Anda di halaman 1dari 1

Pak Guru, aku bukan anak bodoh!

Suatu hari di sebuah ruangan tempat berkumpulnya para pendidik saat jam istirahat. “Wah, anak
sekarang masak soal gampang seperti ini saja tidak bisa, jan bangeten. Ini yang bodoh siswanya apa
gurunya ya yg ga bisa ngajar!” Jika sekali hal itu terucap, mungkin kita bisa menilai ini merupakan
bukti guru melakukan refleksi atas kegiatan pembelajaran yang ia laksanakan. Tapi, sayangnya
ucapan itu ternyata diulang-ulang dan selama ini belum ada tindakan nyata untuk memperbaiki
proses pembelajaran. Baik dengan merevisi rencana pembelajaran atau memvariasikan teknik
pembelajaran. Ekstrim lagi saya pernah mendapat cerita dari suatu sekolah, ada kelas yang gurunya
malas untuk masuk ke kelas itu karena sudah lekat dengan julukan kelas spesial.

Salahkah guru mengeluh? Tidak, karena memang kita bisa merasakan umum dibeberapa sekolah
siswanya mengalami penurunan motivasi belajar dibandingkan siswa beberapa tahun yang lalu.
Apalagi jika dibandingkan dengan zaman sang guru masih berseragam yang sama dengan siswanya
saat ini.

Tapi, justru itulah tantangan guru sekarang. Tantangan yang berbeda dengan yang dihadapi oleh
guru kita berpuluh tahun yang lalu. Perkembangan zaman menyebabkan pola perilaku dan pola
pikiran anak zaman sekarang jauh berbeda. Dulu, perintah guru dianggap sebagai titah raja yang
wajib dialksanakan. Saat ini, seringkali apabila perintah guru dianggap kurang sreg dengan jalan
pikiran siswa, maka siswa cenderung akan mengabaikannya. Mengapa? Karena kita masih
menggunakan gelombang dengan frekuensi puluhan tahun yang lalu, bukan frekuensi kid zaman
now. Peirntah kita mereka anggap sebagai dogma, dogma yang tidak realistis dan tidak sesuai
kebutuhan hidup mereka.

Sayang, seringkali kita menghakimi siswa dengan predikat negatif.

Ada sebuah pengalaman yang membuat saya sedikit termenung. Di sekolah saya, ada satu siswa
yang mengalami gangguan pada pendengarannya (tuna rungu). Karena sekolah kami tidak memiliki
fasilitas kelas inklusi, maka anak tersebut tetap mengikuti kelas reguler. Tentu saja banyak
hambatan. Penjelasan guru yang disampaikan secara audio pastinya sulit untuk dia tangkap. Hal ini
tentu berimbas terhadap nilai akademisnya. Karena hambatan itu ditambah tidak adanya
pendekatan khusus untuk membantu kesulitan belajarnya. Jadilah dia sebagai siswa yang sedikit
terabaikan. Suatu saat, ketika pelaksanaan simulasi UNBK. Disela-sela dia mengerjakan soal saya
lihat siswa tersebut membuat sebuah gambar. Bagi saya luar biasa, hanya bermodalkan sebuah
bolpoin warna hitam dan kertas buram dia berhasil membuat gambar naga dengan detail yang luar
biasa. Sebuah talenta yang selama ini luput dari pengamatan saya sebagai pendidiknya. Padahal,
banyak rekan saya yang seolah menyerah untuk membantu kesulitan belajarnya.

Ini hanya satu contoh kasus. Banyak kejadian lain yang menimpa anak didik kita, kemudian kita
terlanjur menghakimi anak tersebut dengan stempel negatif bahkan dengan julukan yang kasar.
Ternyata banyak hal positif yang dimiliki anak tersebut yang luput untuk kita tangkap.

Sekali lagi hal ini tak lepas dari abainya kita untuk menyamakan frekuensi gelombang kita dengan
gelombang anak-anak didik kita yang lahir di era berbeda dengan para gurunya. Lalu, bagaimana
cara agar frekuensi pemancar kita klik dengan frekuensi siswa?

Anda mungkin juga menyukai