Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS KASUS FREEPORT INDONESIA

Gambaran Kasus Freeport

Presdir PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin mengungkapkan inisiatif tiga


pertemuannya dengan Ketua DPR Setya Novanto, yang di antaranya membahas kontrak karya
dan permintaan saham PT Freeport, berasal dari Novanto.Itu disampaikan Maroef saat
menjadi saksi sidang kasus dugaan pelanggaran etik Setya Novanto terkait pertemuan dan
permintaan saham PT Freeport di ruang sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)
Gedung DPR.

Kepada para anggota majelis sidang MKD yang dipimpin oleh Junimart Girsang (Wakil
Ketua MKD), Maroef menceritakan pertemuan pertamanya dengan Novanto terjadi pada 15
April 2015 atau setelah dirinya diangkat menjadi Presdir PT Frepoort Indonesia (Januari 2015).
Mulanya, Maroef mengaku diinformasikan oleh seorang komisarisnya, Marzuki Darussalam
agar menemui Novanto. "Permintaan itu datang dari Ketua DPR," kata Maroef.

Maroef tidak begitu saja menemui Novanto pada 15 April itu. Karena menghormati
panggilan itu ia menemui Novanto dalam rangka 'courtesy call' dengan pimpinan lembaga
negara, MPR, DPR dan DPD RI. Maroef mengaku ditemani sejumlah staf dan tenaga ahli saat
bertemu dengan pimpinan MPR dan DPD. Namun, saat hendak bertemu dengan Novanto,
dirinya dilarang menyertakan staf dan tenaga ahli atau 'pertemuan empat mata'.

Setelah perbincangan selama 30 sampai 40 menit itu, Novanto mengajak Maroef


untuk bertemu lagi.Sebelum pamit pulang, Novanto juga menyampaikan ke Maroef akan
mengenalkan seorang kawannya. Setelah beberapa lama pertemuan pertama itu, Maroef
menerima pesan singkat SMS dari Novanto. Mminta ijin untuk menelpon. Maroef berinisiatif
yang menelepon Novanto karena merasa tidak sopan jika dirinya ditelpon Ketua DPR.

Dalam percakapan di telepon itu, Novanto mengajak Maroef untuk bertemu. Novanto
menentukan tempat pertemuan di Lantai 21 Hotel Ritz Carlton Jakarta pada 13 Mei 2015.
Maroef mengaku janggal karena saat mendatangi tempat pertemuan sudah ada Novanto dan
seorang yang tidak ia kenal. Belakangan ia tahu orang yang bersama Novanto itu pengusaha
minyak bernama Muhamad Riza Chalid.

Dia bertambah heran karena Riza Chalid dan Novanto justru mulai membahas
perpanjangan kontrak dan permintaan saham PT Freeport dalam pertemuan selama sekitar
satu jam itu. Setelah pertemuan itu, Maroef yang pernah menjadi Wakil Kepala BIN itu
menganalisis dan menduga-duga kejanggalan dan keanehan materi bahasan pertemuan
tersebut mengingat pembahasan dari Ketua DPR tidak didampingi komisi dan kolega DPR
yang lain dan justru mengajak pengusaha M Riza Chalid. Kemudian setelah pertemuan kedua
tersebut, Riza mengajak bertemu lagi juga bersama dengan novanto.

Maroef tak begitu saja mengamini ajakan Riza itu. Ia meminta stafnya untuk
menanyakan staf Novanto mengenai kebenaran rencana pertemuan itu.Setelah dapat
kepastian, Maroef mendatangi tempat yang sudah direncanakan pihak Riza Chalid dan
Novanto itu pada 8 Juni 2015. Sebelum mendatangi tempat pertemuan, Maroef berniat
mendokumentasikan pertemuannya dengan kedua orang itu karena berbekal kecurigaan dari
pertemuan kedua. Ia berencana merekam pertemuan ketiga itu dengan telepon genggamnya.

Maroef menyebut rencana mendokumentasi isi pembicaraan tersebut untuk


antisipasi atau jaga-jaga diri atas kemungkinan dampak terburuk dari pertemuan itu,
termasuk dampak hukum dan politik. Apalagi, diketahuinya pertemuan itu juga tidak
didampingi staf atau bersifat tertutup.

Kepada majelis MKD, Maroef menegaskan inisiatif merekam pembicaraan dalam


pertemuan ketiga itu datang dari dirinya atau tanpa ada pihak yang menlmerintahkannya.
Maroef mengungkapkan, dalam pertemuan selama sekitar dua jam itu, Novanto dan Chalid
sudah membahas secara mendalam tentang perpanjangan kontrak karya dan permintaan
saham PT Freeport dan hal lainnya yang menurutnya sudah tidak benar.

Karena telah mendapatkan arahan Menteri ESDM Sudirman Said saat awal menjabat
Presdir PT Freeport agar melaporkan setiap perkembangan menyangkut perusahaan, Maroef
pun melapor ke Sudirman mengenai pertemuan dan bahasan dengan Novanto dan Chalid itu.
Dirinya juga yang menyerahkan salinan rekaman ke Sudirman.

Diberitakan, Menteri ESDM Sudirman Said melaporkan dugaan pelanggaran etik Ketua
DPR Setya Novanto ke MKD pada 16 November 2015 lalu. Sudirman melaporkan Novanto
karena diduga membahas kontrak kerja dan pembagian saham PT Freeport Indonesia,
meminta saham kosong dan proyek pembangkit listrik di Timika, Papua, saat bertemu
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin. Novanto mengajak pengusaha
minyak yang diduga punya kepentingan dalam pertemuan tersebut.

Kerangka Teoritis

Teori Median Voter

Teori Median Voter adalah teori dimana suatu partai politik atau tokoh, dalam menentukan
suatu kebijakan akan selalu melihat pada bagaimana pandangan dan tanggapan dari para
pemilih utamanya. Dalam teori ini mengatakan bahwa suatu partai akan cenderung
mengusung suatu tema dalam kebijakannya sesuai dengan aspirasi dari pendukung
utamanya. Mereka terlebih dahulu akan melihat kearah mana aspirasi dari median voter
sebelum menentukan suatu kebijakan. Ketika kebijakan yang dibentuk sesuai dengan aspirasi
dari pendukung utamanya, maka partai berharap voter tersebut akan terus memilih partai itu
untuk keberlanjutan dari kemenangan partai tersebut di pemilihan yang akan datang.

Berdasarkan teori ini maka partai atau tokoh akan mengatakan sikapnya terhadap suatu
kebijakan baru, apakah partai tersebut pro atau kontra. Keberpihakan dari partai tersebut
sudah pasti sesuai dengan keinginan dari voternya. Alasannya jelas, karena keberpihakan
partai dalam suatu kebijaka sudah pasti ada bayaran ataupun denda oleh voter pada masa
pemilu selanjutnya. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi dikalangan para pendukung suatu
partai atas sikap partai tersebut
1. Bila voter puas akan sikap partai yang didukung terhadap suatu kebijakan maka pasti
para pendukung tersebut akan meberikan timbal balik yaitu akan memilih partai
tersebut di pemilihan selanjutnya.
2. Sebaliknya, apabila pertai politik mengambil keberpihakan yang bertentangan dengan
aspirasi dari masa pendukungnya, sudah pasti partai tersebut akan menerima dampak
yaitu tidak dipercaya lagi oleh para pendukungnya. Yang efeknya para pendukung
akan berpindah haluan untuk tidak memilih kembali partai tersebut dalam pemilu
yang akan datang.

Namun seringkali perilaku politisi atau partai politik tidak bisa dijelaskan dengan
menggunakan teori median voter. Hal ini bisa dilihat sering sekali terjadi penghianatan
keberpihakan dari partai tersebut dari aspirasi masa pendukungnya. Dengan kata lain
partai politik ataupun politisi sering meninggalkan pemilih utamanya untuk kepentingan
atau keuntungan diri sendiri.

Teori Aksi Bersama

Teori Tindakan Bersama ingin menunjukkan bahwa sikap politisi bukan hanya didasarkan
pada median voter saja. Bersamaan dengan keharusan memperhatikan median voter, politisi
juga melihat suatu kebijakan sebagai barang publik yaitu barang yang tidak bisa dikecualikan.
Perjuangan mebentuk suatu kebijakan oleh suatu politisi akan memberikan manfaat bagi
beberapa pihak yaitu :
1. Orang-orang dari kelompok pendukung
2. Orang-orang yang diuntungkan meskipun tidak memperjuangkannya atau memilihnya
dalam pemilihan
3. Orang-orang yang menetang kebijakan
4. Kelompok bisnis yang mendapat keuntungan dari kebijakan tersebut
Misalnya saja pada detik-detik terakhir suatu kebijakan, suatu pebisnis menghubungi politisi
untuk mengeluarkan kebijakan tertentu dengan iming-iming akan diberi imbalan. Dan pada
suatu ketika politisi tersebut akhirnya menghianati median voter, dan berpihak pada pebisnis
yang menyuapnya. Dengan kata lain maksud dari pebisnis tersebut agar bisa mendapatkan
keuntungan dari pengeluaran kebijakan tersebut. Pebisnin ini bisa disebut sebagai
penumpang gelap (free rider), seperti pada kasus setya novanto denga PT Freeport Indonesia.
Analisis

Dalam politik indonesia, kasus PT Freeport Indonesia 2015 dikenal pula sebagai Kasus "Papa
Minta Saham" adalah sebuah kasus dan skandal politik ketika Ketua DPR RI Setya Novanto
dari Partai Golkar disebut mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf
Kalla untuk meminta saham dalam sebuah pertemuan dengan PT Freeport Indonesia.

Pada 16 November 2015, Menteri ESDM Sudirman melaporkan Setya Novanto secara tertulis
ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI. Pada 2 Desember 2015, sidang MKD dimulai
dan Sudirman Said memberikan rekaman utuh dan transkip percakapan antara Novanto,
pengusaha Riza Chalid dan Direktur Freeport Maroef Sjamsoeddin sebagai bukti perbuatan
Novanto.

Pada 16 Desember 2015, seluruh anggota MKD (17 orang) memutuskan Novanto bersalah,
dengan suara terbanyak (10 orang) memutuskan sanksi sedang, yaitu pemberhentian sebagai
Ketua DPR RI. Tujuh anggota lainnya meminta diberikannya sanksi berat, yaitu
pemberhentian sebagai anggota DPR RI, namun tidak mencapai suara terbanyak. Pada hari
yang sama, Novanto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua DPR RI

Diluar jalur pelanggaran etika oleh Mahkamah Kehormatan Dewan, Kejaksaan Agung secara
paralel menyelidiki kasus ini dengan tuduhan pemufakatan jahat. Menteri ESDM Sudirman
Said dan Dirut PT Freeport sempat dipanggil oleh Jaksa Agung Muda Pidana Umum
(Jampidum). Setya Novanto juga sudah memberikan keterangan sebanyak tiga kali. Rekaman
tersebut juga disita oleh Jampidum. Akan tetapi saksi kunci yaitu Riza Chalid tidak muncul
meskipun sudah dipanggil berkali-kali. Menurut Menteri Hukum dan HAM, Riza Chalid berada
diluar negeri sejak kasus mencuat. Jaksa Agung pun menyatakan bahwa kasus ini diendapkan.

Disini jelas terlihat, dalam kasus ini ada suatu kepentingan seorang politisi Setya Novanto
untuk mendapatkan keuntungan dirinya sendiri. Setya Novanto memanfaatkan momen
ketika PT Freeport Indonesia akan habis kontraknya dengan pemerintah indonesia. Ketika PT
Freeport Indonesia sedang mengurus perpanjangan kontrak Setya Novanto masuk dengan
maksud untuk mempermudah perpanjangan dari kontrak PT Freeport Indonesia dengan
pemerintah Indonesia. Asalkan pihak freeport bersedia untuk memberikan beberapa
sahamnya kepada Setya Novanto.
Dengan kata lain Setya Novanto memaksakan agar pihak freeport menyuap dirinya agar
perpanjangan kontrak berjalan dengan mudah, lancar dan mulus. Disitu juga ada satu pebisnis
minyak bernama Riza Chalid yang ikut berperan dalam kasus ini. Pada kasus ini tergambar
jelas bagaimana teori median voter tidak selalu benar dalam realitas yang ada. Bagaimana
tidak, Setya Novanto bersama Parpol Golkar,nya pada saat kampanye mengelu-ngelukan
untuk pro rakyat dan terhindar dari korupsi-korupsi. Lantas rakyatpun percaya dengan omong
kosong Setnov & Parpol golkar tersebut. Alhasil para voter memilihnya dan Setya Novanto
pun berahasil menduduki jabatannya sebagai Ketua DPR RI. Dengan memanfaatkan
jabatannya Setya Novanto menghianati median voternya sendiri, dengan terlibat dan menjadi
aktor utama dalam kasus Papa Minta Saham. Yang aspirasi dari median voter adalah Negara
Indonesia harus terhindar dari korupsi
Seperti yang telah disampaikan pada sub bab sebelumnya bahwasannya teori aksi bersama
lebih bisa mendekati dalam realitas yang sesungguhnya. Pada teori aksi bersama 4 pihak akan
mendapatkan manfaat dari suatu kebijakan yang dibuat. Dalam kasus Papa Minta Saham Ini,
Setnov berusaha untuk menghianati aspirasi dari median voter yang sudah
memperjuangkannya untuk merebut kursi Ketua DPR RI. Dengan berusaha untuk
mendapatkan keuntungan dirinya sendiri dengan cara meminta saham kepada PT Freeport
Indonesia, agar perpanjangan kontrak Freeport berjalan dengan lancar. Disini Setya Novanto
berusaha berselingkuh dengan Pebisnis (Free Rider) untuk mendapatkan keuntungannya
sendiri dengan jalan kepentingan dari politik praktis. Disisi lain ketika pihak Freeport
menyetujui permintaan dari Setnov, maka pihak freeport akan mendapatkan rejeki runtuh
karena perpanjangan kontrak bisa lebih mudah. Seperti yang tertulis pada teori median voter
sudah pasti Partai politik golkar akan kehilangan suaranya pada pemilu selanjutnya, seperti
pada Partai Politik Demokrat yang kehilangan banyak suara pada Pemilu 2014 karena kasus
dari Nazaruddin.

Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai