Anda di halaman 1dari 17

TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL

ANAK DALAM HUKUM POSITIF


INDONESIA

Oleh : AHMAD SOFIAN (Juli 2016)

Praktik eksploitasi seksual anak terus menerus berlangsung seolah tidak ada
hentinya, seolah-olah anak-anak “dihalalkan” untuk disantap oleh para
penikmat seks anak. Seks anak adalah industri yang luar biasa besar dengan
keuntungan milyaran dollar, sehingga para pengambil keuntungan ini tidak
mau begitu saja menghentikan ‘bisnis” seks anak. Dalam salah satu
buku best seller karya David Brazil (2005) dikatakan: salah satu pusat
pelacuran anak di Indonesia yang terkenal sampai ke manca negara adalah
Batam dan Bintan. Dua wilayah tersebut adalah wilayah yang sering
dikunjungi oleh laki-laki Singapura, sehingga wilayah itu dikenal dengan
istilah “kampung cinta” dan “peternakan ayam”.
Konsepsi Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Anak
Secara internasional pengertian tindak pidana eksploitasi seksual adalah
pelanggaran terhadap hak anak yang mendasar dengan menjadikan anak
sebagai objek seksual dan objek komersial. Menurut ECPAT international ada
5 bentuk tindak pidana eksploitasi seksual anak, yaitu: pelacuran anak,
pornografi anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual, pariwisata seks
anak dan pernikahan anak (lihat: www.ecpat.net). Namun, ada pendapat lain
yang membagi eksploitasi seksual menjadi tiga bentuk, yaitu: pelacuran
anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual.
Sementara itu, pernikahan dan pariwisata seks anak hanya merupakan cara
untuk dapat mengekploitasi anak-anak tersebut (Antarini Arna dan Mattias
Bryneson, 2004).
Definisi eksploitasi seksual anak berdasarkan konsensus internasional yang
dirumuskan dalam deklarasi Stokholm (1996) adalah sebagai berikut:

“Eksploitasi seksual anak adalah sebuah pelanggaran mendasar terhadap


hak-hak anak yang terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan
pemberian imbalan uang atau barang terhadap anak, atau orang ketiga,
atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai objek seksual
dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial anak merupakan
sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak dan mengarah
pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern.”

Rumusan definisi di atas terlihat jelas bahwa eksploitasi seksual anak tidak
hanya menjadi sebuah obyek seks tetapi juga sebagai sebuah komoditas.
Adanya unsur ‘keuntungan’ dalam eksploitasi anak inilah yang membedakan
antara eksploitasi seksual anak dengan kekerasan seksual anak, karena
dalam kekerasan seksual anak tidak ada unsur keuntungan meskipun
keduanya sama-sama menunjuk pada tindakan seksual anak.

Dalam kaitannya kekerasan seksual terhadap anak, definisi atas perbuatan


ini adalah hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seseorang
yang lebih tua atau dewasa seperti: orang asing, saudara kandung, atau
orang tua, dimana anak tersebut diperlakukan sebagai sebuah objek pemuas
bagi kebutuhan seksual si pelaku. Perbuatan ini biasanya diikuti dengan
perbuatan lain berupa: paksaan, ancaman, suap, tipuan atau tekanan. Perlu
diketahui bahwa kekerasan seksual tidak mensyaratkan kontak badan antara
pelaku dengan anak tersebut, karena tindakan seperti ekshibisme
atau voyeurism (seperti: orang dewasa menonton atau merekam seorang
anak sedang telanjang atau menuyuruh atau memaksa anak-anak untuk
melakukan kegiatan-kegiatan seksual dengan orang lain) (ECPAT
International, 2004). Celakanya, biasanya perbuatan ini dilakukan oleh
pelaku yang dikenal atau dipercaya oleh si anak (korban).
Dalam kepustakaan hukum nasional, tindak pidana eksploitasi seksual anak
merupakan konsep yang belum banyak dibahas khususnya dalam lingkup
hukum pidana. Undang-undang Perlindungan Anak (UU No. 23/2002 yang
direvisi melalui UU No. 35/2014) hanya menyebut dua pasal tentang
larangan melakukan eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi pada anak
yaitu pasal 76 huruf I dan pasal pasal 88 dengan ancaman hukuman penjara
maksimum 10 tahun dan atau denda paling banyak 200 juta rupiah. Namun
sayangnya undang-undang ini tidak memberikan penjelasan yang rinci
tentang konseps tindak eksploitasi seksual.

Berbeda halnya dengan tindak pidana perdagangan orang, dimana


terminologi ini telah lebih dikenal dalam KUHP maupun di luar KUHP. Pasal
297 KUHP menyebutkan : “Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-
laki yang belum dewasa,diancam dengan pidana penjara paling lama enam
tahun”. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang (selanjutnya UU Perdagangan Orang) telah
mendefinisikan jenis tindak pidana ini. Meski, para ahli telah sepakat bahwa
seharusnya UU Perdagangan Orang juga mendefinisikan secara khusus
tindak pidana perdagangan anak, karena konsepsi antar keduanya berbeda,
khususnya terkait dengan elemen atau unsur-unsur deliknya.

Di Amerika Serikat tindak pidana eksploitasi seksual sudah menjadi satu


konsep dalam tindak pidana yang diatur dalam The Protect Act, 2003 (Tracy
Agyemang, 2004). Menariknya, undang-undang perlindungan anak tersebut
memiliki jangkauan perlindungan anak di dalam dan di luar negeri. Bentuk
eksploitasi seksual yang dimaksudkan dalam The Protect Act, 2003 meliputi:
prostitusi anak, pornografi anak dan pariwisata seks anak.
Selain Amerika Serikat, beberapa negara di Asia yang sudah memiliki
undang-undang perlindungan seksual anak yang lebih baik dari Indonesia
adalah Philipina yang sejak tahun 1991 telah telah memiliki undang-undang
eksploitasi seksual anak. Meski, eksploitasi seksual anak masih dibatasi pada
bentuk prostitusi anak (lihat: Republic of Philipines, Congres of Phiipines, Metro
Manila, Republic Act 7610, 21 Juli 1991). Sementara itu, negara lain di Asia
yang sudah memiliki undang-undang perlindungan seksual anak adalah
Thailand sejak tahun 1996 telah memiliki “the Prevention and Suppresion for
Prostitution Act 1996” (the “Act 1996”). Adapun undang-undang perlindungan
anak di Thailand memberikan sanksi pidana (kurungan dan denda) kepada
siapa pun mengambil manfaat dari prostitusi anak atau membeli seks pada
anak-anak yang belum berusia 18 tahun.
Berdasarkan pengaturan perlindungan eksploitasi anak di beberapa negara
sebagaimana dijelaskan di atas, dalam hal klasifikasi tindak pidana dikatakan
bahwa eksploitasi seksual anak adalah tindak pidana khusus, bukan pidana
umum. Oleh sebab itu, maka rumusan pengaturannya menjadi lex
specialis. Saat ini di Indonesia tidak ada le specialis tentang eksploitasi seksual
anak, tetapi dalam hal perlindungan anak diintegrasikan ke dalam undang-
undang perlindungan anak. Namun, sayang undang-undang perlindungan
anak tidak menempatkan tindak pidana eksploitasi seksual anak dalam bab
khusus, bahkan yang lebih tragis, masalah pelacuran anak tidak didefinisikan
sehingga sulit memidanakan pelaku tindak pidana ini. Masalah lainnya
adalah meskipun sudah ada upaya melakukan unifikasi tindak pidana
eksploitasi seksual anak dalam undang-undang perlindungan anak, namun
kenyataannya, beberapa undang-undang lain mengatur persoalan ini, sebut
saja Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang juga
mengatur tentang tindak pidana eksploitasi seksual anak dalam konteks
pornografi anak yaitu sebagaimana diatur pada pasal 4 sampai pasal 12.
Pengaturan Eksploitasi Anak dalam R-KUHP
Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP), tindak
pidana eksploitasi seksual anak tidak didefinisikan secara khusus sehingga
secara konseptual tidak ada pemaknaan atas tindak pidana ini. Oleh sebab
itu, pemaknaan tindak pidana eksoloitasi seksual anak akan dikembalikan
kepada doktrin. Selain merujuk pada doktrin, maka penting juga merujuk
pada instrumen-instrumen hukum internasional yang lebih dahulu
mendefinisikannya seperti Deklarasi Stockholm, atau Protocol Optional tentang
Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornographyyang sudah diratifikasi
oleh Indonesia melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 2012. Selain itu,
lembaga internasional yang khusus memberikan perhatian pada masalah
eksploitasi juga sering kali dijadikan rujukan sebagai alternatif, seperti:
ECPAT Internasional. Lembaga seperti ECPAT biasanya secara konsisten
melakukan penelitian dan menerbitkan sejumlah literatur yang membahas
secara khusus tindak pidana eksploitasi anak.
Dalam mengatur jenis-jenis tindak pidana eksploitasi seksual anak dalam
rumusan R-KUHP tidak hanya menempatkannya dalam satu bab khusus,
tetapi tersebar dalam beberapa bab. Bahkan R-KUHP juga menempatkanya
dalam bab tentang kesusilaan. Misalnya tindak pidana pornografi anak
sebagaimana diatur dalam pasal 384 R-KUHP. Pasal ini berada di dalam Bab
VIII dengan judul Tindak Pidana yang Membahayakan Keamanan Umum Bagi
Orang, Kesehatan, Barang dan Lingkungan Hidup. Sedangkan rumusan Pasal
384 sendiri mengatur tentang pornografi anak melalui internet. Tindak
pidana pornografi yang tidak melalui Internet diatur dalam pasal 478 dan
479 yang berada dalam Bab XVI yang berjudul Tindak Pidana Kesusilaan.
Dengan adanya perbedaan penempatan Bab dalam mengatur eksploitasi
anak, maka terlihat bahwa pembuat undang-undang kesulitan dalam
menyusun aturan tindak pidana pornografi anak. Hal ini mengindikasikan
bahwa penyusun undang-undang kesulitan dalam menempatkan jenis tindak
pidana ini dalam satu bab khusus sehingga terjadilah jumping ini atau
kemungkinan penyusun undang-undang tidak menemukan landasan teori
yang tepat dalam menempatkan tindak pidana ini, sehingga akhirnya terjadi
suatu aturan pornografi anak pada dua bab yang berbeda. Secara akademik
bab ini juga bermasalah, karena dapat ditafsirkan penyusun undang-undang
tidak memahami secara teoritis delik ini.
Tindak pidana pelacuran anak, secara spesifik juga tidak disebutkan dalam
R-KUHP. Delik ini digolongkan sebagai tindak pidana persetubuhan atau
pencabulan pada anak sebagaimana diatur dalam Pasal 486, 487, 493, 495-
500 R-KUHP. Kesuluruhan pasal-pasal tersebut berada di dalam Bab XVI
tentang Tindak Pidana Kesusilaan. Penempatan tindak pidana pelacuran
anak dalam Bab Tindak Pidana Kesulilaan tidaklah tepat karena pada
prinsipnya tindak pidana kesusilaan (ontruchte handelingen) merupakan tindak
pidana yang terkait dengan pelanggaran susila, yaitu tentang perilaku-
perilaku yang menampilkan perilaku seksual yang dinilai bertentangan
dengan moral dan norma yang hidup di dalam masyarakat (Simons, Barda
Nawawi Arief, 2003). Sedangkan tindak pidana pelacuran anak lebih luas dari
sekedar pelanggaran seksual tetapi sudah melingkupi serangan seksual
secara sistematis kepada anak yang memiliki dampak jangka panjang. Oleh
sebab itu, tindak pidana pelacuran anak bukan sekedar tindak pidana
persetubuhan dan perbuatan cabul, namun di dalamnya ada unsur ekonomi
dan “transaksional” yang diperoleh dari tindak pidana tersebut, dengan
demikian maka harus masuk dalam kategori delik sendiri.
Sebagai komparasi, maka penting juga untuk menyimak KUHP Norwegia
yang mengatur tentang tindak pidana pelacuran anak. Dalam KUHP
Norwegia, tindak pidana pelacuran anak adalah: setiap orang yang demi
mendapatkan bayaran, terlibat dalam aktivitas seksual atau melakukan
sebuah aktivitas seksual dengan seseorang yang berusia di bawah 18 tahun
dapat dikenai denda atau kurangan selama 2 tahun (Penal Code Norway
Section 19). Undang-undang Norwegia mengatur bahwa seorang yang
mendapatkan layanan seksual anak dengan bayaran kepada anak
berimplikasi anggung jawab pidana. Ini artinya bahwa penawaran uang
dengan maksud untuk melibatkan seorang anak dalam aktivitas-aktivitas
seksual secara luas dapat dikenakan pidana.
Demikian juga dengan KUHP Afrika Selatan hasil amandemen tahun 2007
menyatakan bahwa seseorang yang secara tidak sah dan dengan sengaja
mendapatkan layanan dari seorang anak dengan izin atau tanpa izin anak
tersebut, untuk imbalan uang atau imbalan lain, kebaikan atau kompensasi
dengan tujuan untuk terlibat dalam sebuah perbuatan seks dengan
anak, tanpa memandang apakah perbuatan seks tersebut dilakukan atau
tidak adalah tindak pidana yang dapat dihukum. Dalam KUHP Afrika Selatan
ini pelaku tindak pidana pelacuran anak sudah dapat dipidana, meskipun
baru sebatas menerima tawaran seks dari anak (Catherine Beaulieu, 2008).
Penutup
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan pentingnya
pengaturan tentang eksploitasi seksual anak disusun secara sistematis
khususnya dalam KUH Pidana. Hal ini menjadi salah satu pilihan karena
momentum penyusunan KUH Pidana merupakan kesempatan untuk dapat
memasukkan pengaturan tentang eskploitasi seksual anak secara lebih
lengkap, dimana pengaturan secara lex specialis masih kurang memadai. Di
samping itu, khusus tindak pidana pelacuran anak, perlu mendapatkan
perhatian. Rumusan tindak pidana ini belum ditemukan dalam R-KUHP.
Penyusun R-KUHP masih belum mengikuti perkembangan terbaru delik ini,
khususnya konvensi internasional. Dengan memklasifikasikan tindak pidana
terhadap anak secara lengkap, maka diharapkan instrumen hukum dapat
melindungi anak Indonesia untuk masa yang akan datang. (***)
https://www.scribd.com/doc/286835285/EKSPLOITASI-SEKSUAL-rt
EKSPLOITASI SEKS KOMERSIAL
ANAK (ESKA)
Mar 28
Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) mencakup praktek-praktek kriminal yang
merendahkan dan mengancam integritas fisik dan psikososial anak.

1. Pengertian Eksploitasi Seks Komersial Anak (ESKA)


Deklarasi dan Agenda Aksi untuk Menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak merupakan
instrumen pertama yang mendefenisikan Eksploitasi Seksual Komersial Anak sebagai :

Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari
kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberi imbalan dalam bentuk uang tunai atau
barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut
diperlakukan sebagai sebuah objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi Seksual
Komersial Anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak dan
mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern. (ECPAT, 2001 : 4)

Definisi Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) menurut ILO (2008 : 12) mencakup hal-
hal berikut ini :

1. Pemakaian anak perempuan dan anak laki-laki dalam kegiatan seksual yang dibayar
dengan uang tunai atau dalam bentuk barang (umumnya dikenal sebagai prostitusi
anak) di jalanan atau di dalam gedung, di tempat-tempat seperti rumah pelacuran,
diskotek, panti pijat, bar, hotel dan restoran.
2. Wisata seks anak.
3. Pembuatan, promosi dan distribusi pornografi yang melibatkan anak-anak.
4. Pemakaian anak-anak dalam pertunjukan seks (publik/ swasta).
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa eksploitasi
seksual komersial anak terjadi karena adanya permintaan. Pencegahan dan hukuman
kriminal memang penting, tetapi setiap usaha-usaha untuk menghapuskan ESKA juga harus
mengakui pentingnya untuk menentang dan mengutuk tingkah laku, keyakinan dan sikap-
sikap yang mendukung dan membenarkan permintaan ini.

2. Bentuk-Bentuk Kegiatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak


Bentuk-bentuk dari kegiatan seksual komersial terhadap anak, baik Deklarasi Kongres Dunia
Menentang Eksploitasi Seksual Komersial terhadap anak maupun ketentuan KHA dan
Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan bahwa
eksploitasi seksual komersial terhadap anak meliputi kegiatan penyalagunaan seksual anak
oleh orang dewasa dengan cara paksa. Menurut Sri Wahyuningsi dkk (2002 : 11), jaringan
perdagangan anak untuk dilacurkan/ eksploitasi anak, mencakup beberapa jenis, yaitu :

1. Sederhana, yaitu calon korban dijual oleh penjual (bisa orangtua, suami atau
orangtua angkat) langsung kepada pembeli atau melalui perantara tertentu.
2. Agak kompleks, yaitu calon korban didatangi atau diajak teman/ tetangga/ saudara/
pacar untuk mencari pekerjaan yang halal di toko, kafe, rumah makan ke kota besar
dengan iming-iming gaji yang besar. Dalam kenyataanya mereka langsung dijual
kepada pembeli di kota tujuan tetapi adapula yang menuju lokasi transit lalu diperkosa
dan kemudian baru dijual kepada pembeli langsung.
3. Kompleks, yaitu calon korban didatangi calo/perantara (orang yang dipekerjaanya
mendatangi desa-desa untuk mencari gadis-gadis yang beranjak dewasa untuk di setor
atau di jual ke pengumpul atau langsung kepada germo/mucikari) dengan janji
mencarikan pekerjaan halal di kota besar dengan gaji besar dan menanggung semua
pengeluaran transportasi dan akomodasi, meskipun nantinya menjadi hutang yang
harus dibayar mahal oleh korban.
Bentuk-bentuk lainnya yang utama dan saling terkait dari Eksploitasi Seksual Komersial
Anak (ESKA) menurut End Child Prostitution, Child Pornography and the Trafficking of
Children for Sexual Purpose (ECPAT, 2001 : 4) adalah pelacuran anak, pornografi anak dan
perdagangan anak untuk tujuan seksual. Bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak lainnya
termasuk pariwisata seks anak dan dalam beberapa kasus adalah perkawinan anak. anak-
anak juga dapat dieksploitasi secara seksual dan komersial dengan cara-cara lain yang lebih
kabur seperti perbudakan di dalam rumah atau kerja ijan. Dalam kasus-kasus itu, seorang
anak di kontrak untuk bekerja tetapi majikan percaya bahwa anak tersebut juga dapat
dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan seksual.
ESKA merupakan fenomena yang baru dalam perlindungan anak, dimana permasalahan
pelacuran telah melibatkan anak-anak sebagai korbannya. Anak yang dilacurkan adalah
korban dari sindikasi kriminal yang memanfaatkan anak-anak sebagai pemuas nafsu pihak-
pihak yang terlibat dalam industri seks. Keterlibatan anak-anak dalam pelacuran merupakan
fakta dimana anak-anak tidak hanya diperdagangkan untuk pelacuran, tetapi juga untuk
pornografi, pengemis, pembantu rumah tangga, perdagangan narkoba dan pekerjaan
eksploitatif lainnya seperti pekerjaan di Jermal.

3. Faktor-Faktor Pendukung ESKA (Eskploitasi Seks Komersial Anak)


Globalisasi dan perubahan industrialisasi dengan perubahan segala implikasinya cenderung
mendorong terjadinya ESKA. Hal ini terkait dengan dampak negatif dari perkembangan
industri pariwisata, teknologi informasi dan komunikasi serta transportasi. Di samping faktor-
faktor tersebut, masalah kemiskinan, pengangguran, putus sekolah, dan terbatasnya
lapangan kerja masih merupakan masalah yang belum terselesaikan, sehingga semakin
mendorong terjadinya ESKA. Kemiskinan memang masih merupakan masalah dominan di
Indonesia. Salah satu akibat kemiskinan yang berhubungan langsung dengan ESKA adalah
putus sekolah.

Selain itu faktor-faktor yang mendorong anak-anak jatuh menjadi korban eksploitasi seksual
komersial sangat erat terkait dengan pendidikan yang diberikan oleh keluarganya yang
membentuk pola perilaku seseorang. Ketidakmampuan suatu keluarga untuk melakukan
fungsi-fungsi/ tugas yang seharusnya mereka penuhi khususnya tugas/fungsi memberikan
perlindungan dan kasih sayang, serta pendidikan dan sosialisasi terhadap anak, berakibat
pada pemaksaan anak untuk masuk ke dalam eksploitasi seksual komersial.

Praktek-praktek dibalik eksploitasi seksual komersial anak antara lain pemerkosaan,


penculikan, perampokan, pernikahan semu/ kontrak, adopsi ilegal, imigrasi illegal, tenaga
kerja paksa, pemerasan, dan pengantin pesanan. Meskipun fenomena ini menimpa jutaan
anak perempuan dan laki-laki dari berbagai latar belakang, namun anak perempuanlah yang
mayoritas menjadi korban. Hal ini semakin diperburuk oleh kebudayaan yang mengakar,
yang mendiskriminasikan wanita dan anak perempuan. Kasus eksploitasi seksual komersial
terhadap anak adalah merupakan kasus lama sekaligus baru, walaupun masalah ini menjadi
besar dan kritis akhir-akhir ini. Dalam kaitannya dengan masalah lama, praktek tradisional
yang berasal dari sejarah meliputi persembahan anak perempuan di kuil sebagai dewi seks
di berbagai komunitas mereka, sehingga menjadikan anak sebagai korban eksploitasi
seksual. Dalam kaitannya dengan yang baru, efek globalisasi yang kurang positif dan
kemajuan teknologi dan komunikasi telah membuat kasus tersebut menjadi lebih cepat
menyebar luas. Perdagangan seks anak yang modern meliputi penggunaan papan buletin
komputer dan internet untuk mentransfer pornografi anak dan wisata seks ke seluruh dunia.
Dalam arti lain terungkap bahwa faktor lain yang memberikan kontribusi dan mendorong
masuknya anak-anak dalam dunia seks komersial adalah :

1. Tradisi kawin usia muda dan mudahnya perceraian.


2. Kuatnya kepercayaan bahwa berhubungan seks dengan anak yang masih perawan
dapat membuat laki-laki awet muda dan meningkat kejantananya.
3. Fenomena migrasi desa-kota yang dilakukan oleh tenaga kerja tak terdidik.
4. Gaya hidup perkotaan yang konsumtif.
5. Hidup yang hanya memikirkan saat ini saja tanpa harus memkirkan.
Eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) mencakup praktek-praktek tradisional yang sering
berurat akar dalam keyakinan-keyakinan budaya dan globalisasi serta teknologi-teknologi
baru memaparkan sejumlah tantangan-tantangan yang berbeda dan selalu berubah-ubah.
Pada akhirnya permintaan anak-anak sebagai pasangan seks untuk tujuan apapun
mendorong ke arah eksploitasi sekseual komersial anak. Meskipun demikian, terdapat
sebuah matriks faktor-faktor yang kompleks membuat anak-anak menjadi rentan dan yang
membentuk kekuatan-kekuatan serta menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan
anak-anak untuk dieksploitasi secara seksual komersial. Dalam Seminar Sehari Sosialisasi
Undang-Undang Perlindungan Anak oleh UNICEF dan Lembaga Penelitian Universitas
Surakarta, 10 September 2003 mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya ESKA, yaitu :

1. Kepercayaan berhubungan seks dengan anak secara homo seksual maupun hetero
seksual akan meningkatkan kekuatan magis.
2. Hukum dan peraturan tidak memadai baik dalam isi maupun pelaksanaannya.
3. Perpecahan keluarga, ditelantarkannya anak (dalam bentuk tidak adanya
perlindungan bagi anak), perceraian atau percekcokan orang tua.
4. Kemiskinan, khususnya berkaitan dengan perpindahan penduduk dari desa ke kota.
5. Pola hidup konsumtif, sehingga banyak remaja memasuki dunia pelacuran secara
dini.
6. Pengalaman menjadi korban kekerasan seksual merupakan faktor pendorong anak
untuk memasuki dunia pelacuran, pornografi atau dikirim ke luar daerah untuk
perdagangan anak.
7. Pengalaman seks dini baik dalam kekerasan seksual, hubungan secara sukarela,
maupun dijodohkan.
8. Peningkatan permintaan PSK anak karena adanya kepercayaan bahwa melakukan
hubungan seks dengan anak membuat pelakunya awet muda, adanya jaringan kriminal
yang mengorganisir industri seks dan merekrut anak, hadirnya angkatan kerja laki-laki
migran dan ketakutan terhadap AIDS.
9. Peningkatan permintaan dari industri pariwisata
Faktor pendukung diatas tidaklah cukup untuk mengungkapkan bahwa eksploitasi seks
komersial terhadap anak begitu terikat dan tidak dapat dihentikan. Beberapa faktor
pendukung semakin memperbanyak jumlah anak yang bekerja sebagai ESKA. Perlu adanya
perhatian yang besar terhadap permasalahan ini, sehingga penanganannya perlu
menyeluruh dan memerlukan kerja sama semua pihak.

4. Masalah yang Timbul Sehubungan Dengan ESKA


Adanya Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA), berdampak terhadap perkembangan
fisik, mental, dan moral anak. Disampaikan dalam seminar “Mengungkap Situasi Anak
Jalanan dan Anak Yang Dilacurkan” yang diselenggarakan oleh Yayasan Setara bekerjasama
dengan Lembaga Perlindungan Anak Jawa Tengah di Semarang, 5 Agustus 1999
mengungkap mengenai permasalahan yang rentan dialami oleh anak yang mengalami
Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA), diantaranya :
1) Konsekuensi kesehatan
Konsekuensi kesehatan meliputi juga resiko yang dihadapi oleh anak-anak yang dilahirkan
terkena PMS dan HIV/AIDS, anak-anak terpapar langsung pada resiko terinfeksi berbagai
penyakit yang menular melalui hubungan seksual termasuk terinfeksi HIV/AIDS. Dalam
dokumen yang disebut dimuka, WHO antara lain menunjukkan satu indikasi penting
menyangkut hubungan antara pelacuran anak dengan pola persebaran HIV/AIDS, dengan
mengevaluasi secara seksama hubungan antara perdagangan anak (untuk tujuan seksual),
peran seks komersial dalam persebaran epidemi HIV/AIDS, timing serta cara-cara dimana
anak dijerumuskan kedalam prostitusi, serta tingkat persebaran epidemi di berbagai region
di seluruh dunia.
2) Diskriminasi dan Stigmatisasi
Anak-anak yang mengalami eksploitasi seks komersial menghadapi diskriminasi dan
stigmatisasi sosial dari masyarakat pada umumnya. Faktanya, julukan yang diberikan
kepada mereka yang mengambil nama-nama hewan
seperti “ciblek”, “bulbul” atau “ayam”, itu sendiri merupakan suatu bentuk stigmatisasi
tertentu. Sebutan resmi seperti wanita tuna susila (WTS), juga merupakan stigmatisasi resmi
yang diberikan oleh Negara.
3) Kekerasan dan eksploitasi lain
Anak beresiko menghadapi segala bentuk kekerasan, baik kekerasan fisik, mental dan
kekerasan seksual itu sendiri. Eksploitasi dalam bentuk lain seperti eksploitasi ekonomi,
penyalah-gunaan obat termasuk psikotropika dan minuman berkadar alkohol tinggi serta
nikotin atau zat-zat lain, merupakan hal yang umum terjadi seiring dengan pelacuran anak.
Resiko lain, termasuk menjadi obyek pornografi dan perdagangan anak untuk tujuan
seksual.

4) Kendornya standar moral dan dampak inter-generasional


Anak berada dalam situasi yang akan memaksanya menginternalisasi standar moralitas
yang rendah. Semakin lama dia terjerumus dalam pelacuran, semakin kabur nilai-nilai
moralitas yang harus dia hadapi. Dalam posisi sebagai anak dimana perkembangan psiko-
sosialnya masih berada pada tahap-tahap awal, peluangnya untuk menemukan model
moralitas sosial yang normal menjadi tertutup. Ini berakibat pada internalisasi kelonggaran
moral, yang pada gilirannya kelak akan mempengaruhi pola pengasuhannya terhadap anak-
anaknya. Siklus ini membuka resiko bagi apa yang disebut sebagai inter-generational effect
of child prostitution

https://satunothingimplosible.wordpress.com/2012/03/28/eksploitasi-seks-komersial-anak-eska/

KEBIJAKAN PERLINDUNGAN ANAK


LEMBAGA ADVOKASI HAK ANAK (LAHA)
You are here:
1. Home
2. Kebijakan Perlindungan Anak Lembaga Advokasi…
Pembukaan
Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) adalah organisasi non-profit yang
bergerak dalam bidang kajian kebijakan pembangunan anak, serta
kebijakan pembangunan yang memiliki dampak terhadap anak dan
mengembangkan program advokasi terhadap hak-hak anak, khususnya
anak yang membutuhkan perlindungan khusus.
Visi dan misi Yayasan Lembaga Advokasi Hak Anak adalah mendorong
kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang memberikan penghargaan,
perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak dengan memperhatikan
prinsip kepentingan terbaik bagi anak, tanpa diskriminasi, memberikan
perlindungan serta menghargai pendapat anak.
Prinsip Dasar Perlindungan Anak
1. Non diskriminasi;
2. Kepentingan terbaik bagi anak;
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan;
4. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Definisi
1. Anak: Setiap orang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak
yang ada di dalam kandungan tanpa memandang status perkawinan;
2. Kebijakan perlindungan anak: Suatu kebijakan yang dibuat untuk
memastikan bahwa anak-anak terlindungi dari tindakan kekerasan,
eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah;
3. Kekerasan Terhadap Anak adalah setiap perbuatan terhadap anak
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
mental, seksual, dan psikologis;
4. Eksploitasi Terhadap Anak adalah setiap perbuatan melibatkan anak
dalam kegiatan yang dapat merugikan kesejahteraan dan tumbuh
kembang atau membahayakan keselamatan anak dengan tujuan membuat
orang lain dapat memperoleh manfaat ekonomi, seksual, sosial, atau juga
politik, termasuk bila di dalamnya terdapat pembatasan atau penghilangan
kesempatan anak memperoleh haknya;
5. Perlakuan Salah Terhadap Anak adalah setiap tindakan terhadap
anak, termasuk menempatkan anak dalam situasi yang dapat
menyebabkan dampak buruk terhadap kesejahteraan, keselamatan,
martabat dan perkembangan anak;
6. Penelantaran Terhadap Anak adalah setiap tindakan terhadap anak,
termasuk menempatkan anak dalam situasi yang dapat menyebabkan
dampak buruk terhadap kesejahteraan, keselamatan, martabat dan
perkembangan anak.
Tujuan
Tujuan kebijakan perlindungan ini adalah untuk memastikan bahwa dalam
setiap pekerjaan yang dilakukan Yayasan Lembaga Advokasi Hak Anak,
maka seluruh unsur pengurus, staf, relawan, dan siapa pun yang bekerja
untuk, dengan, dan atas nama Yayasan Lembaga Advokasi Hak Anak akan
mengedepankan kesejahteraan dan keselamatan anak yang menjadi
penerima manfaat atau berada di lingkungan kegiatan tersebut.
Sasaran
Kebijakan perlindungan anak ini ditujukan kepada:
1. Pengurus dan Staf Yayasan Lembaga Advokasi Hak Anak;
2. Relawan Yayasan Lembaga Advokasi Hak Anak;
3. Lembaga atau individu yang bekerjasama dengan Yayasan Lembaga
Advokasi Hak Anak.
Kode Etik Yayasan Lembaga Advokasi Hak Anak
Setiap Pengurus, pimpinan, staf, relawan, dan siapa pun yang bekerja
untuk, dengan dan atas nama Yayasan Lembaga Advokasi Hak Anak,
wajib:
1. Mengetahui dan menyetujui Kebijakan Perlindungan Anak Yayasan
Lembaga Advokasi Hak Anak;
2. Menghormati dan memperlakukan anak tanpa memandang ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau
pandangan lain, asal usul bangsa, suku bangsa atau sosial, harta
kekayaan, difabilitas, kelahiran atau status lain dari anak atau dari
orangtua anak atau walinya yang sah menurut hukum;
3. Menyadari bahwa anak-anak adalah rentan terhadap berbagai
kemungkinan kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran;
4. Menyadari dan memperhitungkan situasi yang dapat menimbulkan
resiko bagi kepentingan terbaik anak;
5. Sedapat mungkin, memastikan adanya orang dewasa lain yang hadir
ketika melakukan pekerjaan dalam lingkungan yang melibatkan anak-
anak;
6. Memastikan adanya izin kesediaan anak dan persetujuan orang
tua/wali secara tertulis apabila mengadakan kegiatan yang melibatkan
anak;
7. Melaporkan kekhawatiran atau masalah kekerasan terhadap anak
kepada Dewan Etik Yayasan Lembaga Advokasi Hak Anak.
Setiap Pengurus, pimpinan, staf, relawan, dan siapa pun yang bekerja
untuk, dengan dan atas nama Yayasan Lembaga Advokasi Hak Anak,
dilarang:
1. Menggunakan bahasa, isyarat atau perilaku terhadap anak-anak
yang tidak pantas, melecehkan, menghina, provokatif secara seksual,
merendahkan martabat atau bahasa atau perilaku yang tidak pantas
lainnya;
2. Berduaan dengan anak tanpa alasan yang jelas;
3. Berhubungan seksual dengan anak;
4. Mempekerjakan anak;
5. Membangun hubungan istimewa dengan anak;
6. Menggunakan posisinya, sebagai orang dewasa ataupun sebagai
bagian dari Yayasan Lembaga Advokasi Hak Anak, untuk mendapatkan
manfaat dalam bentuk apa pun dari anak atau keluarganya.
Setiap Pengurus, pimpinan, staf, relawan, dan siapa pun yang bekerja
untuk, dengan dan atas nama Yayasan Lembaga Advokasi Hak Anak saat
memotret atau merekam seorang anak harus:
1. Memperoleh persetujuan sebelumnya dari anak dan orangtua/wali
anak dan menerangkan bagaimana photo atau film tersebut akan
digunakan;
2. Memastikan photo/film anak-anak ditampilkan secara bermartabat
dan hormat serta tidak terkesan rawan dan tidak berdaya. Gambar anak
selayaknya ditampilkan dengan berpakaian pantas yang tidak
menimbulkan rangsangan secara seksual;
3. Memastikan bahwa gambar tersebut sebenar-benarnya
menggambarkan konteks dan fakta;
4. Memastikan saat mengirim atau menyebarkan photo/film dalam
bentuk apapun, penanda dalam file tidak mengungkapkan informasi yang
mengidentifikasi tentang anak.
Langkah-langkah Implementasi
1. Setiap Pengurus, pimpinan, staf, relawan, dan siapa pun yang
bekerja untuk, dengan dan atas nama Yayasan Lembaga Advokasi Hak
Anak wajib memahami dan mengikuti ketentuan sebagaimana disebut
dalam Kode Etik di atas;
2. Setiap Pengurus, pimpinan, staf, relawan, dan siapa pun yang
bekerja untuk, dengan dan atas nama Yayasan Lembaga Advokasi Hak
Anak wajib memonitor ketaatan/pemenuhan kebijakan ini, dan segera
melaporkan kepada Dewan Etik Yayasan Lembaga Advokasi Hak Anak bila
mencurigai terjadinya pelanggaran;
3. Setiap indikasi pelanggaran dan kelalaian menjalankan kebijakan
perlindungan ini akan ditindaklanjuti dengan sungguh-sungguh oleh Dewan
Etik, dan dapat berakibat pada sanksi administratif berupa pemutusan
hubungan kerja atau pun diteruskan ke proses hukum sesuai dengan jenis
pelanggaran yang terjadi.
Rekrutmen Staf
1. Yayasan Lembaga Advokasi Hak Anak harus menyampaikan
informasi secara terbuka tentang perekrutan staf. Diutamakan calon staf
mempunyai kepedulian tentang perlindungan anak;
2. Staf yang direkrut berumur di atas 18 tahun.
3. Staf Yayasan Lembaga Advokasi Hak Anak menyatakan kesediaan
tertulis untuk mematuhi ketentuan-ketentuan Kebijakan Perlindungan
Anak;
4. Dalam proses seleksi tes maupun wawancara terhadap calon staf
harus menanyakan pemahaman dan pengalaman calon staf tentang hak-
hak anak;
5. Untuk mengetahui latar belakang pelamar maka pemeriksaan
referensi mutlak dilakukan ke lingkungan terdekatnya.
Pendidikan dan Pelatihan
1. Yayasan Lembaga Advokasi Hak Anak mengenalkan kebijakan–
kebijakan dan mekanisme/prosedur kebijakan perlindungan anak untuk
staf baru dalam waktu selambat-lambatnya 1 minggu sejak bekerja;
2. Selambat-lambatnya 3 bulan sejak staf baru mulai bekerja harus
sudah mendapatkan peningkatan kapasitas dalam hal perlindungan anak;
3. Kebijakan dan prosedur perlindungan anak untuk staf ditulis dalam
bentuk bahasa Indonesia;
4. Yayasan Lembaga Advokasi Hak Anak mengadakan kegiatan
penyegaran tentang perlindungan anak minimal 1 tahun sekali baik yang
diselenggarakan oleh internal lembaga maupun oleh lembaga mitra;
5. Yayasan Lembaga Advokasi Hak Anak harus mengidentifikasi staf
yang memiliki pengetahuan/pengalaman yang berbeda-beda tentang
perlindungan anak;
6. Yayasan Lembaga Advokasi Hak Anak harus menyediakan
bahan/materi sebagai referensi (rujukan) dalam kegiatan perlindungan
anak bagi seluruh staf yang selalu terupdate dan mudah diakses;
7. Yayasan Lembaga Advokasi Hak Anak mengadakan sosialisasi
kepada anak-anak dan masyarakat tentang hak anak dan kebijakan
perlindungan anak, bagaimana melindungi diri sendiri dan dimana serta
bagaimana melaporkan kasus perlindungan anak;
8. Yayasan Lembaga Advokasi Hak Anak menyediakan informasi yang
jelas dan mudah mengenai bagaimana, dimana dan kepada siapa harus
melaporkan bila terjadi pelanggaran terhadap hak anak.
Mekanismen Pelaporan
1. Setiap Pengurus, pimpinan, staf, relawan, dan siapa pun yang
bekerja untuk, dengan dan atas nama Yayasan Lembaga Advokasi Hak
Anak berhak untuk berbicara secara terbuka mengenai kekhawatiran
terjadinya kasus perlindungan anak;
2. Setiap Pengurus, pimpinan, staf, relawan, dan siapa pun yang
bekerja untuk, dengan dan atas nama Yayasan Lembaga Advokasi Hak
Anak wajib melaporkan kekhawatiran kasus perlindungan anak kepada
Dewan Etik dalam bentuk lisan dan tertulis;
3. Untuk mengatur keperluan di atas, lembaga menyediakan panduan
dan formulir-formulir jika terjadi pelanggaran kebijakan perlindungan, alur
manajemen pelaporan, sistem penanganan kasus;
4. Yayasan Lembaga Advokasi Hak Anak wajib melakukan
pendokumentasian kasus.
5. Dokumen tidak boleh diakses oleh orang yang tidak berkepentingan.
Dokumen dapat diakses oleh pihak yang berkepentingan melalui prosedur
yang sudah ditetapkan.
Prosedur Disipliner Lembaga
1. Dewan Etik perlindungan anak yang menerima laporan harus
mempelajari, memeriksa, mencari bukti-bukti untuk selanjutnya
mengambil tindakan;
2. Orang yang terlapor memiliki hak jawab terhadap hasil pemeriksaan
Dewan Etik;
3. Pelanggaran terhadap kebijakan perlindungan anak dikenakan
sanksi secara berjenjang baik secara lisan dan tertulis dengan sanksi
administratif sampai kepada pemutusan hubungan kerja;
4. Apabila sanksi tersebut di atas dirasa belum cukup, maka lembaga
akan memproses kasus tersebut ke jalur hukum.

http://laha.or.id/kebijakan-perlindungan-anak-lembaga-advokasi-hak-anak-laha/

Jakarta, 7 Oktober 2016

ECPAT Indonesia baru saja merilis hasil pencatatannya tentang situasi Eksploitasi Seksual
Komersial Anak (ESKA) di Indonesia selama bulan September 2016. Pencatatan ini
dilakukan dengan melakukan pengumpulan data melalui pemantauan media, investigasi
serta hasil pendampingan kasus Eksploitasi Seksual Komersial Anak yang dilakukan
selama bulan September 2016.

Berdasarkan hasil penelusuran ECPAT Indonesia, terdapat 8 (delapan) kasus ESKA yang
berhasil terungkap. Bentuk-Bentuk Eksploitasi Seksual Komersial Anak yang terungkap
selama bulan september adalah kasus Prostitusi anak dan Perdagangan Anak untuk
Tujuan Seksual. Meskipun terhitung “hanya” delapan kasus, akan tetapi jumlah korbannya
mencapai 168 anak. Artinya, dalam satu hari, terdapat kurang lebih 5 (lima) anak
Indonesia menjadi korban ESKA. Menariknya, dari 168 korban, 88 persen (148 korban)
adalah anak laki-laki, sedangkan 20 korban sisanya adalah anak perempuan.

Tingginya jumlah korban anak laki-laki ini tidak terlepas dari terungkapnya kasus
prostitusi anak laki-laki di Bogor, Jawa Barat. Kasus yang menghebohkan publik ini
memanfaatkan sosial media seperti facebook untuk memperjualbelikan anak laki-laki ini
kepada pedofilia anak. Berdasarkan hasil investigasi dan Wawancara Mendalam kepada
korban pedofilia, anak ini ternyata juga turut melibatkan laki-laki yang telah memiliki
keluarga dan anak.

Tidak hanya di Jawa Barat, kasus-kasus ESKA juga terjadi di berbagai wilayah di
Indonesia. Hanya dalam kurun waktu satu bulan saja, tercatat 5 (lima) provinsi yang
diidentifikasi terjadi kasus ESKA. Kasus ESKA ini tersebar di empat kabupaten (Bantul,
Kendal, Pasaman Sukabumi) dan tiga kota (Bogor, Padang dan Pekanbaru). Dari 8
(delapan) kasus yang terungkap, ternyata terdapat 1 (satu kasus) yang melibatkan anak
sebagai mucikari/germo. Hal ini terungkap di Pekanbaru, Riau. Sedangkan 7 (tujuh) kasus
sisanya melibatkan orang dewasa sebagai mucikari/germo.

Sebagaimana kasus ESKA yang terjadi di seluruh dunia, fenomena ESKA di Indonesia juga
merupakan fenomena gunung es. Fakta yang sebenarnya terjadi terkait ESKA di
Indonesia bisa jadi jauh lebih besar dibandingkan paparan data yang berhasil ditelusuri
ECPAT Indonesia. Oleh karena itu, perlu komitmen seluruh pihak untuk menentang
terjadinya Eksploitasi Seksual Komersial Anak. Karena anak yang terlibat ESKA adalah
korban yang harus kita selamatkan.

https://ecpatindonesia.org/berita/dalam-sebulan-168-anak-menjadi-korban-eska-di-indonesia/

https://studylibid.com/doc/964829/eksploitasi-seksual-komersial-anak

Kekerasan yang terjadi di Indonesia


Grafik Kasus terjadinya pelecehan seksual tahun 2001 - 2014
Dari grafik diatas dapat kita ketahui bahwa di Indonesia kasus tentang Pelecehan Seksual
meningkat dari tahun ketahun, walaupun tidak terlalu melonjak tetapi ini bukan angka yang biasa
tapi ini angka yang luar biasa. Pertama dari tahun 2001 hanya 3,169. Tetapi pad tahun 2014
terjadi peningkatan yang sangat luar biasa mencapai 29,220.
Pelecehan seksual juga meresahkan kaum perempuan, karena juga terjadinya kekerasan terhadap
mereka. Ada beberapa kota di Indonesia yng terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
a. Kekerasan terhadap perempuan di jateng meningkat

Berdasarkan data dari Legal Resources Center


untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Jawa Tengah, pada tahun 2010 di Jawa
Tengah telah terjadi 629 kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan jumlah korban 1.118 orang
perempuan, 55 orang diantaranya meninggal dunia.
Angka itu meningkat pada tahun 2011 sebanyak 645 kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan
jumlah korban 1.280 orang perempuan, dan 40 orang di antaranya meninggal dunia.
Salah satu wilayah dengan angka kekerasan terhadap perempuan yang cukup tinggi adalah
Kabupaten Kendal. Di daerah ini, angka kekerasan terhadap perempuan sebanyak 59 kasus. Kasus itu
terjadi sejak tahun 2010 hingga 2011. Dari 59 kasus tersebut, 8 di antaranya meninggal dunia.
Sedangkan sampai pada pertengahan 2012 ini, sudah terdapat 20 kasus yang sudah dilaporkan ke Pusat
Pelayanan Terpadu (PPT). KENDAL,KOMPAS.com –
b. Ada 827 kasus kekerasan pada perempuan di sumbar
Padang, Sentananews.com
Menurut catatan badan pemerdayaan perempuan dan keluarga berencana (BPPr & KB) sumatera barat
(sumbar), terdapat 827 kasus kekerasan yang terjaadi terhadap perempuan dan anak di 19
kabupaten/kota di provinsi tersebut.
Rinciannya : 313 kasus terhadap perempuan, 156 pada anak terkait kekerasan fisik,7 kasus pada
perempuan, 11pada anak terkait kekerasan psikis, 35 kasus pada perempuan dan 246 pada anak terkait
kekerasan seksual, 45 kasus pada anak terkait penelantaran dan 1 kasus padaperempuan terkait Tindak
pidana Perdagangan Ortu (TPPO)
Berdasarkan data KTP yang dimuat dalam catatan tahunan komnas perempuan pada tahun 2014
mengalami peningkatan yaitu sebesar 299.220 kasus, dibandingkan tahun 2013 sebanyak 279.688
kasus.
Table sebaran wilayah terjadinya kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2007
No Wilayah terjadinya kekerasan jumlah Presentasi(%)
1 Bekasi 5 5
2 Kota Sukabumi 4 4
3 Kab.Sukabumi 2 2
4 Kab.Bandung 14 14
5 Kota Bandung 6 6
6 Sumedang 2 2
7 Tangerang 7 7
8 Subang 5 5
9 Indramayu 4 4
10 Kuningan 2 2
11 Jakarta 14 14
12 Bali 2 2
13 Madura 1 1
14 Majalengka 1 1
15 Cimahi 5 5
16 Bogor 2 2
17 Cirebon 1 1
18 Purwakerta 1 1
19 Sleman 2 2
20 Balangan 1 1

Anda mungkin juga menyukai