, begitu pula manifestasi
neurologis dan kardiak. Phillips score juga memasukkan status imunisasi pasien.
Phillips score <9, severitas ringan; 9-18, severitas sedang; dan >18, severitas
berat. Dakar score 0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10%; 2-3, severitas
sedang dengan mortalitas 10-20%; 4, severitas berat dengan mortalitas 20-40%; 5-
6, severitas sangat berat dengan mortalitas >50%.

Outcome tetanus tergantung berat penyakit dan fasilitas pengobatan yang


tersedia. Jika tidak diobati, mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih tinggi pada
neonatus. Di fasilitas yang baik, angka mortalitasnya 13% sampai 25%. Hanya
sedikit penelitian jangka panjang pada pasien yang berhasil selamat. Pemulihan
tetanus cenderung lambat namun sering sembuh sempurna, beberapa pasien
mengalami abnormalitas elektroensefalografi yang menetap dan gangguan
keseimbangan, berbicara, dan memori.

33
16

Tabel 2.2 Phillips Score

( Sumber :Laksmi, 2014 )

33
17

Tabel 2.3 Dakar Score


Faktor Dakar Score
Prognosis Score 1 Score 2
Periode <7 hari ≥7 hari atau tidak diketahui
Inkubasi
Periode Onset <2 hari ≥2 hari
Tempat Masuk Umbilikus, luka bakar, Selain dari yang telah
uterus, fraktur terbuka, luka disebut, atau tidak diketahui
operasi, injeksi intramuskular
Spasme Ada Tdak ada
Demam >38,4 ‫ﹾ‬C <38,4‫ﹾ‬C
Takikardi Dewasa >120 kali/menit Dewasa >120 kali/menit
Neonatus >150kali/menit Neonatus >150kali/menit
( Sumber :Laksmi, 2014 )

2.8 Konsep Asuhan Keperawatan Kejang Tetanus


Pengkajian

a. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa
anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang,
dan penurunan tingkat kesadaran.
b. Riwayat penyakit sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena unutk mengetahui
predisposisi penyebab sumber luka. Disini harus ditanya dengan jelas tentang
gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk.
Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih
mendalam, bagaimana sifat timbulnya kejang, stimulus apa yang sering
menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah diberikan dalam upaya
menurunkan keluhan kejang tersebut.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernakah

33
18

klien mengalami tubuh terluka atau tertusuk yang dalam misalnya tertusuk paku,
pecahan kaca, terkena keleng, atau luka yang menjadi kotor karena terjatuh di
tempat yang kotor dan terluka atau kecelakaan dan timbul luka yang tertutup
debu/kotoran juga luka bakar dan patah tulang terbuka. Adakah porte d’entree
lainya seperti luka gores yang ringan kemudian menjadi bernanah dan gigi
berlubang dikorek dengan benda yang kotor.

Pemeriksaan fisik

Menurut Muttaqin dalam bukunya yang berjudul “Buku Ajar Asuhan


Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan” adalah meliputi
anamnesis, riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan diagnostic
pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus
pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan di hubungkan
dengan keluhan-keluhan dari klien.

1. B 1 (Breathing)
Inspeksi : apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan
otot bantu nafas dan peningkatan frekuensi pernafasan.
Palpasi : taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi : bunyi nafas tambahan seperti ronkhi karena peningkatan produksi
secret.
2. B 2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan syok hipolemik. Tekanan
darah normal, peningkatan heart rate, adanya anemis karena hancurnya eritrosit.
3. B 3 (Brain)
a) Tingkat kesadaran
Compos mentis, pada keadaan lanjut mengalami penurunan menjadi
letargi, stupor dan semikomatosa.
b) Fungsi serebri
Mengalami perubahan pada gaya bicara, ekspresi wajah dan aktivitas
motorik.

33
19

c) Pemeriksaan saraf cranial


(1) Saraf I ; tidak ada kelainan, fungsi penciuman normal.
(2) Saraf II ; ketajaman penglihatan normal.
(3) Saraf III, IV dan VI ; dengan alasan yang tidak diketahui, klien mengalami
fotofobia atau sensitive berlebih pada cahaya.
(4) Saraf V ; reflek masester meningkat. Mulut mecucu seperti mulut ikan
(gejala khas tetanus)
(5) Saraf VII ; pengecapan normal, wajah simetris
(6) Saraf VIII ; tidak ditemukan tuli konduktif dan persepsi.
(7) Saraf IX dan X ; kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka
mulut (trismus).
(8) Saraf XI ; didapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang dan leher
(mendadak)
(9) Saraf XII ; lidah simetris, indra pengecap normal

d) Sistem motorik

Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi mengalami


perubahan.

e) Pemeriksaan refleks

Refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat


refleks pada respon normal.

f) Gerakan involunter

Tidak ditemukan tremor, Tic, dan distonia. Namun dalam keadaan tertentu
terjadi kejang umum, yang berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal yang
peka.

4. B 4 (Bladder)

Penurunan volume haluaran urine berhubungan dengan penurunan perfusi


dan penurunan curah jantung ke ginjal.

33
20

5. B 5 (Bowel)

Mual muntah karena peningkatan asam lambung, nutrisi kurang karena


anoreksia dan adanya kejang (kaku dinding perut / perut papan. Sulit BAB karena
spasme otot.

6. B 6 (Bone)

Gangguan mobilitas dan aktivitas sehari-hari karena adanya kejang umum.

Diagonosa Keperawatan
1. Hipertemia berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksin jaringan
otak
2. Risiko tinggi kejang berulang yang berhubungan dengan kejang rangsang
(terhadap visual, suara, dan taktil)
3. Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan kejang
abdomen, trismus.

Intervensi Keperawatan

Hipertemia berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksin jaringan


otak
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam perawatan suhu menurun
Kriteria hasil : suhu tubuh normal 36-37‫ﹾ‬C
Intervensi Rasional
Monitor suhu tubuh klien Peningkatan suhu tubuh menjadi
stimulus pada kejang klien tetanus
Beri kompres dingin di kepala dan Memberkan respons dingin pada pusat
aksila pengatur panas dan pada pembuluh
darah besar.
Pertahankan bedrest total selama fase Mengurangi penngkatan proses
akut metabolisme umum yang terjadi pada
klien tetanus.
Kolaborasi pemberian terapi ; ATS ATSdapat mengurangi dampak toksin

33
21

dan antimiroba tetanus di jaringan otak dan


antimikroba dapat mengurangi
inflamasi sekunder dari toksin.

Risiko tinggi kejang berulang yang berhubungan dengan kejang rangsang


(terhadap visual, suara, dan taktil)
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam perawatan risiko kejang berulang tidak terjadi
Kriteria hasil : klien tidak mengalami kejang
Intervensi Rasional
Kaji stimulus kejang Merangsang cahaya dan meningkatkan
suhu tubuh
Hindarkan stimulus ahaya, kalau perlu Membantu menurunkan stimulus
klien ditempatka pada ruangan dengan rangsang kejang
pencahayaan yang kurang
Pertahankan bedrest total selama fase Mengurangi resiko jatuh/terluka jika
akut. vertigo, sincope, dan ataksia terjadi.
Kolaborasi pemberian terapi ; Mencegah atau mengurangi kejang
diazepam, phenobarbital

Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan kejang abdomen,
trismus
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam nutrsi klien terpenuhi
Kriteria hasil : tidak adanya tanda malnutrisi dengan nilai laboratorium dalam
batas normal
Intervensi Rasional
Kaji kemampuan klien dalam Menentukan kemampuan menelan
menelan, batuk, dan adanya sekret. klien danklien harus dilindungi dari
resiko aspirasi.
Berikan pengertian tentang pentngnta Memotivasi untuk memenuhi
nutrisi bagi tubuh. kebutuhan klien.

33
22

Auskultasi bowel sounds, amati Menentukan respons feeding atau


penurunan atau hiperaktivitas suara terjadinya komplikasi misalnya illeus
bowel.
Timbang berat badan sesuai indikasi Mengevaluasi efektivitas dari asupan
makanan.
Berikan makann dengan cara Menurunka resiko regurgitasi atau
meninggikan kepala. aspirasi.

33
23

BAB 3

TINJAUAN KASUS

Tn. R berumur 68 tahun, berkerja sebagai nelayan di daerah pesisir Pantai


Prigi Trenggalek. Tn.R tinggal didekat pantai dengan lingkungan yang sedikit
kurang bersih. Tn.R bekerja setiap harinya tidak memakai sepatu hanya memakai
sandal jepit. Pada saat berangkat bekerja tiba-tiba sandal yang dipakai Tn. R
putus, akhirnya Tn. R bekerja tidak memakai alas kaki dan kaki sebelah kiri Tn. R
tertusuk pecahan batu saat Tn.R berjalan. Kaki Tn.R hanya ditutupi kain untuk
menutupi luka Tn.R dan hanya dibersihkan dengan menyiram air. Luka tersebut
hanya dibiarkan tanpa diobati dan tidak dibawa ke dokter. Setelah 4 hari Tn.R
baru merasakan nyeri, badannya panas dingin, keluar keringat banyak, kaku pada
leher belakang sampai mulut dan rahang dan bengkak pada daerah kaki, klien
berbicara pelo. Keluarga Tn.R mengatakan malamnya mengalami kejang. Kejang
semakin hebat 3 hari terakhir ini. Saat diobservasi TTV: Tekanan Darah (TD)
160/120 mmHg, Nadi (N) 72 x/menit, suhu/temperatur (T) 38,3oC, Respiratory
Rate (RR) 26 x/menit, Berat Badan (BB) : 56 Kg, Tinggi Badan (TB) : 172 cm
dan dari hasil medikasi luka didapatkan luka bersih tidak ada pus. Selanjutnya
klien mendapat terapi; O2 3 liter/menit, infus Ringer Laktat (RL) 20 tetes/menit,
injeksi ekstra Pirasetam 1 amp dan neurosanbe 1 amp. Satu jam kemudian klien
mendapat terapi; injeksi Ceftriaxone 2 gram/12 jam, Injeksi Ranitidin 50 mg/12
jam, Drip Stesolid 40 mg/8 jam, dan injeksi Amlodipine 10 mg (ekstra).

I. Pengkajian
1. Biodata Klien bernama Tn.R, usia 68 tahun. Bekerja sebagai nelayan,
bertempat tinggal di desa Tasikmadu RT/RW. 22/04, Kec. Watulimo,
Trenggalek. Klien beragama islam dengan status sudah menikah. Bersuku
jawa dengan pendidikan terakhir SD. Klien masuk rumah sakit 5 April 2018
dengan diagnosa observasi tetanus. Sebagai penanggung jawab klien di
rumah sakit adalah istri klien yang bernama Ny.D usia 55 tahun dan bekerja
sebagai ibu rumah tangga.

33
24

2. Keluhan Utama : Kaku pada leher belakang sampai mulut


dan rahang.
3. Riwayat penyakit sekarang : Keluarga mengatakan ± 2 minggu sebelum
dibawa ke rumah sakit umum daerah dr. Soedomo Trenggalek, klien
tertusuk pecahan batu di telapak kaki kiri saat bekerja. Sesaat setelah
tertusuk, klien membersihkan kakinya dengan air lalu membalutnya dengan
sobekan kain. Setelah membalut lukanya, klien kembali bekerja. Selang
beberapa hari, klien masih merasakan nyeri pada luka tersebut. Hingga
akhirnya 2 hari sebelum masuk rumah sakit klien mengeluh kaku pada leher
belakang sampai ke mulut. Dan berangsur-angsur klien mulai berbicara
pelo. Keluarga memutuskan untuk membawa klien ke rumah sakit.
Sesampainya di IGD klien mendapat penanganan dan di dapatkan hasil dari
pemeriksaan Tanda-Tanda Vital (TTV) sebagai berikut; Tekanan Darah
(TD) 160/120 mmHg, Nadi (N) 72 x/menit, suhu/temperatur (T) 38,3 oC,
Respiratory Rate (RR) 26 x/menit dan dari hasil medikasi luka didapatkan
luka bersih tidak ada pus.
4. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum :
Kesadaran : Compos Mentis, Suhu : 38,3OC
TD : 160/120 mmHg, Nadi : 72 x/menit
RR : 26 x/menit, BB/TB : 56 kg/172 cm
B1 (Breathing), inspeksi pada klien tidak batuk, tidak mengalami sesak nafas,
tidak menggunakan otot bantu nafas dan frekuensi pernafasan mengalami
peningkatan 26 x/menit. Untuk palpasi taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi bunyi nafas vesikuler.
B2 (Blood), klien tidak didapati syok hipofolemik. TD klien 160/120 mmHg
dan nadi 72 x/menit.
B3 (Brain), pada pengkajian tingkat kesadaran klien adalah Compos mentis
(CM). Fungsi serebri klien mengalami pelo pada gaya bicara, ekspresi wajah
tampak kaku dan aktivitas motorik lemah. Pada pemeriksaan saraf cranial didapat
data subyektif dan obyektif sebagai berikut;
a) saraf I (olfaktorius) tidak ada kelainan, fungsi penciuman normal.

33
25

b) Saraf II (optikus) ketajaman penglihatan normal, klien mengatakan


pandangan tidak kabur.
c) Saraf III (okulomotorius), IV (troklearis), dan VI (abdusens) klien
mengalami fotofobia atau sensitif berlebih pada cahaya.
d) Saraf V (trigeminus) ditemukan mulut ikan (gejala khas tetanus) pada klien,
kekakuan rahang masih di rasakan.
e) Saraf VII (fasialis) ekspresi wajah simetris dan pengecapan normal, klien
mengatakan dapat merasakan diet dari rumah sakit.
f) Saraf VIII (cabang vestibularis vestibulokoklearis) tidak ditemukan
pengurangan dalam pendengaran.
g) Saraf IX (glosofaringeus) dan X (vagus) kemampuan menelan kurang baik,
kesukaran membuka mulut (trismus) pada klien masih ada.
h) Saraf XI (asesorius) didapatkan kaku kuduk klien masih dirasakan,
ketegangan otot rahang juga leher.
i) Saraf XII (hipoglosus) terlihat lidah simetris.
B4 (Bladder), selama sakit klien buang air kecil (BAK) 5-6 x/sehari dengan
volume ± 2000 cc.
B5 (Bowel), klien belum BAB sejak dirawat di rumah sakit. Peristaltik usus 7
x/menit. Pemeriksaan palpasi juga didapati kaku pada dinding perut.
B6 (Bone), klien masih membutuhkan bantuan keluarga dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari seperti makan, BAK atau merubah posisi tidur.
5. Pemeriksaan Diagnostik
6. Terapi
a) O2 3 liter/menit,
b) Infus Ringer Laktat (RL) 20 tetes/menit,
c) Injeksi ekstra Pirasetam 1 amp dan neurosanbe 1 amp.
d) Satu jam kemudian klien mendapat terapi; injeksi Ceftriaxone 2 gram/12
jam
e) Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam,
f) Drip Stesolid 40 mg/8 jam, dan

33
26

II. Diagnosa keperawatan

No. Data Etiologi Masalah


1. DS: Keluarga klien Kejang berulang Gangguan
mengatakan 3 hari mobilitas fisik
terakhir sering kejang,
dan pasien mengalami
kekakuan pada anggota
tubuh serta sulit
digerakkan.

DO: Kaku kuduk (+),


pasien bedrest, gangguan
menelan dan berbicara.
2. DS: Keluarga klien spasme pada Gangguan
mengatakan bahwa klien abdomen pemenuhan
belum BAB sejak eliminasi BAB;
dirawat di rumah sakit. konstipasi

DO: Peristaltik usus 7


x/menit. Pemeriksaan
palpasi didapati kaku
pada dinding perut.
3. DS:Keluarga mengatakan Proses Inflamasi dan Hipertermi
klien sering kejang, dan efek toksik pada
tubuh panas. jaringan otak

DO: Inflamasi pada area


luka, suhu tubuh 38,3oC,
kulit teraba panas, RR :
26 x/menit, nadi : 72
x/menit.

33
27

III. Prioritas Keperawatan


1. Hipertermi b.d Proses Inflamasi dan efek toksik pada jaringan otak.
2. Gangguan pemenuhan eliminasi BAB; konstipasi b.d spasme pada
abdomen.
3. Gangguan mobilitas fisik b.d Kejang berulang

IV. Intervensi Keperawatan


Dx. Tujuan dan Intervensi Rasional
Keperawatan Kriteria Hasil
1. Hipertermi Setelah 1. Monitor suhu 1.Peningkatan suhu
b.d Proses dilakukan tubuh klien. tubuh menjadi
Inflamasi asuhan stimulus kejang pada
dan efek keperawatan klien tetanus.
toksik pada selama 3x24 2. Beri kompres
jaringan jam, suhu biasa pada dahi 2.Pemberian respons
otak. tubuh pasien dan aksila pasien. dingin pada pusat
normal, pengaturan panas di
dengan kriteria pembuluh darah dapat
hasil : suhu mempercepat
36,5-37,5oC penurunan suhu tubuh.
3. Pertahankan
bedrest total 3.Mengurangi
selama fase akut. peningkatan proses
metabolisme umum
yang terjadi pada
4. Kolaborasi pasien tetanus.
dengan tim medis
untuk pemberian 4.ATS dapat
ATS dan mengurangi efek
antimikroba. toksik dan
antimikroba dapat
mengurangi inflamasi

33
28

sekunder dari toksik


2. Gangguan Setelah 1.Kaji eliminasi dalam 1.Mengidentifikasi
pemenuhan dilakukan 24 jam. kemampuan eliminasi
eliminasi asuhan alvi dan menentukan
BAB; keperawatan intervensi selanjutnya.
konstipasi selama 2x24
b.d spasme jam, pasien 2.Anjurkan 2.Pemenuhan cairan
pada dapat BAB , pemenuhan hidrasi dapat mempermudah
abdomen. dengan kriteria cairan via oral. pencernaan dalam
hasil : BAB proses eliminasi alvi.
normal dan
teratur.

3.Kolaborasi dengan 3.Makanan tinggi


ahli gizi untuk serat sangat
pemberian makanan dibutuhkan dalam
dengan tinggi serat. proses pencernaan,
agar tidak
menyebabkan
konstipasi.
4. Kolaborasi dengan
tim medis untuk
pemberian obat 4.Obat pencahar
pencahar. bekerja langsung pada
dinding usus besar
yaitu mempercepat
peristaltik usus agar
defekasi segera
terjadi.
3. Gangguan Setelah 1.Review kemampuan 1.Mengidentifikasi
mobilitas fisik b.d dilakukan fisik dan kerusakan kerusakan fungsi dan
Kejang berulang asuhan yang terjadi. menentukan pilihan

33
29

keperawatan intervensi.
selama 3x24
jam, tidak 2.Berikan perubahan 2.Perubahan posisi
terjadi posisi yang teratur teratur dapat
kontraktur, pada klien. mendistribusikan berat
footdrop, badan secara
gangguan menyeluruh dan
integritas kulit, memfasilitasi
fungsi bowel peredaran darah serta
dan bladder 3.Pertahankan body peristaltik usus.
optimal serta aligment adekuat serta
peningkatan berikan latihan ROM 3.Mencegah
kemampuan pasif jika pasien sudah terjadinya kontraktur
fisik, dengan bebas hipertermi dan dan footdrop.
kriteria hasil : kejang.
-Skala
ketergantungan 4.Ajarkan kepada
klien keluarga perawatan
meningkat, kulit, massage, dan
menjadi perawatan mata pada 4. Memfasilitasi
bantuan klien sirkulasi dan
minimal. mencegah gangguan
5.Kaji adanya integritas kulit dengan
bengkak dan melibatkan keluarga
kemerahan pada kulit. dalam proses
keperawatan.

5.Indikasi adanya
kerusakan kulit dan
deteksi dini adanya
dekubitus pada area
lokal yang tertekan.

33
30

V. Implementasi dan Evaluasi

No. Waktu Implementasi paraf Catatan paraf


Dx dan
tanggal
1. 6 april 1. Memonitoring suhu ₰₰₰ S: klien ₰₰₰
2018 tubuh klien mengatakan
12.00 2. Memberi kompres suhu tubuhnya
WIB biasa pada dahi dan turun 37,8℃
aksila klien. O: saat diraba
3. Mmpertahankan tubuh
bedrest total selama klienpanasnya
fase akut. sudah
4. Kolaborasi dengan berkurang.
tim medis untuk A: masalah
pemberian ATS dan teratasi sebagian
antimikroba. P: intervensi
dilanjutkan
1,2,3,4
2. 6 april 1. Mengkaji ₰₰₰ S: klien
2018 eliminasi dalam mengatakan
12.00 24 jam. BAB 1 kali
WIB 2. Memberikan O: BAB klien
pemenuhan tampak cair
hidrasi cairan via A: masalah
oral. teratasi sebagian
3. Kolaborasi P: intervensi
dengan ahli gizi dilanjutkan
untuk pemberian 1,2,3,4
makanan dengan
tinggi serat.

33
31

4. Kolaborasi
dengan tim medis
untuk pemberian
obat pencahar.
3. 6 april 1. Mengkaji adanya ₰₰₰ S: klien
2018 bengkak dan mengatakan
12.00 kemerahan pada sebagaian
WIB kulit anggota tubuh
2. mereview bisa digerakan
kemampuan fisik O: klien tampak
dan kerusakan menggerakan
yang terjadi. bagian jari
3. Memberikan tangan dan
perubahan posisi kainya
yang teratur pada A: Masalah
klien. teratasi sebagian
4. Mempertahankan P: intervensi
body aligment dilanjutakan
adekuat serta 2,3,4
berikan latihan
ROM pasif jika
pasien sudah
bebas hipertermi
dan kejang.
5. Mengajarkan
kepada keluarga
perawatan kulit,
massage, dan
perawatan mata
pada klien

33
32

BAB 4
PENUTUP

Simpulan
Berdasarkan dari hasil pengkajian yang sudah dilakukan dan teori
perjalanan klinis, klien merasakan nyeri pada luka dan mengeluh kaku pada leher
belakang sampai mulut hingga mengalami bicara pelo. Pada saat dilakukan
inspeksi pasien tidak batuk dan tidak mengalami sesak nafas, tidak didapati syok
hipovelemik dan kesadaran pasien compos mentis.

Saran
1. Pasien
Pasien dapat menjadikan pengalaman sakit yang sedang dialami sekarang agar
lebih berhatu-hati untuk kedepannya dan sekitarnya dapat menuntaskan
pengobatan demi penyembuhan yang maksimal.
2. Keluarga
Keluarga harus sabar dalam membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sehari-
hari selama klien pada masa kesembuhan.
3. Perawat dan tenaga medis
Disarankan untuk berkolaborasi dengan maksimal untuk mempercepat proses
penyembuhan pada pasien dan menggunakan sistem penanganan pasien
tetanus terbaru akan memaksimalkan kriteria hasil yang dicapai.
4. Instansi medis/ Rumah Sakit
Disarankan untuk mengutamakan kesembuhan tanpa mengesampingkan keinginan
pasien akan membuat bertambahnya tingkat kepercayaan dalam pengobatan.

33
33

DAFTAR PUSTAKA

Harum, A. (2014). Dental Caries As A Risk Factor of Tetanus, 3. Retrieved from


juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/download/447/448
Laksmi, N. K. S. (2014). Penatalaksanaan Tetanus, 41(11), 823–827. Retrieved
from http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_222CPD-Penatalaksanaan
Tetanus.pdf
Manutu, J., Korah, B. H., & Pesak, E. (2013). Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan
Pemberian Imunisasi Tetanus Toxoid di Puskesmas Rurukan Kecamatan
Tomohon Timur Kota Tomohon, 31–36. Retrieved from
ejurnal.poltekkesmanado.ac.id
Muttaqin, A. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Nugroho, T. (2011). Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah, Penyakit
Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.
http://youngqie.blogspot.co.id/2014/12/epidemiologi-tetanus.html
https://www.alodokter.com/tetanus

https://agroteknologi.web.id/sains/bakteri-clostridium-tetani/

33

Anda mungkin juga menyukai