Anda di halaman 1dari 18

PERISTIWA POLITIK

DI INDONESIA

Presented by :
Jessica Uningo Hapsari
NIM : 172221090
Peristiwa 1 :
GERAKAN DEMONSTRASI MAHASISWA 1998
Atau disebut juga
REFORMASI INDONESIA 1998

Gambar : Demonstrasi Mahasiswa pada tahun 1998 di


Gedung DPR MPR
Analisa Peristiwa 1; Demonstrasi Mahasiswa Pada Tahun 1998

Latar Belakang :
Kemerosotan bidang ekonomi dan fiskal pada tahun 1997, menyebabkan
harga barang dan kebutuhan pokok menjadi naik. Hal tersebut melatar
belakangi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa, yang mulanya dilakukan
di Jakarta oleh beberapa kampus saja, namun karena “DITUNGGANGI”
kepentingan politik pada saat itu, sehingga demonstrasi mahasiswa meluas
di hampir di seluruh wilayah Indonesia.

“ Kelompok Kepentingan Penunggang” politik saat itu di kendalikan oleh


Amien Rais, Megawati, dan beberapa tokoh nasional saat itu. Sehingga
tuntutan mahasiswa yang semula hanya perbaikan sektor ekonomi dan
Reshuffle Kabinet, menjadi LENGSERKAN Presiden Soeharto

Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998, di mana empat mahasiswa tertembak


mati dan memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari kemudian.  Tekanan dari para
massa terhadap Soeharto pun memuncak ketika sekitar 15.000 mahasiswa
mengambil alih Gedung DPR/MPR yang berakibat proses politik nasional
lumpuh. 
Pada 21 Mei 1998 di Istana Merdeka, Presiden Soeharto secara resmi
menyatakan dirinya berhenti menjabat sebagai Presiden Indonesia. 
Melalui UUD 1985 Pasal 8, Soeharto segera mengatur agar Wakil
Presiden BJ Habibie disumpah untuk menjadi penggantinya di
hadapan Mahkamah Agung.  Sejak saat itu, kepemimpinan beralih
dari Soeharto ke BJ Habibie dan terbentuk Era Reformasi. 

Peristiwa Reformasi 1998 disebut Peristiwa Politik, karena telah


“melengserkan” Presiden yang terpilih secara sah oleh konstitusi dan
dampak pada perundang undangan yaitu antara lain :

Sidang Umum (SU) MPR yang berlangsung dari tanggal 1–21 Oktober
1999. Pada sindang umum ini telah berhasil menetapkan 9 ketetapan
MPR dan mengamandemen UUD 1945 untuk pertama kalinya. Ada
beberapa ketetapan dalam SU MPR 1999 yaitu sebagai berikut: 
     

Sebuah Peristiwa p[olitik yang harus dibayar Mahal oleh bangsa


Indonesia, hingga “Lepasnya” Timor – Timur dari NKRI adalah salah
satu dampak baik langsung maupun tidak langsung dari Reformasi
1998
Ketetapan MPR No. I Tahun 1999 tentang perubahan kelima atas
Ketetapan MPR RI No I/MPR/1983 Tentang peraturan tata tertib
majelis permusyawaratan rakyat republik indonesia.
Ketetapan MPR No. II Tahun 1999 tentang peraturan tata tertib MPR
RI.
Ketetapan MPR No.III Tahun 1999 tentang pertanggungjawaban
Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. Ing Bacharudin Jusuf Habibie.
Ketetapan MPR No.IV Tahun 1999 tentang garis-garis besar haluan
negara tahun 1999-2004.
Ketetapan MPR No.V Tahun 1999 tentang penentuan pendapat di
Timur-Timur.
Ketetapan MPR No.VI Tahun 1999 tentang tata cara pencalonan dan
pemilihan presiden dan wakil presiden.
Ketetapan MPR No.VII Tahun 1999 tentang pengangkatan Presiden
Republik Indonesia.
Ketetapan MPR No.VIII Tahun 1999 tentang pengangkatan Presiden
Republik Indonesia.
Ketetapan MPR No.IX Tahun 1999 tentang penugasan badan pekerja
MPR RI Untuk melanjutkan perubahan UUD  1945.
Peristiwa 2 :
REFERENDUM TIMOR TIMUR 1999
Lepasnya Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia

Gambar ; Prajurit TNI membawa bendera indonesia, dan Kelompok Fretelin


membawa bendera timor timur. Dan gambar pemungutuan suara / referendum
yang diawasi oleh UN atau PBB pada Tanggal 7 Agustus 1999
Analisa Peristiwa 2 ; Referendum Timor Timur 1999

Latar Belakang Kenapa Disebut Peristiwa Politik :

Tujuh bulan setelah BJ Habibie memegang tampuk kekuasaan atau tepatnya


19 Desember 1998, Perdana Menteri Australia, John Howard, mengirim
surat kepada Presiden Habibie. Ia mengusulkan untuk meninjau ulang
pelaksanaan referendum bagi rakyat Timtim. Merespons permintaan PM
Australia itu, pemerintah NKRI menggelar sidang kabinet di Bina Graha pada
27 Januari 1999.

Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengumumkan hasil keputusan sidang yang
memakan waktu lebih dari lima jam itu, bahwa Indonesia akan lepas tangan
dari Timtim jika mereka menolak opsi penyelesaian konflik Timor Timur
yaitu tawaran otonomi khusus yang diperluas. Presiden Habibie membahas
lebih dalam tentang nasib Timtim dengan Perdana Menteri Australia, John
Howard, pada 27 April 1999. Habibie mengungkapkan akan melaksanakan
penentuan pendapat untuk mengetahui kemauan sebenarnya rakyat
Timtim, tetap berintegrasi atau memisahkan diri dari Indonesia.
Selanjutnya pada 17 Mei 1999, Presiden Habibie mengeluarkan Keputusan
Presiden (Keppres) No. 43/1999 tentang Tim Pengamanan Persetujuan RI-
Portugal di Timtim. Keppres itu dimantapkan dengan Instruksi Presiden
(Inpres) No. 5/1999 tentang Langkah Pemantapan Persetujuan RI-Portugal.

Hasil Jajak Pendapat atau Referendum adalah 344.580 suara (78,5%)


menolak otonomi, 94.388 (21%) suara mendukung otonomi, dan 7.985
suara dinyatakan tidak valid. Hasil referendum tersebut kemudian
diumumkan secara resmi di Dili pada 4 September 1999. Pada 30 Oktober
1999, bendera Merah Putih diturunkan dari bumi Timor Leste.

Peristiwa Politik yang secara Nyata di pengaruhi oleh Australia dan PBB
sehingga mempengaruhi keputusan Politik pada masa Presiden Habibie
yang harus dibayar mahal dengan lepasnya Timor – Timur dari NKRI
Peristiwa 3 :
PRESIDENTIAL THRESHOLD
Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wapres

Gambar ; Pendemo menolak aturan Ambang Batas untuk pencalonan Presiden


dan Wakil Presdien
Analisa Peristiwa 3 ; Aturan Presidential Threshold

Latar Belakang Kenapa Disebut Peristiwa Politik :


Ketentuan tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden
atau presidential threshold tentang ambang batas itu dinilai telah
menghilangkan hak konstitusional setiap warga untuk mencalonkan diri
sebagai pemimpin bangsa.

Di Indonesia, presidential threshold pertama kali dirumuskan dalam Undang-


undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden. Pasal 5 Ayat (4) UU itu menyatakan, pasangan calon presiden dan
wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen jumlah kursi
DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota
DPR. Baca juga: Jadi Syarat Ajukan Capres, Bagaimana Awalnya Presidential
Threshold Ada? Ketentuan ambang batas itu pun kali pertama diterapkan
pada Pemilu 2004, bertepatan dengan pertama kalinya Indonesia
melangsungkan pemilihan presiden (Pilpres) secara langsung.
Pemilu 2009 Lima tahun setelahnya atau pada Pilpres 2009, besaran
presidential threshold berubah. Hal ini diikuti dengan berubahnya UU
Pemilu. Saat itu, pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat
diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki
sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah
nasional dalam Pemilu Legislatif. Aturan itu tertuang dalam UU Nomor 42
Tahun 2008.
Dengan ketentuan tersebut, ada tiga pasangan calon presiden dan wakil
presiden yakni Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, Soesilo
Bambang Yudhoyono (SBY)-Budiono, dan Jusuf Kalla-Wiranto. SBY-Budiono
pun keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara 60,80 persen.

Pemilu 2019 Besaran presidential threshold kembali berubah pada Pilpres


2019.
Ketentuan tentang ambang batas itu diatur dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 222 UU itu menyebutkan,
pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit
20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah
secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Peristiwa 4 :
PRO KONTRA POLITIK IDENTITAS

Gambar ; Cover Berita tentang pro dan kontra politik identitas di Indonesia
Analisa Peristiwa 4 ; Politik Identitas

Latar Belakang Kenapa Disebut Peristiwa Politik :


Politik identitas merupakan konsep baru dalam kajian ilmu politik. Politik
identitas adalah nama lain dari biopolitik dan politik perbedaan. Biopolitik
mendasarkan diri pada perbedaan-perbedaan yang timbul dari perbedaan
tubuh.Menyebarnya politik identitas atau biopolitik dalam pandangan
foucault merupakan akibat dari runtuhnya masyarakat yang direncanakan
secara ilmiah yang merupakan suatu gerakan dengan implementasi kontrol
demografis objektif. Inilah dasar-dasar biopolitik. Seorang Foucault merasa
diasingkan

MULTIKULTURALISME
Multikulturalisme adalah paradigma yang menganggap adanya kesetaraan
antar ekspresi budaya yang plural, selain itu multikulturalisme adalah sebuah
filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya
persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial
politik yang sama dalam masyarakat modern.Menurut Parsudi Suparlan
(2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan
yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan
manusia.Menurut Prof Dr. Bakdi Soemanto, multikulturalisme adalah
pandangan saling menghargai dan menghormati dalam perbedaan dan
bukan sekadar toleransi.
 Multikulturalisme mengajarkan kepada kita bagaimana perbedaan yang
ada tidak menjadi suatu hal yang dapat menyebabkan perpecahan atau
konflik.

Mengutip S. Sapta atmaja dari buku Multiculturalisme Educations: A


Teacher Guide To Linking Context, Process And Content karya Hilda
Hernandes, bahwa multikulturalisme adalah bertujuan untuk kerjasama,
kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan
tidak monokultur lagi.

Identitas suatu kelompok rawan dimanfaatkan untuk kepentingan politik.


Untuk mencegah perpecahan dengan memanfaatkan identitas kelompok,
perlu edukasi secara masif tentang pentingnya Keberagaman dan Kesatuan,
agar tidak mudah dimanfaatkan secara politik yang mengakibatkan
perpecahan bangsa.
Peristiwa 5 :
MEMBELI SUARA MENJELANG PEMILU
Atau disebut juga
POLITIK UANG MENJELANG PEMILU

Gambar ; Ilustrasi Politik Uang Jelang Pemilu


Analisa Peristiwa 5 ; Politik Uang Menjelang Pemilu

Pengertian Politik Uang :


Menurut Ismawan (1999). Politik uang adalah upaya mempengaruhi
perilaku orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang
mengartikan politik uang sebagai tindakan jual beli suara pada proses politik
dan kekuasaan. Tindakan ini bisa terjadi dalam jangkauan (range) yang
lebar, dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan umum suatu negara.

Menurut Juliansyah (2007). Politik uang adalah suatu upaya mempengaruhi


orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan
jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi-
bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara
pemilih (voters).

Menurut Aspinall & Sukmajati (2015), politik uang merupakan upaya


menyuap pemilih dengan memberikan uang atau jasa agar preferensi suara
pemilih dapat diberikan kepada seorang penyuap.
Latar Belakang Kenapa Disebut Peristiwa Politik :

1.    Pembelian suara (vote buying).Yaitu distribusi pembayaran uang tunai/


barang dari kandidat kepada pemilih secara sistematis beberapa hari
menjelang pemilu yang disertai dengan harapan yang implisit bahwa para
penerima akan membalasnya dengan memberikan suaranya bagi si
pemberi.
2.    Pemberian-pemberian pribadi (individual gifts). Untuk mendukung
upaya pembelian suara yang lebih sistematis, para kandidat seringkali
memberikan berbagai bentuk pemberian pribadi kepada pemilih. Biasanya
mereka melakukan praktik ini ketika bertemu dengan pemilih, baik ketika
melakukan kunjungan ke rumah-rumah atau pada saat kampanye.
Pemberian seperti ini seringkali dibahasakan sebagai perekat hubungan
sosial (social lubricant), misalnya, anggapan bahwa barang pemberian
sebagai kenang-kenangan.

Para calon atau partai politik yang melakukan praktik politik uang secara
tidak langsung tetapi nyata telah mejadikan rakyat hanya semata-mata
sebagai pihak yang suaranya dapat dibeli, kondisi ini tentu saja
MERENDAHKAN MARTABAT RAKYAT yang mana disini rakyat menjadi tidak
lebih hanya sebagai obyek politik.

Anda mungkin juga menyukai