Praktik eksploitasi seksual anak terus menerus berlangsung seolah tidak ada
hentinya, seolah-olah anak-anak “dihalalkan” untuk disantap oleh para
penikmat seks anak. Seks anak adalah industri yang luar biasa besar dengan
keuntungan milyaran dollar, sehingga para pengambil keuntungan ini tidak
mau begitu saja menghentikan ‘bisnis” seks anak. Dalam salah satu
buku best seller karya David Brazil (2005) dikatakan: salah satu pusat
pelacuran anak di Indonesia yang terkenal sampai ke manca negara adalah
Batam dan Bintan. Dua wilayah tersebut adalah wilayah yang sering
dikunjungi oleh laki-laki Singapura, sehingga wilayah itu dikenal dengan
istilah “kampung cinta” dan “peternakan ayam”.
Konsepsi Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Anak
Secara internasional pengertian tindak pidana eksploitasi seksual adalah
pelanggaran terhadap hak anak yang mendasar dengan menjadikan anak
sebagai objek seksual dan objek komersial. Menurut ECPAT international ada
5 bentuk tindak pidana eksploitasi seksual anak, yaitu: pelacuran anak,
pornografi anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual, pariwisata seks
anak dan pernikahan anak (lihat: www.ecpat.net). Namun, ada pendapat lain
yang membagi eksploitasi seksual menjadi tiga bentuk, yaitu: pelacuran
anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual.
Sementara itu, pernikahan dan pariwisata seks anak hanya merupakan cara
untuk dapat mengekploitasi anak-anak tersebut (Antarini Arna dan Mattias
Bryneson, 2004).
Definisi eksploitasi seksual anak berdasarkan konsensus internasional yang
dirumuskan dalam deklarasi Stokholm (1996) adalah sebagai berikut:
Rumusan definisi di atas terlihat jelas bahwa eksploitasi seksual anak tidak
hanya menjadi sebuah obyek seks tetapi juga sebagai sebuah komoditas.
Adanya unsur ‘keuntungan’ dalam eksploitasi anak inilah yang membedakan
antara eksploitasi seksual anak dengan kekerasan seksual anak, karena
dalam kekerasan seksual anak tidak ada unsur keuntungan meskipun
keduanya sama-sama menunjuk pada tindakan seksual anak.
Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari
kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberi imbalan dalam bentuk uang tunai atau
barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut
diperlakukan sebagai sebuah objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi Seksual
Komersial Anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak dan
mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern. (ECPAT, 2001 : 4)
Definisi Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) menurut ILO (2008 : 12) mencakup hal-
hal berikut ini :
1. Pemakaian anak perempuan dan anak laki-laki dalam kegiatan seksual yang dibayar
dengan uang tunai atau dalam bentuk barang (umumnya dikenal sebagai prostitusi
anak) di jalanan atau di dalam gedung, di tempat-tempat seperti rumah pelacuran,
diskotek, panti pijat, bar, hotel dan restoran.
2. Wisata seks anak.
3. Pembuatan, promosi dan distribusi pornografi yang melibatkan anak-anak.
4. Pemakaian anak-anak dalam pertunjukan seks (publik/ swasta).
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa eksploitasi
seksual komersial anak terjadi karena adanya permintaan. Pencegahan dan hukuman
kriminal memang penting, tetapi setiap usaha-usaha untuk menghapuskan ESKA juga harus
mengakui pentingnya untuk menentang dan mengutuk tingkah laku, keyakinan dan sikap-
sikap yang mendukung dan membenarkan permintaan ini.
1. Sederhana, yaitu calon korban dijual oleh penjual (bisa orangtua, suami atau
orangtua angkat) langsung kepada pembeli atau melalui perantara tertentu.
2. Agak kompleks, yaitu calon korban didatangi atau diajak teman/ tetangga/ saudara/
pacar untuk mencari pekerjaan yang halal di toko, kafe, rumah makan ke kota besar
dengan iming-iming gaji yang besar. Dalam kenyataanya mereka langsung dijual
kepada pembeli di kota tujuan tetapi adapula yang menuju lokasi transit lalu diperkosa
dan kemudian baru dijual kepada pembeli langsung.
3. Kompleks, yaitu calon korban didatangi calo/perantara (orang yang dipekerjaanya
mendatangi desa-desa untuk mencari gadis-gadis yang beranjak dewasa untuk di setor
atau di jual ke pengumpul atau langsung kepada germo/mucikari) dengan janji
mencarikan pekerjaan halal di kota besar dengan gaji besar dan menanggung semua
pengeluaran transportasi dan akomodasi, meskipun nantinya menjadi hutang yang
harus dibayar mahal oleh korban.
Bentuk-bentuk lainnya yang utama dan saling terkait dari Eksploitasi Seksual Komersial
Anak (ESKA) menurut End Child Prostitution, Child Pornography and the Trafficking of
Children for Sexual Purpose (ECPAT, 2001 : 4) adalah pelacuran anak, pornografi anak dan
perdagangan anak untuk tujuan seksual. Bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak lainnya
termasuk pariwisata seks anak dan dalam beberapa kasus adalah perkawinan anak. anak-
anak juga dapat dieksploitasi secara seksual dan komersial dengan cara-cara lain yang lebih
kabur seperti perbudakan di dalam rumah atau kerja ijan. Dalam kasus-kasus itu, seorang
anak di kontrak untuk bekerja tetapi majikan percaya bahwa anak tersebut juga dapat
dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan seksual.
ESKA merupakan fenomena yang baru dalam perlindungan anak, dimana permasalahan
pelacuran telah melibatkan anak-anak sebagai korbannya. Anak yang dilacurkan adalah
korban dari sindikasi kriminal yang memanfaatkan anak-anak sebagai pemuas nafsu pihak-
pihak yang terlibat dalam industri seks. Keterlibatan anak-anak dalam pelacuran merupakan
fakta dimana anak-anak tidak hanya diperdagangkan untuk pelacuran, tetapi juga untuk
pornografi, pengemis, pembantu rumah tangga, perdagangan narkoba dan pekerjaan
eksploitatif lainnya seperti pekerjaan di Jermal.
Selain itu faktor-faktor yang mendorong anak-anak jatuh menjadi korban eksploitasi seksual
komersial sangat erat terkait dengan pendidikan yang diberikan oleh keluarganya yang
membentuk pola perilaku seseorang. Ketidakmampuan suatu keluarga untuk melakukan
fungsi-fungsi/ tugas yang seharusnya mereka penuhi khususnya tugas/fungsi memberikan
perlindungan dan kasih sayang, serta pendidikan dan sosialisasi terhadap anak, berakibat
pada pemaksaan anak untuk masuk ke dalam eksploitasi seksual komersial.
1. Kepercayaan berhubungan seks dengan anak secara homo seksual maupun hetero
seksual akan meningkatkan kekuatan magis.
2. Hukum dan peraturan tidak memadai baik dalam isi maupun pelaksanaannya.
3. Perpecahan keluarga, ditelantarkannya anak (dalam bentuk tidak adanya
perlindungan bagi anak), perceraian atau percekcokan orang tua.
4. Kemiskinan, khususnya berkaitan dengan perpindahan penduduk dari desa ke kota.
5. Pola hidup konsumtif, sehingga banyak remaja memasuki dunia pelacuran secara
dini.
6. Pengalaman menjadi korban kekerasan seksual merupakan faktor pendorong anak
untuk memasuki dunia pelacuran, pornografi atau dikirim ke luar daerah untuk
perdagangan anak.
7. Pengalaman seks dini baik dalam kekerasan seksual, hubungan secara sukarela,
maupun dijodohkan.
8. Peningkatan permintaan PSK anak karena adanya kepercayaan bahwa melakukan
hubungan seks dengan anak membuat pelakunya awet muda, adanya jaringan kriminal
yang mengorganisir industri seks dan merekrut anak, hadirnya angkatan kerja laki-laki
migran dan ketakutan terhadap AIDS.
9. Peningkatan permintaan dari industri pariwisata
Faktor pendukung diatas tidaklah cukup untuk mengungkapkan bahwa eksploitasi seks
komersial terhadap anak begitu terikat dan tidak dapat dihentikan. Beberapa faktor
pendukung semakin memperbanyak jumlah anak yang bekerja sebagai ESKA. Perlu adanya
perhatian yang besar terhadap permasalahan ini, sehingga penanganannya perlu
menyeluruh dan memerlukan kerja sama semua pihak.
https://satunothingimplosible.wordpress.com/2012/03/28/eksploitasi-seks-komersial-anak-eska/
http://laha.or.id/kebijakan-perlindungan-anak-lembaga-advokasi-hak-anak-laha/
ECPAT Indonesia baru saja merilis hasil pencatatannya tentang situasi Eksploitasi Seksual
Komersial Anak (ESKA) di Indonesia selama bulan September 2016. Pencatatan ini
dilakukan dengan melakukan pengumpulan data melalui pemantauan media, investigasi
serta hasil pendampingan kasus Eksploitasi Seksual Komersial Anak yang dilakukan
selama bulan September 2016.
Berdasarkan hasil penelusuran ECPAT Indonesia, terdapat 8 (delapan) kasus ESKA yang
berhasil terungkap. Bentuk-Bentuk Eksploitasi Seksual Komersial Anak yang terungkap
selama bulan september adalah kasus Prostitusi anak dan Perdagangan Anak untuk
Tujuan Seksual. Meskipun terhitung “hanya” delapan kasus, akan tetapi jumlah korbannya
mencapai 168 anak. Artinya, dalam satu hari, terdapat kurang lebih 5 (lima) anak
Indonesia menjadi korban ESKA. Menariknya, dari 168 korban, 88 persen (148 korban)
adalah anak laki-laki, sedangkan 20 korban sisanya adalah anak perempuan.
Tingginya jumlah korban anak laki-laki ini tidak terlepas dari terungkapnya kasus
prostitusi anak laki-laki di Bogor, Jawa Barat. Kasus yang menghebohkan publik ini
memanfaatkan sosial media seperti facebook untuk memperjualbelikan anak laki-laki ini
kepada pedofilia anak. Berdasarkan hasil investigasi dan Wawancara Mendalam kepada
korban pedofilia, anak ini ternyata juga turut melibatkan laki-laki yang telah memiliki
keluarga dan anak.
Tidak hanya di Jawa Barat, kasus-kasus ESKA juga terjadi di berbagai wilayah di
Indonesia. Hanya dalam kurun waktu satu bulan saja, tercatat 5 (lima) provinsi yang
diidentifikasi terjadi kasus ESKA. Kasus ESKA ini tersebar di empat kabupaten (Bantul,
Kendal, Pasaman Sukabumi) dan tiga kota (Bogor, Padang dan Pekanbaru). Dari 8
(delapan) kasus yang terungkap, ternyata terdapat 1 (satu kasus) yang melibatkan anak
sebagai mucikari/germo. Hal ini terungkap di Pekanbaru, Riau. Sedangkan 7 (tujuh) kasus
sisanya melibatkan orang dewasa sebagai mucikari/germo.
Sebagaimana kasus ESKA yang terjadi di seluruh dunia, fenomena ESKA di Indonesia juga
merupakan fenomena gunung es. Fakta yang sebenarnya terjadi terkait ESKA di
Indonesia bisa jadi jauh lebih besar dibandingkan paparan data yang berhasil ditelusuri
ECPAT Indonesia. Oleh karena itu, perlu komitmen seluruh pihak untuk menentang
terjadinya Eksploitasi Seksual Komersial Anak. Karena anak yang terlibat ESKA adalah
korban yang harus kita selamatkan.
https://ecpatindonesia.org/berita/dalam-sebulan-168-anak-menjadi-korban-eska-di-indonesia/
https://studylibid.com/doc/964829/eksploitasi-seksual-komersial-anak