Article Reviewed:
Boudjellal, M. (2006). Three Decades of Experimentation : Rethinking the Theory of Islamic Banking.
International Association for Islamic Economics, 10(No.1), 23–39. Retrieved from
http://iaif.ir/images/khareji/articles/bank/113.pdf
1. Pendahuluan
Perbankan Islam pertama muncul dalam dunia keuangan pada awal tahun 1970an.
Sejak saat itu telah terjadi perkembangan yang cukup baik. Industri perbankan Islam mampu
mencapai pertumbuhan tahunan mencapai dua dijit secara rata-rata. Hingga saat ini,
cendikawan muslim sudah banyak melakukan penelitian mengenai berbagai skema keuangan
sesuai syariah, termasuk mudarabah, musharakah, murabahah, salam, istisnaj, dan sukuk
agar. Sebagian besar hasil studi menyimpulkan bahwa perbankan menunjukkan hasil yang
lebih baik daripada perbankan konvensional.
Meskipun memiliki pertumbuhan dan kinerja yang sangat baik, perbankan Islam masih
merupakan industri yang baru lahir dan masih jauh bisa setara dengan model-model
intermediasi keuangan lainnya yang sudah ada. Masih terdapat masalah yang perlu ditangani
lebih lanjut, seperti belum ada standar akuntansi dan masalah transparansi dalam laporan
keuangan yang berpeluang merusak kredibilitas institusi. Ditambah lagi, skema pembiyaan
mark-up price masih mendominasi dibandingkan skema risk-sharing menjadi salah satu konsen
ekonom muslim.
2. Ringkasan Artikel
Pratik bunga merupakan hal dilarang dalam Islam, tetapi tidak melarang adanya institusi
keuangan sebagai perantara antara penabung dan peminjam. Para ekonom muslim
mendefinisikan bank syariah sebagai mitra aktif yang menerima untuk berbagi risiko bisnis.
Dimana sejak awal perkembangan tersebut, para ekonom muslim telah memberikan alternatif
dari pratik suku bunga dengan skema risk-sharing. Banyak sekali makalah penelitian dan
akademis disertasi telah dipublikasikan dengan beragam bahasa. Akan tetapi, pada pratiknya
skema risk-sharing tidak mendapatkan atensi cukup baik dari para praktisi perbankan syariah
sendiri. Oleh karena itu, artikel “Three Decades of Experimentation : Rethinking the Theory of
Islamic Banking”, yang dibuat Mohammed Boudjellal, berusaha mencari, menguji secara
teoritis, dan memberi alternatif solusi masalah distorsi antara teori dan praktis ini.
Secara garis besar, skema keuangan syariah terbagi dua macam. Kategori pertama
adalah skema risk-sharing. Kategori kedua adalah skema mark-up atau model-model keuangan
pengembalian tetap yang sudah ditentukan dalam perjanjian transaksi. Skema pembiayaan
kategori kedua mendominasi jenis transaksi oleh bank syariah. Hal tersebut menunjukkan
kehati-hatian tertentu, atau bahkan rasionalitas lembaga-lembaga ini terhadap risiko keuangan
dan bisnis. Bank syariah menghindari kompleksitas risk-sharing karena bank mengkhususkan
diri dalam menyediakan pembiayaan jangka pendek. Disisi lain, skema risk-sharing cenderung
lebih tepat digunakan dalam projek jangka panjang.
Artikel tersebut menyatakan bahwa perlu institusi perbankan lain dimana merupakan
institusi keuangan non-moneter yang akan menciptakan mobilisasi sumber dana jangka
panjang. Boudjellal menggunakan pendekatan baru dengan cara yang sama seperti
membedakan commercial banks dan investment bank. Jenis baru perantara keuangan syariah
ini akan mampu memobilisasi sumber daya jangka panjang untuk diinvestasikan melalui skema
keuangan risk-sharing seperti musharakah, mudarabah, dan sebagainya.
Dengan pendekatan baru diatas, bank1 berperan investor menerima untuk mengambil
risiko memegang saham dari unit usaha yang dipilih. Benefit depositor bank tergantung pada
keuntungan yang direalisasikan oleh bank. Sedangkan, bank menerima pendapatan sebagai
bagian dari keuntungan yang direalisasikan oleh peminjam dari proses ekonomi riil. Dengan
kata lain, bank mendapatkan pendapatan sebagai jasa dan peran mereka sebagai perantara
keuangan antara pihak yang surplus tabungan dan pihak bisnis yang membutuhkan sumber
daya keuangan. Hal tersebut berbeda dengan investment bank konvensional yang masih
menerapkan bisnis model mereka berdasarkan tingkat bunga.
Investment bank dan bank PLS tidak dapat berinvestasi deposito jangka pendek dalam
proyek jangka panjang. Mereka harus memiliki deposito dengan jangka waktu simpanan
setidaknya lebih dari dua tahun. Oleh sebab itu, sejenis bank PLS biasanya hanya memiliki
transaksi dengan segmen unit ekonomi tertentu, yang menerima untuk menawarkan kelebihan
dana mereka untuk jangka waktu lama. Maka, jumlah bank PLS akan terbatas dan dapat
digolongkan sebagai wholesale banking. Dengan sumber daya terbatas tersebut, jumlah dana
yang akan diinvestasikan kepada peminjam menjadi penting.
1
Merujuk kepada bank syariah yang disimulasikan hanya menjalankan skema risk-sharing, selanjutnya ditulis bank
PLS
Disisi lain, bank PLS berada dalam lingkungan ekonomi yang sama, maka persaingan
antarbank tidak dapat dihindari. Bank PLS tidak bisa bebas mengubah target keuntungan yang
akan diperoleh. Jadi, akan menarik untuk menganalisi berbagai kendala yang memaksa bank
PLS juga mempertimbangka perilaku dari pesaingnya yaitu bank konvensional. Para peminjam
akan memilih bank PLS jika ekpetasi keuntungan yang akan mereka peroleh lebih besar
dibandingkan bank konvesional. Jika bank PLS juga mencari kesempatan agar memaksimalkan
profit, maka penentuan porsi masing-masing pihak dalam negosiasi akan menjadi penentu
berapa profit yang akan didapat.
diawal tadi.
Grafik diatas menunjukan perkembangan industri invesment bank tingkat global dua
dekade kebelakang. Artikel ini ditulis tahun 2006, jadi beranggapan perkembangan industri
investment akan terus naik. Pada kenyataannya, sejak terjadi Global Finansial Crisis
perkembangan tujuh tahun kebelakang industri tersebut tidak mengalami perubahan signifikan.
Hal tersebut akan berdampak juga terhadap berkurangnya peluang bank PLS terjadi
perkembangan dalam konteks praktikal ide pendekatan baru tersebut. Pada akhirnya, porsi
skema mark-up price akan cenderung tidak banyak berubah.
4. Penutup
Sejak pertama kali muncul, perkembangan industri perbankan islam mengalami
kemajuan yang sangat baik. Namun, perkembangan tersebut didominasi oleh transaksi dengan
skema mark-up. Hal tersebut bertolak belakang dengan saran dari cendiawan muslim dimana
konsep risk-sharing yang menjadi alternatif utama dari praktik ribawi dengan bunga. Dominasi
skema mark-up itu menjadi konsen lain dari para cendikiawan muslim. Mohammed Boudjellal
memberikan alternatif agar meningkatkan proporsi dari transaksi skema risk-sharing dengan
pendekatan membagi dua jenis bank syariah. Akan tetapi, seperti halnya artikel lain yang sudah
dahulu diterbitkan. Penelitian menggunakan pendekatan teoritis saja tidak cukup memberikan
perubahan di tatanan praktikal. Oleh karena itu, diperlukan metode lain agar mendorong dan
meyakinkan para praktisi untuk melangkah lebih jauh dari hanya sekadar fase mark-up price
5. Referensi
Farooq, M. O. (2007). Partnership , Equity-Financing and Islamic Finance : Whither Profit-Loss Sharing ?
Review of Islamic Economics, 11(Special Issue), 67–88.
Khan, T. (1995). Demand For And Supply Of Mark-Up And Pls Funds In Islamic Banking : Some Alternative
Explanations. Islamic Research and Training Institute, 3, 1–46.
Sadique, M. A. (2009). Profit and Loss Allocation among Islamic Bank and Client Partner in Equity
Financing : Practice , Precepts and Alternatives. J.KAU: Islamic Econ, 22(1), 27–50.