PEMBIMBING :
AKBP (POL) Dr. Riza, Sp.An
PENYUSUN :
Aditya Surya Pratama (1102013009)
Fega Arabela (1102013111)
Haya Harareed (1102013125)
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. LA
Umur : 25 tahun
Agama : Islam
No RM : 965805
Status : Menikah
Subjektif
Berat Badan : 74 kg
Anamnesis :
Keluhan utama : Pasien datang dengan keluhan keluar air-air melalui vagina sejak semalam
SMRS
Keluhan tambahan : Seorang pasien wanita usia 25 tahun G1P0A0 datang ke IGD RS
Bhayangkara Tk. I R. Said Sukanto dengan keluhan keluar air-air dari vagina sejak semalam SMRS
disertai dengan mulas. Keluar lendir darah (-), pusing (-), mual (-), muntah (-). Saat ini pasien
sedang hamil anak pertama dengan usia kandungan 40 minggu. BAB dan BAK normal.
Pemeriksaan Fisik:
Thorax
o I : datar simetris di kedua lapang paru
o P : fremitus taktil dan vocal simetris
o P : sonor di seluruh lapang paru
o A : VBS kiri = kanan, rhonki basah halus (+/+), wheezing (-/-)
Abdomen
o I : cembung lembut
o A : BU (+)
o P :Defans muscular (-), ps/pp (-/-), nyeri tekan (-)
o P : NT (-), NL (-)
Ekstremitas
o Atas : edema (-/-)
o Bawah : edema (-/-) ; varises (-/-)
2. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium tanggal 20 Agustus 2018
Hematologi
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Referensi Satuan
Hemoglobin 12,2 12 – 14 g/dl
Leukosit 10.000 5.000 – 10.000 l
Hematokrit 35 40 – 48 %
Trombosit 245.000 150.000 – 400.000 l
Assesment
Setuju anestesi : ASA II
Rencana
Pemberian Cairan
a. Cairan masuk:
Pre operatif : Kristaloid RL : 500 cc
Durante operatif :Kristaloid RL : 500 cc
Total input cairan : 1000 cc
b. Cairan keluar:
Durante operatif: Urin : ±100 cc;
Perdarahan : ± 200 cc
PERHITUNGAN CAIRAN
a. Estimated Blood Volume (EBV) = 65 cc/kgBB x 65 kg = 4.810cc
b. Input yang diperlukan selama operasi
1. Cairan Maintanance = 35 ml/kgBB/24 jam
= 35 ml x 74 kg
= 2590 ml
24 jam
= 107,9 ml/jam
2. Cairan defisit pengganti puasa (PP):
Lama puasa × maintenance = 3 jam × 107,9 ml = 323,7 ml
Jadi kebutuhan pengganti puasa 323,7 ml selama 3 jam
3. Cairan defisit urin dan darah = urin + darah =
100 ml + 1000 ml = 1100 m
c. Stress Operasi
Besar 8 ml ×KgBB = 8 x 74 = 592 ml/jam
d. Perhitungan cairan pengganti darah:
Jumlah perdarahan : ± 200 ml
% perdarahan = 200 x 100 % = 23%
4810
Kristaloid 3 x 1000 ml = 3000 ml
POST OPERATIF
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 75 kali/menit
RR : 21 kali/menit
Temperatur : 36,4 ºC
VAS : 2/10
Observasi tiap : 15 menit
Aldrete Score
Yang dinilai Nilai Interpretasi
Warna 2 Merah muda
Pernafasan 2 Dapat bernafas dalam dan
batuk bebas
Sirkulasi 2 TD menyimpang < 20% dari
normal
Kesadaran 2 Sadar, Siaga dan orientasi
Aktifitas 2 Seluruh ekstremitas dapat
digerakan
Total 10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANESTESI SPINAL
A. DEFINISI
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah tindakan
anestesi dengan memasukan obat analgetik ke dalam ruang subaraknoid di daerah
vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang sensoris mulai dari
vertebra thorakal 4.2,3
Gambar 1. Lokasi Anestesi Spinal
B. INDIKASI
Untuk pembedahan, daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila
mammae ke bawah ). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama, maksimal 2-3 jam
sehingga cocok dilakukan untuk pembedahan sebagai berikut:
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan
anestesi umum ringan
C. KONTRA INDIKASI
Kontra indikasi pada teknik anestesi subarakhnoid blok terbagi menjadi dua yaitu kontra
indikasi absolut dan relatif.
Kontra indikasi absolut :
Infeksi pada tempat suntikan: infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa menyebabkan
penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare: karena pada
anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
Tekanan intrakranial meningkat: dengan memasukkan obat ke dalam rongga
subarakhnoid, maka dapat semakin menambah tinggi tekanan intrakranial dan dapat
menimbulkan komplikasi neurologis
Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim: pada anestesi spinal bisa terjadi
komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka harus dipersiapkan
fasilitas dan obat emergensi lainnya.
Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi: hal ini dapat menyebabkan
kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis, keterampilan dokter
anestesi sangat penting.
Pasien menolak.
Kontra indikasi relatif :
Infeksi sistemik: jika terjadi infeksi sistemik perlu diperhatikan apakah diperlukan
pemberian antibiotik. Perlu dipikirkan kemungkinan penyebaran infeksi.
Infeksi sekitar tempat suntikan: bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan bisa dipilih
lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
Kelainan neurologis: perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar tidak
membingungkan antara efek anestesi dan defisit neurologis yang sudah ada pada
pasien sebelumnya.
Kelainan psikis
Bedah lama: masa kerja obat anestesi lokal adalah kurang lebih 90-120 menit, bisa
ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan hingga 150 menit.
Penyakit jantung: perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi ke arah jantung
akibat efek obat anestesi lokal.
Hipovolemia ringan: sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya hipovolemia
bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan.
Nyeri punggung kronik: kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan. Hal ini
berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan berulang-ulang, dapat
membuat pasien tidak nyaman.2,3
Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan obat-
obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, pulse oximetri, EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quincke
bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare), dipersiapkan
dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G.
4. Betadine, alkohol untuk antiseptik.
5. Kapas/ kasa steril dan plester.
6. Obat-obatan anestetik lokal.
7. Spuit 3 ml dan 5 ml.
8. Infus set. 2,3,5
Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipnya merupakan obat anestesi lokal.
Anestetik lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan pada jaringan saraf
dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi lokal bersifat reversible. Obat
anestesi lokal yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap jaringan saraf. Batas keamanan
harus lebar dan onset dari obat harus sesingkat mungkin dan masa kerja harus cukup lama. Zat
anestesi lokal ini juga harus larut dalam air.
Tabel 2. Penggolongan obat anesthesi regional berdasarkan potensi dan durasi kerja
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008. Anastetik
lokal dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric. Anastetik lokal dengan berat jenis
lebih besar dari LCS disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari LCS
disebut hipobarik.
1. Isobarik digunakan untuk infiltrasi lokal, blok lapangan, blok saraf, blok plexus dan blok
epidural.
2. Hipobarik digunakan untuk analgesik regional intravena. Konsentrasi obat dibuat separuh
dari konsentrasi isobarik.
3. Hiperbarik digunakan khusus untuk injeksi intrathecal atau blok subarachnoid.
Konsentrasi obat dibuat lebih tinggi
Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur
anastetik lokal dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh
dengan mencampur dengan air injeksi. 8
a. Lidokain
Lidokain (durasi pendek – intermediate spinal anestesia) dengan dosis 20 – 100 mg
seringkali dipilih untuk kasus-kasus yang diperkirakan memakan waktu 75 menit atau
kurang. Lidokain umumnya dipakai sebagai larutan 5 % dalam 7,5 % dektrose meskipun
1,5 dan 2 % lidokain juga berguna.
Penambahan epinephrine 0,2 mg memanjangkan anestesia 15 – 40 menit, tergantung
dosis anestesi lokal yang dipakai, tetapi berhubungan dengan blok motoris yang
memanjang secara signifikan dan miksi yang terlambat.
Fentanyl 15 – 25 gr adalah aditif lain yang berguna. Menimbulkan reduksi substansial
pada dosis lidokain (untuk menimbulkan recovery lebih cepat dan insiden transient
neurologic simpton yang lebih rendah) dan efektif memblok nyeri torniquet pada
ekstremitas bawah.
Onset cepat.
Tidak iritatif (tidak menyebabkan iritasi lokal) terhadap jaringan walaupun diberikan
dalam konsentrasi larutan 88 %.
Sangat mudah larut dalam air dan sangat stabil.
Sebagian dimetabolisme di hepar, sebagian disekresi melalui urine dalam bentuk yang
tidak berbuah.
Toksisitas dua kali lebih tinggi dari pada prokain.
Konsentrasi injeksi 0,5 – 2 %. Untuk topikal 4 %.
Bebas dari reaksi alergi dan sering digunakan sebagai penghilang nyeri sebelum injeksi
propofol.
Dosis maksimal 3 mg/Kg BB (tanpa adrenalin), 7 mg/Kg BB (dengan adrenalin).
b. Bupivakain HCl
Lebih kuat dan lama kerjanya 2 – 3 x lebih lama dibanding lidokain atau mepivakain.
Onset anesthesi lebih lambat dibanding lidokain.
Ikatan dengan HCl mudah larut dalam air.
Pada konsentrasi rendah blok motorik kurang adekuat. Sifat hambatan sensoris lebih
dominan dibandingkan dengan hambatan motorisnya.
Ekskresi melalui ginjal sebagian kecil dalam bentuk utuh, dan sebagian besar dalam
bentuk metabolitnya.
Konsentrasi 0,25 – 0,75 %. Dosis 1 – 2 mg/Kg BB.
Dosis maksimal untuk satu kali pemberian 200 – 500 mg.
Untuk operasi abdominal diperlukan konsentrasi 0,75 %. Bupivacaine (durasi
intermediate spinal anestesia) dengan dosis 5 – 15 mg adalah sesuai untuk pembedahan
selama 50 – 150 menit, meskipun durasi dari bupivakain tampaknya memiliki deviasi
yang lebih lebar daripada standar, bila dibandingkan dengan lidokain.
Spinal anestesia umumnya dilakukan dengan 0,75% bupivacaine dalam 8,25 % dekstrosa.
Larutan bupivakain 0,5 % tanpa dekstrosa adalah isobarik atau sedikit hipobarik dan
umumnya dipakai untuk pembedahan ekstremitas bawah. Epinephrine memanjangkan
blok sensoris dan motoris kira-kira 30 – 45 menit saat ditambahkan pada bupivakain
dosis kecil (7,5 mg).
Fentanyl juga dipakai sebagai adjuvant untuk mengurangi dosis bupivakain (sehingga
hipotensi lebih sedikit) dan meningkatkan analgesia.
c. Tetrakaine
Tetrakaine (durasi panjang spinal anestesia) dengan dosis 4 – 12 mg dipakai untuk
pembedahan dengan durasi 3 – 4 jam. Tetracaine merupakan salah satu dari agen spinal
anestesi tertua. Tersedia dalam sediaan komersial sebagai kristal niphanoid (20 mg) atau
larutan 1 %. Tetracaine kurang stabil pada bentuk larutan cair (daripada lidokain) dan
menghasilkan tetracaine ampul dengan potensi rendah karena sebagian obat didegradasi
selama penyimpanan. Tetracaine adalah unik diantara agen spinal anestesi lainnya,
karena keberhasilan untuk memblok sangat tergantung dengan co-administration
epinephrine.
Kegagalan blok hampir 35 % pada plain tetracaine. Tetracaine & epinephrine adalah
spinal anestetic agent paling lama, menghasilkan anestesia pada abdomen bawah kira-
kira 4 jam dan ekstremitas bawah 5 – 6 jam.
Obat anestesi lokal memiliki efek tertentu di setiap sistem tubuh manusia. Berikut
adalah beberapa pengaruh pada sistem tubuh yang nantinya harus diperhatikan saat
melakukan anestesia spinal.
1. Sistem saraf: Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi lokal,
menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada sistem saraf akan terjadi paresis
sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.
2. Sistem respirasi: Jika obat anestesi lokal berinteraksi dengan saraf yang bertanggung
jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa menyebabkan gangguan
nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem kardiovaskular: Obat anestesi lokal dapat menghambat impuls saraf. Jika
impuls pada sistem saraf otonom terhambat pada dosis tertentu, maka bisa terjadi
henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan bradikardia. Jika dosis yang
masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti
jantung. Maka sangat penting diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat
menyuntikkan obat anestesi local agar tidak masuk ke pembuluh darah.
4. Sistem imun: Karena anestesi lokal memiliki gugus amin, maka memungkinkan
terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat alergi pasien. Pada reaksi
lokal dapat terjadi reaksi pelepasan histamin seperti gatal, edema, eritema. Apabila
tidak sengaja masuk ke pembuluh darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
5. Sistem muskular: obat anestetik lokal bersifat miotoksik. Apabila disuntikkan
langsung ke dalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi yang tidak teratur, bisa
menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem hematologi: obat anestetik dapat menyebabkan gangguan pembekuan darah.
Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan yang lebih lama saat
menggunakan obat anestesi lokal.3,8,9
Dalam penggunaan obat anestesi lokal, dapat ditambahkan dengan zat lain atau
adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi lokal khususnya pada
anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi spinal
terdapat pada table dibawah ini.
Tabel 4 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal 9
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah
ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa
dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Gambar 4 & 5 : Posisi Lateral pada Spinal Anestesi & Posisi Duduk pada Spinal
Anestesi7
Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari sumbu
tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral dari garis
tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.7
Gambar 6 : Tusukan Medial dan Paramedial7
Pada praktik sehari-hari dapat ditemukan masalah saat melakukan anestesi spinal,
berikut adalah pendekatan dari beberapa masalah yang lazim ditemukan saat melakukan
anestesi spinal:
1. Jarum terasa sudah menembus bagian yang seharusnya tetapi belum ada cairan yang
keluar: Saat menemukan situasi seperti ini, tunggu kurang lebih 30 detik, kemudian
coba putar 90 derajat jarum tersebut. Jika masih belum didapatkan LCS, dapat
dilakukan injeksi udara 1cc untuk mendorong jika ada sumbatan pada jarum.
2. Terdapat darah yang keluar melalui jarum: tunggu sesaat, jika perdarahan berhenti,
lanjutkan prosedur. Jika darah terus menetes, kemungkinan saat penusukan mengenai
vena epidural. Jarum harus digerakkan lebih kedalam, atau diarahkan sedikit lebih
medial.
3. Pasien merasa nyeri tajam di kaki: kemungkinan jarum mengenai radiks saraf. Segera
cabut jarum dan ulang tusukan dengan arah lebih ke medial dari tempat tusukan awal.
4. Jarum terasa menusuk tulang: perhatikan kembali posisi pasien apakah saat dilakukan
penusukan, pasien kurang melakukan fleksi tubuh sehingga celah menjadi sempit.
Perlu juga menenangkan pasien karena umumnya pasien melakukan ekstensi saat
menahan nyeri tusukan saat awal jarum mengenai kulit.7
SECTIO CAESAREA
Sectio caesarea ialah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut
dan dinding uterus. Berdasarkan insisi atau teknik yang dilakukan, terdapat beberapa jenis sectio
caesarea:1,2,4
Syarat-syarat dilakukan tindakan sectio caesarea, diantaranya uterus dalam keadaan utuh
(karena pada sectio caesarea, uterus akan diinsisi) dan berat janin di atas 500 gram. Indikasi
dilakukan tindakan sectio caesarea dapat ditinjau dari dua sisi, dari sisi ibu diantaranya yaitu
panggul sempit absolut, tumor-tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi, stenosis serviks
atau vagina, plasenta previa, disproporsi sefalopelvik, ruptura uteri membakat, hipertensi
maternal, takikardia maternal, induksi persalinan yang gagal, kegagalan persalinan dengan alat,
STD, preeklamsia,uterus bicornuate, ibu telah meninggal dan pelvis kontraktur. Sedangkan
ditinjau dari sisi janin diantaranya kelainan letak, gawat janin, kelainan plasenta, gemelli,
presentasi janin abnormal, makrosomia, abnormalitas tali pusat. Selain itu dilakukan sectio
caesarea jika persalinan terlalu lama, persalinan tak maju, ataupun persalinan macet.2,4
Analgesi epidural lebih banyak membutuhkan waktu dan ketrampilan, juga adanya
stimulasi alat-alat dalam yang menimbulkan perasaan tidak enak pada waktu
manipulasi (terutama manipulasi segmen bawah uterus) serta adanya kegagalan-
kegagalan walaupun dilakukan oleh seorang ahli.
Sedangkan anestesi spinal lebih mudah dilakukan, onset lebih cepat, blokade sarafnya
meyakinkan, kemungkinan toksisitas tidak ada karena dosis yang rendah, dan
karenaadanya blokade saraf sakral yang sempurna, perasaan tidak enak seperti pada
anestesi epidural tidak ada.
Dengan anestesi regional ibu masih dalam keadaan sadar, refleks protektif masih ada,
sehingga kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung kecil sekali. Ibu tidak
menerima banyak macam obat dan perdarahannya lebih sedikit. Dari segi janin,
anestesi regional ini bebas daripada obat-obat yang mempunyai efek depresi terhadap
janin.2
Teknik apapun yang dipakai, agar keadaan ibu dan anak tetap baik. Usahakan:
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang baik untuk tindakan-tindakan
bedah, obstetrik, operasi operasi bagian bawah abdomen dan ekstremitas bawah. Teknik ini baik
sekali bagi penderita-penderita yang mempunyai kelainan paru-paru, diabetes mellitus, penyakit
hati yang difus dan kegagalan fungsi ginjal, sehubungan dengan gangguan metabolisme dan
ekskresi dari obat-obatan. Bagian motoris dan proprioseptis paling tahan terhadap blokade ini
dan yang paling dulu berfungsi kembali. Sedangkan saraf otonom paling mudah terblokir dan
paling belakang berfungsi kembali. Tingginya blokade saraf untuk otonom dua dermatome lebih
tinggi daripada sensoris, sedangkan untuk motoris dua-tiga segemen lebih bawah. Secara
anatomis dipilih segemen L2 ke bawah pada penusukan oleh karena ujung bawah daripada
medula spinalis setinggi L2 dan ruang interegmental lumbal ini relatif lebih lebar dan lebih datar
dibandingkan dengan segmen-segmen lainnya. Lokasi interspace ini dicari dengan
menghubungkan crista iliaca kiri dan kanan. Maka titik pertemuan dengan segmen lumbal
merupakan processus spinosus L4 atau L4—5 interspace.13
a. Ligamentum supraspinosus
b. Ligamentum interspinosus
c. Ligamentum flavum
Induksi persalinan merupakan salah satu prosedur yang dilaksanakan untuk impending
postterm pregnancy atau kehamilan yang terancam post-term, yaitu pada usia kehamilan lebih
dari 40 minggu, tetapi sebelum 42 minggu. Jika melebihi 42 minggu, maka termasuk kehamilan
post-term, dan sebelum 40 minggu termasuk kehamilan aterm (38-40minggu) atau preterm (20-
37 minggu).3
Penatalaksanaan kehamilan yang terancam akan post-term ada 3 jenis penanganan, yaitu 1)
Induksi kehamilan, 2) Tunggu hingga 42 minggu, dan 3) uji antenatal. Sebaiknya kehamilan
diakhiri sebelum minggu ke 42, karena resiko kematian janin dan ibu lebih tinggi pada
kehamilan post-term.3 Metode yang terpilih untuk digunakan pada pasien adalah induksi
persalinan. Ada dua metode induksi persalinan, yaitu 1) Secara kimiawi dengan menggunakan
PGE2 (misoprostol, dinoprostone cervival atau vaginal insert) atau oksitocin, 2) Secara mekanik
dengan menggunakan kateter foley pada cervix, infus saline extra-amniotik, dan laminaria. Pada
pasien, metode yang terpilih digunakan adalah drip oksitosin ditambah dengan pemasangan
kateter foley pada cervix dengan pengulangan satu kali setelah yang pertama gagal. Ketika
pengulangannya itu gagal, maka dilakukan sectio caesarea.
BAB III
KESIMPULAN
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah, panggul,
dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah endoskopi
urologi, bedah rektum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetri, dan bedah anak.
Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi.
Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi lumbal,
bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakranial.
Kontraindikasi relatif meliputi neuropati, nyeri punggung, penggunaan obat-obatan praoperasi
golongan AINS (antiinflamasi nonsteroid seperti aspirin, novalgin, parasetamol), heparin
subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil.
Prinsip yang digunakan adalah menggunakan obat analgetik lokal untuk menghambat
hantaran saraf sensorik untuk sementara (reversible). Fungsi motorik juga terhambat sebagian.
Dan pada teknik anestesi ini, pasien tetap sadar.
Seluruh persiapan wajib dicermati mulai dari persiapan pasien, alat, obat anestesi lokal,
obat emergensi yang harus disediakan jika terjadi komplikasi, hingga kemungkinan untuk
mengganti prosedur menjadi anestesi umum seketika prosedur anestesi spinal tidak berjalan
dengan baik. Saat penusukan diperlukan ketelitian untuk menentukan lokasi suntikan, kemudian
memperhatikan pendekatan untuk melakukan penusukan serta memperhatikan faktor yang
mempengaruhi anestesi.
Prosedur ini merupakan sebuah alternatif pada operasi dengan durasi singkat. Pilihan ini
menyediakan opsi yang memiliki komplikasi yang lebih sedikit ketimbang melakukan prosedur
anestesi umum diantaranya adalah waktu pemulihan pasca-dilakukan posedur anestesi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief, Said. 2009. Analgesia Regional. Dalam: Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi II.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
2. Medscape Reference [Internet] Subarachnoid Spinal Block [Updated on Aug, 5, 2013]
Available at http://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview
3. S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Jakarta : CV. Infomedika, 2004;
125-8.
4. Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book], Vertebral Column,
Section. Icon Learning System, Rochester : Section #146.
5. NYSORA – New York School of Regional Anesthesia, [Internet] Subarachnoidal Block
[Last Update Oct 4 2013], Available at http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-
perineuraxial-techniques/landmark-based/spinal-epidural-cse/3423-spinal-anesthesia.html
6. Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book], Vertebral Column,
Section. Icon Learning System, Rochester : Section #154A
7. University of Pittsburgh Online Reference [Internet] Subarachnoid spinal block
anesthesia. [Last Update Jan 2013]. Available at
http://www.pitt.edu/~regional/Spinal/Spinal.html
8. Gan Gunawan, Sulistya et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen Farmakologi
dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta; Balai Penerbit FKUI,
259-72.
9. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray. Clinical Anesthesiology
4th Edition [Digital E-Book] Section Spinal, Epidural and Caudal Anesthesia; Appleton
and Lange, 2005. California: McGraw-Hill Publishing.
10. Khangure, Nicole in TOTW Anesthesia.- World Federation of Societies of
Anesthesiologist [Internet Journal] Neuraxial Anesthesia Adjuvant [Last Update on July
4 2011] Available at http://totw.anaesthesiologists.org/wp-content/uploads/2011/07/230-
Neuraxial-adjuvants.pdf
11. Christiansson, Lennart in Periodicum Biologorum; Update on Adjuvant in Regional
Anesthesi; UDC 57:61, CODEN PDBIAD, 2009, VOL. 111, No 2, 161–70.