Pada 21 Mei 1998, pada hari turunya Soeharto wakil presiden BJ Habibie dilantik menjadiu
presiden RI ketiga dibawah pimpinn MA di Istana Negara. Dasar hukum pengangkatan Habibie adalah
berdasarkan TAP MPR No.VII/MPR/1973 yang berisi “jika presiden berhalangan, maka wakil presiden
ditetapkan menjadu presiden.”
Tugas yang diemban oleh presiden BJ Habibie adalah memimpin pemerintahan transisi untuk
menyiapkan dan melaksanakan agenda reformasi yang menyeluruh dan mendasar, serta sesegera
mungkin mengatasi kemelut yang sedang terjadi. Contohnya berbagai persoalan politik, sosial dan
psikologis
Dalam pidato pertamanya pada tanggal 21 Mei 1998 yang disiarkan oleh langsung melalui RRI
dan TVRI BJ Habibiemdnyartakan tekadnya untuk melaksanakan reformasi. Isnya adalah
1. Di bidang politik dengan memperbarui perundang undangan dalam rangka lebih meningkatkan
kualitas kehidupan berpolitik yang bernuansa pada PEMILU sebgaimana yang di amanatkan oleh
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
2. Dibidang hukum anatara lain meninjau kembali Undang-Undang Subversi
3. Dibidang ekonomi dengan mempercepat penyelesaian undang-undang yang menghilangkan
praktik-praktik monopoli dan persaingan tidak sehat
Menetapkan 12 Ketetapan MPR dan ada 4 ketetapan yang mencerminkan jawaban dari
tuntutan reformasi yaitu :
a. Tap MPR No. VIII/MPR/1998, tentang pencabutan Tap No. IV/MPR/1983 tentang Referendum
b. Tap MPR No. XVIII/MPR/1998, tentang pencabutan Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang Pancasila
sebagai asas tunggal
c. Tap MPR No. XII/MPR/1998, tentang pencabutan Tap MPR No. V/MPR/1978 tentang Presiden
mendapat mandat dari MPR untuk memiliki hak-hak dan Kebijakan di luar batas perundang-
undangan
d. Tap MPR No. XIII/MPR/1998, tentang Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden
maksimal hanya dua kali periode.
b. Ekonomi
c. sosial
OTONOMI DAERAH
Otonomi daerah juga merupakan warisan kebijakan penting Habibie. Indonesia mulai memberlakukan
otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan
penerapan UU ini, gejolak disintegrasi yang telah muncul sejak era Orde Baru berhasil diredam.
Melalui Inpres Nomor 26 Tahun 1999 dan Inpres Nomor 4 tahun 1999, Habibie memulai upayanya untuk
mengakhiri diskriminasi terhadap warga Indonesia etnis Tionghoa. Ia mencabut larangan untuk
berbicara dan mengajar bahasa Mandarin. Keputusan ini merupakan bagian dari pelonggaran kebijakan
diskriminatif terhadap etnis Tionghoa yang dilembagakan Soeharto selama tiga dekade, sejak
diberlakukannya program anti-komunis tahun 1965-1966.
Saat kerusuhan Mei 1998, terjadi tragedi kekerasan seksual di berbagai kota besar yang dialami oleh
perempuan terutama etnis Tionghoa. Tragedi ini memicu tuntutan masyarakat sipil kepada pemerintah
untuk menangani masalah kekerasan terhadap perempuan.
Mendengar tuntutan ini, Habibie mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 181 tahun 1998 yang
melahirkan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Walaupun sempat mendapat cibiran terutama dari kalangan militer Indonesia, keputusan Habibie untuk
mengizinkan referendum kemerdekaan Timor Leste membuatnya dikenang di seluruh dunia. Bulan lalu,
saat Timor Leste memperingati 20 tahun kemerdekaannya, negara kecil itu meresmikan jembatan di ibu
kotanya, Dili, yang diberi nama “BJ Habibie”. Pemberian nama itu ditujukan untuk menghormati jasa
Habibie karena telah melaksanakan referendum pada tahun 1999 dan mengantar Timor Leste menuju
kemerdekaan.
d. pers
Dilakukan pencabutan pembredelan pers dan penyederhanaan permohonan SIUPP untuk memberikan
kebebasan terhadap pers, sehingga muncul berbagai macam media massa cetak, baik surat kabar
maupun majalah.
Akhir pemerintahan BJ Habibie
Menurut pihak oposisi, salah satu kesalahan terbesar yang ia lakukan saat menjabat sebagai
Presiden ialah memperbolehkan diadakannya referendum provinsi Timor Timur (sekarang Timor Leste).
Ia mengajukan hal yang cukup menggemparkan publik saat itu, yaitu mengadakan jajak pendapat bagi
warga Timor Timur untuk memilih merdeka atau masih tetap menjadi bagian dari Indonesia. Pada masa
kepresidenannya, Timor Timur lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi negara
terpisah yang berdaulat pada tanggal 30 Agustus 1999.
Kasus inilah yang mendorong pihak oposisi yang tidak puas dengan latar belakang Habibie
semakin giat menjatuhkannya. Upaya ini akhirnya berhasil saat Sidang Umum 1999, ia memutuskan
untuk tidak mencalonkan diri lagi setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR.
Pandangan terhadap pemerintahan Habibie pada era awal reformasi cenderung bersifat negatif,
tapi sejalan dengan perkembangan waktu banyak yang menilai positif pemerintahan Habibie. Salah satu
pandangan positif itu dikemukan oleh L. Misbah Hidayat dalam bukunya Reformasi Administrasi: Kajian
Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden.[35]