Anda di halaman 1dari 27

BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Pola Asuh

Pola asuh adalah segala bentuk interaksi antara orangtua dan anak yang

mencakup ekspresi atau pernyataan orangtua akan sikap, nilai, minat dan

harapan–harapan dalam mengasuh anak serta memenuhi kebutuhan anak

(Yusuf, 2010). Gunarsa (2002) mengatakan bahwa pola asuh merupakan

sikap oranng tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap tersebut

meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, dalam memberikan

perhatian.

Sedangkan Edwards (2006) mengatakan bahwa pola asuh merupakan

interaksi anak dan orang tua dalam mendidik, membimbing, dan

mendisplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai

dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Pada dasarnya pola asuh

dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak.

1. Macam – Macam Pola Asuh

Wong et al.(2008) mengategorikan pola asuh menjadi tiga jenis, yaitu:

pola asuh permisif, otoriter dan otoritatif.

a. Pola Asuh Permisif ( Mengabaikan )

Pola asuh permisif merupakan jenis pengasuhan orang tua yang

tidak memberikan batasan kepada anak-anak mereka. Orang tua

terlalu cuek terhadap anaknya. Sehingga segala yang mau dilakukan

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


anak diperbolehkan seperti tidak sekolah, bandel, melakukan

pergaulan bebas negatif dan sebagainya (Prayitno & Basa, 2004).

Jenis pola asuh permisif, orang tua bersikap longgar, tidak terlalu

memberi bimbingan dan kontrol, perhatian pun terkesan kurang.

Kendali anak sepenuhnya terdapat pada anak itu sendiri. Pola

pengasuhan permisif diakibatkan oleh orang tua yang terlalu sibuk

dengan pekerjaan lain sehingga lupa untuk mendidik dan mengasuh

anak dengan baik. Akibatnya anak nantinya akan berkembang menjadi

anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal,

tidak peduli dengan tanggung jawab, memiliki kemampuan sosialisasi

yang buruk, kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai

orang lain, baik ketika kecil maupun sudah dewasa hal ini merupakan

cara terburuk dalam mengasuh anak (Fathi, 2003).

Pola asuh permisif cenderung memberi kebebasan terhadap anak

untuk berbuat semaunya ternyata tidak sangat kondusif bagi

pembentukan karakter anak. Secerdas dan sehebat apapun seorang

anak, anak tetap memerlukan arahan dari orang tua untuk mengenal

hal yang baik dan hal yang salah. Memberi kebebasan yang

berlebihan, terkesan membiarkan, akan membuat anak bingung dan

berpotensi salah arah (Fathi, 2003).

Wong et al. (2008) menjelaskan bahwa dalam pola asuh permisif,

orang tua memiliki sedikit kontrol atau tidak sama sekali atas tindakan

anak-anak mereka. Orang tua yang bermaksud baik kadang-kadang

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


bingung antara sikap permisif dan pemberi izin. Mereka menghindari

untuk memaksakan standar prilaku mereka dan mengizinkan anak

mereka untuk mengatur aktivitas mereka sendiri sebanyak mungkin.

Yahaya & Latif (2006) menggambarkan pola asuh permisif

dicirikan oleh corak komunikasi yang terbuka dan orang tua kurang

menekankan tingkah laku yang baik pada anak. Sikap pola asuh orang

tua yang permisif adalah:

1) Tidak membuat peraturan kepada anak dan anak selalu diberi

kebebasan yang penuh.

2) Tidak menggunakan kuasa secara terbuka dan langsung.

3) Berkomunikasi secara terbuka dan tidak mencoba membentuk

tingkah laku anak.

4) Membiarkan anak mengatur aktivitas-aktivitas sendiri tanpa

pengawasan orang tua.

5) Mencoba menyediakan keadaan yang membimbing kearah

perkembangan anak tetapi gagal membentuk hak-hak batasan

yang tegas kepada anak atau pun menghendaki anak bertingkah

laku matang.

Sedangkan menurut Wong et al. (2008) orang tua yang menerapkan

pola asuh permisif mempunyai ciri sebagai berikut:

1) Kurang memberikan kontrol.

2) Mengizinkan anak untuk berbuat semaunya.

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


3) Tidak ada aturan ketat dari orang tua, dan anak diperbolehkan

melakukan sesuatu yang dianggap benar.

4) Reward ”tidak diberikan untuk perilaku yang baik, karena ada

anggapan bahwa persetujuan sosial sebagai reward”.

5) Punishment ”tidak diberikan karena memang tidak ada aturan yang

mengikat”.

b. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter merupakan suatu bentuk perlakuan orang tua

ketika berinteraksi dengan anaknya yang pada umumnya sangat ketat

dan kaku dalam pengasuhan anak. Anak-anak tidak diberi kebebasan

untuk menentukan keputusan karena semua keputusan berada di

tangan orang tua. Orang tua yang otoriter menekankan kepatuhan anak

terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak bertanya, tidak

menjelaskan kepada anak-anak tentang latar belakang. Orang tua

kadang-kadang menolak keputusan anak dan sering menerapkan

hukuman semena-mena kepada anak (Widyarini, 2003).

Yahya & Latif (2006) mengartikan pola asuh otoriter sebagai suatu

cara orang tua menggunakan pengawasan yang ketat pada tingkah

laku anak dengan membuat peraturan, memastikan nilai-nilai dipatuhi

oleh anak dan tidak membenarkan anak mengikuti peraturan-peraturan

dan nilai-nilai yang diterapkan oleh orang tua tersebut.

Cara pengasuhan otoriter sangat tegas, ketat, dan melibatkan

beberapa bentuk aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh anak-anak

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


tanpa mau tahu perasaan anak. Orang tua akan emosi jika anak

melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang

tua. Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh anak-anak

dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta

menghormati orang tua yang telah membesarkannya. Anak yang besar

dengan teknik asuhan seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid atau

selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang

berada di luar rumah, benci orang tua dan sebagainya (Prayitno &

Basa, 2004).

Sikap otoriter yang digunakan orang tua dalam pola asuh anak,

akan menimbulkan gangguan psikologis yang sangat berarti dalam

kehidupan anak. Apabila ini terjadi pada saat anak dalam proses

tumbuh kembang maka kemungkinan pencapaian kematangan anak

akan terhambat. (Hidayat, 2005).

Pola asuh otoriter cenderung membatasi perilaku kasih sayang,

sentuhan, dan kelekatan emosi orang tua dengan anak, sehingga

antara orang tua dan anak seakan memiliki dinding pembatas (Fathi,

2003).

Wong et al. (2008) menjelaskan bahwa pola asuh otoriter, orang

tua mencoba untuk mengontrol perilaku dan sikap anak melalui

perintah yang tidak boleh di bantah. Mereka menetapkan aturan yang

dituntut untuk diikuti secara kaku dan tidak boleh dipertanyakan.

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


Sifat-sifat pola asuh otoriter dapat digambarkan sebagi berikut

(Yahya & Latif, 2006):

1) Mengkontrol tingkah laku anak dengan menggunakan peraturan-

peraturan yang ketat, menilai tinggi ketaatan dan keakuran.

2) Tidak mengamalkan toleransi secara lisan dan anak-anak harus

mengikuti perintah tanpa pengecualian.

3) Keputusan orang tua tidak boleh dibantah.

4) Semua yang dikatakan oleh orang tua itu menjadi undang-undang

yang harus dipatuhi oleh anak.

Sedangkan Wong et al. (2008) mengkategorikan ciri-ciri orang

tua yang menerapkan pola asuh otoriter sebagai berikut:

1) Kaku.

2) Tegas.

3) Membatasi keputusan dari anak.

4) Mengabaikan alasan-alasan yang masuk akal dan anak

tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan.

5) Reward ”penghargaan jarang diberikan pada perbuatan anak

yang benar, baik dan berprestasi”.

6) Punishment “hukuman selalu diberikan pada perbuatan anak yang

salah dan melanggar aturan”.

7) Suka menghukum anak secara fisik.

Menurut Middlebrook (1993), dalam Fathi (2003) hukuman fisik

yang biasanya diterapkan dalam pola asuh otoriter kurang efektif

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


untuk membentuk tingkah laku anak. Hal itu dapat menyebabkan

beberapa masalah diantaranya sebagai berikut:

1) Menyebabkan anak marah dan frustasi. Secara psikologis tentu

sangat mengganggu pribadi anak sendiri sehingga anak juga tidak

akan bisa belajar dengan optimal.

2) Timbulnya perasaan-perasaan menyakitkan atau sakit hati pada

diri anak yang mendorong tingkah laku agresif.

3) Akibat hukuman-hukuman itu dapat meluas sasarannya dan lebih

membawa efek negatif. Misalnya, anak menahan diri untuk

memukul atau merusak hanya ketika orang tua ada didekatnya,

tetapi akan segera melakukan tindakan merusak setelah orang tua

tidak ada.

4) Tingkah laku agresif orang tua akan menjadi contoh bagi anak

sehingga anak akan menirunya.

Pola asuh otoriter yang diterapakan orang tua kepada anak

cenderung bersifat tidak puas dengan diri anak, tidak boleh dipercaya,

cemas, ganas secara pasif, mudah tersinggung, bersikap negatif dalam

berhubungan dengan kawan-kawan sebaya dan menarik diri secara

sosial.

c. Pola Asuh Otoritatif

Pola asuh otoritatif merupakan sikap orang tua yang mengizinkan

dan mendorong anak untuk membicarakan masalah mereka, memberi

penjelasan yang rasional tentang peran anak di rumah dan

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


menghormati peran serta orang tua dalam pengambilan keputusan

meskipun orang tua pemegang tanggung jawab yang tinggi dalam

keluarga (Prayitno & Basa, 2004).

Pola asuh otoritatif adalah pola pengasuhan yang cocok dan baik

untuk diterapkan para orang tua kepada anak-anaknya. Anak yang

diasuh dengan tehnik asuhan otoritatif akan hidup ceria,

menyenangkan, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada orang tua,

menghargai dan menghormati orang tua, tidak mudah stres dan

depresi, berprestasi baik, disukai lingkungan dan masyarakat lainnya

(Prayitno & Basa, 2004).

Pada pola asuh otoritatif, orang tua berusaha mengarahkan anaknya

secara rasional, berorientasi pada maslah yang dihadapi, menghargai

komunikasi yang saling memberi dan menerima, menjelaskan alasan

yang rasional yang mendasari tiap-tiap permintaan tetapi juga

menggunakan kekuasaan bila perlu,mengharapkan anak untuk

mematuhi orang dewasa dan kemandirian, saling menghargai antara

anak dan orang tua.Orang tua tidak mengambil posisi mutlak dan

tidak juga mendasari pada kebutuhan anak semata (Widyarini, 2003).

Menurut Wong et al. (2008) pola asuh otoritatif ditandai dengan

ciri-ciri sebagai berikut:

1) Kontrol yang kuat disertai dukungan, pengertian dan keamanan.

2) Semua keputusan merupakan keputusan anak dan orang tua.

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


3) Mengizinkan anak untuk mengeksplorasi bakat dan

kemampuannya.

4) Dalam bertindak, orang tua selalu memberikan alasan yang

masuk akal kepada anak.

5) Anak diberi kesempatan untuk menjelaskan pelanggaran

peraturan sebelum hukuman dijatuhkan.

6) Punishment ”diberikan kepada perilaku yang salah dan melanggar

peraturan”.

7) Reward ”yang berupa pujian dan penghargaan diberikan kepada

perilaku yang benar dan berprestasi”.

8) Orang tua selalu memilih pendidikan yang terbaik untuk anaknya.

Sedangkan Yahya & Latif (2006), menggambarkan sifat orang tua

dalam otoritatif sebagai berikut:

1) Orang tua lebih fleksibel dan rasional dalam mendidik anak.

2) Menggunakan kontrol tegas tetapi membenarkan kebebasan yang

sesuai dengan tahap perkembangan anak.

3) Menjelaskan nilai-nilai mereka dan menaruh harapan yang tinggi

supaya anak mematuhinya.

4) Peramah dan tidak melihat diri sebagai manusia yang tidak

membuat kelalaian dalam tanggung jawab mereka sebagai orang

tua.

5) Responsive, memberi kesempatan dan menghormati kepentingan

anak, mesra tapi tegas.

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


Menurut Arkoff (1993), dalam Fathi (2003) anak yang dididik

dengan cara otoritatif umumnya cenderung mengungkapkan

agresifitasnya dalam tindakan yang konstruktif atau dalam bentuk

kebencian yang bersifat sementara. Artinya, jika marah,

kemarahannya tidak akan berlarut-larut sampai mendendam disisi lain,

anak yang dididik secara otoriter atau ditolak akan memiliki

kecenderungan untuk mengungkapkan agresifitasnya dalam bentuk

tindakan-tindakan yang merugikan. Sementara itu, anak yang dididik

secara permisif cenderung mengembangkan tingkah laku agresif

secara terbuka atau terang-terangan.

Berdasarkan ciri-ciri pola asuh diatas, dapat disimpulkan bahwa

pola asuh otoriter memiliki ciri pokok tidak demokratis dan

menerapkan kontrol yang kuat. Berbeda dengan pola asuh otoritatif

yang bersifat demokratis, tetapi juga menerapkan kontrol. Berbeda

juga dengan pola asuh permisif yang bersifat demokratis, tetapi tanpa

memberi kontrol kepada anak. Dengan pendekatan yang tidak

demokratis dan pemberian kontrol yang ketat dalam pola asuh otoriter,

tidak mengherankan bila pola asuh otoriter yang akan mengakibatkan

atau berdampak negatif terhadap anak.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh

Wong (2001) dalam Supartini (2004) mengatakan faktor-faktor

yang mempengaruhi pola asuh orang tua sebagai berikut :

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


a. Pendidikan Orang Tua

Pendidikan diartikan sebagai pengaruh lingkungan atas

individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap atau

permanen didalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap.

Edwards (2006) menyimpulkan bahwa pendidikan orang tua dalam

perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka

menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan

untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan

antara lain: mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada

masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-

anak, menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak

dan terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak.

b. Usia Orang Tua

Tujuan undang-undang perkawinan salah satunya adalah

memungkinkan pasangan untuk siap secara fisik maupun

psikososial dalam membentuk rumah tangga dan menjadi orang

tua. Usia antara 17 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk laki-laki

mempunyai alasan kuat dalam kaitannya untuk menjalankan peran

pengasuhan. Apabila terlalu muda atau terlalu tua, mungkin tidak

dapat menjalankan peran tersebut secara optimal karena diperlukan

kekuatan fisik dan psikososial.

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


c. Keterlibatan Ayah

Peran ayah dalam keluarga telah berubah dramatis dari

generasi lalu jika dibandungkan dengan generasi orang-orang tua

dahulu. Perubahan tersebut biasanya menyenangkan bagi para ibu

dan juga para ayah itu sendiri. (Rimm, 2003)

Pendekatan mutakhir yang digunakan dalam hubungan

ayah dan bayi baru lahir, sama pentingnya hubungan antara ibu dan

anank bayi sehingga dalam proses persalinan, ibu dianjurkan

ditemui suami dan begitu bayi lahir, suami diperbolehkan untuk

mengendongnya langsung setelah ibunya mendekap dan

meyusukannya (bonding and attachment). Dengan demikian,

kedekatan hubungan antara ibu dan anak sama pentingnya dengan

ayah dan anak, walaupun secara kodrati akan ada perbedaan, tetapi

tidak mengurangi makna penting hubungan tersebut. Pada

beberapa ayah tidak terlihat secara langsyng pada bayi baru

dilahirkan. Maka beberapa hari atau minggu kemudian dapat

melibatkan dalam perawatan bayi, seperti mengganti popok,

bermain dan berinteraksi sebagai upaya untuk terlibat dalam

perawatan anak (Supartini, 2004)

d. Pengalaman Sebelumnya dalam Mengasuh Anak

Orang tua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya

dalam mengasuh anak akan lebih siap menjalankan peran

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


pengasuhan, selain itu orang tua akan lebih mampu mengamati

tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal.

Menunjukkan bahwa orang tua yang telah mempunyai

pengalaman sebelumnya dalam merawat anak akan lebih siap

menjalankan peran pengasuhan dan lebih nyaman atau relak.

Selain itu, mereka akan lebih mampu mengamati tanda-tanda

pertumbuhan dan perkembangan anak yang normal.

Pertumbuhan merupakan bertambah dan besarnya sel di

seluruh bagian tubuh anak yang secara kuantitatif dapat ditulis.

Sedangkan perkembangan merupakan bertambah sempurnanya

fungsi alat tubuh anak yang dapat dicapai melalui tumbuh

kematangan dan belajar (Hidayat, 2005)

e. Stres Orang Tua

Stres yang dialami oleh ayah maupun ibu atau keduanya

akan mempengaruhi kemampuan orang tua dalam menjalankan

peran sebagai pengasuh, terutama dalam kaitannya dengan strategi

koping yang dimiliki dalam menghadapi permasalahan anak.

Walaupun, kondisi anak juga dapat menyebabkan stres pada orang

tua, misalnya anak dengan temperamen yang sulit atau anak

dengan masalah keterbelakangan mental.

Stres merupakan suatu perasaan tertekan yang disertai

dengan meningkatkan emosi tidak menyenangkan yang dirasakan

oleh orang tua, seperti marah yang berlansung lama, gelisah, cemas

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


dan takut. Orang tua mengatasi stres dengan cara yang berbeda-

beda. Orang tua yang mengalami stres, akan mencari kenyamanan

atas kegelisahan jiwanya dengan cara berbicara kepada anak

(Prayitno & Basa, 2004)

Sedangkan menurut Wong et al. (2008) ada empat faktor

yang mempengaruhi pola asuh yaitu :

1) Orang tua yang telah memiliki pengalaman, seperti

pengalaman dengan anak lain, tampaknya lebih santai dan

memiliki lebih sedikit konflik dalam hubungan displin, dan

mereka lebih mengetahui perkiraan pertumbuhan dan

perkembangan yang normal.

2) Jumlah stres yang dialami oleh salah satu dari kedua orang tua

dapat mengganggu kemampuan mereka untuk menunjukkan

kesabaran dan pengertian atau dalam menghadapi perilaku

anak mereka.

3) Karakteristik, seperti memiliki temperamen yang sulit, dapat

menyebabkan orang tua kehilangan keprcayaan diri dan

meragukan kemampuan mereka dalam mengasuh anak.

4) Hubungan perkawinan orang tua yang dapat memberi efek

nugatif terhadap pola asuh, karena tekanan atau ketegangan

pernikahan dapat mengganggu rutinitas pemberian perawatan

dan mengganggu kesenangan bersama dengan anak.

Sebaliknya, orang tua yang saling mendukung dan mendorong

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


dapat memberi pengaruh positif pada terciptanya peran

menjadi orang tua yang memuaskan (Wong et al, 2008).

B. PHBS

1. Pengertian

Perilaku hidup bersih dan sehat adalah sekumpulan perilaku yang

dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang

menjadikan individu/kelompok dapat menolong dirinya sendiri dalam

bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan derajat kesehatan

masyarakat (Dinkes Jabar, 2010).

2. Tujuan PHBS

Menurut Depkes RI (1997), Tujuan dari PHBS adalah untuk

meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan kemampuan

masyaraka tuntuk hidup bersih dan sehat, serta meningkatkan peran serta

aktif masyarakat termasuk dunia usaha dalam upaya mewujudkan derajat

kesehatan yang optimal.

3. PHBS di Tatanan Sekolah

Sekolah adalah lembaga dengan organisasi yang tersusun rapih

dengan segala aktifitasnya direncanakan dengan sengaja disusun yang

disebut kurikulum. Sekolah adalah tempat diselenggarakkannya proses

belajar mengajar secara formal, dimana terjadi transformasi ilmu

pengetahuan dari para guru atau pengajar kepada anak didiknya. Sekolah

memegang peran penting dalam pendidikkan karena pengaruhnya besar

sekali pada jiwa anak, maka disamping keluarga sebagai pusat pendidikan,

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


sekolah juga mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan untuk

pembentukan pribadi anak (Ahmadi,2013).

4. Manfaat PHBS di Sekolah

a. Terciptanya sekolah yang bersih dan sehat sehingga peserta

didik,guru,dan masyarakat lingkungan sekolah terlindungi dari berbagai

gangguan dan ancaman penyakit

b. Meningkatnya semangat proses belajar mengajar yang berpak pada

prestasi belajar peserta didik.

c. citra sekolah sebagai institusi pendidik semakin meningkat sehingga

mampu menarik minat orangtua (masyarakat)

d. Meningkatnya citra pemerintah daerah di bidang pendidikan

e. Menjadi percontohan sekolah sehat bagi sekolah atau daerah lain

5. Indikator PHBS

Delapan indikator PHBS sekolah, yang dapat diterapkan pada anak

usia 5-6tahun adalah: mencuci tangan dengan air yang mengalir dan

memakai sabun, mengkonsumsi jajanan sehat dikantin sekolah,

menggunakan jamban yang bersih dan sehat, olahraga yang teratur dan

terukur, menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap bulan,

membuang sampah pada tempatnya (DepKes, 2009).

C. Kemandirian

1. Definisi Kemandirian Anak

Kemandirian anak merupakan kemampuan anak untuk melakukan

kegiatan dan tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan,

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


sesuai dengan tahap perkembangan dan kemampuan anak (Prasasti & Lie,

2005). Menurut Familia (2006), Kemandirian anak adalah anak yang

mampu berpikir dan berbuat untuk dirinya sendiri. Seorang anak yang

mandiri biasanya aktif, kreatif, kompeten, tidak tergantung pada orang

lain, dan tampak spontan. Kemandirian pada anak sangat penting karena

salah satu life skil yang perlu dimiliki.

Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh

secara berhadap selama perkembangan, dimana anak akan terus belajar

untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi lingkungan,

sehingga anak mampu berfikir dan bertindak sendiri. Dengan kemandirian

seorang anak dapat berkembang dengan baik (Lie, Anita & Prasati, 2004).

Kemandirian diartikan sebagai suatu sikap yang harus

dikembangkan oleh seorang anak untuk dapat menjalani kehidupan tanpa

ketergantungan pada orang lain. Kemandirian tidak hanya berlaku bagi

anak tetapi juga pada semua tingkatan usia. Setiap manusia perlu

mengembangkan kemandirian dan melaksanakan tanggung jawab sesuai

dengan kapasitas dan tahapan perkembangannya. Secara alamiah anak

mempunyai dorongan untuk mandiri dan bertanggung jawab atas diri

sendiri. Tanggung jawab merupakan perilaku anak yang menentukan anak

bereaksi terhadap situasi setiap hari, yang memerlukan beberapa jenis

keputusan yang bersifat moral di dalam membentuk kemandirian (Prasasti

& Lie, 2005).

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


Brammer & shostrom (1982), dalam Ali & Asrori (2010)

mengatakan, bahwa pembahasan mengenai kemandirian tidak terlepas dari

pembahasan mengenai perkembangan kemandirian anak itu sendiri.

Soelaeman (1988) dalam Wong (2010) mengatakan bahwa perkembangan

kemandirian merupakan proses yang menyangkut unsur-unsur normatif,

yang mengandung makna bahwa kemandirian merupakan suatu proses

yang terarah. Peran orang tua dalam pengasuhan anak usia prasekolah

sangat penting karena orang tua adalah guru pertama dalam pendidikan

anak untuk mengembangkan kemandiriannya.

Kartadinata (1988) dalam Wong et al ( 2010) mengemukakan

gejala-gejala tersebut sebagai berikut:

a. Ketergantungan disiplin kepada kontrol luar dan bukan karena nilai

sendiri yang ikhlas. Perilaku seperti ini akan mengarah kepada perilaku

formalistik dan ritualistik serta tidak konsisten. Situasi seperti ini akan

menghambat pembentukan etos kerja dan etos kehidupan yang mapan

sebagai salah satu ciri dari kualitas sumber daya dan kemandirian anak.

b. Sikap tidak peduli terhadap lingkungan hidup. Anak mandiri bukanlah

anak yang lepas dari keluarganya melainkan anak yang bertranseden

terhadap keluarganya. Ketidakpedulian terhadap lingkungan hidup

merupakan gejala perilaku impulsif yang menunjukkan bahwa

kemandirian anak masih rendah.

c. Sikap hidup kompromistik tanpa pemahaman dan kompromistik dengan

mengorbankan prinsip. Gejala mitos bahwa segala sesuatunya dapat

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


diatur yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat merupakan

petunjuk ketidakjujuran berfikir dan bertindak serta kemandirian yang

masih rendah.

Gejala-gejala yang di atas merupakan sebagian kendala utama

dalam mempersiapkan kemandirian anak dalam kehidupan dimasa

mendatang yang penuh tantangan.Oleh sebab itu, perkembangan

kemandirian anak menuju kearah kesempurnaan menjadi sangat penting

untuk diikhtiarkan secara serius, sistematis dan terprogram. Perubahan

tata nilai yang terjadi dalam generasi dan antargenerasi akan tetap

memposisikan kemandirian sebagai isu aktual dalam perkembangan

anak (Wong et al. 2010).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian anak

merupakan suatu kemampuan untuk berfikir, merasakan, serta anak

melakukan sesuatu atas dorongan diri sendiri dan mampu mengatur diri

sendiri sesuai dengan kewajibannya dalam kehidupan sehari-hari tanpa

dibantu oleh orang lain.

2. Ciri-Ciri Kemandirian Anak

Adapun ciri khas kemandirian pada anak, diantaranya (Familia,

2006):

a. Anak yang mandiri mempunyai kecenderungan memecahkan masalah

dari pada berkutat dalam kekhawatiran bila terlibat masalah.

b. Anak yang mandiri tidak takut dalam mengambil resiko karena sudah

mempertimbangkan hasil sebelum berbuat.

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


c. Anak percaya terhadap penilaian sendiri, sehingga tidak sedikit-sedikit

bertanya atau meminta bantuan.

d. Anak mempunyai kontrol yang lebih baik terhadap kehidupannya.

Masrun, et.al (1986) membagi kemandirian ke dalam lima

komponenyaitu sebagai berikut:

a. bebas, artinya bertindak atas kehendaknya sendiri bukan karena orang

lain dan tidak bergantung pada orang lain.

b. progresif, artinya berusaha untuk mengejar prestasi, tekun dan

terencana dalam mewujudkan harapannya.

c. Inisiatif, yaitu mampu berpikir dan bertindak secara original, kreatif dan

penuh inisiatif.

d. Terkendali dari dalam, bahwa individu mampu mengatasi masalah yang

dihadapi, mampu mengendalikan tindakannya serta mampu

mempengaruhi lingkungan, dan atas usahanya sendiri.

e. Kemantapan diri (harga diri dan percaya diri), termasuk dalam hal ini

mempunyai rasa percaya terhadap kemampuan diri sendiri, menerima

dirinya dan memperoleh kepuasan dari usahanya.

3. Aspek-Aspek Kemandirian Anak

Menurut Ara (1998). aspek-aspek kemandirian anak sebagai berikut:

a. Kebebasan

Kebebasan merupakan hak asasi bagi setiap manusia, begitu juga

seorang anak. Anak cenderung akan mengalami kesulitan untuk

mengembangkan kemampuan dirinya dan mencapai tujuan hidupnya,

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


bila tanpa kebebasan. Perwujudan kemandirian seseorang dapat dilihat

dalam kebebasannya membuat keputusan.

b. Inisiatif

Inisiatif merupakan suatu ide yang diwujudkan ke dalam bentuk

tingkah laku. Perwujudan kemandirian seseorang dapat dilihat

dalamkemampuannya untuk mengemukakan ide, berpendapat,

memenuhikebutuhan sendiri dan berani mempertahankan sikap.

c. Percaya Diri

Kepercayaan diri merupakan sikap individu yang menunjukkan

keyakinan bahwa dirinya dapat mengembangkan rasa dihargai.

Perwujudan kemandirian anak dapat dilihat dalam kemampuan untuk

berani memilih, percaya akan kemampuannya dalam

mengorganisasikan diri dan menghasilkan sesuatu yang baik.

d. Tanggung Jawab

Aspek tanggung jawab tidak hanya ditunjukkan pada diri anak itu

sendiri tetapi juga kepada orang lain. Perwujudan kemandirian dapat

dilihat dalam tanggung jawab seseorang untuk berani menanggung

resiko atas konsekuensi dari keputusan yang telah diambil,

menunjukkan loyalitas dan memiliki kemampuan untuk membedakan

atau memisahkan antara kehidupan dirinya dengan orang lain

dilingkungannya.

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


e. Ketegasan Diri

Ketegasan diri menunjukkan adanya suatu kemampuan untuk

mengandalkan dirinya sendiri. Perwujudan kemandirian seseorang

dapat dilihat dalam keberanian seseorang untuk mengambil resiko dan

mempertahankan pendapat meskipun pendapatnya berbeda dengan

orang lain.

f. Pengambilan Keputusan

Dalam kehidupannya, anak selalu dihadapkan pada berbagai

pilihan yang memaksanya mengambil keputusan untuk memilih.

Perwujudan kemandirian seseorang anak dapat dilihat di dalam

kemampuan untuk menemukan akar permasalahan, mengevaluasi

segala kemungkinan di dalam mengatasi masalah dan berbagai

tantangan serta kesulitan lainnya, tanpa harus mendapat bantuan atau

bimbingan dari orang yang lebih dewasa.

g. Kontrol Diri

Kontrol diri memiliki pengertian yaitu suatu kemampuan untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, baik dengan

mengubah tingkah laku atau menunda tingkah laku, tanpa peraturan

atau bimbingan dari orang lain. Dengan kata lain, sebagai kemempuan

untuk mengontrol diri dan perasannya, sehingga seseorang tidak

merasa takut, tidak cemas, tidak ragu atau tidak marah yang berlebihan

saat dirinya berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan.

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Anak

Kemandirian bukanlah semata-mata merupakan pembawaan yang

melekat pada diri individu sejak lahir, melainkan dipengaruhi oleh hal-hal

lain. Sehubungan dengan hal ini Ali dan Asrori (2004) menyatakan bahwa

kemandirian berkembang selain dipengruhi oleh fkator instrinsik

(pertumbuhan dan kematangan individu itu sendiri) juga oleh faktor

ekstrinsik (melalui proses sosialisasi di lingkungan tempat individu

berada). Faktor instrinsik seperti kematangan individu, tingkat kecerdasan

dan faktor ekstrinsik adalah hal-hal yang berasal dari luar diri anak seperti

perlakukan orangtua, guru, dan masyarakat.

Sedang menurut Basri (1995), berpendapat bahwa faktor-faktor

yang dapat mempengaruhi pembentukan kemandirian anak sebagai

berikut:

a. Faktor Internal

Faktor internal merupakan semua pengaruh yang bersumber dari

dalam diri anak itu sendiri, seperti keadaan keturunan dan konstitusi

tubuhnya sejak lahir dengan segala perlengkapan yang melekat

padanya.

1) Faktor Peran Jenis Kelamin

Secara fisik anak laki-laki dan wanita tampak jelas

perbedaan dalam perkembangan kemandiriannya. Dalam

perkembangan kemandirian anak perempuan biasanya lebih aktif

dari pada anak laki-laki.

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


2) Faktor Kecerdasan atau Intelegensi

Anak yang memiliki intelegensi yang tinggi akan lebih

cepat menangkap sesuatu yang membutuhkan kemampuan

berfikir. Sehingga, anak yang cerdas cenderung cepat dalam

membuat keputusan untuk bertindak, disamakan dengan

kemampuan menganalisis yang baik terhadap resiko-resiko yang

akan dihadapi. Intelegensi berhubungan dengan tingkat

kemandirian anak. Artinya, semakin tinggi intelegensi seseorang

anak maka semakin tinggi pula tingkat kemandiriannya.

3) Faktor Perkembangan

Kemandirian akan banyak memberikan dampak yang

positif bagi perkembangan anak. Oleh sebab itu, orang tua perlu

mengajarkan kemandirian sedini mungkin sesuai dengan

kemampuan anak.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan pengaruh yang berasal dari luar anak,

sering pula dinamakan faktor lingkungan. Lingkungan kehidupan yang

dihadapi anak sangat mempengaruhi perkembangan keperibadian

seseorang, baik dalam segi-segi positif maupun negatif. Biasanya

lingkungan keluarga, sosial, dan masyarakat itu juga mempengaruhi

perkembangan kepribadian anak. Meskipun cenderung akan

berdampak positif dalam hal kemandirian anak terutama dalam bidang

nilai dan kebiasaan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan.

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


1) Faktor Pola Asuh

Guna dapat mandiri seseorang membutuhkan kesempatan,

dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan di

sekitarnya. Pada saat ini orang tua dan respon dari lingkungan

sangat diperlukan bagi anak untuk setiap perilaku yang telah

dilakukannya.

2) Faktor Sosial Budaya

Faktor sosial budaya merupakan salah satu faktor eksternal

yang mempengaruhi kemandirian anak, terutama di Indonesia

yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dengan latar

belakang sosial budaya yang beragam.

5. Kemandirian anak PHBS

Istilah kemandirian pada anak PHBS biasanya dikaitkan dengan

kemampuan untuk melakukan segala sesuatunya sendiri. Kemandirian

yang diharapkan dapat dilakukan oleh anak meliputi: memakai baju

sendiri, memakai sepatu dan menalikan sepatunya sendiri tanpa tergantung

pada bantuan oranglain, mencuci tangan sesudah dan sebelum makan,

membersihkan tangan dan kaki jika kotor (Berk,2004).

Kemandirian anak PHBS harus dibina sejak usia dini,seandainya

kemandirian anak diusahakan setelah anak besar, kemandirian itu akan

menjadi tidak utuh. Secara alamiah anak sudah mempunyai dorongan

untuk mandiri atas dirinya sendiri. Mereka terkadang lebih senang untuk

bisa mengurus dirinya sendiri dari pada dilayani. Sayangnya orangtua

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


sering menghambat keinginan anak untuk mandiri. Kemandirian yang

diajarkan sejak dini akan membuat anak dapat mengatur waktu

kegiatannya sendiri dan terbiasa menolong oranglain serta lebih bisa

menghargai oranglain(Sidharto & Izzaty,2004

D. Kerangka Teori

Faktor yang
mempengaruhi
E. pola
Pola Asuh orangtua :
asuh orangtua :
F. 1. Permisif Kemandirian pada
1. Pendidikan anak PHBS
G. orangtua 2. Otoriter
3. Otoritatif
2. Usia orangtua
H.3. Keterlibatan
ayah
I. Faktor yang mempengatuhi :

1. Faktor Internal
Faktor Internal : 2. Faktor Eksternal
1. Jenis kelamin
2. Kecerdasan
3. Perkembangan

Faktor Eksternal :

1. Pola asuh orangtua


2. Lingkungan
masyarakat

Gambar 2.1 Kerangka Teori

(Hogg & Blau, 2004; Hufad, 2000; Shochib, 2000; Ubaedy, 2009)

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015


E . Kerangka Konsep

Karakteristik
Responden :

1. Umum

2. Pendidikan

3. Pekerjaan
Kemandirian PHBS

Pola Asuh orangtua:

• Permisif
• Otoriter
• Otoritatif

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

(bagan kerangka konsep dari penelitian pola asuh orangtua)

F. Hipotesa Penelitian

Menurut Sugiyono (2009), hipotesa merupakan jawaban sementara

terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian

telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan. Hipotesis yang diangkat dalam

penelitian ini penulis, yaitu :

1. Ada hubungan antara karakteristik reponden (Umur, pendidikan, dan

pekerjaan) dengan kemandirian PHBS

2. Ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan kemandirian PHBS

Hubungan Karakteristik dan..., Febriana Wahyuningtyas, S1 Keperawatan UMP, 2015

Anda mungkin juga menyukai