Anda di halaman 1dari 18

PAPER

“PENDEKATAN BAYANI”

Disusun oleh :
Yoga Hadi Saputra
20170430024

Ilmu Ekonomi – A
Dosen :
Dr. Ayif Fathurahman, S.E., M.Si
Mata kuliah :
Filsafat Ilmu

PRODI ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan paper tentang Pendekatan
Bayani ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga saya berterima
kasih pada Bapak Dr. Ayif Fathurahman, S.E., M.Si. selaku Dosen mata kuliah Filsafat Ilmu UMY
yang telah memberikan tugas ini kepada saya.

Saya sangat berharap paper ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan saya mengenai pendekatan bayani. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam paper ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan paper yang telah saya buat di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.

Semoga paper sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan
dan saya memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan paper ini di
waktu yang akan datang.

Yogyakarta, 25 Maret 2018

Yoga Hadi Saputra

1|Pendekatan Bayani
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................... 1

DAFTAR ISI .................................................................................................................. 2

BAB I – Pendahuluan .................................................................................................. 3

A. Latar Belakang................................................................................................ 3
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................ 4

BAB II – Isi................................................................................................................... 5

A. Pengertian & Perkembangan Epistimologi Bayani ........................................ 5


B. Sumber Epistimologi Bayani .......................................................................... 10
C. Metode & Pendekatan yang digunakan dalam Bayani.................................. 12

BAB III – Penutup ....................................................................................................... 15

 Kesimpulan..................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 17

2|Pendekatan Bayani
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu
pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti
pengetahuan. Epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang
seluas jangkauan metafisika, selain itu ia merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang
dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Namun ia diperlukan
sebagai upaya untuk mendasarkan pembicaraan sehari-hari pada pertangungjawaban
ilmiah.

Dalam dunia pemikiran, epistemologi menempati posisi penting, sebab ia


menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya. Bangunan
dasar epistemologi berbeda dari satu peradaban dengan yang lain. Perbedaan titik tekan
dalam epistemologi memang besar sekali pengaruhnya dalam konstruksi bangunan
pemikiran manusia secara utuh. Oleh karena itu perlu pengembangan empirisme dalam
satu keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan moralitas.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka di sini akan dibahas tentang salah satu
epistemologi Islam, yaitu epistemologi bayani. Sebagai epistemologi paling awal dalam
pemikiran Islam, epistemologi bayani tidak muncul secara tiba-tiba. Tetapi, epistemologi
ini memiliki akar sejarah panjang dalam budaya dan tradisi pemikiran Arab. Epistemologi
ini menjadikan wahyu (teks) sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran dalam Islam.

3|Pendekatan Bayani
B. RUMUSAN MASLAH

Saya telah menyusun beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam paper ini
sebagai batasan dalam pembahasan bab isi. Beberapa masalah tersebut antara lain:

1. Apa pengertian dan perkembangan epistimologi Bayani ?


2. Apa saja sumber acuan epistimologi bayani ?
3. Apa saja metode dan pendekatan yang digunakan dalam epistimologi bayani ?

C. TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dalam penulisan paper ini sebagai
berikut :

1. Untuk mngetahui apa pengertian dan perkembangan epistimologi bayani.


2. Untuk mengetahui apa saja sumber acuan epistimologi bayani.
3. Untuk mengetahui apa saja metode dan perndekatan yang digunakan dalam
epistimologi bayani.

4|Pendekatan Bayani
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Perkembangan Epistimologi Bayani

Kata bayani berasal dari bahasa Arab yaitu al-bayani yang secara harfiyah bermakna
sesuatu yang jauh atau sesuatu yang terbuka. Namun secara termenologi, ulama berbeda
pendapat dalam mendefinisikan al-bayani, ulama ilmu al-balagah misalnya,
mendefinisikan al-bayan sebagai sebuah ilmu yang dapat mengetahui satu arti dengan
melalui beberapa cara atau metode seperti tasybih (penyerupaan), majaz dan kinayah.
Ulama kalam (theology) mengatakan bahwa al-bayan adalah dalil yang dapat
menjelaskan hukum. Sebagian yang lain mengatakan bahwa al-bayan adalah ilmu baru
yang dapat menjelaskan sesuatu atau ilmu yang dapat mengeluarkan sesuatu dari kondisi
samar kepada kondisi jelas.

Sedangkan menurut Al-Jabiri, ada lima pengertian yang paling tepat untuk arti Bayan,
yaitu : al-washal, al-fashl, azh-zhuhur wa al-wudhuh, al-fashahah wa al-qudrah, dan al
insan hayawan mubin.

1. Al-washal (sambungan, pertalian).[8] Keterangan tentang al-washal ini sebagaimana


firman Allah SWT kepada kaum musyrikin dalam QS. Al-An’am, 6 : 94 :
2. Al-fashl (pemisah). Banyak sekali penjelasan tentang keterangan materi kebahasaan
yang berkaitan dengan lafazh al-fashl ini, dengan bentuk padanan kata yang
bermacam-macam, diantaranya al-bu’d (jauh), al-firqah (kelompok), al-mubayinah
/ al-mufariqah (memisahkan), al-firaq (berpisah, cerai).
3. Azh-zhuhur wa al-wudhuh (jelas, nyata). Makna kata ini sama juga dengan makna
yang sebelumnya, yaitu pemisah, berpisah/cerai dan jauh. Pengertian bayan yang
disamakan dengan pengertian azh-zhuhur wa al-wudhuh ini merupakan kesimpulan
dari pengertian sebelumnya yang menunjukkan pada arti pemisah, berpisah/cerai
dan jauh. Pengertian ini menunjukkan pada kedudukan sesuatu pada pengertian
lainnya yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Sedangkan pada
pengertian selanjutnya (azh-zhuhur wa al-wudhuh), adalah mengisyaratkan pada

5|Pendekatan Bayani
suatu kondisi yang dinisbatkan bagi orang yang memandangnya dari aspek
kemanusiaan. Dengan kata lain, pada pengertian awal berhubungan dengan wujud
ontologi atas suatu materi, sedangkan pengertian selanjutnya adalah berhubungan
dengan wujud epistemologi.
4. Al-fashahah wa al-qudrah ‘ala at-tabligh wa al-iqna’ (kefasihan dan kemampuan
dalam menyampaikan pemahaman kepada orang lain).
 Dalam hal ini, Bayan diartikan sebagai kefasihan lisan dalam menyampaikan hal
yang dimaksud, atau kemampuan yang membuat orang mau menerima atas apa-
apa yang disampaikan hingga tingkatan yang menjadikan orang yang mendengar
seolah-olah tersihir, meyakini yang benar menjadi salah, atau meyakini yang salah
menjadi benar.
 Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda : Inna min al-
bayan lasihran wa inna min asy-syii’r lahikman (Sesungguhnya dari Bayan bisa
menjadi sihir, dan dari sya’ir bisa memperoleh hikmah). Menurut Ibn ‘Abbas,
Bayan adalah mengungkapkan maksud melalui kata-kata yang fasih.
5. Al-insan hayawan mubin (manusia adalah hewan yang bisa menjelaskan). Ini adalah
kemampuan untuk berbicara dengan ucapan yang fasih, dan hanya dimiliki oleh
manusia.

Dan Secara terminologi, Bayani mempunyai dua arti, yaitu :

1. Sebagai aturan-aturan penafsiran wacana (qawânin at-tafsîr al-khithâbi)


2. Syarat-syarat memproduksi wacana (syurûth intâj al-khithâb). Berbeda dengan
makna etimologi yang telah ada sejak awal peradaban Islam, makna-makna
terminologis ini baru lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi. Antara lain
ditandai dengan lahirnya al-Asybah wa al-Nazhâir fî al-Qur`ân al-Karîm karya Muqatil
ibn Sulaiman (wafat tahun 767 M) dan Ma`ânî al-Qur`ân karya Ibn Ziyad al-Farra’
(wafat tahun 823 M), yang keduanya sama-sama berusaha menjelaskan makna atas
kata-kata dan ibarat-ibarat yang ada dalam al-Qur`an.

Pengertian tentang bayani tersebut kemudian berkembang sejalan dengan


perkembangan pemikiran Islam. Begitu pula aturan-aturan metode yang ada di
dalamnya. Pada masa asy-Syafi’i (767-820 M) yang dianggap sebagai peletak dasar

6|Pendekatan Bayani
yurisprudensi Islam, bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang
mengandung persoalan ushûl (pokok) dan yang berkembang hingga ke cabang (furû`).
Sedang dari segi metodologi, asy-Syafi’i membagi Bayan ini dalam lima bagian dan
tingkatan, yaitu :

1. Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah
dijelaskan Tuhan dalam al-Qur`an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya.
2. Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan as-
Sunnah.
3. Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan as-Sunnah.
4. Bayan sunnah, sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur`an.
5. Bayan ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam
al-Qur`an maupun as-Sunnah.

Dari lima derajat bayan tersebut, asy-Syafi’i kemudian menyatakan bahwa yang pokok
(ushûl) ada tiga, yakni al-Qur`an, as-Sunnah dan al-Qiyas, kemudian ditambah al-Ijma.
Al-Jahizh (wafat tahun 868 M) mengkritik konsep Bayan asy-Syafi’i di atas. Menurutnya,
apa yang dilakukan asy-Syafi’i baru pada tahap bagaimana memahami teks, belum pada
tahap bagaimana memberikan pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang
diperoleh. Padahal, menurutnya, inilah yang terpenting dari proses bayani. Karena itu,
sesuai dengan asumsinya bahwa Bayan adalah syarat-syarat untuk membuat wacana
(syuruth intaj al-khithab) dan bukan sekedar aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin
at-tafsir al-khitabi). Dari sinilah, pendengar masuk sebagai unsur utama dalam proses
bayani. Al-Jahizh menetapkan syarat-syarat membuat wacana bayani adalah sebagai
berikut :
1. Al-Bayan wa Thalaqah al-Lisan (Retorika dan Kelancaran Berbicara)
Dalam hal ini, al-Jahizh bermaksud untuk menguatkan hubungan antara retorika dan
kelancaran berbicara sebagaimana do’a Nabi Musa dalam al-Qur’an yang diutus
Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada Fir’aun. Do’anya adalah :
Artinya : Berkata Musa: “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan
mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku (QS. Thaha,
20 : 25-27))

7|Pendekatan Bayani
2. Al-Bayan wa Husn Ikhtiyar al-Alfazh (Retorika dan Kecerdasan dalam Menyeleksi
Kata-Kata)
Sebagaimana Bayan berada pada kebenaran ucapan dan kefasihan lisan, sehingga
apa yang disampaikan sesuai dengan keadaan dan terlepas dari kata-kata yang
rancu.
3. Al-Bayan wa Kasyf al-Ma’na (Retorika dan Menyingkap Makna) Dalam hal ini. Al-
Jahizh memulai dengan analisa proses bayani atas dasar kesetaraan, keterikatan dan
saling mengisi antara huruf dan kata-kata. Makna harus bisa diungkap dengan
kejelasan petunjuk, kebenaran isyarat, kesimpulan yang baik, dan kesesuaian
pendekatan yang dapat mengungkapkan makna. Selanjutnya disandarkan pada teori
: wa ad-dilalah azh-zhahirah ‘ala al-ma’na al-khafi huwa al-bayan (petunjuk yang jelas
terhadap makna yang sembunyi adalah al-Bayan).
4. Al-Bayan wa al-Balaghah (Rerorika dan Balaghah) Yang dimaksud dengan bayan dan
balaghah di sini adalah adanya kesesuaian antara kata dan makna.
5. Al-Bayan Sulthah (Retorika adalah Kekuasaan) Dalam hal ini, Bayan ditinjau dari
sudut fungsinya, yaitu adanya kemampuan memperlihatkan sesuatu yang samar dari
kebenaran, dan menggambarkan kebatilan dalam bentuk kebenaran. Dengan kata
lain, kekuatan kata-kata untuk memaksa lawan mengakui kebenaran yang
disampaikan dan mengakui kelemahan serta kesalahan konsepnya sendiri.

Sampai di sini, bayani telah berkembang jauh. Ia tidak lagi sebagai sekedar penjelas atas
kata-kata sulit dalam al-Qur`an tetapi telah berubah menjadi sebuah metode bagaimana
memahami sebuah teks (nash), membuat kesimpulan dan keputusan atasnya, kemudian
memberikan uraian secara sistematis atas pemahaman tersebut kepada pendengar,
bahkan telah ditarik sebagai alat untuk memenangkan perdebatan. Namun, apa yang
ditetapkan al-Jahizh dalam rangka memberikan uraian pada pendengar tersebut, pada
masa berikutnya, dianggap kurang tepat dan sistematis. Menurut Ibn Wahb, bayani
bukan diarahkan untuk mendidik pendengar tetapi sebuah metode untuk membangun
konsep diatas dasar ushul al-furu’. Caranya adalah dengan menggunakan paduan pola
yang dipakai ulama fiqh dan kalam (teologi).Paduan antara metode fiqh yang
eksplanatoris dan teologi yang dialektik sangat penting dalam rangka membangun

8|Pendekatan Bayani
epistemologi bayani, karena apa yang perlu penjelasan tidak hanya teks suci tetapi
mencakup empat hal, yaitu :

1. Wujud materi yang mengandung aksiden dan substansi.


2. Rahasia hati yang memberi keputusan pada saat terjadi proses perenungan.
3. Teks suci dan ucapan yang mengandung banyak dimensi.
4. Teks-teks yang merupakan representasi pemikiran dan konsep.

Dari empat macam objek tersebut di atas, Ibn Wahb menawarkan empat macam bayani,
yaitu :

 Bayân al-i`tibâr , untuk menjelaskan sesuatu yang berhubungan dengan


materi.
 Bayân al-i`tiqâd , berhubungan dengan hati.
 Bayân al-`ibârah, berhubungan dengan teks dan bahasa.
 Bayân al-khithâb berkaitan dengan konsep-konsep tertulis.

Pada periode terakhir muncul asy-Syathibi (wafat tahun 1388 M). Sampai sejauh itu,
menurutnya, bayani belum bisa memberikan pengetahuan yang pasti (qath`i) tapi baru
derajat dugaan (zhan), sehingga tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara rasional. Dua
teori utama dalam bayani, istimbâth dan qiyâs, yang dikembangkan bayani hanya
berpijak pada sesuatu yang masih bersifat dugaan. Padahal, penetapan hukum tidak bisa
didasarkan pada sesuatu yang bersifat dugaan.

Karena itu, Syathibi lantas menawarkan tiga teori untuk memperbarui bayani, yakni al-
istintaj, al-istiqra’ dan maqâshid asy-syar’i’, yang dieleminir dari pemikiran Ibn Rusyd dan
Ibn Hazm. Al-Istintaj sama dengan silogisme, menarik kesimpulan berdasarkan dua
premis yang mendahului, berbeda dengan qiyas bayani yang dilakukan dengan cara
menyandarkan furu` pada ashl, yang oleh Syathibi dianggap tidak menghasilkan
pengetahuan baru.

Pengetahuan bayani harus dihasilkan melalui proses silogisme ini, sebab menurut asy-
Syâthibi, semua dalil syara` telah mengandung dua premis, nazhariyah (teoritis)
dan naqliyah (transmisif). Nazhariyah berbasis pada indera, rasio, penelitian dan

9|Pendekatan Bayani
penalaran, sementara naqliyah berbasis pada proses transmisif (naql/
khabar). Nazhariyah merujuk pada tahqîq al-manâth al-hukm (uji empiris suatu sebab
hukum) dalam setiap kasus, sedang naqliyah merujuk pada hukum itu sendiri dan
mencakup pada semua kasus yang sejenis, sehingga ia merupakan kelaziman yang tidak
terbantah dan sesuatu yang mesti diterima. Nazhariyah merupakan premis minor sedang
naqliyah menjadi premis mayor. Istiqra’ adalah penelitian terhadap teks-teks yang
setema kemudian di ambil tema pokoknya, tidak berbeda dengan tematic induction;
sedang maqâshid asy-syar`iyah berarti bahwa diturunkannya syariah ini mempunyai
tujuan-tujuan tertentu, yang menurut Syathibi terbagi dalam
tiga macam; dharûriyah (primer), hâjiyah (sekunder) dan tahsîniyah (tersier).Pada
tahap ini, metode bayani telah lebih sempurna dan sitematis, dimana proses
pengambilan hukum atau pengetahuan tidak sekedar mengqiyaskan furu` pada ashl
tetapi juga lewat proses silogisme seperti dalam filsafat.

B. Sumber Epistimologi Bayani

Meski menggunakan metode rasional filsafat seperti digagas Syathibi, epistemologi


bayani tetap berpijak pada teks (nash). Dalam ushûl al-fiqh, yang dimaksud nash sebagai
sumber pengetahuan bayani adalah al-Qur`an dan As-Sunnah. Ini berbeda dengan
pengetahuan Burhani yang mendasarkan diri pada rasio dan irfani pada intuisi. Karena
itu, epistemologi bayani menaruh perhatian besar dan teliti pada proses transmisi teks
dari generasi ke generasi.

Ini penting bagi bayani, karena sebagai sumber pengetahuan, di dalam bayani, benar
tidaknya transmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan hukum yang diambil. Jika
transmisi teks bisa dipertanggungjawabkan, berarti teks tersebut benar dan bisa
dijadikan dasar hukum. Sebaliknya, jika transmisinya diragukan, maka kebenaran teks
tidak bisa dipertanggungjawabkan, dan itu berarti ia tidak bisa dijadikan landasan hukum.
Karena itu pula, mengapa pada masa tadwîn (kodifikasi), khususnya kodifikasi hadis, para
ilmuwan begitu ketat dalam menyeleksi sebuah teks yang diterima.Bukhari, misalnya,
menggariskan syarat yang tegas bagi diterimanya sebuah teks hadis adalah sebagai
berikut :

10 | P e n d e k a t a n B a y a n i
1. Bahwa perawi harus memenuhi tingkat kriteria yang paling tinggi dalam hal watak
pribadi, keilmuan dan standar akademis.
2. Harus ada informasi positif tentang para perawi yang menerangkan bahwa mereka
saling bertemu muka dan para murid belajar langsung pada gurunya. Dari upaya-
upaya seleksi tersebut kemudian lahir ilmu-ilmu tertentu untuk mendeteksi dan
memastikan keaslian teks, seperti Mushthalah al-Hadits, Rijal al-Hadits, dan
sebagainya.

Selanjutnya, tentang nash al-Qur`an, meski sebagai sumber utama, tetapi ia tidak selalu
memberikan ketentuan pasti. Dari segi penunjukkan hukumnya (dilâlah al-hukm), nash
al-Qur`an bisa dibagi dua bagian, qath`i dan zhanni. Nash yang qath`i dilâlah adalah nash-
nash yang menunjukkan adanya makna yang dapat difahami dengan pemahaman
tertentu, atau nash yang tidak mungkin menerima tafsir dan takwil, atau sebuah teks
yang tidak mempunyai arti lain kecuali arti yang satu itu. Dalam konsep asy-Syafi`i, ini
yang disebut Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut. Nash yang zhanni dilalah adalah
nash-nash yang menunjukkan atas makna tapi masih memungkinkan adanya takwil, atau
dirubah dari makna asalnya menjadi makna yang lain.

Kenyataan tersebut juga terjadi pada al-sunnah, bahkan lebih luas. Jika dalam al-Qur`an,
konsep qath’i dan zhanni hanya berkaitan dengan dilâlah-nya, dalam sunnah hal itu
berlaku pada riwayat dan dilâlah-nya. Dari segi riwayat berarti bahwa teks hadis tersebut
diyakini benar-benar dari Nabi atau tidak, atau bahwa aspek ini akan menentukan sah
tidaknya proses transmisi teks hadis, yang dari sana kemudian lahir berbagai macam
kualitas hadis, sepertimutawatir, ahad, shahîh, hasan, gharîb, dan sebagainya. Dari
segi dilâlah berarti bahwa makna teks hadis tersebut telah memberikan makna yang pasti
atau masih bisa ditakwil.

11 | P e n d e k a t a n B a y a n i
C. Metode dan Pendekatan yang Digunakan Dalam Bayani

1. Metode Qiyas.

a. Untuk memperoleh pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan,


diantaranya adalah :

1) Berpegang pada redaksi (lafazh) teks dengan menggunakan kaidah bahasa


Arab, seperti nahw dan sharâf sebagai alat analisa.

2) Menggunakan metode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama epistemologi


bayani.

Dalam kajian ushul al-fiqh, qiyas diartikan sebagai memberikan keputusan hukum
suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam
teks, karena adanya kesamaan illah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam
melakukan qiyas, yaitu :

 Adanya al-ashl, yakni nas suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai
ukuran.
 Al-far`, sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nas.
 Hukm al-ashl, ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl.
 Illah, keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar penetapan hukum ashl.

Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari perasan kurma
disebut far` (cabang) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, dan ia akan
diqiyaskan pada khamer. Khamer adalah ashl (pokok) sebab terdapat dalam teks
(nash) dan hukumnya haram, alasannya (illah) karena memabukkan. Hasilnya, arak
adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamr, yakni sama-sama
memabukkan.

Menurut Al-Jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan dalam


epistemologi bayani tersebut digunakan dalam tiga aspek, yaitu :

12 | P e n d e k a t a n B a y a n i
a) Qiyas dalam kaitannya dengan status dan derajat hukum yang ada pada ashl
maupun furû` (al-qiyâs bi i`tibâr madiy istihqâq kullin min al-ashl wa al-far`i li al-
hukm). Bagian ini mencakup tiga hal, yaitu :

 Qiyâs jalî, dimana far` mempunyai persoalan hukum yang kuat dibanding
ashl.
 Qiyâs fî ma`na al-nash, dimana ashl dan far` mempunyai derajat hukum
yang sama.
 Qiyâs al-khafî, dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya
menurut perkiraan mujtahid. Contoh qiyâs jalî adalah seperti hukum
memukul orang tua (far`). Masalah ini tidak ada hukumnya dalam nash,
sedang yang ada adalah larangan berkata “Ah” (ashl). Perbuatan
memukul lebih berat hukumnya dibanding berkata “ah”.

b) Berkaitan dengan illat yang ada pada ashl dan far`, atau yang menunjukkan
kearah situ (qiyâs bi i`tibâr binâ’ al-hukm alâ dzikr al-illah au bi i`tibâr dzikr mâ
yadull `alaihâ). Bagian ini meliputi dua hal, yaitu :

 Qiyâs al-illat, yaitu menetapkan ilat yang ada ashl kepada far`.
 Qiyâs al-dilâlah, yaitu menetapkan petunjuk (dilâlah) yang ada pada ashl
kepada far`, bukan illahnya.
 Qiyas berkaitan dengan potensi atau kecenderungan untuk menyatukan
antara ashl dan far` (qiyâs bi i`tibâr quwwah “al-jâmi`” bain al-ashl wa al-
far` fayumkin tashnifuh) yang oleh al-Ghazali dibagi dalam empat tingkat,
yaitu :

1. Adanya perubahan hukum baru


2. Keserasian.
3. Keserupaan (syibh).
4. Menjauhkan (thard).

13 | P e n d e k a t a n B a y a n i
2. Metode Istinbath/Istidlal

Istinbath hukum-hukum dari an-nusush ad-diniyyah dan al-Qur’an khususnya. Dalam


bahasa filsafat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai
model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks (nash). Dalam hal ini teks
sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah khitab.
Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya. Makna
yang dikandung dalam, dikehendaki oleh, dan diekspresikan melalui teks dapat
diketahui dengan mencermati hubungan antara al-ma’na dan al-lafzh. Hubungan
antara makna dan lafadz dapat dilihat dari segi :

1) Al-Ma’na al-Wadh’i, untuk apa makna teks itu dirumuskan, meliputi makna
khas, ‘am dan musytaraq.
2) Al-Ma’na al-Isti’mali, makna apa yang digunakan oleh teks, meliputi al-ma’na
al-haqiqi (sharihah dan mu’niyah) dan al-ma’na al-majazi (sharih dan
kinayah).
3) Darajah al-wudhuh, sifat dan kualitas lafazh, meliputi muhkam, mufassar,
nash, zhahir, khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih.
4) Thuruq ad-Dhalalah, penunjukan lafazh terhadap makna, meliputi dilalah al-
’ibarah, dilalah al-isyarah, dilalah an-nash dan dilalah al-iqtida’ (menurut
Khanafiyah), atau dilalah al-manzhum dan dilalah al-mafhum baik mafhum al-
muwafaqah maupun mafhum al-mukhalafah (menurut asy-Syafi’iyyah).

3. Pendekatan Bayani

Berdasarkan hal di atas, maka pendekatan bayani adalah lingustik, karena dalam hal
ini pendekatan bayani menggunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu
kebahasaan dan uslub-uslubnya serta asbab an-nuzul, dan qiyas serta istinbath atau
istidlal sebagai metodenya.

14 | P e n d e k a t a n B a y a n i
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

A. Kata bayani berasal dari bahasa Arab yaitu al-bayani yang secara harfiyah bermakna
sesuatu yang jauh atau sesuatu yang terbuka. Namun secara termenologi bermakna
sebuah ilmu yang dapat mengetahui satu arti dengan melalui beberapa cara atau
metode seperti tasybih (penyerupaan), majaz dan kinayah.
B. Perkembangan
Di awali oleh Al-Jabiri yang mengemukakan pendapatnya tentang al-washal, al-fashl,
azh-zhuhur wa al-wudhuh, al-fashahah wa al-qudrah, dan al-insan hayawan mubin
dan kemudian Asy-Syafi’I yang membagi tingkatan bayan menjadi 5 yaitu:

1. Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah
dijelaskan Tuhan dalam al-Qur`an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya.
2. Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan as-
Sunnah.
3. Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan as-Sunnah.
4. Bayan sunnah, sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur`an.
5. Bayan ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam
al-Qur`an maupun as-Sunnah.

Dari lima derajat bayan tersebut, asy-Syafi’i kemudian menyatakan bahwa yang pokok
(ushûl) ada tiga, yakni al-Qur`an, as-Sunnah dan al-Qiyas, kemudian ditambah al-Ijma.
Kemudian dilanjutkan oleh Al-Jahizh yang awalnya mengkritik konsep Bayan asy-Syafi’i
di atas. Menurutnya, apa yang dilakukan asy-Syafi’i baru pada tahap bagaimana
memahami teks, belum pada tahap bagaimana memberikan pemahaman pada
pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Akhirnya Al-Jahizh menetapkan syarat-
syarat membuat wacana bayani adalah sebagai berikut:

15 | P e n d e k a t a n B a y a n i
1. Al-Bayan wa Thalaqah al-Lisan (Retorika dan Kelancaran Berbicara)
2. Al-Bayan wa Husn Ikhtiyar al-Alfazh (Retorika dan Kecerdasan dalam Menyeleksi
Kata-Kata)
3. Al-Bayan wa Kasyf al-Ma’na (Retorika dan Menyingkap Makna)
4. Al-Bayan wa al-Balaghah (Rerorika dan Balaghah)
5. Al-Bayan Sulthah (Retorika adalah Kekuasaan).

Di periode selanjutnya dilanjutkan oleh Ibn Wahb menurutnya wacana bayani yang
ditetapkan oleh Al-Jahizh dianggap kurang tepat dan sistematis karena menurut Ibn
Wahb, bayani bukan diarahkan untuk mendidik pendengar tetapi sebuah metode
untuk membangun konsep diatas dasar ushul al-furu’. Dan akhirnya Ibn Wahb
menawarkan empat macam bayani, yaitu :

1. Bayân al-i`tibâr , untuk menjelaskan sesuatu yang berhubungan dengan materi.


2. Bayân al-i`tiqâd , berhubungan dengan hati.
3. Bayân al-`ibârah, berhubungan dengan teks dan bahasa.
4. Bayân al-khithâb berkaitan dengan konsep-konsep tertulis

Dan Pada periode terakhir muncul asy-Syathibi (wafat tahun 1388 M). Sampai sejauh
itu, menurutnya, bayani belum bisa memberikan pengetahuan yang pasti (qath`i) tapi
baru derajat dugaan (zhan), sehingga tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara
rasional, oleh Karena itu, Syathibi lantas menawarkan tiga teori untuk memperbarui
bayani, yakni al-istintaj, al-istiqra’ dan maqâshid asy-syar’i’, yang dieleminir dari
pemikiran Ibn Rusyd dan Ibn Hazm.

C. Sumber acuan pengetahuan bayani adalah al-Qur`an dan As-Sunnah.Bayani


Menggunakan metode yaitu : Metode Qiyas, Metode Istinbath/Istidlal, Pendekatan
Bayani.

16 | P e n d e k a t a n B a y a n i
DAFTAR PUSTAKA

https://www.tongkronganislami.net/makalah-pengertian-epistemologi-bayani-irfani-
burhani/

http://sanadthkhusus.blogspot.co.id/2011/09/epistemologi-bayani-burhani-dan-irfani.html

http://ainunnajib1994.blogspot.co.id/2016/03/makalah-epistimologi-bayani.html

https://aagun74alqabas.wordpress.com/2011/04/05/epistemologi-bayani/

17 | P e n d e k a t a n B a y a n i

Anda mungkin juga menyukai