Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
DHF
Oleh
Dosen Pembimbing
dr. Hj. Sukartini, Sp. A.
1
2017
LEMBAR PERSETUJUAN
TUTORIAL KLINIK
Oleh :
Pembimbing
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan Tutorial Klinik tentang “Dengue
Hemorrhagic Fever Grade II”. Tutorial Klinik ini disusun dalam rangka tugas
kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan tutorial klinik ini tidak
lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp. A, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Hj. Sukartini, Sp. A, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan saran selama penulis menjalani co-assistance di Laboratorium
Ilmu Kesehatan Anak, terutama di divisi Infeksi Tropis.
5. Dosen-dosen klinik dan preklinik FK Universitas Mulawarman khususnya staf
pengajar Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak, terima kasih atas ilmu yang telah
diajarkan kepada penulis.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan tutorial klinik ini.
Akhir kata, semoga tutorial klinik ini berguna bagi penyusun sendiri dan para
pembaca.
Penyusun
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
Sampai saat ini infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di
Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DHF
oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan
tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DHF, khususnya
pada anak. Menurut data di Depkes RI (2010), penyakit DHF di Indonesia
pada tahun 2008 terdapat 137.469 kasus, 1.187 kasus diantaranya meninggal,
CFR (Case Fatality Rate) sebesar 0,86%. Pada tahun 2009 terdapat 154.855
kasus, 1.384 kasus diantaranya meninggal, CFR sebesar 0,89%.
5
Penyakit DHF yang tidak segera mendapat perawatan mencapai 50%, akan
tetapi angka kematian tersebut dapat diminimalkan mencapai 5% bahkan bisa
mencapai 3% atau lebih rendah lagi dengan tindakan atau pengobatan cepat.
Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas maka, pada laporan kasus ini
akan lebih banyak dibahas mengenai DHF, sehingga dapat memberikan informasi
dan menambah pengetahuan yang benar kepada pasien, keluarga, maupun
masyarakat.
1.2 Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Mengetahui tentang Dengue Hemorrhagic Fever dan perbandingan antara
teori dengan kasus nyata Dengue Hemorrhagic Fever.
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui teori tentang Dengue Hemorrhagic Fever yang mencakup:
a. Definisi
b. Epidemiologi
c. Etiologi
d. Manifestasi Klinis
e. Diagnosis
f. Penatalaksanaan
g. Prognosis
2. Mengetahui perbandingan antara teori dengan kasus Dengue Hemorrhagic
Fever yang terjadi di Ruang Melati RSUD Abdul Wahab Syahranie
Samarinda. Mengkaji ketepatan penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan
dalam kasus ini.
1.3 Manfaat
1.3.1. Manfaat Ilmiah
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran
terutama bidang Ilmu Kesehatan Anak divisi Infeksi Tropis, khususnya tentang
Dengue Hemorrhagic Fever.
6
1.3.2. Manfaat bagi Pembaca
Laporan ini diharapkan menjadi sumber pengetahuan bagi penulis dan
pembaca mengenai Dengue Hemorrhagic Fever.
7
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas pasien
- Nama : An. AZ
- Jenis kelamin : Laki - Laki
- Umur : 5 tahun
- Alamat : Jl. Pasundan No. 7 Samarinda
- MRS : 30 September 2017
- No. RM : 960551
- Kamar : Melati 16
8
Anamnesis
Keluhan Utama :
Demam
Pasien datang dengan keluhan demam sejak 3 hari yang lalu, demam
dirasakan naik turun tetapi paling terasa pada siang hari. Demam disertai dengan
menggigil pada malam hari. Pasien juga mengeluhkan BAB cair berwarna hitam
sebanyak 1 kali pada pagi hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan lain mual
(+), nyeri kepala (+), muntah (-), gangguan BAK (-), dan kejang (-).
1. Tidak ada
2. Riwayat MRS disangkal
Tidak ada.
Gigi keluar :-
9
Tersenyum : 4 bulan
Miring : 6 bulan
Tengkurap :-
Duduk :-
Merangkak :-
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 9 bulan
Tim saring :-
Pemeliharaan Prenatal
Penyakit Kehamilan :-
10
Riwayat Kelahiran :
Lahir di : Rumah
Pemeliharaan postnatal :
IMUNISASI
PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : E4V5M6
11
Tanda Vital
Antropometri
Berat badan : 15 kg
Kepala
Leher
Thoraks
12
Palpasi : Fremitus raba dekstra = sinistra, Ictus cordis teraba icv V
MCLS
Batas jantung
Abdomen
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Akral hangat (+), oedem (-), capillary refill test < 2
detik, sianosis (-), pembesaran KGB aksiler (-/-),
pembesaran KGB inguinal (-/-), petekia (+) dengan
rample leed.
Pemeriksaan Penunjang
13
Eritrosit 4.550.000 4.470.000 4.180.000 4.310.000 3.900.000-5.900.000
Hb 12.8 12.9 12.2 12.6 14 – 18
HCT 37.8 % 38.7% 35.9 % 37.2 % 34-40 %
PLT 83.000 61.000 56.000 76.000 150.000-450.000
Pemeriksaan (30/09/17)
Hasil Nilai Rujukan
Imuno-Serologi
Dengue Ig G Negatif Negatif
Dengue Ig M Positif Negatif
NS1 Positif Negatif
Follow Up
14
Hasil lab 16.00
-Hb : 12 -Hct : 36%
-leu : 2.500 -Tr: 71.000
IVFD RL 7 cc/kgBB/jam
Hasil lab 10.00
Pemeriksaan DL/6 jam
-Hb : 12.9 -Hct: 38%
-leu : 4.800 -Tr: 71.000
Hasil lab16.30
-Hb : 13.3 -Hct: 38%
-leu : 5.570 -Tr: 57.000
IVFD RL 5cc/kgBB/jam
Hasil lab 22.50
Pemeriksaan DL/8 jam
15
-Hb: 12.2 -Hct: 38%
-leu : 5.570 -Tr: 56.000
16
nyeri mc.burney (-),
akral hangat (+)
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.2. Epidemiologi
Beberapa faktor resiko yang dikaitkan dengan demam dengue dan demam
berdarah dengue antara lain : demografi dan perubahan sosial, suplai air,
manejemen sampah padat, infrastruktur pengontrol nyamuk, consumerism,
peningkatan aliran udara dan globalisasi, serta mikroevolusi virus. Indonesia
berada di wilayah endemis untuk demam dengue dan demam berdarah dengue.
Hal tersebut berdasarkan penelitian WHO yang menyimpulkan demam dengue
dan demam berdarah dengue di Indonesia menjadi masalah kesehatan mayor,
tingginya angka kematian anak, endemis yang sangat tinggi untuk keempat
serotype, dan tersebar di seluruh area (WHO, 2011).
Selama 5 tahun terakhir, insiden DBD meningkat setiap tahun. Insiden
tertinggi pada tahun 2007 yakni 71,78 per 100.000 pddk, namun pada tahun 2008
18
menurun menjadi 59,02 per 100.000 penduduk. Walaupun angka kesakitan sudah
dapat ditekan namun belum mencapai target yang diinginkan yakni <20 per
100.000 penduduk (Depkes, 2011).
Gambar 1.1 Angka kesakitan dan kematian demam berdarah dengue di Indonesia
(Depkes, 2011)
3.3. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus
dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus
19
merupakan virus RNA yang terdiri dari core, membrane asosiated protein, protein
envelope, dan beberapa protein non structural.
Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4
yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue
keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype
terbanyak. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur
hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungnan
terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue
dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis
serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia (Depkes
RI, 2006; WHO, 2011).
3.4. Patofisiologi
Pada DBD terdapat kejadian unik yaitu terjadinya kebocoran plasma
kedalam rongga pleura dan rongga peritoneal. Kebocoran plasma terjadi singkat
dalam 24-28 jam (Soedarmo, 2012).
Beberapa kondisi yang ditemukan pada kasus DBD, sebagai berikut:
a. Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan
membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi,
trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada
kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human albumin sebagai
indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit
mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok.
Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan
dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah.
Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok
terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskular (ruang
interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung
dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun
dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada
20
otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus, dan terdapatnya
edema (Soedarmo, 2012).
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif
dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat
diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan
perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak
ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat dekstruktif atau
akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional
dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang
bekerja secara cepat. Gambaran mikroskop elektron biopsi kulit pasien DBD pada
masa akut memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka
akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang
diberi histamin atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia (Soedarmo,
2012).
b. Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada
sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan
mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat
meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari
sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya
megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit
diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain
trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan
radioisotop membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem
retikuloendotel, limpa dan hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak
diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue,
komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem
pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi
trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis
terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan
21
gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya
perdarahan pada DBD (Soedarmo, 2012).
22
kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan
syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis
metabolik.
4. Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus
dengan kekurangan antitrombin III, respon pemberian heparin akan
berkurang (Soedarmo, 2012).
d. Sistem Komplemen
Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar
C3, C3 proaktivaktor, C4, dan C5 baik pada kasus yang disertai syok maupun
tidak. Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat
penyakit. Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi
komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif. Hasil
penelitian radio isotop mendukung pendapat bahwa penurunan kadar serum
komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan oleh karena
produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan
anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan stimulasi sel mast untuk
melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan
peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan plasma dan syok hipopolemik.
Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan
trombosit dan limfosit T, yang menimbulkan waktu paruh trombosit memendek,
kebocoran plasma, syok, dan perdarahan. Disamping itu komplemen juga
merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor nekrosis faktor
(TNF), interferon gama, interleukin (IL-2 dan IL-1) (Soedarmo, 2012).
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah
(1) ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam, (2) adanya
kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex) baik pada DBD
derajat ringan maupun berat, (3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif
kompleks imun dengan derajat berat penyakit (Soedarmo, 2012).
23
e. Respon Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat
peningkatan limfosit atopik yang berlangsung sampai hari ke delapan.
Pemeriksaan limfosit plasma biru secara seri dari preparat hapus darah tepi
memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari ke
enam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari keempat sampai kedelapan
demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD dengan demam
dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran
antara limfosit B dan limfosit T. (Soedarmo, 2012)
Hemostatis abnormal yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopeni
dan koagulopati, mendahului terjadinya manifestasi perdarahan. Aktivasi sistem
komplemen selalu dijumpai pada pasien DBD kadar C3 dan C5 rendah,
sedangkan C3a dan C5a meningkat. Mekanisme aktivasi komplemen tersebut
belum diketahui. Adanya kompleks imun telah dilaporkan pada DBD. Namun
demikian peran kompleks antigen-antibodi sebagai penyebab aktivasi komplemen
pada DBD belum terbukti.
Selama ini diduga bahwa derajat keparahan penyakit DBD dibandingkan
dengan DD dijelaskan adanya pemacuan dari multiplikasi virus di dalam
makrofag oleh antibodi heterotipik sebagai akibat infesi dengue sebelumnya.
Namun demikian terdapat bukti bahwa faktor virus serta respon imun cell-
mediated terlibat juga dalam patogenesis DBD.
3.5. Patogenesis
Patogenesis dan patofisiologi, patogenesis DBD tidak sepenuhnya dipahami
namun terdapat 2 perubahan patofisiologi yang dominan, yaitu meningkatnya
permeabilitas kapiler yang mengakibatkan bocornya plasma, hipovolemia dan
terjadinya syok (Soedarmo, et al. 2012).
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah :
a. Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berparan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimeasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibody. Antibody terhadap virus dengue berperan dalam
24
mempercepat replikasi virus pad monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut
antibody dependent enhancement (ADE).
b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam
respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1
akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10.
c. Monosit dan makrolag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi
virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.
d. Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a.
25
3.6. Manifestasi Klinis
26
costae dexter ), dan nyeri seluruh perut. Kadang-kadang demam mencapai 40-41
derajat C, dan terjadi kejang demam pada balita.
DHF adalah komplikasi serius dengue yang dapat mengancam jiwa penderitanya,
oleh :
1. Demam tinggi yang terjadi tiba-tiba
2. Manifestasi pendarahan
3. Hepatomegali atau pembesaran hati
Kadang-kadang terjadi shock manifestasi pendarahan pada DHF, dimulai
dari test torniquet positif dan bintik-bintik pendarahan di kulit ( ptechiae ).
Ptechiae ini bisa terjadi di seluruh anggota gerak, ketiak, wajah dan gusi, juga bisa
terjadi pendarahan hidung, gusi, dan pendarahan dari saluran cerna, dan
pendarahan dalam urine.
Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu (Pudjiadi, et al.,
2009):
1. Silent dengue atau Undifferentiated fever
Pada bayi, anak, dan dewasa yang terinfeksi virus dengue untuk pertama
kali mungkin akan berkembang gejala yang tidak bisa dibedakan dari infeksi
virus lainnya. Bercak maculopapular biasanya mengiringi demam. Biasanya juga
muncul gejala saluran pernafasan atas dan gejala gastrointestinal (WHO, 2011).
27
demam yang sangat tinggi, disertai dengan tanda dan gejala yang sama dengan
demam dengue. Gejala perdarahan yang muncul dapat berupa tes torniquet yang
positif, ptekie, perdarahan gastrointestinal yang masif. Saat akhir dari fase
demam, ada tendensi untuk berkembang menjadi keadaan syok hipovolemik oleh
karena adanya plasma leakage (WHO, 2011).
Demam berdarah dengue biasa terjadi pada anak dengan infeksi sekunder
virus dengue yang mana sudah pernah terinfeksi oleh virus dengue DEN-1 dan
DEN-3 (WHO, 2011).
28
Demam Dengue
Masa inkubasi antara 4 – 6 hari (berkisar 3 – 14 hari) disertai gejala
konstitusional dan nyeri kepala, nyeri punggung, dan malaise (WHO,2011).
Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya trias yaitu demam tinggi, nyeri
pada anggota badan dan ruam/rash (Soedarmo, 2012).
Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39oC sampai 40oC dan demam
bersifat bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari (WHO, 2011).
Ruam kulit : kemerahan atau bercak-bercak merah yang terdapat di dada,
tubuh serta abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka. Ruam bersifat
makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam timbul pada 6-12 jam
sebelum suhu naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari
(Soedarmo, 2012).
Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan tidak
nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering
ditemukan. Gejala klinis lainnya meliputi fotofobia, berkeringat, batuk. Kelenjar
limfa servikal dilaporkan membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai
Castelani’s sign yang patognomonik (Soedarmo, 2012).
Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopeni selama periode pra
demam dan demam, nutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia
relatif dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa konvalesens.
Eusinofil menurun atau menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit,
hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma
meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya
trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu
(Soedarmo, 2012).
Pada daerah endemis, tes torniquet yang positif dan leukopenia ( < 5.000
cell/mm3) dapat membantu penegakan diagnosis dari infeksi dengue dengan
angka prediksi 70 – 80 %. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan (WHO,
2011):
Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian
leukopeni hingga periode demam berakhir
29
Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme
pembekuaan darah. Pada beberapa epidemi biasanya terjadi trombositopeni
Serum biokimia/enzim biasanya normal, kadar enzim hati mungkin
meningkat.
Peningkatan hematokrit ringan oleh karena akibat dari dehidrasi dikaitkan
dengan demam yang tinggi, muntah, anoreksia, dan minimnya intake oral.
Penggunaaan analgesik, antipiretik, antiemetik, dan antibiotik dapat
mengintervensi peningkatan hasil laboratorium fungsi hepar dan pembekuan
darah.
30
Dengue Shock Syndrome
Pada DSS dijumpai adanya manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi
lemah dan cepat, tekanan nadi menurun (<20mmHg), hipotensi, kulit dingin dan
lembab dan pasien tampak gelisah.
3.7. Diagnosis
Diagnosis DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan
laboratorium (WHO, 2011). Kriteria klinis meliputi :
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-
Hepatomegali
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (≤20
mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien
tampak gelisah.
Kriteria laboratorium :
Trombositopenia (≤100.000/mikroliter)
31
Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis,
hematokrit, dan trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1
32
setelah demam dan akan menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari
sakit ke-5-6. Deteksi antigen virus ini dapat digunakan untuk diagnosis
awal menentukan adanya infeksi dengue, namun tidak dapat membedakan
penyakit DD/DBD.
33
Gambar 1.10 Pemeriksaan IgM, IgG, dan NS-1
Pada fase awal demam dari demam berdarah dengue, diagnosis banding
meliputi infeksi spektrum luas oleh virus, bakteri, dan protozoa, sama halnya
dengan diagnosis banding dari demam dengue. Adanya trombositopenia disertai
dengan hemokonsentrasi membedakan demam berdarah dengue dengan penyakit
yang lainnya. Hasil yang normal dari ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate) dapat
membedakan dengue dengan infeksi bakteri dan syok septik (WHO, 2011).
34
Gambar 1.11 Manifestasi DBD dibandingkan dengan Demam Chikungunya
3.9. Penatalaksanaan
35
demam, disamping diberikan antipiretik, diberikan pula antikonvulsif selama
masih demam.
Masa kritis ialah pada atau setelah hari sakit yang ke 3 – 5 yang
memperlihatkan penurunan tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam
hematokrit yang menunjukkan adanya kehilangan cairan, Observasi tanda vital,
kadar hematokrit, trombosit dan jumlah urin 6 jam sekali (minimal 12 jam sekali)
perlu dilakukan. Kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan volume
replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok.
Cairan intravena diperlukan apabila :
1. Anak terus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak
mungkin diberikan minum per oral
2. Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala
Pada pasien DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus selama
< 7 hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan, disertai
penurunan jumlah trombosit, dan peningkatan kadar hematokrit. Pada saat pasien
dating, berikan cairan kristaloid 7 ml/KgBB/jam. Monitor tanda vital dan kadar
hematokrit serta trombosit tiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12 – 24 jam. Apabila
selama observasi keadaan umum membaik, yaitu anak tampak tenang, tekanan
nadi kuat, tekanan darah stabil, dan kadar PCV cenderung turun minimal dalam 2
kali pemeriksaan berturut – turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5
ml/KgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil,
tetesan dikurangi menjadi 3 ml/KgBB/jam dan akhirnya cairan dihentikan dalam
24 – 48 jam. Apabila keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, yaitu : anak
tampak gelisah, nafas cepat, frekuensi nadi meningkat, deuresis kurang, tekanan
nadi < 20 mmHg memburuk, serta peningkatan PCV, maka tetesan dinaikkan
menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan setelah 12 jam, maka
tetesan di naikkan menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan
klinis setelah 12 jam, cairan dinaikkan menjadi 15 ml/KgBB/jam. Kemudian
dievaluasi 12 jam lagi. Apabila tampak distress pernafasan menjadi lebih berat
dan ht naik maka berikan koloid 10 – 20 ml/KgBB/jam, dengan jumlah maksimal
30 ml/KgBB. Namun bila Ht atau Hb turun, berikan tranfusi darah segar 10
ml/KgBB/jam.
36
Bila terdapat asidosis, ¼ dari cairan total dikeluarkan dan diganti dengan
larutan berisi 0,167 mol/liter Natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan NaCl
0,9 % + glukosa ditambah ¼ Natrium bikarbonat). Volume dan komposisi cairan
yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai
sedang, yaitu cairan rumatan ditambah deficit 6 % (5 – 8 %) seperti tertera pada
tabel dibawah ini.
Tabel 1.2 Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang ( Defisit Cairan 5 – 8 %)
Berat Waktu Masuk (Kg) Jumlah Cairan tiap hari
< 7 Kg 220 ml/KgBB/hari
7 – 11 Kg 165 ml/KgBB/hari
12 – 18 Kg 132 ml/KgBB/hari
> 18 Kg 88 ml/KgBB/hari
Sindroma syok dengue adalah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat,
nadi teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit, bibir biru,
tangan dan kaki dingin, dan tidak ada produksi urin. Langkah yang harus
dilakukan adalah segera berikan infus kristaloid 20 ml/KgBB secepatnya dalam
30 menit dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat 20 ml/KgBB/jam diberikan
bersama koloid 10 – 20 ml/KgBB/jam. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit,
hematokrit dan trombosit tiap 4 – 6 jam, serta periksa pula elektrolit dan gula
darah.
Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan kristaloid
belum dilanjutkan 20 ml/KgBB, ditambah plasma atau koloid sebanyak 10 – 20
ml/KgBB maksimal 30 ml/KgBB. Koloid ini diberikan pada jalur infus yang sama
dengan kristaloid, diberikan secepatnya. Observasi keadaan umum, tekanan darah,
keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4 – 6 jam. Lakukan pula
koreksi terhadap asidosis, elektrolit, dan gula darah.
Apabila syok teratasi disertai penurunan kadar Hb/Ht, tekanan nadi > 20
mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/KgBB/jam dan
dipertahankan hingga 24 jam atau sampai klinis stabil dan Ht menurun < 40%.
Selanjutnya cairan diturunkan menjadi 7 ml/KgBB sampai keadaan klinis dan Ht
stabil, kemudian secara bertahap diturunkan menjadi 5 ml/Kg/BB/jam dan
37
seterusnya 3 ml/Kg/BB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam
setelah syok teratasi. Apabila syok belum teratasi, sedangkan Ht menurun tapi
masih > 40%, berikan darah dalam volume kecil 10 ml/KgBB. Apabila tampak
perdarahan massif, berikan darah segar 20 ml/KgBB dan lanjutkan cairan
kristaloid 10 ml/Kg/BB/jam. Pemasangan CVP pada syok berat kadang
diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan
Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan
resusitasi kristaloid maka cairan koloid harus diberikan sebanyak 10 – 20
ml/kgBB/jam. Cairan koloid tersebut antara lain :
1. Dekstan
2. Gelatin
3. Hydroxy Ethyl Starch (HES)
4. Fresh Frozen Plasma (FFP)
Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat
traumatis untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan
homeostasis sehingga mudah terjadi perdarahan dan infeksi, disamping prosedur
pengerjaannya juga tidak mudah dan manfaatnya juga tidak banyak.
Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan
bila terjadi perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan
suspensi trombosit maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen
plasma (FFP) yang masih mengandung faktor-faktor pembekuan untuk mencegah
agregasi trombosit yang lebih hebat. Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula
diberikan packed red cell (PRC).
Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali
dalam intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk
mencegah terjadinya edem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh)
bila terdapat penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi
hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak
masih sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan tampak kadar
hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan transfusi.
Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:
38
Alur Tatalaksana (IDAI, 2009)
39
Alur Tatalaksana II (IDAI, 2009)
40
Alur Tatalaksana III (IDAI, 2009)
41
Alur Tatalaksana IV (IDAI, 2009)
Pemberian cairan yang overload tergantung pada kondisi anak sedang shock atau
tidak. Apabila dalam keadaan shock dapat dilakukan (WHO, 2013):
- Ulangi pemberian bolus larutan koloid dengan pemberian inotropik untuk
membantu sirkulasi
42
- Hindari pemberian diuretik karena dapat menyebabkan deplesi cairan
intravaskular
- Aspirasi efusi pleura yang banyak atau asites dapat membantu meredakan
gejala pernapasan tetapi dapat menyebabkan perdarahan selama prosedur.
- Jika tersedia, berikan ventilasi tekanan positif sebelum terjadi edema pulmonal
Jika shock telah teratasi tetapi anak sulit untuk bernapas dan terjadi efusi yang
besar, berikan furosemide oral IV 1 mgkg sekali sampai dua kali sehari selama 24
jam dan terapi oksigen (WHO, 2013).
Jika shock telah teratasi dan anak dalam kondisi stabil, hentikan pemberian cairan
IV dan biarkan bed rest selama 24-48 jam (WHO, 2013).
Pemantauan anak dengan shock:
Harus diperiksa tanda vital anak setiap jam (terutama tekanan nadi) hingga pasien
stabil dan periksa nilai hematokrit setiap 6 jam. Dokter harus mengkaji ulang
pasien sedikitnya 6 jam (WHO, 2013).
3.10. Prognosis
Bila tidak disertai renjatan dalam 24 – 36 jam, biasanya prognosis akan
menjadi baik. Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda perbaikan, kemungkinan
sembuh kecil dan prognosisnya menjadi buruk. Penyebab kematian Demam
Berdarah Dengue cukup tinggi yaitu 41,5 %. Secara keseluruhan tidak terdapat
perbedaan antara jenis kelamin penderita demam berdarah dengue, tetapi
kematian lebih banyak ditemukan pada anak perempuan daripada laki – laki.
Penyebab kematian tersebut antara lain :
1. Keterlambatan diagnosis
2. Keterlambatan diagnosis shock
3. Keterlambatan penanganan shock
4. Shock yang tidak teratasi
5. Kelebihan cairan
6. Kebocoran yang hebat
7. Pendarahan masif
8. Kegagalan banyak organ
9. Ensefalopati
43
10. Sepsis
11. Kegawatan karena tindakan
44
BAB IV
PEMBAHASAN
TEORI KASUS
ANAMNESIS
Bentuk klasik dari DBD ditandai Demam sejak 3 hari SMRS, demam
dengan demam tinggi mendadak 2-7 dirasakan naik turun
hari, disertai dengan muka kemerahan. Mual sehingga nafsu makan
Keluhan seperti anoreksia, sakit menurun
kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, Sakit kepala
dan muntah sering ditemukan. BAB hitam cair 1 hari sebelum
Beberapa penderita mengeluh nyeri masuk RS
menelan, namun jarang ditemukan
batuk pilek. Biasanya juga ditemukan
nyeri perut dirasakan diepigastrium,
dibawah tulang iga, dan nyeri
abdominal generalisata.
Bentuk perdarahan yang paling sering
ditemukan adalah uji Tourniquet
(Rumple leede) positif, kulit mudah
memar dan perdarahan pada bekas
suntikan intravena atau pada bekas
pengambilan darah. Kebanyakan kasus
petekie halus ditemukan tersebar
didaerah ekstremitas, aksila, wajah,
dan palatum mole yang biasanya
ditemukan pada fase awal dari demam.
Epistaksis dan perdarahan gusi lebih
45
jarang ditemukan, perdarahan saluran
cerna ringan dapat ditemukan pada
fase demam.
46
PEMERIKSAAN FISIK
Suhu biasanya tinggi (>390C), Compos mentis
kadang suhu mugkin setinggi 40- TD = 110/50 mmHg
410C Nadi = 118 x/menit
Perdarahan kulit seperti uji Frekuensi napas = 28x/menit
tourniquet (rumple leede) positif, Suhu = 38,80C
petekie, purpura, ekimosis, dan Uji tourniquet (+), petekie
perdarahan konjungtiva. (+)
Perdarahan lain epistaksis, Akral hangat
perdarahan gusi, melena, dan
hematemesis.
Hepatomegali
Syok ditandai nadi cepat dan lemah,
hipotensi, kaki dan tangan dingin
Pada demam berdarah dengue suhu biasanya tinggi (>390C), kadang suhu
mugkin setinggi 40-410C; konvulsi febris dapat terjadi, terutama pada bayi. Pada
beberapa penderita dapat dilihat kurva yang menyerupai pelana kuda atau bifasik,
tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua
penderita sehingga tidak dapat dianggap patognomonik. Fase kritis sekitar hari ke-
3 hingga ke 5 perjalanan penyakit. Dalam kasus ini suhu badan pasien dalam
keadaan demam yaitu 38,8oC.
Uji tourniquet sebagai manifestasi perdarahan kulit paling ringan dapat
dinilai sebagai uji presumtif oleh karena uji ini positif pada hari-hari pertama
demam. Uji dinyatakan positif apabila pada satu inci persegi (2,5x2,5 cm) didapat
lebih dari 20 petekie. Pada DBD, uji tourniquet pada umumnya memberikan hasil
positif. Pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif atau positif lemah selama
masa syok. Apabila pemeriksaan diulang setelah syok ditanggulangi, pada
umunya akan didapat hasil positif, bahkan positif kuat. Selain itu manifestasi
perdarahan dapat berupa petekie, epistaksis, gusi berdarah dan melena. Pada
pasien ini ditemukan manifestasi perdarahan berupa petekie dan melena.
47
Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan
penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4 cm
di bawah lengkungan iga kanan. Proses pembesaran hati, dari tidak teraba menjadi
teraba, dapat meramalkan perjalanan penyakit DBD. Derajat pembesaran hati
tidak sejajar dengan beratnya penyakit, namun nyeri tekan pada daerah tepi hati,
berhubungan dengan adanya perdarahan, nyeri perut lebih tampak jelas pada anak
besar dari pada anak kecil. Pada sebagian kasus dapat dijumpai ikterus. Hati pada
anak umur 4 tahun dan/ atau lebih dengan gizi baik biasanya tidak dapat diraba.
Pada pasien ini tidak ditemukan adanya hepatomegali.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Leukosit normal, leukopenia atau 23 Mei 2017
leukositosis -Hb : 12.9 g/dl
Trombositopenia -Hct: 38 %
3
Peningkatan hematokrit 20% atau -leu : 5.900 /mm
3
lebih dibandingkan nilai hematokrit -Tr: 61.000 /mm
pada masa sebelum sakit atau masa
konvalesen 24 Mei 2017
48
Jumlah leukosit bervariasi dapat normal, leukopenia dan leukositosis.
Tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil. Peningkatan jumlah sel
limfosit atipikal atau limfosit plasma biru (LpB) > 4% di darah tepi dapat
dijumpai pada hari sakit ketiga sampai hari ke tujuh. Pada kasus ini leukosit dalam
batas normal dan selama perawatan mengalami leukositosis.
Penurunan jumlah trombosit menjadi <100.000/l atau kurang dari 1-2
trombosit/lapangan pandangan besar (lpb) dengan rata-rata pemeriksaan
dilakukan pada 10 lpb. Pada umumnya trombositopenia terjadi sebelum ada
peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun, Jumlah trombosit
<100.000/l biasanya ditemukan antara hari sakit ketiga sampai ketujuh.
Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa jumlah trombosit
dalam batas normal atau menurun. Pemeriksaan dilakukan pertama pada saat-saat
pasien diduga menderita DBD, bila normal maka diulang pada hari sakit ketiga,
tetapi bila perlu, diulangi setiap hari sampai suhu turun. Pasien datang pada hari
sakit ketiga, ditemukan trombositopenia pada pemeriksaan darah lengkap.
Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan hemokonsentrasi selalu
dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka akan terjadinya perembesan
plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala. Pada
umumnya penurunan trombosit mendahului penlngkatan hematokrit.
Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20% atau lebih (misalnya dari
35% menjadi 42%), mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan
perembesan plasma. Perlu mendapat perhatian bahwa nilai hematokrit dipengaruhi
oleh penggantian cairan atau perdarahan. Pada kasus ini tidak mengalami
peningkatan hematokrit 20% atau lebih.
Dengue blot merupakan teknik yang baru dikembangkan dan merupakan
uji serologis dengue yang banyak dipakai saat ini. Uji ini dipakai untuk
mendeteksi adanya antibodi yang reaktif terhadap virus dengue serotipe 1, 2, 3
dan 4 dalam plasma atau serum penderita yang dicurigai menderita demam
dengue/demam berdarah dengue. Infeksi primer dan sekunder dibedakan melalui
respon imum yang tampak dari titer IgM dan IgG, yang kinetiknya mengalami
perubahan menyolok pada 3 fase yakni fase akut (sakit hari ke 2-4), fase
49
konvalesen dini (sakit hari ke 8-11) dan fase konvalesen (setelah hari ke 15). IgM
terdeteksi sejak hari ke 4-5 pada infeksi sekunder, dan sejak hari ke 5-10 pada
infeksi primer, meningkat sampai 3 minggu, menghilang setelah 60-90 hari. IgG
pada infeksi primer terdeteksi pada hari ke 14, pada infeksi sekunder terdeteksi
pada hari ke 2. Pada kasus ini, IgM positif pada hari ke 4 dan IgG negatif yang
berarti pasien pada kasus ini mengalami infeksi sekunder.
DIAGNOSIS
- Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Anamnesis
Lab 1. Demam sejak 3 hari SMRS,
- Demam mendadak, naik turun, mengingau
- Demam mendadak terus menerus (-)
2-7 hari tanpa sebab yang jelas. 2. Torniquet test (+)
Tipe demam bifasik (saddleback). 3. Mimisan (-)
- Manifestasi perdarahan, salah satu4. Muntah darah (Hematemesis) (-)
tergantung: 5. Melena (+)
6. Tidak terjadi hemokonsentrasi
o Uji torniket (+)
dengan peningkatan Hct >20%
o Petechie, ekhimosis
7. Trombositopenia (+)
ataupun purpura
o Perdarahan mukosa traktus
gastrointestinal, epistaksis, Hasil Lab (22/05/2017):
perdarahan gusi
o Hematemesis dan melena Leu : 2.070 sel/ mm3
- Hepatomegali
Hb : 12.8 g/dl
- Kriteria Laboratoris
Hct : 37,8 %
o Trombositopenia (trombosit
< 100.000 /ul) Tro: 83.000 sel/ mm3
- Hemokonsentrasi (Peningkatan Ht
20% atau penurunan Ht 20%
setelah mendapat terapi cairan).
Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium (atau
hanya peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan diagnosis kerja DBD.
Gejala klinis berikut harus ada, yaitu:
Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari
50
Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
• uji bendung positif
• petekie, ekimosis, purpura
• perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
• hematemesis dan atau melena
Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan tekanan
nadi ( < 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan dingin,
kulit lembab, capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak
gelisah.
Laboratorium
Trombositopenia (100 000/μl atau kurang)
Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, dengan
manifestasi sebagai berikut:
o Peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai standar
o Penurunan hematokrit ≥ 20%, setelah mendapat terapi cairan
o Efusi pleura/perikardial, asites, hipoproteinemia.
51
kasus ini termasuk derajat II karena terdapat demam disertai perdarahan spontan
di kulit dan perdarahan lain.
PENATALAKSANAAN
- IVFD RL 20 Tpm
- Inj. Transamin 3 x 200 mg IV
- PCT 3 x cth II
- Pemeriksaan DL/8 jam
Pada kasus ini terapi yang diberikan cukup sesuai dengan teori, dimana
penatalaksanaan utama pada pasien ini sesuai dengan bagan penatalaksanaan
demam berdarah derajat II, yaitu penggantian cairan sesuai kebutuhan pasien.
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat simtomatis suportif yaitu
mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas
kapiler dan sebagai akibat perdarahan.
52
BAB V
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari tutorial klinik ini, baik dari
segi diskusi, penulisan dan sebagainya, untuk itu saya mengharapkan kritik dan
saran dari dosen-dosen yang mengajar, dari rekan-rekan sesama dokter muda dan
dari berbagai pihak demi kesempurnaan tutorial klinik ini.
53
DAFTAR PUSTAKA
Pudjiadi, A. H., Hegar, B., Handryastuti, S., Idris, N. S., Gandaputra, E. P., &
Harmoniati, E. D. (2009). Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
54