Anda di halaman 1dari 23

1.

M4 aspek hukum perlindungan konsumen


Perlindungan Konsumen
A. PENGERTIAN

Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi


dan terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda
harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen.

B. ASAS DAN TUJUAN

Tujuan

Menurut Pasal 3 tentang Perlindungan konsumen, bertujuan:

1. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-


haknya sebagai konsumen;

4. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga


tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih
barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar
dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau
penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya; dan sebagainya.

C. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN

Berdasarkan pasal 4 dan 5 undang-undang nomor 8 tahun 1999,hakdan kewajiban konsumen


antara lain sebagai berikut.

1. hak konsumen

- Hak atas kenyamanan,keamanaan,dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
- Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa.
- Hak atas informasi yang benar,jelas dan jujur mengenai barang dan jasa
- Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan
- Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan secara patut
- Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen
- Hak untuk diperlakukan secara benar dan jujur.
- Hak untuk mendapatkan konpensasi,gantirugi atau penggantin apabila barang atau jasa yang
diterima tidak sesuai.
- Hak-hak yang diatur dalam peratuiran perundang-undangan lainnya.

2. kewajiban konsumen
a. Membaca,mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
d. Mengikuti upaya penyesuaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut
H. SANKSI

1. Sanksi-sanksi Pelaku Usaha


Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yaitu :

-Sanksi Perdata
Ganti rugi dalam bentuk :
o Pengembalian uang atau
o Penggantian barang atau
o Perawatan kesehatan, dan/atau
o Pemberian santunan

Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan
(3), 20, 25

- Sanksi Pidana :
· Kurungan :
o Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17
ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
o Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16
dan 17 ayat (1) huruf d dan f

* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen)
jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian,* Hukuman tambahan , antara lain :
o Pengumuman keputusan Hakim
o Pencabuttan izin usaha;
o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;
o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa;
o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen

Perlindungan Konsumen menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen.

Perlindungan Hak Atas Ganti kerugian Bagi Konsumen Kesehatan

Setelah Undang-Undang Perlindungan Konsumen diberlakukan, maka prinsip tanggungjawab yang dianut
di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah prinsip tanggung jawab atas dasar praduga
(rebuttable presumption of liability principle). Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 19 ayat (1) , Pasal 28
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 19 ayat (1) Undang-
Undang Perlindungan Konsumen menyatakan Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti
kerugian atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau
jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur lebih luas
mengenai subyek yang dapat digugat untuk mengganti

kerugian. Konsumen yang dirugikan tidak hanya dapat menggugat secara produsen, tetapi semua yang
dinyatakan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai pelaku usaha, termasuk di dalamnya
adalah dokter yang dianggap sebagai pelaku usaha yang memberikan pelayanan jasa kepada pasien selaku
konsumen kesehatan.

Dalam Penjelasan Umum UUPK disebutkan bahwa UUPK pada dasarnya bukan merupakan awal dan
akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya
UUPK telah ada beberapa UU yang materinya melindungi konsumen, seperti UU No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan. Dengan demikian UUPK menjadi payung hukum (umbrella act) bagi peraturan
perundangan-undangan lainnya yang berhubungan dengan konsumen. Tenaga kesehatan yang
dimaksudkan disini adalah setiap orang yang mengabdikan dirinya dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan. Sesuai ketentuan Pasal 53
ayat (2) UU Kesehatan, setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Baik standar profesi pada umumnya maupun
standar profesi mediknya. Demikian pula dengan penghormatan hak, baik hak-hak pasien pada
khususnya, maupun hak-hak konsumen pada umumnya. Demikian pula, dalam melakukan tugasnya setiap
tenaga kesehatan terikat dan tunduk pada norma-norma yang bersifat hukum dan etik. Pelanggaran
terhadap hukum dan etika tersebut berkonsekuensi pada pemberian sanksi yang harus dijalankannya.

Kendala Pemenuhan Hak Atas Ganti Kerugian Bagi Konsumen Kesehatan


Pasal 55 ayat (1) UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, misalnya, hanya menyebutkan: setiap orang
berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. Sementara pasal
50 UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran berbunyi: dokter dan dokter gigi berhak
memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi atau
standar prosedur operasional. Undang-undang mengenai praktik kedokteran, oleh banyak pihak dinilai
lebih memihak dokter ketimbang konsumen kesehatan. Undang-undang tersebut justru cenderung
melindungi dokter, bukan tenaga medis yang lain, apalagi konsumen kesehatan. Tak heran jika dalam
banyak kasus malpraktek, pasien yang menjadi korban cenderung berada dalam posisi yang lemah. Jika
ada anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang dilaporkan melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KODEKI), maka pasien sebagai pihak yang dirugikan dapat melapor kepada IDI setempat. Selanjutnya
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) akan bersidang dan menilai apakah anggota tersebut
melanggar etika atau tidak. Jika terbukti, maka IDI dapat memberikan sanksi, yang bersifat sanksi moral
sampai sanksi pemecatan dari keanggotaan IDI. Namun sayangnya, IDI tidak berwenang mencabut izin
praktik yang merupakan kewenangan pemerintah. Di lain sisi pasien sendiri mengalami kesulitan untuk
menuntut dokter secara hukum, sebab tidak ada standar yang membedakan mana tindakan malpraktek,
kecelakaan dan kelalaian. Ganti rugi hanya diberikan bila terbukti ada kerugian yang ditanggung pasien.
Sedangkan beban pembuktian itu sendiri ada pada pasien. ”Hukum pidana atau perdata dapat dilakukan
pada dokter hanya bila terjadi kecacatan atau kematian atau reaksi tubuh yang tidak diharapkan akibat
dari pelayanan yang tidak sesuai dengan kaidah medis”.

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat adanya perbedaan beban pembuktian yang diatur dalam Undang-
Undang Perlindungan Konsumen dengan pembuktian yang diatur dalam Hukum Acara yang berlaku
menurut KUH Perdata.

2. M4 aspek hukum rekam medic

ASPEK HUKUM REKAM MEDIS

A. Pengertian Rekam Medis

Rekam medis merupakan proses yang dimulai pada saat diterimanya pasien di rumah sakit, diteruskan
kepada kegiatan pencatatan data dan dilanjutkan kepada penaganan berkas rekam medis yang meliputi
penyelenggaraan , penyimpanan serta pengeluaran berkas dari tempat penyimpanan untuk melayani
permintaan peminjaman untuk keperluan pasien atau yang berhubungan dengan ketentuan hukum lainnya.
Dari uraian pengertian tersebut terdapat hubungan yang sangat erat dengan tujuan dan kegunaan dari
rekam medis yaitu ALFRED seperti disebutkan dalam pasal 1 ayat a SK Menkes No. 749a tentang rekam
berguna untuk 6 (enam) hal yang lebih spesifik (Hatta G. 1985) ialah :

1. Administratif ( aspek administrasi)

Suatu berkas rekam medis yang berisi data administrasi pasien, karena dalam isinya menyangkut tindakan
berdasarkan wewenang dan tanggungjawab sebagai tenaga medis dan paramedis dalam pelayanan yang
telah diberikan kepada pasien.

2. Legal (aspek Hukum)

Suatu berkas rekam medis yang mempunyai nilai hukum, karena dalam isinya menyangkut adanya
perjanjian yang telah di berikan dan ditandatangani oleh pasien atau pikah penanggung pasien atas
tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien. Dalam rangka usaha menegakkan hukum dan keadilan

3. Finansial (aspek Keuangan)

Suatu berkas rekam medis yang mempunyai nilai keuangan, karena dalam isinya menyangkut penetapan
biaya pelayanan yang telah diberikan kepada pasien, dan tanda bukti catatan/tindakan pelayanan yang
harus dipenuhi oleh pasien atau pihak penanggungsebagai kewajibannya.

4. Riset (aspek penelitian)

Suatu berkas rekam medis yang mempunyai nilai penelitian, karena isinya menyangkut data/informasi
yang dapat digunakan untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

5. Edukasi (aspek Pendidikan)

Suatu berkas rekam medis yang isinya mempunyai nilai pendidikan, karena isinya menyangkut
data/informasi yang dapat digunakan untuk pembelajaran atau bahan referensi pengajaran pendidikan di
bidang yang terkait.

6. Dokumentation (aspek Dokumentasi)

Suatu berkas rekam medis yang mempunyai nilai dokumentasi, karna isinya menjadi sumber dokumen
data/informasi yang dapat digunakan sebagai pertanggung jawaban dan bahan laporan rumah sakit.

B. Pengertian Aspek Hukum


Seperti yang di tuliskan dalam kegunaan rekam medis terdapat aspek legal (aspek hukum) yaitu suatu
berkas rekam medis yang mempunyai nilai hukum, karena dalam isinya menyangkut adanya perjanjian
yang telah di berikan dan ditandatangani oleh pasien atau pihak penanggung pasien atas tindakan yang
akan dilakukan terhadap pasien. Dalam rangka usaha menegakkan hukum dan keadilan. Dimana
fungsinya ialah untuk menjaga dan melindungi rumah sakit dari sangsi hukum. yang berisi penelaahan SK
No. 269/Menkes/PER/III/2008 tentang Rekam medis dan SK No. 290/Menkes/PER/III/2008 tentang
inform consent dapat diuraikan sebagai berikut :

1. SK No. 269/Menkes/PER/III/2008, terdapat 9 bab dan 20 pasal, peraturan mentri kesehatan ini
merupakan revisi dari permenkes 749a/MENKES/PER/XII/1989.

· Bab I Mencangkup pengertian rekam medis

· Bab II Jenis dan isi rekam medis

· Bab III Tata cara penyelenggaraan

· Bab IV Penyimpanan, pemusnahan dan kerahasiaan

· Bab V Kepemilikan, manfaat dan tanggung jawab

· Bab VI Pengorganisasian

· Bab VII Pembinaan dan pengawasan

· Bab VIII Ketentuan peralihan

· Bab IX Ketentuan penutup

ASPEK HUKUM REKAM MEDIS

By: Raden Sanjoyo –


D3 Rekam Medis FMIPA Universitas Gadjah Mada

Status hukum dan peraturan tentang catatan kesehatan harus dijaga oleh
institusi pelayanan kesehatan. Istitusi kesehatan tidak memiliki hukum atau
peraturan pemerintah pusat. Institusi pelayanan kesehatan harus menyimpan
catatan mengenai kesehatan karena hukum atau peraturan tersebut pentingsebagai kepedulian
pasien dan dokumen yang syah.
Status hukum minimum berisi tentang alamat pasien. Selain itu jugaharus
berisi tentang identitas data, ramalan penyakit, sejarah keluarga, tindakanyang
dilakukan oleh tenaga kesehatan, laporan konsultasi, laporan laboratorium,
prosedur operasi, laporan khusus, waktu tindakan, catatan perkembanganpasien,
laporan asuhan perawatan, terapi, ringkasan pasien masuk, catatan untukmenentukan diagnosis
akhir, komplikasi, pemeriksaan prosedur, dan tanda tangan kehadiran dokter.
Sebagai tambahan terhadap peraturan status, terdapat peraturan danhukum
pemerintah pusat dalam keadaan tertentu. Institusi kesehatan yangmenggunakan
peraturan atau hukum untuk masalah pembayaran harus melaluiperaturan
pemerintah pusat untuk memelihara catatan kesehatan tersebut. Hukum
pemerintah pusat juga ada untuk fasilitas kesehatan dengan menggunakan alkohol atau obat
keras untuk program perawatan.
Aspek hukum:
1. Mempunyai nilai hukum
2. Isinya menyangkut mesalah adanya jaminan kepastian hukum atas dasar
keadilan dalam rangka usaha menegakkan hukum serta penyediaanbahan tanda bukti
untuk menegakkan keadilan
Rekam medis yang bermutu adalah:
1. Akurat, menggambarkan proses dan hasil akhir pelayanan yang diukur secara benar
2. Lengkap, mencakup seluruh kekhususan pasien dan sistem yang dibutuhkan dalam analisis
hasil ukuran

3. Terpercaya, dapat digunakan dalam berbagai kepentingan


4. Valid atau sah sesuai dengan gambaran proses atau produk hasil akhir yang diukur
5. Tepat waktu, dikaitkan dengan episode pelayanan yang terjadi
6. Dapat digunakan untuk kajian, analis, dan pengambilan keputusan
7. Seragam, batasan sebutan tentang elemen data yang dibakukan dan
konsistenpenggunaaannya di dalam maupun di luar organisasi
8. Dapat dibandingkan dengan standar yang disepakati diterapkan
9. Terjamin kerahasiaannya
10. Mudah diperoleh melalui sistem komunikasi antar yang berwenang.
Beberapa kewajiban pokok yang menyangkut isi rekam medis berkaitan dengan aspek
hukum adalah:
1. Segala gejala atau peristiwa yang ditemukan harus dicatat secara akurat dan langsung
2. Setiap tindakan yang dilakukan tetapi tidak ditulis, secara yuridis dianggap tidak dilakukan
3. Rekam medis harus berisikan fakta dan penilaian klinis
4. Setiap tindakan yang dilakukan terhadap pasien harus dicatat dan dibubuhi paraf
5. Tulisan harus jelas dan dapat dibaca (juga oleh orang lain)
a. Kesalahan yang diperbuat oleh tenaga kesehatan lain karena salah baca dapat berakibat
fatal.
b. Tulisan yang tidak bisa dibaca, dapat menjadi bumerang bagi si penulis, apabila
rekam medis ini sampai ke pangadilan.
6. Jangan menulis tulisan yang bersifat menuduh atau mengkritik teman sejawat atau tenaga
kesehatan yang lainnya.
7. Jika salah menulis, coretlah dengan satu garis dan diparaf, sehingga yang dicoret masih
bisa dibaca.
8. Jangan melakukan penghapusan, menutup dengan tip-ex atau mencorat- coretsehingga
tidak bisa dibaca ulang.

9. Bila melakukan koreksi di komputer, diberi space untuk perbaikan tanpamenghapus isi
yang salah.
10. Jangan merubah catatan rekam medis dengan cara apapun karena bisa dikenai pasal
penipuan.
A. Kegunaan rekam medis
1. Sebagai alat komunikasi antar tenaga kesehatan
2. Sebagai dasar untuk merencanakan pengobatan atau perawatan
3. Sebagai bukti tertulis atas segala tindakan pelayanan, perkembangan penyakit dan
pengobatan selama pasien dirawat.
4. Sebagai bahan untuk analisa, penelitian, dan evaluasi terhadap kualitas pelayanan
5. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit dan tenaga kesehatan
6. Menyediakan data untuk penelitian dan pendidikan
7. Sebagai dasar dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medis
8. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan,
dipertanggungjawabkan dan laporan.
B. Kepemilikan rekam medis.
1. Milik rumah sakit atau tenaga kesehatan:
a. Sebagai penaggungjawab integritas dan kesinambungan pelayanan.
b. Sebagai tanda bukti rumah sakit terhadap segala upaya dalam penyembuhan pasien
c. Rumah sakit memegang berkas rekam medis asli.
Direktur RS bertanggungjawab atas:
a. Hilangnya, rusak, atau pemalsuan rekam medis
b. Penggunaan oleh badan atau orang yang tidak berhak
2. Milik pasien, pasien memiliki hak legal maupun moral atas isi rekammedis. Rekam medi
s adalah milik pasien yang harus dijaga kerahasiaannya.

3. “Milik umum”, pihak ketiga boleh memiliki (asuransi, pengadilan, dsb)


Semuainformasi yang terkandung dalam rekam medis adalah rahasia oleh
karena itu, pemaparan isi rekam medis harus seijin pasien, kecuali:
1. Keperluan hukum
2. Rujukan ke pelayanan lain untuk kepentingan pasien/keluarganya.
3. Evaluasi pelayanan di institusi sendiri
4. Riset/edukasi
5. Kontrak badan atau organisasi pelayanan.
C. Nilai informasi yang terdapat dalam rekam medis
1. Informasi yang mengandung nilai kerahasiaan
Laporan/catatan yang terdapat dalam berkas rekam medis sebagai hasil
pemeriksaan , pengobatan, observasi, atau wawancara dengan pasien.
Tidak boleh disebarluaskan kepada pihak-pihak yang tidak berwenang
karena menyangkut individu langsung si pasien.
Pemberitahuan kepada pasien.keluarga pasien harus oleh dokter yang merawat.
2. Informasi yang tidak mengandung nilai kerahasiaan
Identitas pasien: nama, alamat.
Untuk kasus-kasus tertentu tidak boleh disebarluaskan (untuk ketenangan dan keamanan
rumah sakit)
a. orang terpandang/pejabat b.atas
permintaan pasien
c. buronan
D. Sumber-sumber yang mengikat:
1. Peraturan pemerintah No. 10 Tahun 1966 Tanggal 21 Mei 1966 mengenai
Wajib Simpan Rahasia Kedokteran
Bila ada diantara petugas RS membocorkan rahasia pasien dapat dikenakan sanksi antara
lain:

KUHP 1365 sampai dengan 1367: barang siapa yang sengaja membuka
suatu rahasia yang ia wajib menyimpannya oleh karena jabatan atau
pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dulu, dihukum dengan
hukuman selama-lamanya 9 bulan atau denda sebanyak-banyaknya enam ratus
rupiah uang lama.
E. Rekam Medis melindungi 3 unsur
Rekam medis dapat membantu melindungi minat hukum (legal interest)
pasien, rumah sakit, dan dokter serta staff rumah sakit bila ketiga belah pihakmelengkapi
kewajibannya masing-masing terhadap berkas rekam medis.
Dasar hukum rekam medis di Indonesia.
1. Peraturan pemerintah No. 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia
Kedokteran.
2. Peraturan pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenga Kesehatan
3. Keputusan menteri kesehatan No. 034 / Birhub / 1972 tentang Perencanaan dan
Pemeliharaan Rumah Sakit di mana rumah sakit diwajibkan:
a. Mempunyai dan merawat statistik yang up to date.
b. Membina rekam medis yang berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan.
4. Peraturan menteri kesehatan No. 749a / Menkes / Per / xii / 89 tentang
Rekam Medis
F. Persetujuan Pasien
Pasien memiliki hak untuk memperoleh atau menolak pengobatan
Jenis-jenis persetujuan:
1. Ijin langsung (express consent): pasien atau wali segera menyetujui usulan pengobatan
yang ditawarkan dokter atau pihak RS (bisa lisan atau tertulis)
2. Ijin secara tidak langsung (implied consent): tindakan pengobatan
dilakukandalam keadaan darurat yang dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien

3. Persetujuan khusus (informed consent): pasien wajib mencantumkan


pernyataan bahwa kepadanya telah diberikan penjelasan suatu informasi
terhadap apa yang akan dilakukan oleh tim medis terhadap pasien.Pada
informed consent, pasien sendiri yang harus menandatanganipersetujuan
kecuali pasien tersebut tidak mampu atau mempengaruhifungsi seksual atau reproduksi
(suami/istri).
Untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul maka sebaiknya
rumah sakit melakukan dua kali pengambilan persetujuan (apabila ternyata
kemudian ada tindakan khusus) yaitu saat pasien akan dirawat dengan dilakukan
Penandatangan dilakukan setelah pasien mendapat penjelasan dari petugas
penerima di tempat pendaftaran. Penandatanganan persetujuan disini adalah untukmemberikan
persetujuan dalam pelaksanaan prosedur diagnostik, pelayanan
rumah sakit dan pengobatan medis. Yang kedua adalah persetujuan khusus
(informed consent). Penandatanganan persetujuan ini dilakukan sebelum tindakanmedis diluar
prosedur di atas, misalnya pembedahan.
G. Standar informasi dalam Berkas Rekam Medis
Rekam medis terdiri dari dua bagain, yaitu identitas dan pemeriksaanklinik.
Pemeriksaan klinik mengisahkan secara kronologis kegiatanpelayanan medis yang
diterima pasien selama berada di rumah sakit.
Rekam medis akan berguna nilainya bagi unsur administratif, hukum,
keuangan, riset, edukasi, dan pendokumentasian, apabila memenuhi unsur
akreditasi, yaitu rekam medis memiliki:
1. Identitas dan formulir persetujuan-persetujuan,
2. Riwayat penyakit pasien secara lengkap,
3. Laporan pemeriksaan fisik
4. Instruksi diagnostik dan teraupetik dengan tanda tangan dan nama terang
tenaga kesehatan yang berwenang. Intruksi per telepon dapat diterimaoleh
perawat dan dicatat tetapi dalam waktu 24 jam instruksi tersebutharus segera
ditandatangani oleh dokter yang bertanggungjawab.

5. Observasi, segala laporan observasi termasuk laporan konsultasi.


6. Laporan tindakan dan penemuan, termasuk yang berasal dari penunjangmedik, yaitu labo
ratorium, radiologi, laporan operasi serta tanda tangan
pasien, dokter, dan sebagainya. Untuk laporan operasi harus memuat
informasi lengkap mengenai penemuan, cara operasi, benda yang dikeluarkan dan
diagnosis pasca bedah.
Rekam medis digunakan sebagai pedoman atau perlindungan hukum yangmengikat karena
di dalamnya terdapat segala catatan tentang tindakan,pelayanan,
terapi, waktu terapi, tanda tangan dokter yang merawat, tanda tanganpasien yang
bersangkutan, dan lain-lain. Dengan kata lain, rekam medis dapatmemberikan
gambaran tentang standar mutu pelayanan yang dibarikan olehfasilitas pelayanan
kesehatan maupun oleh tenaga kasehatan yang berwenang.Berkas rekam medis
juga menyediakan data untuk membantu melindungikepentingan hukum pasien,
dokter dan penyedia fasilitas pelayanan kesehatan.Catatan ini juga menyediakan
data yang dapat melindungi kepentingan hukumpasien dalam kasus-kasus kompensasi pekerja,
kecelakaan pribadi ataumalpraktek.

HUKUM REKAM MEDIK

Landasan hukum yang mendasari penyelenggaraan rekam medis di Indonesia:


a. UU Kesehatan No. 23 tahun 1992 pada pasal 53, disebutkan bahwa setiap tenaga kesehatan berhak
memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya, untuk itu maka
setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan
menghormati hak pasien. Yang dimaksud standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan
sebagaipetunjuk dalam menjalankan profesi secara baik (ayat: 2). Standar profesi ini dibuat
olehorganisasi profesi dan disyahkan oleh pemerintah. Sedangkan tenaga kesehatan yaitu tenaga yang
berhadapan dengan pasien seperti dokter dan perawat. Yang dimaksud dengan hak pasien antara lain ialah
hak terhadap informasi, hak untuk memberikan persetujuan, hak atas rahasia kedokteran dan hak atas
pendapat kedua (second opinion).
b.Keputusan Menteri Kesehatan no.034/Birhup/1972tentang Perencanaan dan Pemeliharaan Rumah Sakit
disebutkan bahwa guna menunjang terselenggaranya Rencana Induk yang baik, maka setiaprumah sakit
diwajibkan :
(a) mempunyai dan merawat statistik yang up-to-date (terkini) dan
(b) membina medical record yang berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
(c) Permenkes No.749a/Menkes/Per/XII tahun 1989 tentang Rekam Medis/Medical Records. Dalam peraturan
tersebut telah ditetapkan pasal demi pasal yang mengatur penyelenggaraan rekam medis (baca lampiran).
(d) Surat Keputusan Direktorat Jendral Pelayanan Medik No. 78 tahun 1991 tentangpenyelenggaraan rekam
medik. Surat keputusan ini menjelaskanrincianpenyelenggaraan rekammedis di rumah sakit (baca
lampiran)
(e) PP No. 10 Tahun 1966 tentangWajib Simpan Rahasia Kedokteran. Peraturan Pemerintah ini mengatur
kewajiban menyimpan kerahasiaan ini rekam medis (baca lampiran).
(f) Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik.
Peraturan ini mengatur keharusan meminta persetujuan pasien terhadap tindakanmedis yangakan
diterimanya dengan memberi penjelasan secara lengkapterhadap akibat dan risiko yangditimbulkannnya
(baca lampiran)
(g) SE Dirrektorat Jendral Pelayanan Medik No: HK.00.06.1.5.01160 tentang Petunjuk Teknis Pengadaan
Formulir Rekam Medis Dasar dan Pemusnahan Arsip Rekam Medis. Surat edaran ini mengatur tata cara
pengabadian dan pemusnahan rekam medis (baca lampiran).

3. M4 kelalaian dan malpraktik medic

Untuk memperjelas perbedaan antara malpraktik dan kelalaian, dapat diperjelas dengan contoh
kasus sebagai berikut :
a. Malpraktik yang dilakukan dengan sengaja (merupakan istilah malpraktik dalam arti sempit)
atau dapat disebut sebagai criminal malpractice adalah perbuatan / tindakan dokter yang secara
jelas-jelas melanggar undang-undang, antara lain :
* Melakukan pengguguran kandungan
* Melakukan euthanasia
* Memberikan surat keterangan palsu atau isinya tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya
b. Kelalaian merupakan bentuk perbuatan yang dilakukan dengan tidak sengaja, misalnya :
* Karena tertukarnya rekam medis, dokter keliru melakukan tindakan pembedahankepada
pasien.
* Dokter lupa memberikan informasi kepada pasien yang akan dilakukan tindakan operasi, sehingga
operasi dilakukan tanpa disertai informed consent.
Selain contoh tersebut diatas, Guwandi (2004) juga mengemukakan perbedaan antara malpraktik
dan kelalaian dapat dilihat dari motif atau tujuan dilakukannya perbuatan tersebut, yaitu ;
a. Pada malpraktik (dalam arti sempit) - tindakan yang dilakukan secara sadar, dengan tujuan yang
sudah mengarah kepada akibat yang ditimbulkan atau petindak tidak peduli kepada akibat dari
tindakannya yang telah diketahuinya melanggar undang-undang.
b. Pada kelalaian - petindak tidak menduga terhadap timbulnya akibat dari tindakannya. Akibat yang
terjadi adalah diluar kehendak dari petindak dan tidak ada motif dari petindak untuk menimbulkan
akibat tersebut.

KELALAIAN DAN MALPRAKTEK DALAM KEPERAWATAN


Latar Belakang

Perawatan merupakan salah satu profesi tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan
langsung baik kepada individu, keluarga dan masyarakat. Sebagai salah satu tenaga profesional,
keperawatan menjalankan dan melaksanakan kegiatan praktek keperawatan dengan mengunakan ilmu
pengetahuan dan teori keperawatan yang dapat dipertanggung jawabkan. Dimana ciri sebagai profesi
adalah mempunyai body of knowledge yang dapat diuji kebenarannya serta ilmunya dapat
diimplementasikan kepada masyarakat langsung.
Pelayanan kesehatan dan keperawatan yang dimaksud adalah bentuk implementasi praktek keperawatan
yang ditujukan kepada pasien/klien baik kepada individu, keluarga dan masyarakat dengan tujuan upaya
peningkatan kesehatan dan kesejahteraan guna mempertahankan dan memelihara kesehatan serta
menyembuhkan dari sakit, dengan kata lain upaya praktek keperawatan berupa promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitasi.
Dalam melakukan praktek keperawatan, perawat secara langsung berhubungan dan berinteraksi kepada
penerima jasa pelayanan, dan pada saat interaksi inilah sering timbul beberapa hal yang tidak diinginkan
baik disengaja maupun tidak disengaja, kondisi demikian inilah sering menimbulkan konflik baik pada
diri pelaku dan penerima praktek keperawatan. Oleh karena itu profesi keperawatan harus mempunyai
standar profesi dan aturan lainnya yang didasari oleh ilmu pengetahuan yang dimilikinya, guna memberi
perlindungan kepada masyarakat. Dengan adanya standar praktek profesi keperawatan inilah dapat dilihat
apakah seorang perawat melakukan malpraktek, kelalaian ataupun bentuk pelanggaran praktek
keperawatan lainnya.
Kelalaian (Negligence) adalah salah satu bentuk pelanggaran praktek keperawatan, dimana perawat
melakukan kegiatan prakteknya yang seharusnya mereka lakukan pada tingkatannya, lalai atau tidak
mereka lakukan. Kelalaian ini berbeda dengan malpraktek, malpraktek merupakan pelanggaran dari
perawat yang melakukan kegiatan yang tidak seharusnya mereka lakukan pada tingkatanya tetapi mereka
lakukan.
Kelalaian dapat disebut sebagai bentuk pelanggaran etik ataupun bentuk pelanggaran hukum, tergantung
bagaimana masalah kelalaian itu dapat timbul, maka yang penting adalah bagaimana menyelesaikan
masalah kelalaian ini dengan memperhatikan dari berbagai sudut pandang, baik etik, hukum, manusianya
baik yang memberikan layanan maupun penerima layanan. Peningkatan kualitas praktek keperawatan,
adanya standar praktek keperawatan dan juga meningkatkan kualitas sumber daya manusia keperawatan
adalah hal penting.

PEMBAHASAN

Kelalaian (Negligence)
Kelalaian tidak sama dengan malpraktek, tetapi kelalaian termasuk dalam arti malpraktik, artinya bahwa
dalam malpraktek tidak selalu ada unsur kelalaian. Kelalaian adalah segala tindakan yang dilakukan dan
dapat melanggar standar sehingga mengakibatkan cidera/kerugian orang lain (Sampurno, 2005).
Negligence, dapat berupa Omission (kelalaian untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan) atau
Commission (melakukan sesuatu secara tidak hati-hati). (Tonia, 1994).Dapat disimpulkan bahwa
kelalaian adalah melakukan sesuatu yang harusnya dilakukan pada tingkatan keilmuannya tetapi tidak
dilakukan atau melakukan tindakan dibawah standar yang telah ditentukan. Kelalaian praktek
keperawatan adalah seorang perawat tidak mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan
keperawatan yang lazim dipergunakan dalam merawat pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama.

Jenis-jenis kelalaian
Bentuk-bentuk dari kelalaian menurut sampurno (2005), sebagai berikut:
a. Malfeasance : yaitu melakukan tindakan yang menlanggar hukum atau tidak tepat/layak, misal:
melakukan tindakan keperawatan tanpa indikasi yang memadai/tepat
b. Misfeasance : yaitu melakukan pilihan tindakan keperawatan yang tepat tetapi dilaksanakan dengan
tidak tepat, misal: melakukan tindakan keperawatan dengan menyalahi prosedur
c. Nonfeasance : Adalah tidak melakukan tindakan keperawatan yang merupakan kewajibannya, misal:
pasien seharusnya dipasang pengaman tempat tidur tapi tidak dilakukan.

Sampurno (2005), menyampaikan bahwa suatu perbuatan atau sikap tenaga kesehatan dianggap lalai, bila
memenuhi 4 unsur, yaitu:
1. Duty atau kewajiban tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan atau untuk tidak melakukan
tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi tertentu.
2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban
3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari
layanan kesehatan yang diberikan oleh pemberi pelayanan.
4. Direct cause relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata, dalam hal ini harus terdapat
hubungan sebab akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya menurunkan
“Proximate cause”

Liabilitas dalam praktek keperawatan


Liabilitas adalah tanggungan yang dimiliki oleh seseorang terhadap setiap tindakan atau kegagalan
melakukan tindakan. Perawat profesional, seperti halnya tenaga kesehatan lain mempunyai tanggung
jawab terhadap setiap bahaya yang ditimbulkan dari kesalahan tindakannya. Tanggungan yang
dibebankan perawat dapat berasal dari kesalahan yang dilakukan oleh perawat baik berupa tindakan
kriminal kecerobohan dan kelalaian.
Seperti telah didefinisikan diatas bahwa kelalaian merupakan kegagalan melakukan sesuatu yang oleh
orang lain dengan klasifikasi yang sama, seharusnya dapat dilakukan dalam situasi yang sama, hal ini
merupakan masalah hukum yang paling lazim terjadi dalam keperawatan. Terjadi akibat kegagalan
menerapkan pengetahuan dalam praktek antara lain disebabkan kurang pengetahuan. Dan dampak
kelalaian ini dapat merugikan pasien.
Sedangkan akuntabilitas adalah konsep yang sangat penting dalam praktik keperawatan. Akuntabilitas
mengandung arti dapat mempertanggung jawabkan suatu tindakan yang dilakukan dan dapat menerima
konsekuensi dari tindakan tersebut (Kozier, 1991).

Dasar hukum perundang-undangan praktek keperawatan.


Beberapa perundang-undangan yang melindungi bagi pelaku dan penerima praktek keperawatan yang
ada di Indonesia, adalah sebagai berikut:
1. Undang – undang No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, bagian kesembilan pasal 32 (penyembuhan
penyakit dan pemulihan)
2. Undang – undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
3. Peraturan menteri kesehatan No.159b/Men.Kes/II/1998 tentang Rumah Sakit
4. Peraturan Menkes No.660/MenKes/SK/IX/1987 yang dilengkapi surat ederan Direktur Jendral
Pelayanan Medik No.105/Yan.Med/RS.Umdik/Raw/I/88 tentang penerapan standard praktek keperawatan
bagi perawat kesehatan di Rumah Sakit.
5. Kepmenkes No.647/SK/IV/2000 tentang registrasi dan praktik perawat dan direvisi dengan SK
Kepmenkes No.1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang registrasi dan praktik perawat.
Perlindungan hukum baik bagi pelaku dan penerima praktek keperawatan memiliki akuntabilitas terhadap
keputusan dan tindakannya. Dalam menjalankan tugas sehari-hari tidak menutup kemungkinan perawat
berbuat kesalahan baik sengaja maupun tidak sengaja. Oleh karena itu dalam menjalankan prakteknya
secara hukum perawat harus memperhatikan baik aspek moral atau etik keperawatan dan juga aspek
hukum yang berlaku di Indonesia. Fry (1990) menyatakan bahwa akuntabilitas mengandung dua
komponen utama, yakni tanggung jawab dan tanggung gugat. Hal ini berarti tindakan yang dilakukan
perawat dilihat dari praktik keperawatan, kode etik dan undang-undang dapat dibenarkan atau absah
(Priharjo, 1995).
Beberapa bentuk Kelalaian dalam Keperawatan.
Pelayanan kesehatan saat ini menunjukkan kemajuan yang cepat, baik dari segi pengetahuan maupun
teknologi, termasuk bagaimana penatalaksanaan medis dan tindakan keperawatan yang bervariasi. Sejalan
dengan kemajuan tersebut kejadian malpraktik dan juga adanya kelalaian juga terus meningkat sebagai
akibat kompleksitas dari bentuk pelayanan kesehatan khususnya keperawatan yang diberikan dengan
standar keperawatan (Craven & Hirnle, 2000).
Beberapa situasi yang berpotensial menimbulkan tindakan kelalaian dalam keperawatan diantaranya yaitu
: a. Kesalahan pemberian obat, b. Mengabaikan keluhan pasien, c. Kesalahan mengidentifikasi masalah
klien, d. Kelalaian di ruang operasi, e. Timbulnya kasus decubitus selama dalam perawatan, f. Kelalaian
terhadap keamanan dan keselamatan pasien: contoh yang sering ditemukan adalah kejadian pasien jatuh
yang sesungguhnya dapat dicegah jika perawat memperhatikan keamanan tempat tidur pasien. Beberapa
rumah sakit memiliki aturan tertentu mengenai penggunaan alat-alat untuk mencegah hal ini.

Dampak Kelalaian
Kelalaian yang dilakukan oleh perawat akan memberikan dampak yang luas, tidak saja kepada pasien dan
keluarganya, juga kepada pihak Rumah Sakit, individu perawat pelaku kelalaian dan terhadap profesi.
Selain gugatan pidana, juga dapat berupa gugatan perdata dalam bentuk ganti rugi. (Sampurna, 2005).
Bila dilihat dari segi etika praktek keperawatan, bahwa kelalaian merupakan bentuk dari pelanggaran
dasar moral praktek keperawatan baik bersifat pelanggaran autonomy, justice, nonmalefence, dan lainnya
(Kozier, 1991) dan penyelesainnya dengan menggunakan dilema etik. Sedangkan dari segi hukum
pelanggaran ini dapat ditujukan bagi pelaku baik secara individu dan profesi dan juga institusi
penyelenggara pelayanan praktek keperawatan, dan bila ini terjadi kelalaian dapat digolongan perbuatan
pidana dan perdata (pasal 339, 360 dan 361 KUHP).

A. Malpraktek
Pengertian Malpraktek
Bila dilihat dari definisi diatas maka malpraktek dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional)
seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-
mahiran/ketidakkompetenan yang tidak beralasan (Sampurno, 2005). Malpraktek dapat dilakukan oleh
profesi apa saja, tidak hanya dokter, perawat. Profesional perbankan dan akutansi adalah beberapa profesi
yang dapat melakukan malpraktek.
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara
harfiah “mal” mempunyai arti salah sedangkan “praktek” mempunyai arti pelaksanaan atau tindakan,
sehingga malpraktek berarti pelaksanaan atau tindakan yang salah. Meskipun arti harfiahnya demikian
tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam
rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan definisi malpraktek profesi kesehatan adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang
lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.
Malpraktek juga dapat diartikan sebagai tidak terpenuhinya perwujudan hak-hak masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan yang baik, yang biasa terjadi dan dilakukan oleh oknum yang tidak mau
mematuhi aturan yang ada karena tidak memberlakukan prinsip-prinsip transparansi atau
keterbukaan,dalam arti harus menceritakan secara jelas tentang pelayanan yang diberikan kepada
konsumen, baik pelayanan kesehatan maupun pelayanan jasa lainnya yang diberikan.
Malpraktik sangat spesifik dan terkait dengan status profesional dan pemberi pelayanan dan standar
pelayanan profesional. Malpraktik adalah kegagalan seorang profesional (misalnya, dokter dan perawat)
untuk melakukan praktik sesuai dengan standar profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena
memiliki keterampilan dan pendidikan (Vestal, K.W, 1995). Malpraktik lebih luas daripada negligence
karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan
dengan sengaja (criminal malpractice) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat
adanya motif (guilty mind) sehingga tuntutannya dapat bersifat perdata atau pidana.
a. Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan malpraktik adalah:
Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajibannya. (negligence)
c. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Malpraktek dalam keperawatan


Banyak kemungkinan yang dapat memicu perawat melakukan malpraktik. Malpraktik lebih spesifik dan
terkait dengan status profesional seseorang, misalnya perawat, dokter, atau penasihat hukum. Vestal,
K.W. (l995) mengatakan bahwa untuk mengatakan secara pasti malpraktik, apabila penggugat dapat
menunujukkan hal-hal dibawah ini :
a. Duty – Pada saat terjadinya cedera, terkait dengan kewajibannya yaitu, kewajiban mempergunakan
segala ilmu fan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban
penderitaan pasiennya berdasarkan standar profesi. Hubungan perawat-klien menunjukkan, bahwa
melakukan kewajiban berdasarkan standar keperawatan.
b. Breach of the duty – Pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari
apa yang seharusnya dilalaikan menurut standar profesinya. Contoh pelanggaran yang terjadi terhadap
pasien antara lain, kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang ditetapkan sebagai kebijakan
rumah sakit.
c. Injury – Seseorang mengalami cedera (injury) atau kemsakan (damage) yang dapat dituntut secara
hukum, misalnya pasien mengalami cedera sebagai akibat pelanggaran. Kelalalian nyeri, adanya
penderitaan atau stres emosi dapat dipertimbangkan sebagai, akibat cedera jika terkait dengan cedera
fisik.
d. Proximate caused – Pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau terk dengan cedera yang
dialami pasien. Misalnya, cedera yang terjadi secara langsung berhubungan. dengan pelanggaran
kewajiban perawat terhadap pasien).
Sebagai penggugat, seseorang harus mampu menunjukkan bukti pada setiap elemen dari keempat elemen
di atas. Jika semua elemen itu dapat dibuktikan, hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi malpraktik dan
perawat berada pada tuntutan malpraktik.
Bidang Pekerjaan Perawat Yang Berisiko Melakakan Kesalahan: Caffee (1991) dalam Vestal, K.W.
(1995) mengidentifikasi 3 area yang memungkinkan perawat berisiko melakukan kesalahan, yaitu:
a. Assessment errors (pengkajian keperawatan), termasuk kegagalan mengumpulkan data atau informasi
tentang pasien secara adekuat atau kegagalan mengidentifikasi informasi yang diperlukan, seperti data
hasil pemeriksaan laboratorium, tanda-tanda vital, atau keluhan pasien yang membutuhkan tindakan
segera. Kegagalan dalam pengumpulan data akan berdampak pada ketidaktepatan diagnosis keperawatan
dan lebih lanjut akan mengakibatkan kesalahan atau ketidaktepatan dalam tindakan. Untuk menghindari
kesalahan ini, perawat seharusnya dapat mengumpulkan data dasar secara komprehensif dan mendasar.
b. Planning errors (perencanaan keperawatan), termasuk hal-hal berikut :
1. Kegagalan mencatat masalah pasien dan kelalaian menuliskannya dalam rencana keperawatan.
2. Kegagalan mengkomunikaskan secara efektif rencana keperawatan yang telah dibuat.
3. Kegagalan memberikan asuhan keperawatan secara berkelanjutan yang disebabkan kurangnya
informasi yang diperoleh dari rencana keperawatan.
4. Kegagalan memberikan instruksi yang dapat dimengerti oleh pasien.
c. Intervention errors (tindakan intervensi keperawatan)
Untuk menghindari kesalahan ini, sebaiknya rumah sakit tetap melaksanakan program pendidikan
berkelanjutan (Continuing Nursing Education).

Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang
dilanggar, yaitu :
a. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut
memenuhi rumusan delik pidana,yaitu :
1. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
2. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional) misalnya
melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat
keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
Kecerobohan (reklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed
consent. Atau kealpaan (negligence) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau
meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi. Pertanggungjawaban
didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak
dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada badan yang memberikan sarana pelayanan jasa tempatnya
bernaung.
b. Civil malpractice
Seorang tenaga jasa akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau
tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga jasa
yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain :
1. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
2. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
3. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
4. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan. Pertanggungjawaban civil
malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan
principle ofvicarius liability. Dengan prinsip ini maka badan yang menyediakan sarana jasa dapat
bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya selama orang tersebut dalam rangka
melaksanakan tugas kewajibannya.
c. Administrative malpractice
Tenaga jasa dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala orang tersebut telah
melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah
mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang
persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek),
batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga
kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

3. Contoh Malpraktek Keperawatan Dan Kajian Etika Hukum


Pasien usia lanjut mengalami disorientasi pada saat berada di ruang perawatan. Perawat tidak membuat
rencana keperawatan guna memantau dan mempertahankan keamanan pasien dengan memasang
penghalang tempat tidur. Sebagai akibat disorientasi, pasien kemudian terjatuh dari tempat tidur pada
waktu malam hari dan pasien mengalami patah tulang tungkai.
Dari kasus diatas, perawat telah melanggar etika keperawatan yang telah dituangkan dalam kode etik
keperawatan yang disusun oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia dalam Musyawarah Nasionalnya di
Jakarta pada tanggal 29 Nopember 1989 khususnya pada Bab I, pasal 1, yang menjelaskan tanggung
jawab perawat terhadap klien (individu, keluarga dan masyarakat).dimana perawat tersebut tidak
melaksanakan tanggung jawabnya terhadap klien dengan tidak membuat rencana keperawatan guna
memantau dan mempertahankan kemanan pasien dengan tidak memasang penghalang tempat tidur.
Selain itu perawat tersebut juga melanggar bab II pasal V,yang bunyinya Mengutamakan perlindungan
dan keselamatan klien dalam melaksanakan tugas, serta matang dalam mempertimbangkan kemampuan
jika menerima atau mengalih-tugaskan tanggung jawab yang ada hubungan dengan keperawatan dimana
ia tidak mengutamakan keselamatan kliennya sehingga mengakibatkan kliennya terjatuh dari tempat tidur
dan mengalami patah tungkai.
Disamping itu perawat juga tidak melaksanakan kewajibannya sebagai perawat dalam hal memberikan
pelayanan/asuhan sesuai standar profesi/batas kewenangan.
Dari kasus tersebut perawat telah melakukan kelalaian yang mengakibatkan kerugian seperti patah tulang
tungkai sehingga bisa dikategorikan sebagai malpraktek yang termasuk ke dalam criminal malpractice
bersifat neglegence yang dapat dijerat hukum antara lain :
1. Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-luka
berat. Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati: Barangsiapa karena kealpaannya
menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lama satu tahun.
2. Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat: Ayat (1) Barang siapa karena
kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. Ayat (2) Barang siapa karena kealpaannya
menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan
menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
3. Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter, bidan,
apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga
mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula. Pasal 361 KUHP
menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan
atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk
menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya
putusnya diumumkan. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah
sakit/sarana kesehatan.
Selain pasal tersebut diatas, perawat tersebut juga telah melanggar Pasal 54 :
(1). Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melak-sanakan
profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
(2). Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.

Kesimpulan
Kelalaian tidak sama dengan malpraktek, tetapi kelalaian termasuk dalam arti malpraktik, artinya bahwa
dalam malpraktek tidak selalu ada unsur kelalaian. Dapat dikatakan bahwa kelalaian adalah melakukan
sesuatu yang harusnya dilakukan pada tingkatan keilmuannya tetapi tidak dilakukan atau melakukan
tindakan dibawah standar yang telah ditentukan.
Kelalaian praktek keperawatan adalah seorang perawat tidak mempergunakan tingkat ketrampilan dan
ilmu pengetahuan keperawatan yang lazim dipergunakan dalam merawat pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran dilingkungan yang sama.
Kelalaian merupakan bentuk pelanggaran yang dapat dikategorikan dalam pelanggaran etik dan juga
dapat digolongan dalam pelanggaran hukum, yang jelas harus dilihat dahulu proses terjadinya kelalaian
tersebut bukan pada hasil akhir kenapa timbulnya kelalaian. Harus dilakukan penilaian terlebih dahulu
atas sikap dan tindakan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan oleh tenaga keperawatan dengan
standar yang berlaku.
Sebagai bentuk tanggung jawab dalam praktek keperawatan maka perawat sebelum melakukan praktek
keperawatan harus mempunyai kompetensi baik keilmuan dan ketrampilan yang telah diatur dalam
profesi keperawatan, dan legalitas perawat Indonesia dalam melakukan praktek keperawatan telah diatur
oleh perundang-undangan tentang registrasi dan praktek keperawatan disamping mengikuti beberapa
peraturan perundangan yang berlaku.
Penyelesaian kasus kelalaian harus dilihat sebagai suatu kasus profesional bukan sebagai kasus kriminal,
berbeda dengan perbuatan/kegiatan yang sengaja melakukan kelalaian sehingga menyebabkan orang lain
menjadi cedera dll. Disini perawat dituntut untuk lebih hati-hati, cermat dan tidak cerobah dalam
melakukan praktek keperawatannya. Sehingga pasien terhindar dari kelalaian.

4. M4 aspek hukum kegawatdaruratan medic

ASPEK HUKUM PELAYANAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


Undang undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 Pasal 32 Ayat (1) Dalam keadaan darurat
fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan
bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Ayat (2) Dalam keadaan
darurat Fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah dan swasta dilarang menolak pasien dan/atau
meminta uang muka.

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Bab II Pasal 4, setiap orang
berhak atas kesehatan, dalam penjelasannya hak untuk memperoleh kesehatan dari fasilitas pelayanan
kesehatan, agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pasal ini mengatakan setiap
individu dan masyarakat berhak atas nilai nilai kesehatan serta mendapatkan pelayanan kesehatan yang
optimal dan paripurna.

Dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada pembukaan poin (b)
bahwa “setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip prinsip non diskriminatif, partisipatif, dan
berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia serta peningkatan ketahanan
dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional”.

Profesi kesehatan (tenaga kesehatan) seperti perawat dan dokter dan profesi kesehatan lainnya
mempunyai tanggung jawab moral untuk memberikan pertolongan pada kasus kasus kegawatan darurat
dan bencana, Yang disebut Tenaga Kesehatan dalam Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat (6) : “Setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”. Pasal ini mempertegas bahwa
petugas kesehatan wajib melakukan upaya kesehatan termasuk dalam pelayanan gawat darurat yang
terjadi baik dalam keadaan sehari hari maupun dalam kedaaan bencana.

Orang yang tiba tiba menjadi gawat baik akibat penyakit atau trauma kecelakaan tentu saja
memerlukan tindakan darurat agar terhindar dari kematian dan kecacatan serta dapat dirujuk untuk
mendapatkan perawatan dan pengobatan secara definitif, apabila tidak atau terlambat mendapatkan
tindakan darurat atau pertolongan akan dapat menimbulkan kematian dan kecacatan, oleh sebab itu peran
tenaga kesehatan khusus perawat dan dokter mempunyai peran penting dalam memberikan pelayanan
gawat darurat secara holistik.

Dalam pelayanan gawat darurat dikenal prinsip cepat dan tepat, khususnya dalam kasus gawat
darurat dalam proses tindakan ini aspek hukum bagi tenaga kesehatan dan penderita sangat penting untuk
dipahami, untuk menghindari konflik dan kesalah pahaman yang dapat berakibat terjadinya tuntutan
hukum bagi pihak yang dirugikan.
B.Landasan Hukum Pelayanan Gawat Darurat

a) UU NO 9 Tahun 1960 Pokok Kesehatan

b) UU NO 6 Tahun 1963 Tenaga Kesehatan

c) UU NO 29 Tahun 2004 Praktik Kedokteran

d) UU NO 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana

e) UU NO 36 Tahun 2009 Kesehatan

f) UU NO 44 TAHUN 2009 Rumah sakit

g) PP NO 32 TAHUN 1996 Tenaga Kesehatan

h) PP NO 51 Tahun 2009 Pekerjaan Kefarmasian

i) Berbagai Peraturan Menteri Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai