Anda di halaman 1dari 43

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan
Makalah ini dengan sebaik-baiknya.

Makalah ini menjelaskan tentang “Hirschprung Disease” makalah ini


kami buat untuk memudahkan para pembaca memahami materi yang akan
disajikan. Dengan rangkuman materi yang kami dapatkan dari beberapa sumber
diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Dan tidak menutup kemungkinan dalam makalah ini terdapat
kekurangan-kekurangan baik penyajian maupun teknis penyusunannya sehingga
sulit untuk dimengerti, kami menerima kritis dan saran untuk lebih meningkatkan
mutu pembuatan makalah selanjutnya. Dan mudah-mudahan makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca dan kami.

Bandung, April 2016

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i


DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................. 3
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 3
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 5
1.3 Tujuan Masalah......................................................................................................... 6
BAB II................................................................................................................................. 7
PEMBAHASAN ................................................................................................................. 7
2.1 Anatomi Fisiologi ..................................................................................................... 7
2.2 Pengertiaan Inkontinensia Urin............................................................................... 11
2.3 Klasifikasi Inkontinensia urin ..................................Error! Bookmark not defined.
2.4 Etiologi Inkontinensia urin ..................................................................................... 12
2.5 Patofisiologi Inkontinensia urin .............................................................................. 13
2.6 Tanda dan Gejala Inkontinensia urin ...................................................................... 14
2.8 Diagnosis Inkontinensia urin .................................................................................. 15
2.9 Penatalaksanaan Inkontinensia urin .........................Error! Bookmark not defined.
2.10 Penatalaksanaan Bedah ..........................................Error! Bookmark not defined.
2.11 Pengertian Spondilitis Tubelkulosis.......................Error! Bookmark not defined.
2.12 Etiologi Spondilitis Tuberkulosis...........................Error! Bookmark not defined.
2.13 Manifestasi klinis Spondilitis Tuberkulosis ...........Error! Bookmark not defined.
2.14 Diagnosis Spondilitis Tuberkulosis .......................Error! Bookmark not defined.
2.15 Komplikasi Spondilitis Tuberkulosis .....................Error! Bookmark not defined.
2.16 Penanganan Spondilitis Tuberkulosis ....................Error! Bookmark not defined.
2.17 Asuhan Keperawatan .............................................Error! Bookmark not defined.
BAB III ..............................................................................Error! Bookmark not defined.
PENUTUP .........................................................................Error! Bookmark not defined.
3.1 Kesimpulan ..............................................................Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA ........................................................Error! Bookmark not defined.

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan kongenital pada kolon yang ditandai
dengan tiadanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosus Meissneri dan pleksus
mienterikus Aurbachi. Sembilan puluh persen kelainan ini terdapat pada rektum dan sigmoid.
Penyakit ini diakibatkan oleh karena terhentinya migrasi kraniokaudal sel krista neuralis di
daerah kolon distal pada minggu kelima sampai minggu keduabelas kehamilan untuk
membentuk system saraf intestinal. Kelainan ini bersifat genetik yang berkaitan dengan
perkembangan sel ganglion usus dengan panjang yang bervariasi, mulai dari anus, sfingter
ani interna kearah proksimal, tetapi selalu termasuk anus dan setidaktidaknya sebagian
rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usu fungsional (Rochadi, 2012;
Kartono, 2010; Langer, 2005).

Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, namun
patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana
Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini
disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distalusus akibat defisiensi ganglion. Risiko
tertinggi terjadinya penyakit Hirschsprung biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat
keluarga penyakit Hirschsprung dan pada pasien penderita Down Syndrome. Rektosigmoid
paling sering terkena, sekitar 75% kasus, fleksura lienalis atau kolon transversum pada 17%
kasus. Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan risiko terjadinya penyakit
Hirschsprung. Penyakit Hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan oleh ibu
aganglionosis dibandingkan oleh ayah (Kartono, 2010; Holscneider, 2005).

Diagnosis penyakit Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini mungkin mengingat


berbagai komplikasi yang dapat terjadi dan sangat membahayakan jiwa pasien seperti
terjadinya konstipasi, enterokolitis, perforasi usus serta sepsis yang dapat menyebabkan
kematian. Diagnosis kelainan ini dapat ditegakkkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan rontgen dengan foto polos abdomen maupun barium enema, pemeriksaan
histokimia, pemeriksaan manometri serta pemeriksaan patologi anatom. Manifestasi penyakit
Hirschsprung terlihat pada neonatus cukup bulan dengan keterlambatan pengeluaran
meconium pertama yang lebih dari 24 jam. Kemudian diikuti tanda-tanda obstruksi, muntah,

3
kembung, gangguan defekasi seperti konstipasi, diare dan akhirnya disertai kebiasaan
defekasi yang tidak teratur (Rochadi, 2012; Kartono, 2010; Langer, 2005).

Pada pemeriksaan fisik ditemukan perut yang kembung, gambaran usus pada dinding
abdomen dan bila kemudian dilakukan pemeriksaan colok dubur, feses akan keluar
menyemprot dan gejala tersebut akan segera hilang. Pada pemeriksaan enema barium
didapatkan tanda-tanda khas penyakit ini, yaitu :

adanya gambaran zone spastik, zone transisi serta zone dilatasi. Gambaran mukosa yang tidak
teratur menunjukkan adanya enterokolitis. Adanya gambaran zone transisi akan menunjukkan
ketinggian kolon yang aganglionik dengan akurasi 90%. Penyakit Hirschsprung terdapat
kenaikan aktivitas asetilkolinesterase pada serabut saraf dalam lamina propia dan muskularis
mukosa. Pewarnaan untuk asetilkolineserase dengan tehnik Karnovsky dan Roots akan dapat
membantu menemukan sel ganglion di submukosa atau pada lapisan muskularis khususnya
dalam segmen usus yang hipoganglionosis. Pemeriksaan elektromanometri dilakukan dengan
memasukkan balon kecil ke dalam rectum dan kolon, dengan kedalaman yang berbeda-beda
akan didapatkan kontraksi pada segmen aganglionik yang tidak berhubungan dengan
kontraksi pada segmen yang ganglionik. Pemeriksaan patologi anatomi dilakukan dengan
memeriksa material yang didapatkan dari biopi rektum yang dilakukan dengan cara biopsi
hisap maupun biopsi manual. Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan bila tidak ditemukan
sel ganglion Meissner dan sel ganglion Auerbach serta ditemukan penebalan serabut saraf
(Rochadi, 2012; Kartono, 2010; Holscneider, 2005).

Bila hasil pemeriksaan klinis dan radiologis enema barium ditemukan tanda khas
penyakit Hirschsprung, maka tidak seorang pasienpun yang tidak menderita penyakit
Hirschsprung. Insiden penyakit Hirschsprung adalah satu dalam 5.000 kelahiran hidup, dan
laki-laki 4 kali lebih banyak disbanding perempuan (Kartono, 2010; Langer, 2005).

Pengobatan penyakit Hirschsprung terdiri atas pengobatan non bedah dan pengobatan
bedah. Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati komplikasi-komplikasi yang
mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita sampai pada saat operasi
definitif dapat dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit,
asam basa dan mencegah terjadinya overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya
perforasi usus serta mencegah terjadinya sepsis (Rochadi, 2012; Kartono, 2010).

4
Tindakan bedah pada penyakit Hirschsprung terdiri atas tindakan bedah sementara
dan tindakan bedah definitif. Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi
abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion normal
bagian distal. Tindakan ini dapat mencegah terjadinya enterokolitis yang diketahui sebagai
penyebab utama terjadinya kematian pada penderita penyakit Hirschsprung (Rochadi, 2012;
Kartono, 2010).

Beberapa metoda penatalaksanaan bedah definitif untuk kelainan Hirschsprung ini telah
diperkenalkan, mula-mula oleh Swenson dan Bill (1946) berupa prosedur
rektosigmoidektomi, Duhamel (1956) berupa prosedur retrorektal, Soave (1966) berupa
prosedur endorektal ekstramukosa serta Rehbein yang memperkenalkan tekhnik deep anterior
resection. Sejumlah komplikasi pasca operasi telah diamati oleh banyak peneliti, baik
komplikasi dini berupa infeksi, dehisiensi luka, abses pelvik dan kebocoran anastomose,
maupun komplikasi lambat berupa obstipasi, inkontinensia dan enterokolitis. Namun secara
umum diperoleh gambaran hasil penelitian bahwa ke-empat prosedur bedah definitif diatas
memberikan komplikasi yang hampir sama, namun masing-masing prosedur memiliki
keunggulan tersendiri dibanding dengan prosedur lainnya, tergantung keahlian dan
pengalaman operator yang mengerjakannya (Rochadi, 2012; Kartono, 2010). Costa et al.
(2006) menyatakan bahwa enterokolitis merupakan komplikasi yang amat berbahaya dan
merupakan penyebab utama terjadinya mortalitas maupun morbiditas pada penderita penyakit
Hirschsprung yang telah dilakukan operasi definitif. Keadaan ini diakibatkan oleh karena
stasis usus yang memicu proliferasi bakteri didalam lumen usus diikuti invasi ke mukosa
sehingga terjadilah inflamasi lokal maupun sistemik (Kartono, 2010)

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa anatomi fisiologi dari sistem pencernaan?

2. Apa pengertian dari hirschprung disease?

3. Bagaimana etiologi dari hirschprung disease?

4. Bagaimana patofisiologi dari hirschprung disease?

5. Bagaimana tanda dan gejala hirschprung disease?

6. Bagaimana pemeriksaan diagnostik hirschprung disease?

7. Bagaimana komplikasi hirschprung disease?

5
8. Bagaimana penatalaksanaan hirschprung disease?

9. Bagaimana asuhan keperawatan penderita hirschprung disease?

1.3 Tujuan Masalah

1. Mengetahui anatomi fisiologi dari sistem pencernaan

2. Memahami pengertian dari hirschprung disease

3. Mengetahui etiologi dari hirschprung disease

4. Memahami patofisiologi dari hirschprung disease

5. tanda dan gejala hirschprung disease

6. Mengetahui pemeriksaan diagnostik hirschprung disease

7. Mengetahui komplikasi hirschprung disease

8. Mengetahui penatalaksanaan hirschprung disease

9. Memahami asuhan keperawatan penderita hirschprung disease

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Fisiologi


Gastro intestinal adalah saluran atau jalur pencernaan makanan yang bermula dari
mulut – lambung – usus dan berakhir di anus.
Pencernaan makanan ialah suatu proses biokimia yang bertujuan mengolah makanan
yang dimakan menjadi zat zat yang mudah diserap oleh selaput selaput lendir usus,
bilamana zat zat tersebut dibutuhkan atau diperlukan oleh badan.

A. Struktur saluran pencernaan


1. Mukosa
Tersusun atas eptiel, lamina propria, dan muskolaris mukosa. Bentuk
epitelnya berbeda antara satu bagian dengan bagian lain di saluran pencernaan
lamina propria sebagai besar terdiri atas jaringan ikat, dan jaringan ikat jarang
mengandung serat kolagen dan elastin. lamina propria mengandung berbagai
tipe kelenjar, yaitu kelenjar limfe dan kapiler.
2. Submukosa
Terdiri dari jaringan ikat dan pada beberapa kelenjar submukosa dan
pembuluh darah yang lebih besar untuk dinding saluran pencernaan yang
terdapat didalamnya.
3. Tunika muskularis
Tersusun atas dua lapis otot, otot sirkular bagian dalam dan longitudinal
dibagian luar diantara kedua lapisan tersebut terdapat pleksus meinterikus
(auerbach), peran dari tunika ini adalah untuk koordinasi kontraksi otot otot,
mengaduk, dan mendorong makanan didalam lumen.

7
4. Lapisan serosa (Advensia)
Merupakan lapisan paling luar bagian ini tersusun oleh jaringan ikat yang
kemudian membentuk mesenterium kecuali di bagian esophagus dan rektum.
B. Sistem pencernaan pada bayi

Pada usia minggu pertama kelahiran bahwa kekuatan isi bagian perutnya atau
lambung bayi berkisar antara 30ml – 90 ml
1. Untuk anak 1 bulan kapasitas perutnya antara 90 – 150 ml
2. Anak usia 1 thn kapasitas perutnya 210-360 ml
3. Umur 2 thn kekuatan perutnya berkisar 500ml
4. Orang dewasa didapat 2000 – 3000 ml
enzim enzim yang diperlukan tubuh akan mulai berfungsi pada usia 4-6 bulan.
C. Fungsi Digestif (Saluran Pencernaan)
1. Ingesti
Makanan atau material masuk ke dalam saluran pencernaan melalui mulut,
mengalirkan makanan sepanjang saluran cerna.
2. Digesti
Berkaitan dengan pemecahan secara kimiawi makanan menjadi bagian-bagian
yang lebih kecil untuk diabsorbsi.

3. Sekresi
Pengeluaran air, asam, enzim, buffer dan garam-garaman oleh epitelium digestif &
organ kelenjar
8
4. Absorbsi
Pergerakan substrat organic, elektrolit, vitamin, air sepanjang epitelium digestif &
masuk ke cairan interstisial saluran pencernaan
5. Ekskresi
Eliminasi produk buangan dari tubuh /saluran pencernaan dan kelenjar organ ke
dlm lumen digestif kebanyakan berupa produk buangan pengeluaran material dari
digestif adalah suatu proses yang dinamakan defekasi. materi yang dieliminasikannya
adalah feses.
D. Organ Pencernaan
1. Mulut
Makanan ini mulai dicerna secara mekanis dan kimiawi. Yang berperan dalam
proses pencernaan yaitu gigi, lidah, dan kelenjar ludah (glandula salivales).
a. Lidah
Membantu mencampur dan menelan makanan, mempertahankan makanan
agar berada di antara gigi-gigi atas dan bawah saat makanan dikunyah serta
sebagai alat perasa makanan. Alat perasa makanan karena mengandung banyak
reseptor pengecap atau perasa. Lidah tersusun atas otot lurik dan permukaannya
dilapisi dengan lapisan epitelium yang banyak mengandung kelenjar lendir
(mukosa). Ludah terdiri atas air (99%) dan enzim amilase. Enzim ini menguraikan
pati dalam makanan menjadi gula sederhana (glukosa dan maltosa). Makanan yang
telah dilumatkan dengan dikunyah dan dilunakkan di dalam mulut oleh air liur
disebut bolus.
2. Kerongkongan (Esofagus)
Kerongkongan merupakan saluran panjang (± 25 cm) yang tipis sebagai jalan
bolus dari mulut menuju ke lambung. Fungsi kerongkongan ini sebagai jalan bolus dari
mulut menuju lambung.

3. Lambung
Lambung merupakan saluran pencernaan yang berbentuk seperti kantung, terletak
dibawah sekat rongga badan. lambung terdiri atas tiga bagian sebagai berikut:
a. Bagian atas disebut kardiak, merupakan bagian yang ber- batasan dengan esofagus.
b. Bagian tengah disebut fundus, merupakan bagian badan atau tengah lambung.
c. Bagian bawah disebut pilorus, yang berbatasan dengan usus halus.

9
Otot-otot ini berkontraksi menekan, meremas, dan mencampur bolus-bolus
tersebut menjadi kimus (chyme). Pencernaan secara kimiawi dibantu oleh getah
lambung. Getah ini dihasilkan oleh kelenjar yang terletak pada dinding lambung di
bawah fundus, sedangkan bagian dalam dinding lambung menghasilkan lendir yang
berfungsi melindungi dinding lambung dari abrasi asam lambung
4. Usus halus
Usus halus merupakan saluran berkelok-kelok yang panjangnya sekitar 6–8 meter,
lebar 25mm dengan banyak lipatan yang disebut vili atau jonjot-jonjot usus. Berfungsi
memperluas permukaan usus halus yang berpengaruh terhadap proses penyerapan
makanan. Usus halus terbagi menjadi tiga bagian seperti berikut:
a. Duodenum (usus 12 jari), panjangnya ± 25 cm
b. Jejunum (usus kosong), panjangnya ± 7 m
c. Ileum (usus penyerapan), panjangnya ± 1 m

Kimus adalah molekul pati dicernakan lebih sempurna menjadi molekul-molekul


glukosa. molekul-molekul protein dicerna menjadi molekul-molekul asam amino,
molekul lemak dicerna menjadi molekul gliserol dan asam lemak.

5. Usus besar

Usus besar atau kolon memiliki panjang ± 1 meter dan terdiri atas kolon
ascendens,kolon transversum, dan kolon descendens. Pada ujung sekum terdapat
tonjolan kecil yang disebut appendiks (umbai cacing) yang berisi massa sel darah putih
yang berperan dalam imunitas. Zat-zat sisa ini masih mengandung banyak air dan
garam mineral yang diperlukan oleh tubuh. Air dan garam mineral kemudian diabsorpsi
kembali oleh dinding kolon, yaitu kolon ascendens. Zat-zat sisa berada dalam usus
besar selama 1 sampai 4 hari. Proses pembusukan terhadap zat-zat sisa dengan dibantu
bakteri Escherichia coli, yang mampu membentuk vitamin K dan B12. zat-zat sisa ini
10
terdorong sedikit demi sedikit ke rektum dan akhirnya keluar dengan proses defekasi
melewati anus.

2.2 Pengertiaan hirschprung disease

Penyakit Hirschprung disebut juga megacolon kongenital, disebabkan ketiadaan


ganglion autonomy kongenital yang mempersyarafi pleskus mienterik di taut anorektum
dan seluruh atau sebagian rectum dan kolon.1

Hirschsprung adalah penyakit yang tidak adanya sel-sel ganglion dalam rectum atau
bagian rektosigmoid colon. Dan ketidakaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak
adanya peristaltic serta tidak adanya evakuasi usus spontan (Betz, Cecily & Sowden:
2000). Kondisi merupakan kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering
pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir 3 kg, lebih
banyak laki-laki dari pada perempuan.2

Penyakit hirschprung (Megakolon Kongenital) adalah suatu penyakit yang


disebabkan oleh kegagalan migrasi dari sel ganglion selama kehamilan. Penyakit
hirschsprung pada umumnya mengenai kolon rektosigmoid tetapi dapat juga mengenai
seluruh bagian kolon, dan jarang mengenai usus kecil.3

Penyakit Hirschsprung juga disebut dengan aganglionik megakolon kongenital


adalah salah satu penyebab paling umum dari obstruksi usus neonatal (bayi berumur 0-28
hari).15 Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit dari usus besar (kolon) berupa
gangguan perkembangan dari sistem saraf enterik. Pergerakan dalam usus besar didorong
oleh otot. Otot ini dikendalikan oleh sel-sel saraf khusus yang disebut sel ganglion. Pada
bayi yang lahir dengan penyakit Hirschsprung tidak ditemui adanya sel ganglion yang
berfungsi mengontrol kontraksi dan relaksasi dari otot polos dalam usus distal. Tanpa
adanya sel-sel ganglion (aganglionosis) otot-otot di bagian usus besar tidak dapat
melakukan gerak peristaltik (gerak mendorong keluar feses).4

1
Corwin,Elisabeth J. (2009).Patofisiologi.Jakarta.EGC
2
Nurarif, A H. 2015. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC.Yogyakarta.
Mediaction
3
Trisnawan, Putu dkk. 2013. Metode Diagnosis Penyakit Hirscprung
4
Irawan, Budi.2003.Pengamatan Fungsi Anorektal Pada Penderita Penyakit Hirschprung Pasca Operasi Pull-
through.Universitas Sumatra Utara
11
2.3 Etiologi hirschprung disease

Penyebab hirschsprung atau mega kolon itu sendiri belum diketahui tetapi diduga
terjadi karena faktor genetic dan lingkungan, sering terjadi pada anak dengan down
syndrome, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gangal eksistensi,
kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.

Ada berbagai teori penyebab dari penyakit hirschsprung, dari berbagai penyebab
tersebut yang banyak dianut adalah teori, karena kegagalan sel-sel krista neuralis untuk
bermigrasi ke dalam dinding suatu bagian saluran cerna bagian bawah termasuk kolon
dan rektum. Akibatnya tidak ada ganglion parasimpatis (aganglion) di daerah tersebut.
sehingga menyebabkan peristaltik usus menghilang sehingga profulsi feses dalam lumen
terlambat serta dapat menimbulkan terjadinya distensi dan penebalan dinding kolon di
bagian proksimal sehingga timbul gejala obstruktif usus akut, atau kronis tergantung
panjang usus yang mengalami aganglion.5

5
Trisnawan, Putu dkk. 2013. Metode Diagnosis Penyakit Hirscprung

12
2.4 Patofisiologi

13
2.5 Gambaran Klinis

Insidennya 1 dalam 5.000-8.000 kelahiran hidup pria wanita 4:1 berkaitan dengan
down syndrom dan kelainan neurologik.penyakit hirschprung bermanifestasi sebagai
kegagalan pengeluaran mekonium pada neonatus atau pembengkakan abdomen
dengan kesukaran defekasi pada anak muda. Ada resiko perforasi, sepsis, atau
enterokolitis yang berakibat gangguan cairan.6

2.6 Tanda dan gejala hirschprung disease

Gejala penyakit Ini pada pada masa bayi biasanya kesulitan pergerakkan usus,
nafsu makan yang menurun, penurunan berat badan, serta kembung pada perut.7

a. Terlambatnya pengaluaran meconium dalam 48 jam setelah lahir mengingkatkan


dugaan Hirschprung
b. Distensi abdomen dan/atau muntah dapat terjadi pada bayi
c. Konstipasi yang kronik pada anak yang lebih besar atau individu dewasa dapat
menandakan gangguan ini8
Bayi baru lahir tidak bisa mengeluarkan meconium dalam 24-28 jam pertama
setelah lahir. Tampak malas mengkonsumsi Cairan, muntah bercampur dengan cairan
empedu dan distensi abdomen.
1. Obstruksi total saat lahir dngan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan
evakuasi meconium. Keterlambatan evakuasi meconium diikuti obstruksi
konstipasi, muntah dan dehidrasi
2. Gejala ringan berupa konstipasi Selma beberapa inggu atau bulan yang diikuti
dengan obstruksi usus akut. konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensi
abdomen dan demam. Adanya feses yang meyemprot pas pada colok dubur
merupakan tanda yang khas. Bila telah timbul entrokolitis nikrotiskans terjadi
distensi abdomen hebatdan diare berbau busuk yang dapat berdarah
3. Anak-anak
a) Konstipasi
b) Tinja seperti pita dan berbau busuk
c) Distensi abdomen

6
Robbins at all. 1999. Buku saku dasar patologi penyakit edisi 5, jakarta EGC
7
Trisnawan, Putu dkk. 2013. Metode Diagnosis Penyakit Hirscprung
8
Corwin,Elisabeth J. (2009).Patofisiologi.Jakarta.EGC
14
d) Adanya massa difecal dapat dipalpasi
e) Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemi9

2.7 Diagnosis hirschprung disease

1. Permeriksaan laboratorium
a) Kimia darah : Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel renal
biasanya dalam batas normal. Anak dengan diare memiliki hasil yang sesuai
dengan dehidrasi. Pemeriksaan ini dapat membantu mengarahkan pada
penatalaksanan cairan daln elektrolit.
b) Darah rutin : Pemeriksaan ini dilakukan untuk menegtahui hematocrit dan
platelet preoperative
c) Profil koagulasi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan tidak ada
gangguan pembekuab darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi dilakukan
2. Pemeriksaan radiologi
a) Foto polos abdomen dapat menunjukan adanya loop usus yang distensi dengan
adanya udara dalam rectum

b) Barium enema
Pemeriksaan barium enema harus dikerjakan pada neonatus dengan
keterlambatan evakuasi mekonium yang disertai dengan distensi abdomen dan
muntah hijau, meskipun dengan pemeriksaan colok dubur gejala dan tanda-tanda
obstruksi usus telah mereda atau menghilang. Tanda klasik khas untuk PH
adalah segmen sempit dari sfingter anal dengan panjang segmen tertentu, daerah

9
Nurarif, A H. 2015. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC.Yogyakarta.
Mediaction
15
perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi (zona transisi), dan segmen
dilatasi.1,2 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Theodore, Polley dan Arnold
dari tahun 1974 sampai 1985 mendapatkan hasil bahwa barium enema dapat
mendiagnosis 60% dari 99 pasien dengan PH. Dalam literatur dikatakan bahwa
pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 65-80% dan spesifisitas 65-100%.8 Hal
terpenting dalam foto barium enema adalah terlihatnya zona transisi. Zona
transisi mempunyai 3 jenis gambaran yang bisa ditemukan pada foto barium
enema yaitu 1. Abrupt, perubahan mendadak; 2. Cone, berbentuk seperti corong
atau kerucut; 3. Funnel, bentuk seperti cerobong.1,2 Selain itu tanda adanya
enterokolitis dapat juga dilihat pada foto barium enema dengan gambaran
permukaan mukosa yang tidak teratur. Juga terlihat gambar garis-garis lipatan
melintang, khususnya bila larutan barium mengisi lumen kolon yang berada
dalam keadaan kosong. Pemerikasaan barium enema tidak direkomendasikan
pada pasien yang terkena enterokolitis karena adanya resiko perforasi dinding
kolon.

3. Biospi
Biospi rectum untuk melihat ganglion pleksus submucosa meisner, apakah terdpat
ganglion atau tidak. Pada penyakit hirschsprung ganglion ini tidak ditemuakan.
Berupa kolostomi pada usus yang memilki ganglion normal paling distal. Tindakan

16
ini dimaksudkan untuk menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterocolitis
sebagai slah satu komplikasi yang berbahaya.10
4. Anorectal manometry
Pemeriksaan anorektal manometri dilakukan pertama kali oleh Swenson pada
tahun 1949 dengan memasukkan balón kecil dengan kedalaman yang berbedabeda
dalam rektum dan kolon. Alat ini melakukan pemeriksaan objektif terhadap fungsi
fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spingter anorektal. Pada dasarnya,
alat ini memiliki 2 komponen dasar : transduser yang sensitif terhadap tekanan
seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sistem pencatat seperti poligraph atau
komputer. Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit
Hirschsprung adalah :
a. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
b. Tidak didapati kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus
aganglionik; Motilitas usus normal digantikan oleh kontraksi yang tidak
terkoordinasi dengan intensitas dan kurun waktu yang berbeda-beda.
c. Refleks inhibisi antara rektum dan sfingter anal internal tidak berkembang.
Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum akibat desakan
feses. Tidak dijumpai relaksasi spontan.
Dalam prakteknya pemeriksaan anorektal manometri tersebut dikerjakan
apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis, dan histologis meragukan, misalnya
pada kasus PH ultra pendek. Laporan positif palsu hasil pemeriksaan
manometry berkisar antara 0-62% dan hasil negatif palsu 0-24%. 1 Pada
literature disebutkan bahwa sensitivitas manometri ini sekitar 75-100% dan
spesifisitasnya 85-95 %.8 Hal serupa hamper tidak jauh beda dengan hasil
penelitian lain yang menyatakan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas 75% dan
spesifisitas sebesar 95%.7 Perlu diingat bahwa refleks anorektal pada neonatus
prematur atau neonatus aterm belum berkembang sempurna sebelum berusia 12
hari. Keuntungan metode pemeriksaan anorektal manometri adalah aman, tidak
invasif dan dapat segera dilakukan sehingga pasien bisa langsung pulang karena
tidak dilakukan anestesi umum.

10
Nurarif, A H. 2015. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC.Yogyakarta.
Mediaction
17
Gambar : gambaran manometri anorekatal,yang memakaib balon berisi udara
sebagai transducernya. Padapenderita Hirschsprung (kanan), tidak terlihat
relaksasi sfingter ani.

2.8 Komplikasi hirschprung disease


a. Gangguan elektrolit dan perforasi usus apabila distensi tidak diatasi
b. Impaksi fekal11
c. Obstruksi usus
d. Kostipasi
e. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
f. Entrokolitis
g. Struktur anal dan inkontinensia12

2.9 Penatalaksanaan hirschprung disease


a. Reseksi bagian yang sakit secara bedah13
b. Prosedur Swenson
Orvar Swenson dab Bill (1948) dalah yang mula-mula memprkenalkan operasi
Tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah definitive pada penyakit
hirschsprung. Pada dasarnya, operasi yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi
dengan preservasi spingter ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm rectum distal dari linea
dentate. sebenarnya adalah meninggalkan daerah agangloinik, sehingga dalam

11
Corwin,Elisabeth J. (2009).Patofisiologi.Jakarta.EGC
12
Nurarif, A H. 2015. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC.Yogyakarta.
Mediaction
13
Corwin,Elisabeth J. (2009).Patofisiologi.Jakarta.EGC
18
pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai apasme rectum yang ditinggalkan,
Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode operasinya (tahun1964) dengan
melakukan spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm rectum
bagian anterior dan 0,5-1 cm rectum posterior.
c. Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel Tahun1956 untuk mengatasi kesulitan
diseksi pelvik pada prosdur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik
kolon proksimal yang ganglionic kea rah anal melalui bagian posterior rectum yang
aganglionik, menyatukan dinding posterior rectum yang aganglionik dengan dinding
anterior kolon proksimal yang ganglionic sehingga membentuk rongga baru dengan
anastomose end to side.
d. Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahu 1959 untuk
tindakan bedah pada malformasi anorectal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun
1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif hirschsprung. Tujuan utama
prosedur ini ini adalah membuang mukosa rectum yang aganglionik, kemudian
mernarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rktum
yang telah dikupas tersebut.
e. Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakuakan
anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rectum pada level otot
levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan
intraabdominal ekstraperitineal. Pasca operai, sangat penting melakukan businasi
secara rutin guna mencegah stenosis.14

14
Nurarif, A H. 2015. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC.Yogyakarta.
Mediaction
19
ASUHAN KEPERAWATAN

KASUS GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN PADA ANAK : HIRSCPRUNG


DISEASE

Klien An.A,berusia 2 bulan,orang tua Bp.A dan ibu N.Klien masuk rumah sakit
tanggal 01 juni 2013 dengan diagnose medis observasi meteorismus,diferensial diagnosis
ileus paralitik dan diare akut dehidrasi sedang (DADS).Keluhan utama klien saat masuk RS
adalah perut membuncit dan tegang serta sulit BAB sejak 4 hari sebelum masuk RS.Pada saat
masuk RS orang tua klien mengeluh klien BAB cair 5-7x/hari,turgor tidak elastis,mukosa
mulut kering.

Riwayat kehamilan dan kelahiran klien antara lain pada masa prenatal ibu klien rutin
control ke bidan ke bidan setiap 1 bulan sekali,ibu klien mengatakan selama hamil tidak
menderita penyakit tertentu dan tidak mengalami muntah berulang : masa intranatal klien
dilahirkan spontan di bidan dengan berat lahir 3800 gram langsung menangis ; sedangkan
pada masa post natal klien mendapatkan ASI dan mempunyai riwayat BAB 2-4 hari sekali.

Riwayat kesehatan sebelumnya klien BAB 4 hari sekali,belum pernah di rawat di


rumah sakit,jika sakit hanya berobat ke bidan dan puskesmas tetapi orang tua tidak tahu jenis
obat yang dikonsumi,klien belum pernah dilakukan tindakan operasi,tidak pernah mengalami
kecelakaan,tidak mempunyai alergi,klien belum mendapatkan imunisasi yang lengkap sesuai
usianya,hanya imunisasi BCG ketika klien berusia 1 minggu.

Riwayat social klien diasuh oleh ibu,ayah,dan neneknya,pembawaan secara umum


tidak rewel.Hubungan dengan anggota keluarga dan teman sebaya belum dapat dikaji
mengingat usia 2 bulan.klien tinggal di rumah milik orang tuanya dan tinggal berdekatan
dengan saudara ibu klien tetapi bukan merupakan kawasan padat penduduk

Awal masuk tanggal 01 juni 2013 klien dirawat di ruang lantai 3 selatan.selain
dilakukan pemeriksaan USG dan foto polos abdomen,klien juga dilakukan pemeriksaan
barium enema pada tanggal 05 juni 2013 dengan hasil sesuai dengan gambaran
hirsprung.Pemeriksaan laboratorium tanggal 01 juni 2013 di peroleh hasil hemoglobin (Hb)
8,4 g/dl,hematocrit 26%,leukosit dalam batas normal,trombosit 570 ribu/ul sehingga klien
mendapatkan transfuse PRC sejumlah 2x 50 cc dengan cara pemberian serial selama 2 hari
20
pada tanggal 02 dan 03 juni 2013 dan Hb post transfuse 12,1 g/dl.tanggal 10 juni 2013
dilakukan pemeriksaan DPL ulang dengan hasil Hb 15,9 g/dl dan hasil lainnya dalam batas
normal.klien menjalani operasi kolstoma pada tanggal 12 juni 2013,setelah operasi klien
dirawat di ruang HCU,dan dipindahkan ke lantai 3 utara pada tanggal 13 juni 2013 jam 13.00
WIB

Keadaan klien saat ini,keluhan utama saat dikaji tanggal 13 juni 2013 orang tua
mengatakan takut memegang dan membersihkan kantong stoma,belum tahu perawatan
stroma.Orang tua mengatakan bahwa ingin tahu berat badan anaknya setelah operasi,anaknya
BAB cair warna coklat,kulit perut tidak merah.Diagnosa medis klien adalah post op
kolostoma hari kedua karena hirsprung.berat badan klien pada saat masuk rumah sakit 5400
gram,saat ini 4500 gram,panjang badan 55 cm,dengan menggunakan chart grow didapatkan
z-score BB/TB-2 SD.Status cairan klien baik di buktikan dengan turgor elastis,CRT kurang
dari 3 detik dan mukosa bibir lembab.klien mendapatkan obat-obatan antara lain IVFD KaeN
3B 10 tetes /menit (makro),Cefotaxime 2x175 mg intravena dan farmadol 3x55 mg
intravena.Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 12 juni 2013 diperoleh Hb 14,5 g/dl
ht 45% leukosit 20,4 ribu/ul dan trombosit 426 ribu/ul

Hasil pemriksaan fisik secara umum menunjukan bahwa klien tampak tidak
rewel,aktif,kesadaran compos mentis,Nadi 124x/menit,suhu 36,7 C,frekuensi nafas
28x/menit.Tinggi badan saat ini 55 cm,berat badan 4,5 kg,lingkar kepala 38 cm (saat masuk
RS 36 cm),lingkar lengan atas 10 cm (saat masuk RS 13 cm),lingkar lengan atas 10 cm (saat
masuk RS 13 cm),Z-score BB/TB-2SD.Dari hasil pemeriksaan fisik head toetoe diperoleh
data bahwa kepala dalam batas normal tidak ditemukan jejas,sutura sudah menutup tidak
teraba benjolan.Septum hidung utuh tidak ada secret,tidak ada pernapasan cuping
hidung.Sklera tidak ikterik,konjungtiva tidak anemis reflek cahaya positif.bibir tampak
kemerahan,tidak sianosis ,gigi belum tumbuh,tidak tampak jamur.Telinga bersih,tidak
tampak secret dan tidak tampak perdarahan.Tidak teraba pembesaran kelenjar di area
leher,tidak ada kaku kuduk dan tidak ada wape neck,dada simetris,tidak tampak retraksi
dada,irama jantung regular tidak terdengar suara abdnormal,suara napas vesikuler tidak
terdengar bunyi nafas abnormal.Tidak ada distensi abdomen,bising usu 6x/menit,tidak teraba
benjolan atau massa.stoma berwarna kemerahan,tampak lemak ,tinggi kurang lebih 4
cm,diameter kurang lebih 4 cm.Produksi cair warna kecoklatan bercampur darah,bau
khas,daerah sekitar stoma tidak kemerahan,tidak ada tanda-tanda iritasi periostoma,genetalia

21
bersih,jamur tidak tampak,tidak lecet,BAK 3x dengan pempers,warna kuning
jernih.Ekstremitas tidak tampak edma,tidak sianosis,akral hangat,CRT kurang dari 3 detik

22
Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
1. Pengumpulan Data
a. Identitas
1.) Identitas Pasien
Nama Panggilan : An.A
Tempat tanggal lahir/usia : Tidak Terkaji
Jenis Kelamin : Tidak Terkaji
Agama : Tidak Terkaji
Alamat : Tidak Terkaji
Tanggal Masuk : 01 Juni 2013
Tanggal Pengkajian : 13 Juni 2013
Diagnosa Medik : Observasi meteorismus,diferensial diagnosis
ileus paralitik dan diare akut dehidrasi sedang
(DADS)
2.) Identitas Orang Tua
Tabel 1.1
Identitas Orang Tua
Ayah Ibu Nenek
Nama Tidak Terkaji Tidak Terkaji Tidak Terkaji
Usia Tidak Terkaji Tidak Terkaji Tidak Terkaji
Pendidikan Tidak Terkaji Tidak Terkaji Tidak Terkaji
Pekerjaan Tidak Bekerja T Tidak Terkaji
Agama Tidak Terkaji Tidak Terkaji Tidak Terkaji
Alamat Tidak Terkaji Tidak Terkaji Tidak Terkaji

3.) Identitas Saudara Kandung


Tidak Terkaji
4.) Identitas Penanggung Jawab

23
Nama : Tidak Terkaji
Usia : Tidak Terkaji
Pendidikan : Tidak Terkaji
Pekerjaan : Tidak Terkaji
Agama : Tidak Terkaji
Alamat : Tidak Terkaji
Status Hubungan : Ayah An.A

2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Perut membucit dan tegang serta sulit BAB sejak 4 hari sebelum masuk RS
b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pada saat masuk RS orang tua klien mengeluh klien BAB cair 5-
7x/hari,turgor tidak elastis,mukosa mulut kering. Awal masuk tanggal 01 juni
2013 klien dirawat di ruang lantai 3 selatan.selain dilakukan pemeriksaan USG
dan foto polos abdomen,klien juga dilakukan pemeriksaan barium enema pada
tanggal 05 juni 2013 dengan hasil sesuai dengan gambaran hirsprung.Pemeriksaan
laboratorium tanggal 01 juni 2013 di peroleh hasil hemoglobin (Hb) 8,4
g/dl,hematocrit 26%,leukosit dalam batas normal,trombosit 570 ribu/ul sehingga
klien mendapatkan transfuse PRC sejumlah 2x 50 cc dengan cara pemberian serial
selama 2 hari pada tanggal 02 dan 03 juni 2013 dan Hb post transfuse 12,1
g/dl.tanggal 10 juni 2013 dilakukan pemeriksaan DPL ulang dengan hasil Hb 15,9
g/dl dan hasil lainnya dalam batas normal.klien menjalani operasi kolstoma pada
tanggal 12 juni 2013,setelah operasi klien dirawat di ruang HCU,dan dipindahkan
ke lantai 3 utara pada tanggal 13 juni 2013 jam 13.00 WIB

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat kesehatan sebelumnya klien BAB 4 hari sekali,belum pernah di rawat
di rumah sakit,jika sakit hanya berobat ke bidan dan puskesmas tetapi orang
tua tidak tahu jenis obat yang dikonsumi,klien belum pernah dilakukan
tindakan operasi,tidak pernah mengalami kecelakaan,tidak mempunyai
24
alergi,klien belum mendapatkan imunisasi yang lengkap sesuai usianya,hanya
imunisasi BCG ketika klien berusia 1 minggu.

1) Prenatal
Ibu klien rutin control kebidan setiap 1 bulan sekali, ibu klien mengatakan
selama hamil tidak menderita penyakit tertentu serta tidak mengalami
muntah berulang
2) Intra natal
Klien dilahirkan sepontan di bidan dengan BBL 3,8 kilo gram langsung
menangis
3) Post natal
An.A mendapatkan ASI dan mempunyai riwayat BAB 2-4 Hari sekali
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tidak Terkaji
e. Riwayat Imunisasi
klien belum mendapatkan imunisasi yang lengkap sesuai usianya,hanya
imunisasi BCG ketika klien berusia 1 minggu.
f. Riwayat Tumbuh Kembang
Perkembangan tiap tahap tidak terkaji.
g. Riwayat Psikososial
Riwayat social klien diasuh oleh ibu,ayah,dan neneknya,pembawaan secara
umum tidak rewel.Hubungan dengan anggota keluarga dan teman sebaya
belum dapat dikaji mengingat usia 2 bulan.klien tinggal di rumah milik orang
tuanya dan tinggal berdekatan dengan saudara ibu klien tetapi bukan
merupakan kawasan padat penduduk
h. Riwayat Spiritual
Tidak Terkaji
i. Riwayat Hospitalisasi
Tidak Terkaji
j. Akivitas Sehari-hari
Tidak Terkaji
3. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Composmentis

25
2. Kesadaran : Tidak terkaji
3. Tanda-tanda vital
a. Tekanan Darah : Tidak terkaji
b. Denyut Nadi : 124x/menit
c. Suhu : 36.7℃
d. RR : 28 x/menit
4. Berat badan masuk RS : 5.4 kg
Berat Badan : 4,5 kg
Tinggi badan : 55 cm
LLA : 10 cm
LLA (masuk RS) : 13 cm
Lingkar perut : Tidak Terkaji
Lingkar kepala : 38 cm
Lingkar kepala (masuk RS) : 36 cm
5. Kepala
Dalam batas normal tidak di temukan jejas,sutura sudah menutup tidak teraba
benjolan
6. Muka
Tidak terkaji
7. Mata
Sclera tidak ikterik,konjungtiva tidak anemis,reflex cahaya positif
8. Hidung dan Sinus
Septum hidung utuh tidak ada secret,tidak ada pernapasan cuping hidung
9. Telinga
Telinga bersih,tidak tampak secret dan tidak tampak perdarahan
10. Mulut
Bibir tampak kemerahan,tidak sianosis,gigi belum tumbuh,dan tidak tampak
jamur
11. Tenggrokan
Tidak terkaji
12. Leher
Tidak terdapat pembesaran klenjar di area leher,tidak ada kaku kuduk dan
tidak ada wape neck

26
13. Thorax dan Pernapasan
Dada simetris,tidak tampak retraksi dada,suara nafas vesikuler tidak terdapat
bunyi nafas abnormal
14. Jantung
Irama jantung regular tidak terdengar suara abnormal
15. Abdomen
Tidak ada distensi abdomen,bising usus 6x/menit,tidak teraba benjolan atau
massa,Stoma berwarna kemerahan,tampak lemak, tinggi kurang lebih 4
cm,diameter kurang lebih 4 cm.Produksi cair warna kecoklatan bercampur
darah,bau khas,daerah sekitar stoma tidak kemerahan,tidak ada tanda-tanda
iritasi periostoma
16. Genetalia
genetalia bersih,jamur tidak tampak,tidak lecet,BAK 3x dengan
pempers,warna kuning jernih.
17. Anus
Tidak Terkaji
18. Ekstremitas
Ekstremitas tidak tampak edma,tidak sianosis,akral hangat,CRT kurang dari 3
detik.
a. Ekstremitas atas
Tidak terkaji.
b. Ekstremitas bawah
Tidak Terkaji
19. Status Neurologis
a. Naervus I (Olfaktorius)
Tidak Terkaji
b. Nervus II (Opikus)
Tidak Terkaji
c. Nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Rochlearis, Abduscens)
Tidak Terkaji
d. Nervus V (Trigeminus)
Tidak Terkaji
e. Nervus VII (Facialis)

27
Tidak Terkaji
f. Nervus VIII (Austicus)
Tidak Terkaji
g. Nervus IX dan X (Glosopharingeus dan Vagus)
Tidak Terkaji
h. Nervus XI (Assesorius)
i. Tidak Terkaji
j. Nervus XII (Hypoglosus)
Tidak Terkaji
4. Test Diagnostik
Tanggal : 01 juni 2013

Tabel
Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
Hemoglobin 8.4 12-16 Gr/dl
Hematokrit 26 40-50 %
Leukosit Batas normal 4.400-11.300 /Mm3
Trombosit 570 150-400 Ribu/ul

Tanggal : 02 dan 03 juni 2013

Tabel
Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Hasil Nilai Normal Satuan
Pemeriksaan
Hemoglobin post 12,1 12-16 Gr/dl
transfusi

Tanggal : 10 juni 2013

Tabel

28
Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Hasil Nilai Normal Satuan
Pemeriksaan
Hemoglobin post 15,9 12-16 Gr/dl
transfusi

Tanggal : 12 juni 2013

Tabel
Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
Hemoglobin 14,5 13-18 Gr/dl
Hematokrit 45 40-50 %
Leukosit 20.4 5-10 Ribu/ul
Trombosit 426 150-400 Ribu/ul

5. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan USG
2. Foto polos abdomen
3. Barium enema
6. Terapi Saat Ini
- IVFD KaeN 3B 10 tetes/menit (makro)
- Cefotaxime 2x175 mg IV
- Farmadol 3x55 mg IV
- Tranfusi PRC 2x 50 cc pemberian serial selama 2 hari

7. Analisa Data

Domain 3 : Eliminasi dan Pertukaran


Kelas 2 : Fungsi Gastrointestinal
Diagnosa Keperawatan Konstipasi

29
Penurunan frekuensi normal defekasi yang disertai kesulitan
Definisi atau pengeluaran feses tidak tuntas atau feses yang keras,
kering dan banyak
- Adanya feses lunak seperti pasta di dalam rectum
- Anoreksia
- Bising usus hiperaktif
- Bising usus hipoaktif
- Borborigmi
- Darah merah pada feses
- Distensi abdomen
- Feses cair
- Feses keras dan berbentuk
- Keletihan umum
- Massa abdomen yang dapat diraba
- Mengejan pada saat defekasi
- Mual, muntah
- Nyeri abdomen
Batasan Karakteristik
- Nyeri pada saat defekasi
- Nyeri tekan abdomen dengan teraba resistensi otot
- Nyeri tekan abdomen tanpa teraba distensi otot
- Penampilan tidak khas pada lansia
- Peningkatan tekanan abdomen
- Penurunan frekuensi
- Penurunan volume feses
- Perkusi abdomen pekak
- Perubahan pada pola defekasi
- Rasa tekanan rektal
- Sakit kepala
- Sering flatus
- Tidak dapat makan
- Tidak dapat mengeluarkan feses
Faktor Penyebab Konstipasi Berhubungan dengan penyakit hirschprung
Diagnosa Keperawatan pada Kasus Konstipasi berhubungan dengan penyakit hirschprung

30
DS :
- Perut klien membuncit dan tegang serta sulit BAB
Kelompok Tanda dan Gejala pada sejak 4 hari sebelum masuk RS
Kasus - Sebelumnya klien BAB 4 hari sekali
DO : tidak terkaji

Faktor Penyebab Hasil Analisa Penyakit hirsprung

Domain Nutrisi
Kelas Makan
Diagnosa Keperawatan Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari
Kebutuhan Tubuh
Definisi Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolik.
Batasan Karakteristik  Kram abdomen
 Nyeri abdomen
 Menghindari makan
 Berat badan 20% atau lebih di bawah
berat badan ideal
 Kerapuhan kapiler
 Diare
 Kehilangan rambut berlebihan
 Bising usus hiperaktif
 Kurang makanan
 Kurang informasi
 Kurang minat pada makanan
 Penurunan berat badan dengan asupan
makanan adekuat
 Kesalahan konsepsi

31
 Kesalahan informasi
 Membran mukosa pucat
 Ketidakmampuan memakan makanan
 Tonus otot menurun
 Mengeluh gangguan sensari rasa
 Mengeluh asupan makanan kurang dari
RDA (recommended daily allowance)
 Cepat kenyang setelah makan
 Sariawan rongga mulut
 Steatorea
 Kelemahan otot pengunyah
 Kelemahan otot untuk menelan
Faktor yang Berhubungan  Faktor biologis
 Faktor ekonomi
 Ketidakmampuan untuk mengabsoprsi
makanan
 Ketidakmampuan untuk mencerna
makanan
 Ketidakmampuan menelan makanan
 Faktor psikologis
Faktor Penyebab ketidakmampuan untuk mengabsorbsi nutrient
Diagnosis Keperawatan Pada Kasus Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan untuk
mengabsorbsi nutrient

Domain Nutrisi
Kelas Hidrasi
Diagnosa Keperawatan Kekurangan volume cairan
Definisi Penurunan cairan intravaskular, intertisial,
dan/atau intraseluler. Ini mengacu pada
dehidrasi, kehilangan cairan saja tanpa
32
pernubahan pada natrium
Batasan Karakteristik  Perubahan status mental
 Penurunan tekanan darah
 Penurunan tekanan nadi
 Penurunan volume nadi
 Penurunan turgor kulit
 Penurunan turgor lidah
 Penurunan haluaran urine
 Penurunan pengisian vena
 Membran mukosa kering
 Kulit kering
 Peningkatan hematokrit
 Peningkatan suhu tubuh
 Peningkatan konsentrasi urine
 Penurunan berat badan tiba-tiba
(kecuali pada ruang ketiga)
 Haus
 Kelemahan
Faktor yang Berhubungan  Kehilangan cairan aktif
 Kegagalan mekanisme regulasi
Faktor Penyebab Kehilangan cairan aktif
Diagnosis Keperawatan Pada Kasus Kekurangan volume cairan berhubungan
dengan kehilangan cairan aktif

Domain 11. Keamanan/Perlindungan


Kelas 1.Infeksi
Diagnosa Keperawatan Resiko Infeksi
Definisi Mengalami peningkatan resiko terserang
organisme atau patogenik.

33
Domain 12. Kenyamanan
Kelas 1. Kenyamanan fisik
Diagnosa Keperawatan Nyeri Akut
Definisi Pengalaman sensori dan emosional yang
tidak menyenangkan yang muncul akibat
kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial atau digambarkan dalam
kerusakan sedemikian rupa ; awitan yang
tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan
hingga berat dengan akhir yang dapat
diantisipasi atau dipresiksi dan berlangsung
< 6 bulan.
Batasan Karakteristik  Perubahan selera makan
 Perubahan tekanan darah
 Perubahan frekuensi jantung
 Perubahan frekuensi pernapasan
 Laporan isyarat
 Diaforesis
 Perilaku distraksi (mis., berjalan
mondar mandir, mencari orang lain
dan/atau aktivitas lain, aktivitas yang
berulang)
 Mengekspresikan perilaku (gelisah,
merengek, waspada, iritabilitas,
mendesah)
 Masker wajah (mis., mata kurang
bercahaya, tampak kacau, gerakan
mata terpencar atau tetap pada satu
fokus, meringis)
 Sikap melindungi area nyeri
 Fokus menyempit (mis., gangguan
persepsi nyeri, hambatan proses

34
berpikir, penurunan interaksi dengan
orang dan lingkungan)
 Indikasi nyeri yang dapat diamati
 Perubahan posisi untuk menghindari
nyeri
 Sikap tubuh melindungi
 Dilatasi pupil
 Melaporkan nyeri secara verbal
 Fokus pada diri sendiri
 Gangguan tidur
Faktor yang Berhubungan  Agen cedera (mis., biologis, zat
kimia, fisik, psikologis)
Diagnosis Keperawatan Pada Kasus Nyeri akut berhubungan dengan agen cegera
biologis

Domain Persepsi /Kognisi


Kelas Kognisi
Diagnosa Keperawatan Defisiensi Pengetahuan
Definisi ketiadaan atau defisiensi informasi kognitif
yang berkaitan dengan topik tertenu.
Batasan Karakteristik  Perilaku hiperbola
 Ketidakakuratan mengikuti perintah
 Ketidakakuratan melakukan tes
 Perilaku tidak tepat (mis., histeria,
bermusuhan, agitasi, apatis)
 Pengungkapan masalah
Faktor yang Berhubungan  Keterbatasan kognitif
 Salah interpretasi informasi
 Kurang pajanan
 Kurang minat dalam belajar
 Kurang dapat mengingat

35
 Tidak familier dengan sumber
informasi
Faktor Penyebab Keterbatasan kognitif
Diagnosis Keperawatan Pada Kasus Defisiensi pengetahuan b.d keterbatasan
kognitif

Diagnosa pre-operasi

 Konstipasi berhubungan dengan tidak adanya sel ganglion di usus,dehidrasi,penyakit


hirsprung
 Kekurangan volume cairan b.d kehilangan volume cairan aktif
8. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


Keperawatan
1. Konstipasi Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor tanda dan 1. Untuk
berhubungan keperawatan hidrasi gejala mengetahui
dengan eliminasi dapat kembali konstipasi,bising adanya gejala
dehidrasi,penyakit normal dengan kriteria hasil usus dari
hirsprung : 2. Monitor feses : konstipasi
 Mempertahankan frekuensi,konsistens 2. Untuk
bentuk feses i,dan volume melihat
 Bebas dari 3. Dukung intake frekuensi,kon
ketidaknyamanan cairan sistensi dan
dan konstipasi 4. Kolabolasi untuk volume feses
 Mengidentifikasi pemberian laxaktif 3. Untuk
indicator untuk 5. Anjurkan keluarga melihat
mencegah konstipasi untuk mencatat asupan cairan

 Feses lunak dan warna,volume,freku yang adekuat

berbentuk ensi,dan konsistensi 4. Untuk

36
tinja memevah
6. Timbang pasien feses
secara teratur (1 kali 5. Untuk
sehari ) mengamati
dan
memonitor
perbahan dari
frekuensi
feses dan
volume feses
6. Untuk
mengamati
adanya
penaikan dan
penurunan
berat badan
yang berarti
2. Kekurangan Setelah dilakukan tindakan 1. Timbang popok/ 1. Menghitung
volume cairan b.d keperawatan, diharapkan pembalut jika output pasien
kehilangan pasien dapat mencapai diperlukan saat perdarahan
volume cairan kriteria hasil : 2. Pertahankan catatan 2. Untuk
aktif - Mempertahankan intake dan output mengetahui
urine output sesuai yang akurat intake dan output
dengan usia 3. Monitoring TTV 3. Menunjukan
- Tekanan darah, nadi, 4. Kolaborasi dengan keadekuatan
suhu tubuh dalam dokter untuk volume sirkulasi
batas normal : TTV pemberian cairan 4. Untuk
dalam batas normal: IVFD KaeN 3B 10 menggantikan
TD:80-60 mmHg, tetes/menit cairan tubuh
Nadi : 120-160 5. Intruksikan kepada yang hilang atau
x/menit, RR: 30-60 keluarga untuk menyeimbangkan
x/menit, suhu:36,5- mengobservasi kulit cairan dalam
37,5 oc jika ada lesi atau tubuh

37
- Hb menjadi laserasi 5. Untuk
meningkat dari 12- 6. Kolaborasi tindakan mengetahui
14 gr% transfuse darah PRC tanda-tanda dari
sejumlah 2x 50 cc adanya lesi atau
dengan cara laserasi
pemberian serial 6. Untuk
meningkatkan
hemoglobin
untuk
meningkatkan
cairan dalam
tubuh

Diagnosa post op

 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan untuk


mengabsorbsi nutrient
 Resiko infeksi b.d luka post op kolostomi
 Nyeri akut b.d agens cedera biologis
 Ansietas b.d prognosis penyakit ,perubahan kesehatan anak

38
No Diagnosa Tujuan dan kriteria Hasil Intervensi Rasional
keperawatan
1. Ketidakseimbang Selama dilakukan 1. Berikan 1. Agar orang tua
an nutrisi kurang tindakan keperawatan, informasi klien
dari kebutuhan diharapkan pasien dapat tentang memahami
tubuh b.d mencapai kriteria hasil : kebutuhan nutrisi yang
ketidakmampuan - Adanya nutrisi perlu di
untuk peningkatan berat kepada berikan
mengabsorbsi badan sesuai orang tua 2. Agar terlihat
nutrien dengan tujuan 2. Monitoring rentang
- Orangtua Mampu kalori dan peningkatan
mengidentifikasi intake nutrisi pada
kebutuhan nutrisi nutrisi pasien
- Tidak ada tanda- 3. Dorong 3. Untuk
tanda malnutrisi orangtua memenuhi
(ibu) untuk kebutuhan
membantu nutrisi klien
pemberian
ASI selama
2 jam 1 kali 4. Mencegah
kekurangan
4. Kolaborasi kalori dan
dengan ahli menurunkan
gizi untuk masalah
menentukan malnutrisi
jumlah 5. Untuk
kalori melihat
danNutrisi perkemba
yang ngan
dibutuhkan adanya
pasien. peningkat

39
5. Monitor an atau
berat badan penurunan
klien berat
badan

2. Resiko infeksi b.d Setelah dilakukan 1. Monitor tanda 1. Mengetahui


kerusakan tindakan keperawatan, dan gejala Pasien
integritas kulit diharapkan pasien dapat infeksi terdapat luka
post op kolostomi mencapai kriteria hasil : infeksi
- Klien bebas dari 2. Pertahankan 2. Melindungi
tanda dan gejala teknik asepsis agar tidak
infeksi pada pasien enjadi luka
- Orang tua klien yang beresiko infeksi
Mendeskripsikan 3. Kolaborasi 3. Untuk
proses penularan dengan tim menghambat
penyakit, faktor medis untuk dan mencegah
yang pemberian penyebaran
mempengaruhi antibiotik infeksi
penularan serta Cefotaxim 4. Untuk
penatalaksanaann 2x175 mg/IV mengetahui
ya. 4. Ajarkan adanya
- Orangtua klien keluarga kemuculan
Menunjukan mengenali tanda-tanda
kemampuan tanda dan gejala infeksi
untuk mencegah infeksi
timbulnya infeksi
- Jumlah leukosit
dalam batas
normal (4.000-
11.000 – mm3)
3. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan 1. Monitoring 1. Untuk
agen cedera tindakan keperawatan, TTV mengetahui
biologis diharapkan pasien dapat TTV dalam

40
mencapai kriteria hasil: rentang
- Pasien tidak normal
menunjukan 2. Lakukan
ekspresi kesakitan pengkajian 2. Informasi
- TTV dalam batas nyeri secara memberikan
normal: TD:80-60 komprehensif data dasar
mmHg, Nadi : termasuk lokasi, ntuk
120-160 x/menit, karakteristik, mengevalasi
RR: 30-60 durasi, kebutuhan/kee
x/menit, frekuensi, fektifan
suhu:36,5-37,5 oc kualitas,dan intervensi.
- Hb menjadi faktor
meningkat dari presipitasi. 3. Mempenaruhi
12-14 gr% 3. Kontrol dalam rasa
- Orangtua klien lingkungan nyeri yang
Mampu yang dapat timbul
mengontrol nyeri mempengaruhi 4. Dapat
klien nyeri seperti mengurangi
- Orangtua Mampu pencahayaan rasa nyeri
mengenali nyeri dan kebisingan 5. Mengatasi
(skala, intensitas, 4. Ajarkan kepada dan
frekuensi, dan orang tua (ibu) menghilangk
tanda nyeri) klien untuk an rasa nyeri
memberika sementara
lingkungan
yang nyaman
seperti
menggendong
klien
5. Kolaborasi
dengan tim
medis
pemberian

41
farmasol 3x55
mg IV
4. Ansietas b.d Selama dilakukan 1. Monitoring 1. Untuk
prognosis tindakan keperawatan, TTV memantau
penyakit diharapkan pasien dapat 2. Gunakan adanya
,perubahan mencapai kriteria hasil : pendekatan penurunan
kesehatan anak - TTV dalam batas yang atau
normal: TTV menenangkan peningkatan
dalam batas 3. Jelaskan semua pada TTV
normal: TD:80-60 prosedur setiap 2. Agar pasien
mmHg, Nadi : melakukan merasa
120-160 x/menit, suatu tindakan nyaman
RR: 30-60 4. Dorong 3. Untuk
x/menit, keluarga untuk menurunkan
suhu:36,5-37,5 oc. menemani anak kecemasan
- Postur tubuh, Tentukan kepada
ekspresi wajah, tingkat keluarga
bahasa tubuh dan pengetahuan dengan
tingkat aktivitas dan kesiapan memberitahuk
menunjukan untuk belajar an prosedur
berkurangnya 5. Berikan atau ikut
kecemasan. informasi terlibat dalam
- Keluarga tertulis kepada asuhan
menyatakan keluarga keperawatan
pemahaman tentang 4. Untuk
tentang penyakit meningkatkan
penyakit,kondisi, 6. Gambarkan rasa dukungan
dan program tanda dan gejala dan nyaman
kesehatan yang biasa terhadap klien
- Keluarga mampu muncul pada Belajar lebih
menjelaskan penyakit mudah dari
kembali apa yang pengetahuan
dijelaskan keluarga

42
perawat/tim 5. Membantu
kesehatan sebagai
pengingat dan
penguat
belajar

6. Untuk
memberikan
pengetahuan
mengenai
penyakit

43

Anda mungkin juga menyukai