Anda di halaman 1dari 65

BAB IV

Kekuasaan Kehakiman Post Reformasi 1998

A. Kebijakan MPR 1998


Praktik ketata-negaraan bernuansa otoriter. pelanggaran hak asasi manusia, dan intervensi
peradilan terjadi sejak Pemerintahan Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno (1959-
1965). Praktik serupa juga terjadi pada era Pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto
(1966-1998) yang menyebabkan jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto pada 1998. Krisis
finansial 1998 merupakan satu dari berbagai kondisi yang mendorong bergulirnya reformasi di
Indonesia 1998.pelanggaran hak asasi manusia, ototarian penguasa, dan intervensi hukum dan
peradilan juga merupakan deretan faktor terjadinya reformasi.
Dibidang hukum, kondisi umum yang mendorong reformasi 1998 antara lain selama
pemerintah Orde Baru, tidak ada peraturan perundang-undangan yang memadai untuk
membatasi kekuasaan Hal demikian memberi peluang terjadinya praktek-praktek korupsi, kolusi
dan nepotisme serta terjadinya penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa
keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Pembinaan lembaga
peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam
proses peradilan. Penegakan hukum belum memberi rasa keadilan dan kepastian hukum pada
kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihak yang kuat dengan rakyat, sehingga
menempatkan rakyat pada posisi yang lemah.1
Gerakan reformasi 1998 memaksa Soeharto melepaskan jabatannya. Tujuan reformasi
1998 adalah (1)Mengatasi krisis ekonomi dalam waktu sesingkat-dingkatnya; (2).Mewujudkan
kedaulatan rakyat; (3)Menegakkan hukum berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan, dan
Hak Asasi Manusia (4).Meletakkan dasar-dasar reformasi pembangunan agama dan social
budaya dalam usaha mewujudkan masyarakat madani.2

1
Baca Ketetapan MPR tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan
Nomalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara, TAP MPR No. X/1998/MPR, Lampiran BAB II Kondisi
Umum huruf C. Hukum.
2
Lihat Tujuan Reformasi dalam MPR, Ketetapan MPR tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan
Dalam Rangka Penyelamatan dan Nomalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara, TAP MPR No.
X/1998/MPR.
Pasca turunnya Presiden Soeharto pada Mei 1998, MPR hasil pemilu 1997 melakukan
Sidang Istimewa pada tangga; 10 – 13 November 1998. MPR menetapkan 12 ketetapan MPR3
1. Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1998 Tahun 1998 Tentang Perubahan Dan Tambahan
Atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/1983
Tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah dan Ditambah Terakhir Dengan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/1998
2. Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998 Tahun 1998 Tentang Pencabutan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1983 Tentang Referendum
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR/1998 Tahun 1998 Tentang
Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
II/MPR/1998 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 Tahun 1998 Tentang
Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi
Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara
5. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR/1998 Tahun 1998 Tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme
6. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XII/MPR/1998 Tahun 1998 Tentang
Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
V/Mpr/1998 Tentang Pemberian Tugas Dan Wewenang Khusus Kepada
Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Dalam Rangka
Penyuksesan Dan Pengamanan Pembangunan Nasional Sebagai Pengamalan Pancasila

3
Pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tanggal 1 sampai dengan 11 Maret 1998
, MPR hasil pemilu 1997 menetapkan 6 Tap MPR yaitu: (10 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1998 Tahun 1998
Tentang Perubahan Dan Tambahan Atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
I/Mpr/1983 Tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Sebagaimana Telah
Diubah dan Ditambah Dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/Mpr/1988
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/Mpr/1993; (2) Ketetapan MPR
Nomor II/MPR/1998 Tahun 1998 GBHN; (3) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/1998
Tahun 1998 Tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Soeharto Selaku Mandataris Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ; (4) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor
IV/MPR/1998 Tahun 1998 Tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia ; (5) Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1998 Tentang Pemberian Tugas Dan Wewenang
Khusus Kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Dalam Rangka
Penyuksesan Dan Pengamanan Pembangunan Nasional Sebagai Pengamalan Pancasila; (6) Ketetapan MPR Nomor
VI/MPR/1998 Tahun 1998 Tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia
7. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XIII/MPR/1998 Tahun 1998 Tentang
Pembatasan Masa Jabatan Presiden Dan Wakil Presiden Republik Indonesia
8. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XIV/MPR/1998 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Dan Tambahan Atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor III/Mpr/1988 Tentang Pemilihan Umum
9. Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 Tahun 1998 Tentang Penyelenggaraan Otonomi
Daerah, Pengaturan, Pembagian, Dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang
Berkeadilan, Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia
10. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVI/MPR/1998 Tahun 1998 Tentang
Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi
11. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 Tahun 1998 Tentang
Hak Asasi Manusia
12. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVIII/MPR/1998 Tahun 1998 Tentang
Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia
Pancakarsa) Dan Penetapan Tentang Penegasan Pancasila Sebagai Dasar Negara

B. TAP MPR No. X/MPR/1998: GBHN Pasca Reformasi


Sebagai upaya merespon perubahan, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kemudian
mencabut kembali program pembangunan yang telah tersusun dalam Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) tahun 1998, dengan membuat “GBHN” baru yang diberi judul “Pokok-Pokok
Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional
Sebagai Haluan Negara”. TAP MPR No. X/MPR/1998 dapat dijadikan pedoman reformasi
hukum dan kekuasaan kehakiman. Satya Arinanto menyatakan bahwa Ketetapan MPR Nomor
X/MPR/1998 sebagai “GBHN Mini” karena sangat jelas terlihat bahwa politik pembangunan
hukum nasional diarahkan untuk menanggulangi krisis di bidang hukum. Penanggulangan krisis
di bidang hukum bertujuan untuk tegak dan terlaksananya hukum dengan sasaran terwujudnya
ketertiban, ketenangan, dan ketentraman masyarakat.4

4
Satya Arinanto, “Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pascareformasii”, (Pidato pada Upacara
Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 18 Maret 2006), hal. 20
dan 22.
Kebijakan reformasi pembangunan di bidang hukum dalam TAP MPR RI Nomor
X/MPR/1998 TAHUN 1998 Tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka
Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara,5 menyebutkan
bahwa
1. Penanggulangan krisis di bidang hukum bertujuan untuk tegak dan terlaksananya hukum
dengan sasaran terwujudnya ketertiban, ketenangan, dan ketentraman masyarakat.
Agenda yang harus dijalankan adalah:
a. Pemisahan secara tugas fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum, agar dapat
dicapai proporsionalitas, profesionalitas, dan integritas yang utuh.
b. Meningkatkan dukungan perangkat, sarana; dan prasarana hukum yang lebih
menjamin kelancaran dan kelangsungan berperannya hukum sebagai pengatur
kehidupan nasional.
c. Memantapkan penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia
melalui penegakan hukum dan peningkatan kesadaran hukum bagi seluruh
masyarakat.
d. Membentuk Undang-undang Keselamatan dan Keamanan Negara sebagai pengganti
Undang-undang Nomor .11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan penanggulangan
krisis Subversi yang akan dicabut.
2. Pelaksanaan reformasi di bidang hukum dilaksanakan adalah untuk mendukung
penanggulangan krisis di bidang hukum. Agenda yang harus dijalankan adalah:
a. Pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif.
b. Mewujudkan sistem hukum nasional melalui program legislasi nasional secara
terpadu.
c. Menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
d. Terbentuknya sikap dan perilaku anggota masyarakat termasuk para penyelenggara
negara yang menghormati dan menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

5
MPR. Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998 TAHUN 1998 Tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan
Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara, BAB IV KEBIJAKAN
REFORMASI PEMBANGUNAN, Huruf C. Hukum
Pada masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie, telah dikeluarkan berbagai kebijakan berkaitan
dengan hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia, yaitu, antara lain:
1) UU No. 1 Tahun 1999 Tentang Pengesahan Perjanjian Antara RI Dan Australia
Mengenai Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana (Treaty Between The
Republic Of Indonesia And Australia On Mutual Assistance In Criminal Matters)

2) UU No. 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik


3) UU No. 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum
4) UU No. 4 Susunan Dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
5) UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat
6) UU No. 6 Tahun 1999 Tentang Pencabutan UU 5-1985 Tentang Referendum
7) UU No. 19 Tahun 1999 Pengesahan ILO Convention Number 105 Concerning
The Abolition Of Forced Labour (Konvensi ILO Mengenai Penghapusan Kerja
Paksa)
8) UU No. 20 Tahun 1999 Pengesahan ILO Convention Number 138 Concerning
Minimum Age For Admission To Employment (Konvensi ILO Mengenai Usia
Minimum Untuk Diperbolehkan Kerja)
9) UU No. 21 Tahun 1999 Tentang Pengesahan ILO Convention Number 111
Concerning Discrimination In Respect Of Employment And Occupation
(Konvensi ILO Mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan Dan Jabatan)
10) UU No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
11) UU No. 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan UU 11/PNPS/Tahun 1963 tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi
12) UU No. 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara
13) UU No.28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas
Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme
14) UU No. 29 Tahun 1999 Tentang Pengesahan International Convention On The
Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination, 1965 (Konvensi
Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965)

15) UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
16) UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
17) UU No. 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan UU No. 14 Tahun 1970 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
18) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
19) UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers
20) Berbagai keputusan Presiden yang memberikan Amnesti kepada tahanan Politik.

C. UU No. 35 Tahun 1999: one roop system di Bawah MA


Selah satu kebijakan reformasi pembangunan di bidang hukum dalam TAP MPR RI Nomor
X/MPR/1998 Tahun 1998 Tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka
Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara adalah
2. Pelaksanaan reformasi di bidang hukum dilaksanakan adalah untuk mendukung
penanggulangan krisis di bidang hukum. Agenda yang harus dijalankan adalah:
a. Pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif
b. Mewujudkan sistem hukum nasional melalui program legislasi nasional secara
terpadu.
c. ......6

Untuk melaksanakan reformasi di bidang hukum dalam TAP MPR RI Nomor


X/MPR/1998 Tahun 1998 tersebut, Presiden Habibie dan DPR melakukan reformasi sistem
kekuasaan kehakiman dengan melakukan perubahan UU No. 14 Tahun 1970 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman berdasarkan UU No. 35 Tahun 1999
Tentang Perubahan UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.

6
MPR. Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998 TAHUN 1998 Tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan
Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara, BAB IV KEBIJAKAN
REFORMASI PEMBANGUNAN, Huruf C. Hukum
Perubahan mengenai penataan kembali bidang-bidang organisasi, administrasi, dan
keuangan dilaksanakan untuk meningkatkan checks and balances terhadap lembaga peradilan
antaralain perlu diusahakan agar putusan-putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan
transparan oleh masyarakat dan dibentuk Dewan Kehormatan Hakim yang berwenang
mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi, dan mutasi
hakim serta menyusun kode etik (code of conduct) bagi para hakim. Perubahan atas Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
meliputi:
a. pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan yang
semula berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan
menjadi berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung;
b. pengalihan kewenangan dari Menteri Pertahanan Keamanan dan Menteri Kehakiman
kepada Ketua Mahkamah Agung dalam menentukan badan peradilan yang berwenang
memeriksa perkara koneksitas;
c. penambahan ketentuan mengenai:
1) penegasan jangka waktu yang berkaitan dengan pelaksanaan pengalihan organisasi,
administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan yang dilakukan secara
bertahap dan dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun, namun untuk Peradilan
Agama tidak ditentukan waktunya;
2) penegasan mengenai peraturan perundang-undangan yang masih tetap berlaku
sebagai akibat perubahan Pasal 11 dan Pasal 22. 7
Berdasarkan UU No. 35 Tahun 1999, beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketenuan Pokok Keuasaan Kehakiman diubah sebagai berikut:
1.Ketentuan Pasa11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), secara
organisatoris, administratif, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah
Agung.
(2) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) untuk masing-masing lingkkungan peradilan diatur lebih lanjut
7
Penjelasan UMUM, Undang-Undang Tentang Perubahan UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman , UU No.35 Tahun 1999. LN Tahun 970 Nomor 147, TLN Nomor 3879
dengan Undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-
masing.
2. Di antara Pasal 11 dan Pasal 12 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 11 A yang berbunyi
sebagai berikut ;
Pasal 11A
(1) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, paling lama 5 (lima) tahun sejak
Undang-undang ini mulai berlaku.
(2) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial bagi Peradilan Agama waktunya
tidak ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengalihan secara bertahap sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

3. Ketentuan Pasal 22 diubah sehungga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan
Peradilan Umum dan lingkungan Peradilan Militer diperiksa dan diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali jika menurut Keputusan Ketua Mahkamah
Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Militer.

4.Diantara Pasal 40 dan Pasal 41 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 40A yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 40A
Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dinaksud dalam Pasal 40, semua
ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Pasal 11 atau yang
berkaitan dengan Pasal 22 masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang baru.

Substansi penting UU No. 35 Tahun 1999 adalah mengalihkan organisasi, administrasi,


dan finansial badan-badan peradilan yang semula berada di bawah departemen-departemen
menjadi berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Hal ini dilakukan sebagai upaya
mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka bebas dari campur tangan kekuasaan
eksekutif. Alasan lain adalah adanya fakta bahwa pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif
(pada masa presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto) memberi peluang bagi penguasa
melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktek-praktek
negatif pada proses peradilan.
Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan dilaksanakan secara
bertahap, paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku. Dengan kata lain,
paling lama 31 Agustus 2004 (5 tahun sejak 31 Agustus 1999 saat UU No. 35 Tahun 1999
disahkan dan diundangkan) pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan-badan
peradilan sudah harus dibawah Mahkamah Agung. Kecuali pengalihan organisasi, administrasi,
dan finansial bagi Peradilan Agama waktunya tidak ditentukan waktunya. Tata cara pengalihan
secara bertahap dilaksanakan oleh Presiden berdasarkan Keputusan Presiden.

D. Amandemen UUD 1945


Perubahan sistem hukum dan peradilan di Indonesia terjadi setalah perubahan UUD 1945. Hasil
amandemen UUD 1945 membangun lembaga baru dalam sistem kekuasaan kehakiman yaitu
membentuk Mahkamah Konstitusi (sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman) dan Komisi
Yudisial (penegak kehormatan hakim).
Amandemen UUD 1945 sendiri dilakukan sejak tahun 1999 hingga 2002 yaitu banyak 4
kali amandemen. Perubahan pertama diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-12 tanggal 19 Oktober 1999 Sidang Umum
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, dan mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan. Perubahan pertama ini mengubah Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2),
Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 21 UUD NRI Tahun 1945
Perubahan Kedua UUD 1945 disahkan pada Sidang Tahunan MPR pertama pada tanggal
18 Agustus 2000. Dalam perubahan kedua ini, MPR mengubah dan/atau menambah beberapa
pasal, yaitu: Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A,
Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25 E,Bab X, Pasal 26 Ayat (2) dan Ayat (3), Pasal 27 Ayat (3), Bab
XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H,
Pasal 28I, Pasal 28J, Bab Xll, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Perubahan ketiga UUD 1945 disahkan dalam Sidang Tahunan MPR kedua pada tanggal 9
Nopember 2001. Perubahan ketiga ini, MPR mengubah dan/atau menambah Pasal 1 ayat (2) dan
(3), Pasal 3 ayat (1), (3) dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3) dan (5),
Pasal 7A, Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), Pasal 22C ayat (1), (2), (3) dan (4), Pasal 22D ayat (1),
(2), (3), dan (4), Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal
23A, Pasal 23C, Pasal 23E ayat (1), (2) dan (3), Pasal 23F ayat (1) dan 92), Pasal 23G ayat (1)
dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24B ayat (1),
(2), (3) dan (4), dan Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6) UUD 1945.
Perubahan keempat UUD 1945 disahkan dalam Sidang Tahunan MPR ketiga, pada
tanggal 10 Agustus 2002. Pada Perubahan ketiga, MPR mengubah dan/atau menambah Pasal 2
ayat (1), Pasal 6A ayat (4), Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat (1), Pasal 16, Pasal 23B, Pasal 23D,
Pasal 24 ayat (3), Pasal 31 ayat (1), (2), (3), dan (5), Aturan Peralihan Pasal I, II dan III, Aturan
Tambahan Pasal I
Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, perubahan Bab IX tentang Kekuasaan
Kehakiman UUD 1945 dilakukan dua kali proses amandenen yaitu: pada amandemen UUD 1945
ke III Tahun 2001 dan Amandemen UUD ke IV Tahun 2002. Amandemen III UUD 1945
disahkan pada tanggal 9 November 2001 dalam Rapat Paripurna MPR RI ke-7 (Lanjutan 2)
Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia meliputi Pasal 24, 24 A,
24 b, 24C, dan 24 D. Amandemen IV mulai berlaku sejak disahkan pada tanggal 10 Agustus
2002 diputuskan dalam rapat paripurna MPR RI ke-6 (lanjutan). Amandemen IV terhadap
Kekuasaan Kehakiman hanya meliputi Pasal 24 ayat (3) yang berbunyi : Badan-badan lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang.

Bunyi lengkap BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman Hasil amandemen UUD 1945 adalah
sebagai berikut
Pasal 24
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
(3) Badanbadan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undang-undang.
Pasal 24A
(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
(2) Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. ***)
(3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden.
(4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung.
(5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan
peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.
Pasal 24B
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang
hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.
Pasal 24C
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-undang Dasar.
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah
Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.
(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap
sebagai pejabat negara. ***)
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya
tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.

Pasal 25
Syaratsyarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan
undang-undang.
Susunan badan peradilan pelaksana kekuasaan kehakiman Hasil amademen UUD 1945
Pasal 24 ayat (2) adalah :
1. Mahkamah Agung
2. Badan-badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah agung dalam lingkungan:
a. lingkungan peradilan umum,
b. lingkungan peradilan agama,
c. lingkungan peradilan militer,
d. lingkungan peradilan tata usaha negara
3. Mahkamah Konstitusi
Selain membentuk Mahkamah Konstitusi, Amandemen UUD NRI Tahun 1945 juga
membentuk Komisi Yudisial. Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan “Komisi
Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim”.
Tentang kewenangan judicial Review peraturan perundang-undangan, konstitusi memilah
pengujian undang-undang terhadap UUD yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
oleh Mahkamah Agung.
Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan :
Mahkamah Agung berwenang menjadi pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

Pasal 24C ayat (1) menentukan bahwa :


Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan
memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pasal 24C ayat (2) menentukan bahwa :
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-undang Dasar.

E. Pembentukan Pengadian Khusus


Pengadilan khusus bukan merupakan hal baru dalam sistem peradilan di Indonesia. Pada tahun
1955, berdasarkan UU Drt Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan Dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi8 dibentuk Peradillan Ekonomi. Peradilan Ekonomi bukan
sebagai badan peradian sendri di luar pengadilan yang sudah ada. Pengadilan Ekonomi adalah

8
Republik Indonesia, Udang-Undang Darurat Tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi, UU DRT Nomor 7 Tahun 1955, LN RI Tahun 1955 No. 27, TLN RI Nomor 801
sebagai pengkhususan peradilan di lingkngan peradilan umum. 9
Pada tahun 1964, berdasarkan
UU Nomor 21 Tahun 1964 dibentuk Pengadilan Landreform yang berada di lingkungan
peradilan umum.10 Pengadilan landreform tidak bertahan lama karena dihapus berdasarkan UU
No 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang Undang dan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang dan UU No. 7 Tahun 1970 tentang
Penghapusan Pengadilan Landreform. Beberapa alasan penghapusan antara lain : Pengadilan
Landreform mengalami kesulitan dan kemacetan, untuk effisiensi perlu menghapuskan
Pengadilan Landreform dan mengalihkan wewenang mengadili perkara-perkara Landreform
kepada Pengadilan-pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.11
Pada masa berlakunya UU No 19 Tahun 1964, dibedakan peradilan umum, pengadilan
khusus, peradilan khusus. Dan peradilan administrasi/peradilan kepwgawaian. Penjelasan Pasal 7
UU No 19 Tahun 1964 menyebutkan Peradilan Umum antara lain meliputi pengadilan Ekonomi,
Pengadilan Subversi, Pengadilan Korupsi. Sementara itu, Peradilan Khusus terdiri dari
Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer. Yang dimaksudkan dengan Peradilan Tata Usaha
Negara adalah yang disebut "peradilan administratif" dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960, dan antara lain meliputi juga yang disebut "peradilan
kepegawaian" dalam pasal 21 Undang-undang No. 18 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kepegawaian:12
Pada masa berlakunya UU No 14 Thaun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman digunakan
istilah peradilan umum, peradilan khusus, dan pengkhususan (differensiasi/spesialisasi).
Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili
perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan Peradilan Umum
adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata, maupun perkara
pidana. Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya
pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam
Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan lalu lintas, Pengadilan Anak-
anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan Undang-undang. (Pasal 10 ayat (1) dan
Penjelasan).

9
Baca pada uraian bagian atas bab tentang UU Drt Nomor 7 Tahun 1955 : Pembentukan Peradilan Ekonomi
10
Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan Landreform, UU Nomor 21 Tahun 1964.
11
Baca bagian menimbang, Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan Landreform, UU Nomor 21 Tahun 1964.
12
UU No 19 Tahun 1964, Penjelasan Pasal 7.
Pasca Amandemen UUD 1945, bersamaan dengan dikeluarkannya UU No 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, penggunaan pengadilan khusus sebagai bentuk pengkhususan
dalam empat lingkungan peradilan. Pasal 15 UU No 4 Ayat (1) Tahun 2004 menyebutkan
Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang. Dalam penjelasan PAsal 15 ayat
(1) diuraikan bahwa Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara
lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak
pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan
pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.
UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman yang baru dalam pasal 27 ayat (1)
dan penjelasannya mengatur hal yang sama dengan UU Kekuasaan lama yaitu UU No 4 Tahun
2004.

1. UU No. 3 Tahun 1997 : Pengadilan Anak


Pengadilan anak dibentuk pada tahun 1997 masa pemerintahan Presiden Soeharto dan telah
diuraikan pada bagian atas bab ini. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Pengadilan Anak
adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Sidang
Pengadilan Anak (Sidang Anak) bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara anak nakal.(Pasal 2, Pasal 3 jo Pasal 21).
Terhadap anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum, demi pertumbuhan dan
perkembangan mental anak, perlu pembedaan perlakuan di dalam hukum acara dan ancaman
pidananya. Dalam hubungan ini pengaturan pengecualian dari ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang lama pelaksanaan
penahannya ditentukan sesuai dengan kepentingan anak dan pembedaan ancaman pidana bagi
anak yang ditentukan oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang penjatuhan pidananya
ditentukan 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana yang dilakukan oleh orang
dewasa, sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan
terhadap anak. Pembedaan perlakuan dan ancaman dimaksudkan untuk melindungi dan
mengayomi anak. Selain itu pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan
kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang
mandiri, bertanggungjawab, dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.13

2. UU No. 4 Tahun 2000: Pembentukan Pengadilan Niaga


Pada tahun Presiden Habibie mengeluarkan PERPUU Nomor 1 Tahun 199814 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan15 yang ditetapkan menjadi undang-undang berdasarkan
UU No. 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi
Undang-Undang.16 (UU Kepailitan)
PERPPU No. 1 Tahun 1998 didasarkan pada pertimbangan terjadinya gejolak moneter
yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah memberi pengaruh yang tidak
menguntungkan terhadap kehidupan perekonomian nasional, dan menimbulkan kesulitan yang
besar dikalangan dunia usaha untuk meneruskan kegiatannya termasuk dalam memenuhi
kewajiban kepada kreditur. untuk memberikan kesempatan kepada pihak kreditur dan
perusahaan sebagai debitur untuk mengupayakan penyelesaian yang adil, diperlukan sarana
hukum yang dapat digunakan secara cepat, terbuka dan efektif. Peraturan tentang kepailitan
yang masih berlaku yaitu Faillissements-Verordening atau Undang-undang tentang Kepailitan
sebagaimana termuat dalam Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906
Nomor 348, memerlukan penyempurnaan dan penyesuaian dengan keadaan dan kebutuhan bagi
penyelesaian utang-piutang tadi;17

13
Baca Penjelasan Umum, Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan Anak, UU No. 3 Tahun 1987,
LN RI Tahun 1987 Nomor 3, TLN RI Nomor 3713..
14
Bagian Menimbang, Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undag Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan PERPPU Nomor 1 Tahun 1998, LNRI Tahun1998, No. 87 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3761)
15
Republik Indonesia, Undang-undang tentang kepailitan (Faillissements-Verordening, Staatsblad 1905 Nomor 217
juncto Staatsblad 1906 Nomor 348),
16
Republik Indonesia, Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang. UU No. 4 Tahun 1998 Tentang
LNRI Tahun 1998 No. 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3778)
17
Bagian Menimbang, Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undag Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan PERPPU Nomor 1 Tahun 1998, LNRI Tahun1998, No. 87 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3761)
Pada tahun 2000, atas dasar kondisi krisis ekonomi sejak 1998 Perpu No. 1 Tahun 1998
ditetapkan menjadi UU berdasarkan UU No. 4 Tahun 2000. Dalam UU Kepailitan ini, pada Pasal
280 Bab Ketiga Tentang Pengadilan Niaga disebutkan bahwa:
(1) Permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang
sebagaimana dimaksud dalam BAB PERTAMA dan BAB KEDUA, diperiksa dan
diputuskan oleh Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan Umum.
(2) Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), selain memeriksa dan
memutuskan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran
utang, berwenang pula memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang
perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah.

Untuk pertama kali dengan Undang-undang ini, Pengadilan Niaga dibentuk pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pembentukan Pengadilan Niaga selain pada PN Jakarta Pusat,
dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan
kesiapan sumber daya yang diperlukan. Pembentukan Pengadilan Niaga selain pada PN Jakarta
Pusat, dilakukan paling lambat dalam jangka waktu 120 (seratus dua puluh) hari terhitung sejak
berlakunya Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang ini.(Pasal 281)
Hakim Pengadilan Niaga diangkat berdasarkan surat Keputusan ketua mahkamah Agung.
(Pasal 283).
Hukum acara yang berlaku pada pengadilan niaga adalah hukum acara hukum acara
perdata, Kecuali ditentukan lain dengan Undang-undang (Pasal 284)
Terhadap putusan Pengadilan Niaga yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap,
dapat diajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan, apabila:
a. terdapat bukti tertulis baru yang penting, yang apabila diketahui pada tahap
persidangan sebelumnya, akan menghasilkan putusan yang berbeda; atau
b. Pengadilan Niaga yang bersangkutan telah melakukan kesalahan berat dalam
penerapan hukum.(Pasal 286)
Pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan oleh sebuah majelis hakim pada
mahkamah Agung yang khusus dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang
menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga. (Pasal 285)
Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 281 ayat (2) Undang-undang tentang
Kepailitan (Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348), yang
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998,
sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun
1998, Presiden Habibie mengeluarkan Keppres No 97 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan,
Pengadilan Negeri Surabaya, Dan Pengadilan Negeri Di Semarang 18

Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang meliputi
wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara,
Maluku dan Irian Jaya.
Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi wilayah
Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan Daerah Istimewa Aceh.
Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya meliputi wilayah
Propinsi yang Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur.
Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang meliputi wilayah
Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

3. UU No. 26 Tahun 2000 : Pembentukan Pengadilan HAM


Pasca reformasi 1998, hak asasi manusia menjadi perhatian penting. MPR Tahun 1999
mengeluarkan ketetapan khusus Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia. MPR menegaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur
Pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak
asasi manusia kepada seluruh masyarakat(Pasal 1). MPR juga menugaskan kepada Presiden
Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk meratifikasi
berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 2) serta mengamanatkan

18
Republik Indonesia, Keppres tentang Pembentukan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang,
Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, Dan Pengadilan Negeri Di Semarang, Keppres No 97
Tahun 1999 LNRI Thaun 1999 No. 142
pembentukan komisi nasional hak asasi manusia yang ditetapkan dengan Undang-undang (Pasal
4).
Untuk melaksanakan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia, dibentuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pembentukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 merupakan perwujudan tanggung jawab
bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam mengemban tanggung
jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa serta berbagai instrumen
lainnya mengenai hak asasi manusia yang disahkan oleh negara Republik Indonesia. Bertitik
tolak dari pendekatan perkembangan hukum baik yang dilihat dari sisi kepentingan nasional
maupun dari sisi kepentingan hubungan antarbangsa, dan berdasarkan kondisi yang mendesak
untuk menyelesaikan masalah yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia antara lain
yang terjadi di wilayah Timor Timur, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
dan Pasal 104 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka perlu
ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia. 19
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:
1. ada dugaan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat di berbagai tempat
yang seringkali cenderung berupa tindakan yang bersifat seperti pembunuhan massal
(genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan
(arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, atau
diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination), yang
menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil serta mengakibatkan
perasaan tidak aman baik terhadap perorangan maupun masyarakat;
2. kondisi sebagaimana dimaksud dalam angka 1 mempunyai dampak yang sangat luas
baik nasional maupun internasional, antara lain mengakibatkan menurunnya
kepercayaan terhadap Pemerintah Republik Indonesia akibat banyaknya pelanggaran
terhadap hak asasi manusia, yang perlu segera diatasi;

19
Penjelasan Umum Perpu 1 Thaun 1999
3. tuntutan sebagian reformasi baik yang bersifat nasional maupun internasional yang
sangat mengganggu jalannya pemerintahan sehingga harus segera diatasi dan
diciptakan suasana yang kondusif berupa ketertiban, ketenteraman, dan keamanan
harus memperhatikan prinsipprinsip hak asasi manusia yang diakui oleh bangsa yang
beradab.

Dalam proses legislasi 2000, DPR RI menolak Perpu No. 1 Tahun 1999. DPR dan
Presiden mengeluarkan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Presiden
juga mengeluarkan UU No 26 Tahun 2000 mencabut PERPU 1 Tahun 1999 .
Pengadilan HAM menurut Pasal 2 UU No 26 Tahun 2000 merupakan pengadilan khusus
yang berada dilingkungan Peradilan Umum. Pengadilan HAM kedudukan di daerah kabupaten
atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang
bersangkutan. Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan HAM berkedudukan di setiap
wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan.(Pasal 3). Kewenangan Pengadilan HAM adalah:
1. bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat. (Pasal 4)
2. Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak
asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara
Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. (Pasal 5)
3. Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran
hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah
18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan. (Pasal 6)
4. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:
a.kejahatan genosida;
b.kejahatan terhadap kemanusiaan. (Pasal 7)
Pada tahun 2001, dibentuk pengadilan Hak Asasi manusia, yaitu:
1. berdasarkan Keppres No. 31 Tabun 2001 dibentuk :
a. Pengadilan Hak Asasi Manusia Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
Daerah hukum Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat,
Banten, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Bengkulu,
Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah;
b. Pengadilan Hak Asasi Manusia Pada Pengadilan Negeri Surabaya,
Daerah hukum Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Surabaya
meliputi wilayah Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa
Tenggara Timur;
c. Pengadilan Hak Asasi Manusia Pada Pengadilan Negeri Medan, Dan
Daerah hukum Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Medan
meliputi wilayah Provinsi Sumatra Utara, Daerah Istimewa Aceh, Riau, Jambi, dan
Sumatera Barat;
d. Pengadilan Hak Asasi Manusia Pada Pengadilan Negeri Makasar
Daerah hukum Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Makassar
meliputi wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, dan Irian Jaya.
2) berdasarkan Keppres No. 53Tahun 2001membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia
Ad Hoc Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat yang terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat dan yang terjadi di Tanjung
Priok pada tahun 1984.
Segala biaya yang diperlukan dalam rangka pembentukan dan pengadaan sarana dan
prasarana Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dibebankan pada anggaran Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
(Pasal 2 dan Pasal 3)

4. Pengadilan Tipikor
Peratama kali penghadilan Tipikor dibentuk berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002, kewenangan
pengadilan tipikor berbeda dengan pengadilan khusus lainnya yang memeriksa dan memutus
perkara tertentu (seperti pengadilan pajak, pengadilan HAM) atau memeriksa dan memutus
subyek hukum tertentu (pengadilan anak). Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi20 menentukan yuridiksi pengadilan khusus tipikor untuk
menangani perkara tertentu atau subyek hukum tertentu tetapi memeriksa dan memutus perkara
yang penuntututannya dilakukan oleh KPK.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum Untuk pertama
kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang
wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia dan berwenang
memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang dilakukan di luar wilayah negara Republik
Indonesia oleh warga negara Indonesia. Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden.21

5. UU Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak


Pajak memegang peran penting dan strategis dalam penerimaan negara, akan tetapi pemungutan
Pajak yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan
bagi masyarakat Wajib Pajak. Hal tersebut dapat mengakibatkan timbulnya Sengketa Pajak
antara Wajib Pajak dan pejabat yang berwenang. Untuk hal tersebut penyelesaian sengketa pajak
yang lebih sederhana. Penyelesaian Sengketa Pajak sebelumnya, dilakukan oleh Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997
tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Namun, dalam pelaksanaan penyelesaian Sengketa
Pajak melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan
ketidakadilan.22
Penyelesaian Sengketa Pajak harus dilakukan secara adil melalui proses yang cepat,
murah, dan sederhana. Undang-undang tentang Pengadilan Pajak ini ditentukan bahwa putusan
Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Meskipun
demikian, masih dimungkinkan untuk mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung merupakan upaya hukum luar biasa, di samping akan
mengurangi jenjang pemeriksaan ulang vertikal, juga penilaian terhadap kedua aspek

20
Indonesia, Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002,
LN. 137, TLN. 4250.
21
PAsal 54 dan Pasal 55 UU No. 30 Tahun 2002
22
Penjelasan Umum UU Nomor 14 Tahun 2002
pemeriksaan yang meliputi aspek penerapan hukum dan aspek fakta-fakta yang mendasari
terjadinya sengketa perpajakan, akan dilakukan sekaligus oleh Mahkamah Agung.23
Pengadilan Pajak, menurut ketentuan Pasal 2 UU Nomor 14 Tahun 2002, adalah badan
peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak
yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Tentang Sengketa Pajak, Pasal 1 angka 5 UU
Nomor 14 Tahun 2002 adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak
atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan yang dapat diajukan Banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan
Peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan
berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Yuridiksi pengadilan Pajak diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak,24 yaitu :
i. memeriksa dan memutus Sengketa Pajak;
ii. Dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan
keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku;
iii. Dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan
Pajak atau Keputusan pembetulan atau Keputusan lainnya.

Hakim pengadilan pajak diangkat Presiden atas usul Menteri yang disetujui Ketua MA
mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah sarjana hukum atau sarjana lain.
Sengketa Pajak yang memerlukan keahlian khusus, Ketua dapat menunjuk Hakim Ad Hoc (Pasal
8).
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum
tetap. Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa: (a)menolak; (b)mengabulkan sebagian atau
seluruhnya; (c)menambah pajak yang harus dibayar; (d)tidak dapat diterima; (e)membetulkan
kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau (f)membatalkan. Terhadap putusan tidak
dapat lagi diajukan Gugatan, Banding, atau kasasi. Sebagai putusan akhir dan mempunyai
kekuatan hukum tetap, maka putusan Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan gugatan ke
23
Ibid
Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak, UU No. 14 tahun 2002, LN No. 27 tahun 2002,
24

TLN No.4189
Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, atau Badan Peradilan lain, kecuali putusan
berupa "tidak dapat diterima" yang menyangkut kewenangan/kompetensi. Pihak-pihak yang
bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada
Mahkamah Agung. Pengadilan Pajak dapat mengeluarkan putusan sela atas gugatan berkenaan
dengan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2).25
Tentang pembinaan, pada saat UU tentang Pengadilan Pajak dikeluarkan pada tahun
2002, kebijakan tentang pembinaan masih dualisme belum diselaraskan dengan gagasan one roof
system di bawah Mahkamah Agung yang sudah dimulai sejak 1999. Pasal 5 UU Pengadilan
Pajak menyebutkan bahwa
(1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah
Agung.
(2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan
oleh Departemen Keuangan.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh
mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.

Tentang eksistensi pengadilan pajak sebagai pengadilan khusus, UU tentang Pengadilan


Pajak tidak mengatur secara jelas. Pengadilan pajak sebagai pengadilan khusus di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara didasarkan pada UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Peradilan
Tata Usaha Negara
Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyebutkan bahwa Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara
lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak
pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan
pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Setelah dikeluarkan UU Kekuasaan Kehakiman yang baru yaitu UU No 48 Yahun 2009,
keberadaan Pengadilan Pajak sebagai pengadila khusus di lingkungan peradilan Tata Usaha
Negara diatur dalam Penjelasan Pasal 27 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa Yang dimaksud
dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan
hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan

25
UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pasal 77, PAsal 80, dan Penjelasan PAsal 80 ayat
(2).
pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang
berada di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Dalam Penjelasan PAsal 9A UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara ditentukan bahwa Yang dimaksud dengan
“pengkhususan” adalah deferensiasi atau spesialisasi di lingkungan peradilan tata usaha negara,
misalnya pengadilan pajak
Dalam Penjelasan Pasal 9A ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang 51 Tahun 2009
Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara ditentukan
bahwa Pengadilan khusus merupakan diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan peradilan tata
usaha negara, misalnya pengadilan pajak..

6. Mahkamah Syariyah
Keberadaan Mahkamah Syariyah/Peradilan Syariyah Provinsi Daerah Istimewa Aceh
didasarkan diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).26
Pasal 1 angka 7 UU Nomor 18 Tahun 2001 menentukan bahwa Mahkamah Syar’iyah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh dari
pihak mana pun dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berlaku untuk
pemeluk agama Islam.
Sementara itu pada Pasal 25 UU Nomor 18 Tahun 2001 ditentukan bahwa Peradilan
Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem peradilan
nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun.
Kewenangan Mahkamah Syar’iyah didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional,
yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kewenangan
Mahkamah Syar’iyah diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.
Tentang susunan Kewenangan Mahkamah Syar’iyah, Pasal 26 UU Nomor 18 Tahun
2001 menentukan
1) Mahkamah Syar’iyah terdiri atas

26
Indonesia, Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Lembaran Negara RI No. 114, Tambahan Lembaran Negara RI
No.4132, Pasal 25 – 26.
- Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda atau nama lain sebagai
pengadilan tingkat pertama, dan
- Mahkamah Syar’iyah Provinsi sebagai pengadilan tingkat banding di ibukota
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
2) Mahkamah Syar’iyah untuk pengadilan tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah
Agung Republik Indonesia.
3) Hakim Mahkamah Syar’iyah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sebagai Kepala
Negara atas usul Menteri Kehakiman setelah mendapat pertimbangan Gubernur
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Ketua Mahkamah Agung.
Pada tahun 2002, dikelurkan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10
Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam. Pasal 2 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 menentukan
bahwa
(1) Mahkamah Syar’iyah adalah Lembaga Peradilan yang dibentuk dengan Qanun mi
serta melaksanakan Syariat Islam dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
(2) Dalam melaksanakan kewenangannya Mahkamah Syar’iyah bebas dan pengaruh
pihak manapun
(3) Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
pengembangan dan Pengadilan Agama yang telah ada.

Kekuasaan kehakiman di Iingkungan Peradilan Syariat Islam dilaksanakan oleh:


(a)Mahkamah Syar’iyah, dan (b)Mahkamah Syar’iyah Provinsi. Kekuasaan kehakiman di
Iingkungan Peradilan Syartat Islam berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan
Negara Tertinggi. (PAsal 3 Qanun No. 10 Tahun 2002)
Pembinaan Peradilan Syariat Islam sesuai ketentuan Pasal 5 ditentukan bahwa Pembinaan
teknis Peradilan Syariat Islam dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sementara itu, Pembinaan
organisasi, admmnistrasi dan keuangan dilakukan oleh Menteri dan I atau Gubernur. Pembinaan
tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Pada tahun 2003 dikeluarkan Kepres RI No. 11 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Syariah
Provinsi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan Kepres No. 11 Tahun 2003
dilakukan perubahan :
- Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar'iyah yang daerah hukum adalah daerah hukum
eks Pengadilan Agama. Pengadilan Agama yang diubah menjadi Mahkamah Syar'iyah
adalah Mahkamah Syar'iyah Banda Aceh, Mahkamah Syar'iyah Sabang, Mahkamah
Syar'iyah Sigli, Mahkamah Syar'iyah Meureudu, Mahkamah Syar'iyah Bireun, Mahkamah
Syar'iyah Lhokseumawe, Mahkamah Syar'iyah Takengon, Mahkamah Syar'iyah Lhoksukon,
Mahkamah Syar'iyah Idi, Mahkamah Syar'iyah Langsa, Mahkamah Syar'iyah Kuala
Simpang, Mahkamah Syar'iyah Blang Kejeren, Mahkamah Syar'iyah Kutacane, Meulaboh,
Mahkamah Syar'iyah Sinabang, Mahkamah Syar'iyah Calang, Mahkamah Syar'iyah Singkil,
Mahkamah Syar'iyah Tapak Tuan, Mahkamah Syar'iyah Jantho.
- Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh diubah menjadi Mahkamah Syar'iyah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Daerah Hukum Mahkamah Syar'iyah Provinsi adalah daerah
hukum eks Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh.(Pasal 1 dan PAsal 2 Kepres No. 11
Tahun 2003)

Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar'iyah dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi


adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, ditambah
dengan kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, ditambah
dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam
ibadah dan syiar Islam yang ditetapkan dalam Qanun. Kekuasaan dan kewenangan lain
dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan
sumberdaya manusia dalam kerangka sistem peradilan nasional.(PAsal 3 Kepres No. 11 Tahun
2003

7. Pembentukan Pengadilan Perikanan


Pembentukan pengadilan perikanan didasarkan pada UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.27
Pasal 71 UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan 28 menentukan : dengan Undang-Undang ini
dibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak
pidana di bidang perikanan.
27
Indonesia, Undang-Undang tentang Perikanan, UU Nomor 13 Tahun 2004, Lembaran Negara Tahun 2004
Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara nomor 4433.
28
Indonesia, Undang-Undang tentang Perikanan, UU Nomor 13 Tahun 2004, Lembaran Negara Tahun 2004
Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara nomor 4433.
Beberapa kekhususan lain dari pengadilan perikanan, antara lain:
a. Pemeriksaan Persidangan:
1. diperiksa dan diputus Majelis Hakim terdiri dari 5 hakim dengan komposisi 2 hakim
karir dan 3 hakim Ad hoc. (Pasal 27, 32, 33).
2. paling lama 180 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan, Pengadilan HAM harus
sudah menjatuhkan putusan (Pasal 31). Banding paling lama 90 hari (Pasal 32) dan
Kasasi paling lama 90 hari (Pasal 33).
b. Untuk penegakan hukum di laut bidang perikanan, dibentuk Pengawas Perikanan yang
terdiri atas penyidik PNS perikanan dan nonpenyidik PNS perikanan.(Psl 66).
UU tidak mengatur secara khusus tentang penyelidikan, tetapi Pengawas Perikanan
bertugas mengawasi tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan
dan dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang diduga atau
patut diduga melakukan pelanggaran. (Pasal 66, 69)
c. Tahap Penyidikan. Penyidikan dilakukan oleh PPNS Perikanan, Perwira TNI AL, & Polisi
RI (Pasal.73)
d. Penuntutan ;
1. dilakukan oleh Jaksa Penuntut umum yang ditetapkan Jaksa Agung dan/atau pejabat
yang ditunjuk (Pasal. 75)
2. paling lama 10 hari sejak berkas dinyatakan lengkap, PU harus melimpahkan ke
Pengadilan Perikanan. (Pasal 76 )
e. Penahanan :
1 Penyidikan : 20 hari. Dapat diperpanjang 10 hari oleh Penuntut Umum(Pasal 73)
2. Penuntutan: 10 hari. Dapat diperpanjang 10 hari oleh Ketua PN (Pasal 76)
3. Pengadilan Perikanan : 20 hari. Dapat diperpanjang 10 hari oleh Ketua PN (Pasal 81)
4. Tingkat Banding : 20 hari. Dapat diperpanjang10 hari oleh Ketua PT (Pasal 82)
5. MA : 20 hari. Dapat diperpanjang 10 hari oleh Ketua MA (Pasal 83)

8. UU No. 2 Tahun 2004 : Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial


Pada tanggal 14 Januari 2004 disahkan dan diundangkan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.29 UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
29

Nomor 4356
Industrial dibentuk karena pertimbangan perlunya penyelesaian perselisihan hubungan industrial
yang cepat, tepat, adil, dan murah; sementara Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang
PemutusanHubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
Perselisihan Hubungan Industrial, menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 Tahun 2004
adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan
mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Pengadilan Hubungan Industrial, menurut Pasal 1 angka 17 UU Nomor 2 Tahun 2004
adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang
memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. 30 Sesuai
ketentuan Pasal 56 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004.31 Pengadilan Hubungan Industrial
memiliki kompetensi absolut sebagai pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum untuk
memeriksa dan memutus perkara:
1. ditingkat pertama mengenai perselisihan hak;
2. ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
3. ditingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
4. ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh dalam satu perusahaan.
Sebelum penyelesaian perselisihan diajukan ke pengadilan, perselisihan hubungan
industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara
musyawarah untuk mencapai mufakat, konsiliasi, artbitasi, dan atau mediasi. Perselisihan
hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke
Pengadilan Hubungan Industrial.
Untuk pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial
pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Propinsi yang
daerah hukumnya meliputi propinsi yang bersangkutan. Di Kabupaten/Kota terutama yang padat

Pasal 1 angka 17 UU Nomor 2 Tahun 2004


30

31
Indonesia, Undang-Undang tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No. 2 tahun 2004, LN
No. 6 tahun 2004, TLN No. 4356.
industri, dengan Keputusan Presiden harus segera dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat. (Pasal 59)
Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari: Hakim,
Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti. Susunan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Mahkamah Agung terdiri dari: Hakim Agung; Hakim Ad-Hoc pada Makhamah
Agung; dan Panitera.( Pasal 60) Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
diangkat dan diberhentikan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung. Hakim Ad-Hoc
Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua
Mahkamah Agung. Calon Hakim Ad-Hoc diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung dari nama
yang disetujui Menteri atas usul serikat pekerja/serikat buruh organisasi pengusaha. Ketua
Mahkamah Agung mengusulkan pemberhentian Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial
kepada Presiden.( Pasal 61, Pasal 63)
Beberapa ketentuan tentang mekanisme penyelesaian melalui pengadilan Perselisihan
Hubungan Industrial adalah sebagai berikut:
a. dalam hal mediasi atau konsiliasi tidak mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam
perjanjian bersama, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Hubunga Industrial.
b. penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui arbitrase dilakukan berdasarkan
kesepakatan para pihak dan tidak dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial
karena putusan arbitrase bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat
diajukan pembatalan ke Mahkamah Agung.
c. Pengadilan Hubungan Industrial berada pada lingkunga peradilan umum dan dibentuk pada
Pengadilan Negeri secara bertahap dan pada Mahkamah Agung.
d. untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat , adil dan murah, penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang berada pada lingkungan
peradilan umum dibatasi proses dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan untuk
mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan
hubungan kerja dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Sedangkan putusan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapt dimintakan kasasi ke
Mahkamah Agung.
e. Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksa dan mengadili perselisihan hubungan
industrial dilaksanakan oleh Majelis Hakim yang beranggotakan 3 (tiga) orang, yakni
seorang Hakim Pengadilan Negeri dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya
diusulkan oleh organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/organisasi buruh.
f. putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan tidak
dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
g. untuk menegkkan hukum ditetapkan sanksi sehingga dapat merupakan alat paksa yang lebih
kuat agar ketentuan undang-undang ini ditaati.32

9. UU No. 24 Tahun 2003 : Pembentukan Mahkamah Konstitusi


Menurut UU No. 24 Tahun 2003, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangnan, sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal 24 UUD 1945, Pasal 10 UU Mahkamah Konstitusi menyebutkan
kewenangan MK adalah:
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

32
UU No. 2 tahun 2004, Penjelasan Umum
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan
negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.
b. korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan
sebagaimana diatur dalam undang-undang.
c. tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
d. perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah
syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disetujui DPR dan Pemerintah
pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98
dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Pada 15 Agustus 2003, Presiden melalui
Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang
dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada
tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari
MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK
sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.33

10. UU No. 22 Tahun 2004 : Pembentukan Komisi Yudisial.34


Jatuhnya Pemerintahan Soeharto pada 21 Mei 1998 turut membawa pengaruh pada
mekanisme rekruitmen hakim agung, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung, yang lebih
transparan dan melalui mekanisme sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 14 Tahun
1985. Proses rekuitmen dilakukan melalui pengajuan calon hakim agung baik dari kalangan
Mahkamah Agung maupun pihak pemerintah yang dilakukan oleh Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia. Proses seleksi hakim agung dilakukan melalui mekanisme seleksi yang
terbuka, atau dikenal dengan fit and proper test, di DPR. Seleksi Ketua dan Wakil Ketua juga
33
Lihat https://mkri.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1&menu=2
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, UU No. 22 Tahun 2004, LN No. 89, TLN No.
34

4415.
dilakukan melalui mekanisme yang terbuka di DPR di mana DPR mengajukan dua kandidat
masing-masing untuk posisi Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung. Presiden dalam posisi
sebagai Kepala Negara kemudian menetapkan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung.35
Proses jit and proper test yang dilakukan DPR menghasilkan Bagir Manan dan Muladi untuk
posisi Ketua Mahkamah Agung dan M. Taufik dan Abdul Rahman Saleh sebagai kandidat Wakil
Ketua Mahkamah Agung pada tahun 2001. Presiden AbdurahmanWahid kemudian memilih
Bagir Manan sebagai Ketua Mahkamah Agung dan M. Taufik sebagai Wakil Ketua Mahkamah
Agung.
Di Indonesia, pasca Amandemen UUD 1945, pengisian Hakim Agung melibatkan Komisi
Yudisial. Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial
bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim.
Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 muncul didasarkan pada pemikiran bahwa
pertingnya kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku seluruh hakim untuk mendukung
upaya menegakkan peradilan. Melalui lembaga Komisi Yudisial ini, diharapkan dapat
diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan
penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan
keluhuran martabat serta perilakunya.36
Kembali ke belakang, kehadiran lembaga yang mempunyai fungsi dan tugas seperti KY
sudah lama diperjuangkan. Pada tahun 1968 dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang
(RUU) tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sempat diusulkan
pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang
berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai
pengangkatan, promosi, mutasi, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan hakim, yang
diajukan baik oleh Mahkamah Agung maupun Departemen Kehakiman. 37
Hasilnya, gagasan
tersebut tidak masuk Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman.
35
Ibid.
36
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003), hal. 195.
37
KHN: Laporan evaluasi kekuasaan kehakiman, 2010.
Gagasan kembali muncul dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.38 Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 menyatakan
sebagai berikut:
“Untuk meningkatkan check and balance terhadap lembaga peradilan antara lain perlu
diusahakan agar putusan-putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan
transparan oleh masyarakat dan dibentuk Dewan Kehormatan Hakim yang berwenang
mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi dan
mutasi hakim serta menyusun kode etik (code of conduct) bagi para hakim.”

Perjuangan untuk membentuk lembaga khusus dalam kekuasaan kehakiman diwujudkan


dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(PROPENAS) Tahun 2000-200439 yang mengakomodasi gagasan tersebut dengan menyebut
secara eksplisit istilah Komisi Yudisial. Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar
1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001 menjadi payung konstitusional bagi
eksistensi Komisi Yudisial.40
Pasal 24 B Perubahan Ketiga UUD 1945 mengatakan sebagai berikut:
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang
hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-
undang.41

38
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 35 Tahun 1999, LN No. 147 Tahun 1999, TLN No.
3879.
39
Di Indonesia, penyebutan istilah Komisi Yudisial memang dimulai pada saat ditetapkannya Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004. Republik
Indonesia, Undang-undang tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004, UU No. 25
Tahun 2000, LN No. 206 Tahun 2000.
40
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2002), hal. 47 dan 72. Dengan diaturnya Komisi Yudisial dalam
konstitusi, Jimly Asshiddiqie mengelompokkannya sebagai organ negara berdasarkan perintah undang-undang dasar
(constitutionally entrusted power). Jimly Asshiddiqie, “Perkembangan Ketatanegaraan Pascaperubahan UUD 1945
dan Tantangan Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia”, (makalah disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya
Nasional Perkembangan Ketatanegaraan Pascaperubahan UUD 1945 dan Pembaruan Kurikulum Pendidikan Hukum
Indonesia, diselenggarakan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia, di
Jakarta, 7 September 2004), hal. 7.
41
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar..., op. cit., hal. 47 dan 72.
UUD 1945 telah memberikan landasan konstitusional yang cukup bagi Komisi Yudisial.
Unruk menjalankan UUD 1945 dibentuklah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial.42 Undang-undang ini lahir dengan pertimbangan bahwa: (a) Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah negara hukum yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka
untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan UUD 1945; (b)
Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman
yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang
transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga
perilaku hakim; dan (c) bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24 B ayat (4) UUD 1945, susunan,
kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.
Dalam perkembangannya, Melalui putusannya, MK menyatakan bahwa UUD 1945
dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif,
dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil
Presiden, serta Mahkamah Agung, BPK, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga
negara yang utama (main state organs, principal state organs) yang secara instrumental
mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions,
principal state functions), sehingga oleh karenanya lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat
disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal state organs, atau main
state institutions) yang hubungannya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip “checks and
balances”. Prinsip “checks and balances” itu terkait erat dengan prinsip pemisahan kekuasaan
negara (separation of powers), dan tidak dapat dikaitkan dengan persoalan pola hubungan
antarsemua jenis lembaga, negara, seperti misalnya dalam konteks hubungan antara Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial. Oleh karena itu, memahami hubungan antara lembaga negara dalam
perspektif “checks and balances” di luar konteks pemisahan fungsi-fungsi kekuasaan negara
(separation of powers), seperti dalam hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial,
adalah tidak tepat.
Berdasar pada putusan MK, Komisi Yudisial bersifat penunjang terhadap kekuasaan
kehakiman. Tugas Komisi ini sebenarnya bersifat internal di lingkungan kekuasaan kehakiman,
tetapi agar pengawasan yang dilakukannya efektif, kedudukannya dipastikan bersifat independen

Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, UU No. 22 Tahun 2004, LN No. 89, TLN No.
42

4415.
di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.43 Lebih lanjut, Jimly
Asshiddiqie menyatakan bahwa Komisi Yudisial dapat dikatakan bahwa kedudukannya secara
struktural sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, secara
fungsional, peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman.
Komisi Yudisial, meskipun fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman, tetapi tidak
menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak norma
hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of ethics). Lagi pula komisi
ini hanya berurusan dengan persoalan kohormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim,
bukan dengan lembaga peradilan atau lembaga kekuasaan kehakiman secara institusional.44

Pembentukan Pengadian Khusus


9. Reformasi UU Kekuasaan Kehakiman dan Badan Peradilan Pasca Amademen UUD
1945
Konsekuensi yuridis Amandemen UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman adalah sinkronisasi
perturan perundang-undangan di bawah UUD. Untuk melaksanakan UUD 1945 dan usaha
memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, dilakukan penggantian dan perubahan
terhadap undang-undang yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan pelaksana kekuasan
kehakiman. Pada tahun 2004, dilakukan pergantian dan perubahan undang-undang yang
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu:

1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakimamn 45 mengganti UU No. 14 Tahun


1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaian telah diubah
berdasarkan UU No. 35 Tahun 1999.
2) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung. 46

43
Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006
44
Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006
45
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, LN
RI Tahun 2004 Nomor 8, TLN RI Nomor 4358
46
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung,
UU No 5 Tahun 2004, LN RI Tahun 2004 Nomor 9, TLN RI Nomor 4359
3) Perubahan UU tentang Peradilan Umum, pada Tahun 2004, dikeluarkan UU
No. 8 tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum,
4) Perubahan UU tentang Peradilan Umum, pada Tahun 2004,
5) Perubahan UU tentang Peradilan TUN, dikeluarkan UU No. 9 tahun 2004 tentang
Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
6) Perubahan UU tentang Peradlan Agama, pada tahun 2006, dikeluarkan UU No. 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4611);

Pada tahun 2009, pasca putusan MK tahun 2006, dilakukan pergantian dan perubahan
Undang-Undang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman serta perubahan UU Mahkamah Agung
, UU tentang Peradilan Umum, UU tentang Peradilan Agama, UU tentang Peradilan Militer, dan
UU tentang Peradilan TUN.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus
2006, di mana dalam putusannya tersebut telah menyatakan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan ketentuan pasal-pasal yang
menyangkut mengenai pengawasan hakim dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebagai konsekuensi logis-yuridis dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Pada
tahun 2009, kembali dilakukan perubahan terhadap uu yang berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman dan badan-badan peradilan pelaksana kekuasaan kehakiman
1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung47;
3. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
4. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; dan
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah
47

Agung, UU No. 3 Tahun 2009, LN RI Tahun 2004 Nomor 3, TLN RI Nomor 4958.
5. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

9.a. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Kekuasaan Kehakiman


1. Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006
a) Independensi Peradilan dan Independensi Hakim 169

Menurut UUD 1945, independensi peradilan merupakan benteng (safeguard) dari rule of law.
Independensi peradilan merupakan prasyarat yang pokok bagi terwujudnya cita negara hukum
dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Kemerdekaan hakim bukan
merupakan privilege atau hak istimewa hakim, melainkan merupakan hak yang melekat
(indispensable right atau inherent right) pada hakim dalam rangka menjamin pemenuhan hak
asasi dari warga negara untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak (fair trial).
Dengan demikian, secara timbal balik, adalah kewajiban hakim untuk bersikap independen dan
imparsial guna memenuhi tuntutan hak asasi pencari keadilan (justitiabelen, justice seekers). Hal
itu dengan sendirinya mengandung pula hak pada hakim untuk diperlakukan bebas dari tekanan,
pengaruh, dan ancaman. Kemerdekaan harus dimaknai tetap dalam batas-batas yang ditentukan
oleh hukum dan dalam rangka menerapkan hukum secara adil (fair), sebagaimana telah
diutarakan di atas. Kemerdekaan juga berjalan seiring dengan akuntabilitas yang diwujudkan
dengan pengawasan. Oleh karenanya kemerdekaan hakim di samping merupakan hak yang
melekat pada hakim sekaligus juga merupakan prasyarat untuk terciptanya sikap tidak berpihak
(impartial) hakim dalam menjalankan tugas peradilan. Bentuk akuntabilitas yang dituntut dari
hakim memerlukan format yang dapat menyerap kepekaan tersebut. Suatu ketidakhati-hatian
dalam menyusun mekanisme akuntabilitas dalam bentuk pengawasan, maupun ketidakhati-hatian
dalam pelaksanaannya, dapat berdampak buruk terhadap proses peradilan yang sedang berjalan.
Kepercayaan yang diperlukan untuk menuntut kepatuhan dan penerimaan terhadap apa yang
diputuskan hakim, dewasa ini boleh dikatakan berada dalam keadaan kritis. Tetapi seberapa
tipisnya pun tingkat kepercayaan yang tersisa sekarang, harus dijaga agar tidak sampai hilang
sama sekali, sehingga maksud untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim, justru menjadi kontra produktif dan pada gilirannya menimbulkan kekacauan hukum
(legal chaos);
b) Hubungan antarlembaga negara
UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif,
eksekutif, dan judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan
Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal state
organs). Lembaga-lembaga negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan
pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal state
functions), sehingga oleh karenanya lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai
lembaga negara utama (main state organs, principal state organs, atau main state institutions)
yang hubungannya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip “checks and balances”. Dengan
demikian, prinsip “checks and balances” itu terkait erat dengan prinsip pemisahan kekuasaan
negara (separation of powers), dan tidak dapat dikaitkan dengan persoalan pola hubungan
antarsemua jenis lembaga negara, seperti misalnya dalam konteks hubungan antara Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial. Oleh karena itu, memahami hubungan antara lembaga negara dalam
perspektif “checks and balances” di luar konteks pemisahan fungsi-fungsi kekuasaan negara
(separation of powers), seperti dalam hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial,
adalah tidak tepat. Walaupun benar bahwa Komisi Yudisial dapat diberi peran pengawasan,
maka pengawasan itu bukanlah dalam rangka checks and balances dan juga bukan pengawasan
terhadap fungsi kekuasaan peradilan, melainkan hanya pengawasan terhadap perilaku individu-
individu hakim;

Menimbang bahwa di samping lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, dalam


UUD 1945 juga diatur adanya lembaga-lembaga negara yang bersifat konstitusional lainnya
seperti Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, bank sentral, komisi
pemilihan umum, dewan pertimbangan presiden, dan sebagainya. Namun, pengaturan lembaga-
lembaga tersebut dalam UUD 1945, tidaklah dengan sendirinya mengakibatkan lembaga-
lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 tersebut, termasuk Komisi Yudisial, harus
dipahami dalam pengertian lembaga (tinggi) negara sebagai lembaga utama (main organs).
Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah menjalankan salah satu fungsi kekuasaan
negara. Sebagai komisi negara, sifat tugas Komisi Yudisial terkait dengan fungsi kekuasaan
kehakiman, yaitu dalam hubungan dengan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Oleh
karena itu, keberadaan komisi negara yang demikian biasa disebut sebagai “auxiliary state
organs” atau “auxiliary agencies”.

KY merupakan organ yang pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan


Kehakiman, dengan mana terlihat bahwa MA diatur dalam Pasal 24A, KY diatur dalam Pasal
24A ayat (3) dan Pasal 24B, dan MK diatur dalam Pasal 24C. Pengaturan yang demikian
sekaligus menunjukkan bahwa menurut UUD 1945 KY berada dalam ruang lingkup kekuasaan
kehakiman, meskipun bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Pasal 24A ayat (3) UUD 1945
berbunyi, ”Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat
untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden”. Pengaturan yang demikian menunjukkan keberadaan KY dalam sistem
ketatanegaraan adalah terkait dengan MA. Akan tetapi, KY bukan merupakan pelaksana
kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element atau state auxiliary organ. Oleh
karena itu, sesuai dengan jiwa (spirit) konstitusi dimaksud, prinsip checks and balances tidak
benar jika diterapkan dalam pola hubungan internal kekuasaan kehakiman. Karena, hubungan
checks and balances tidak dapat berlangsung antara MA sebagai principal organ dengan KY
sebagai auxiliary organ. KY bukanlah pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai
supporting element dalam rangka mendukung kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih, dan
berwibawa, meskipun untuk melaksanakan tugasnya tersebut, KY sendiri pun bersifat mandiri.
Oleh karena itu, dalam perspektif yang demikian, hubungan antara KY sebagai supporting organ
dan MA sebagai main organ dalam bidang pengawasan perilaku hakim seharusnya lebih tepat
dipahami sebagai hubungan kemitraan (partnership) tanpa mengganggu kemandirian masing-
masing, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini; 48

c. Mahkamah Konstitusi bukan objek Pengawasan KY


Hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh
Komisi Yudisial. Pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik hakim konstitusi dilakukan oleh
Majelis Kehormatan yang tersendiri sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UUMK sebagai
pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945. Untuk seterusnya, kedudukan Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh undang-undang dasar, termasuk sengketa yang melibatkan KY dan MA, tidak lagi

48
Disarikan dari Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 hlm. 179-185
terganggu sebagai akibat diperluasnya pengertian hakim yang meliputi hakim konstitusi
dimaksud. Hal demikian secara langsung berkaitan pula dengan kepentingan para Pemohon
sendiri untuk adanya penyelesaian konstitusional atas permasalahan yang dihadapi dalam
hubungan antara MA dan KY, yang sekiranya permohonan mengenai hakim konstitusi ini tidak
dikabulkan, niscaya kredibilitas dan legitimasi Mahkamah Konstitusi sendiri dalam memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara a quo dapat terus-menerus dipertanyakan.49

d) Hakim Agung adalah Hakim


Persoalan yang berkaitan dengan pertanyaan apakah hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD
1945 meliputi pengertian hakim agung atau tidak, tidaklah dapat ditemukan dasar-dasar
konstitusional yang meyakinkan. Pembentuk undang-undang dapat saja menentukan bahwa
untuk kepentingan pembinaan bertahap dan untuk kepentingan jangka panjang berdasarkan
pertimbangan teleologis bahwa di masa depan apabila seluruh hakim agung sudah merupakan
produk rekruitmen oleh KY maka untuk pengawasan cukuplah bagi KY mengurusi perilaku etik
para hakim di bawah hakim agung. Sekiranya undang-undang menentukan hal demikian,
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hal itu tidaklah bertentangan dengan UUD 1945.
Namun sebaliknya, jika undang-undang menentukan bahwa hakim agung termasuk ke dalam
pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh KY secara eksternal, sebagaimana telah
dijelaskan dalam uraian di atas, maka Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hal itu pun tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Apalagi, para hakim agung yang ada sekarang juga tidak
direkrut berdasarkan ketentuan baru yang melibatkan peran KY sebagaimana ditentukan dalam
UUD 1945. Pilihan kebijakan hukum yang demikian, menurut Mahkamah Konstitusi, juga tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, terpulang kepada pembentuk undang-
undang, yaitu DPR bersama dengan Presiden, untuk menentukan kebijakan hukum yang akan
dipilih dalam rangka menjalankan perintah Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.

e. Pengawasan hakim
Hal yang justru lebih substansial atau mendasar untuk diputus adalah permohonan para Pemohon
yang berkaitan dengan pengaturan mengenai prosedur pengawasan. Mengenai hal ini,
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa:

49
Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 hlm. 200
(i) Perumusan Pasal 13 huruf b juncto Pasal 20 UUKY mengenai wewenang lain sebagai
penjabaran dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menggunakan rumusan kalimat yang
berbeda sehingga menimbulkan masalah dalam penormaannya dalam UUKY yang
menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid);
(ii) UUKY terbukti tidak rinci mengatur mengenai prosedur pengawasan, tidak jelas dan
tegas menentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek yang diawasi, instrumen apa
yang digunakan, serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan. Hal tidak jelas
dan tidak rincinya pengaturan mengenai pengawasan dalam UUKY serta perbedaan
dalam rumusan kalimat seperti dimaksud pada butir (i) menyebabkan semua ketentuan
UUKY tentang pengawasan menjadi kabur (obscuur) dan menimbulkan ketidakpastian
hukum (rechtsonzekerheid) dalam pelaksanaannya;
(iii) Konsepsi pengawasan yang terkandung dalam UUKY didasarkan atas paradigma
konseptual yang tidak tepat, yaitu seolah-olah hubungan antara MA dan KY berada
dalam pola hubungan “checks and balances” antarcabang kekuasaan dalam konteks
ajaran pemisahan kekuasaan (separation of powers), sehingga menimbulkan penafsiran
yang juga tidak tepat, terutama dalam pelaksanaannya. Jika hal ini dibiarkan tanpa
penyelesaian, ketegangan dan kekisruhan dalam pola hubungan antara KY dan MA akan
terus berlangsung dan kebingungan dalam masyarakat pencari keadilan akan terus
meningkat, yang pada gilirannya juga dapat mendelegitimasi kekuasaan kehakiman yang
akan dapat menjadikannya semakin tidak dipercaya;

Segala ketentuan UUKY yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan


dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti
menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).

Untuk mengatasi akibat kekosongan hukum yang terlalu lama berkaitan dengan tugas
KY, Mahkamah Konstitusi merekomendasikan kepada DPR dan Presiden untuk segera
mengambil langkah-langkah penyempurnaan UUKY. Bahkan, DPR dan Presiden dianjurkan
pula untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang bersifat integral dengan juga mengadakan
perubahan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas UUKK, UUMA, UUMK, dan
undang-undang lain yang terkait dengan sistem peradilan terpadu. Sementara itu, Mahkamah
Agung juga diharapkan meningkatkan pengawasan terutama dengan cara lebih membuka diri
dalam merespons kritik, harapan, dan saran dari berbagai pihak. Prinsip kebebasan hakim oleh
hakim sendiri harus dimaknai sebagai adanya kewajiban untuk mewujudkan peradilan yang
bebas (fair trial) yang merupakan prasyarat bagi tegaknya rule of law. Oleh karena itu, dalam
prinsip kebebasan hakim tersebut terkandung kewajiban bagi hakim untuk membebaskan dirinya
dari bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau rasa takut akan adanya tindakan balasan karena
kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa,
kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan,
keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya, serta tidak menyalahgunakan prinsip kebebasan
hakim sebagai perisai untuk berlindung dari pengawasan; 50

9.b. UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman51


UUD NRI Tahun 1945 membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan,
khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Perubahan tersebut antara lain menegaskan
bahwa:
- kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
- Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
- Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.

Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 hlm. 200-203


50

Republik Indonesia, UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Lembaran Nergara RI Tahun 2009
51

No. 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076)


Pada tahun 2004 telah dikeluarkan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
sebagai upaya sinkroniasi UU kekuasaan kehakiam dengan UUD NRI Tahun 1945 (Hasil
Amandemen). Akan tetapi, UU No. 4 Tahun 2004 dirasa belum mengatur secara komprehensif
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yang merupakan kekuasaan yang merdeka. Oleh karena
itu perlu dikeluarkan UU kekuasaan Kehakiman yang baru yaitu Undang-Undang No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Selain hal tersebut, dikeluarkannya Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 adalah untuk
memenuhi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU/2006, yang salah satu amarnya telah
membatalkan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga telah membatalkan ketentuan yang terkait dengan
pengawasan hakim dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Sehubungan dengan hal tersebut, sebagai upaya untuk memperkuat penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman dan mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated justice system), maka Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai dasar penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman perlu diganti.
Hal-hal penting dalam Undang-Undang ini antara lain sebagai berikut:
a. Mereformulasi sistematika Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman terkait dengan pengaturan secara komprehensif dalam Undang-Undang ini,
misalnya adanya bab tersendiri mengenai asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
b. Pengaturan umum mengenai pengawasan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
c. Pengaturan umum mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim dan hakim konstitusi.
d. Pengaturan mengenai pengadilan khusus yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa,
mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
e. Pengaturan mengenai hakim ad hoc yang bersifat sementara dan memiliki keahlian serta
pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.
f. Pengaturan umum mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa di luar
pengadilan.
g. Pengaturan umum mengenai bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu dan
pengaturan mengenai pos bantuan hukum pada setiap pengadilan.
h. Pengaturan umum mengenai jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim
konstitusi.52
Tentang Pelaku Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Thaun 2009, mengatur antar lain
sebagai berikut:
1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh :
a) sebuah Mahkamah Agung dan
b) badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agunng dalam :
i) lingkungan peradilan umum,
Peradilan umum berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan
perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 19 jo. Pasal
25 ayat (2))
ii) lingkungan peradilan agama,
Peradilan agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. (Pasal 19 jo. Pasal 25 ayat (3));
iii) lingkungan peradilan militer,
Peradilan militer berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak
pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 19 jo.
Pasal 25 ayat (4));
iv) lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
Peradilan tata usaha negara berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (Pasal 19 jo. Pasal 25 ayat (5)).
Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung. Yang dimaksud dengan "pengadilan khusus"
antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia,
pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan

52
Baca Penjelasan Umum UU No. 48 Tahun 2009
perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang
berada di lingkungan peradilan tata usaha negara (Pasal 27).
c) sebuah Mahkamah Konstitusi. (Pasal 18).
2) Hakim dan Hakim Konstittusi
a) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5).
b) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hokum (Pasal 5).
c) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
(Pasal 5).
d) Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang diatur dalam undang-undang (Pasal 19).
e) Pengangkatan hakim agung berasal dari hakim karier dan nonkarier yang dipilih oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.
Yang dimaksud dengan "hakim karier" adalah hakim yang berstatus aktif sebagai hakim
pada badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang dicalonkan oleh
Mahkamah Agung. Yang dimaksud dengan "hakim nonkarier" adalah hakim yang
berasal dari luar lingkungan badan peradilan. (Pasal 30 dan Penjelasan Pasal 30 Ayat
(1))
f) Pangangkatan Hakim konstitusi
i) Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3
(tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden.
ii) Pencalonan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
secara transparan dan partisipatif.
iii) Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
secara objektif dan akuntabel.
iv) Untuk dapat diangkat sebagai hakim konstitusi, seseorang harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a.memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
b.adil; dan
c.negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan (Pasal 33 dan Pasal 34)
g) Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung. Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung tidak dapat
merangkap jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 31).
h) Hakim ad hoc dapat diangkat pada pengadilan khusus untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara yang membutuhkan keahlian dan pengalaman di bidang tertentu
dalam jangka waktu tertentu. (Pasal 32).
3) Mahkamah Agung
a) Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan yang
berada di dalam keempat lingkungan peradilan (lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara).
b) Mahkamah Agung berwenang dan tugas:
i. mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir
oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung, kecuali undang-undang menentukan lain;
Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada
Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang
menentukan lain (Pasal 20 dan Pasal 23).
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-
pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-
undang. Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan
kembali. (Pasal 20 dan Pasal 23).
ii. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang; Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagai
hasil pengujian dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat
kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung (Pasal
20). dan
iii. kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang (Pasal 20).
iv. Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah
hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan(Pasal 22).
c) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung (Pasal 21).
4) Mahkamah Konstitusi
a) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:
i. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
ii. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
iii.memutus pembubaran partai politik;
iv. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan53

b) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib
memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
c) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Konstitusi berada di bawah
kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi(Pasal 29).
5) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
Selain Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi,
terdapat badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasan kehakiman, meliputi:
a. penyelidikan dan penyidikan;
b.penuntutan;
c.pelaksanaan putusan;
d.pemberian jasa hukum; dan
e.penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Pasal 38).
6) Pengawasan Hakim dan Hakim Konstitusi
53
UU Kekuasaan Kehakiman 2009 mengatur kewenangan dengan memberi kewenangan lain yang diberikan undang
yang diatur pada Pasal 29 (e). Kewenangan ini dihapus berdasarkan Putusan MK .
a) Pengawasan tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara(Pasal 39 dan Pasal 41).
b) Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung. "Pengawasan tertinggi" meliputi
pengawasan internal Mahkamah Agung terhadap semua badan peradilan yang berada di
bawahnya. (Pasal 39 dan Penjelasan Pasal 39 Ayat (1)}
c) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas
administrasi dan keuangan.
d) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.
e) Pengawasan eksternal dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial. Pengawasan Komisi
Yudisial terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
(Pasal 40).
f) Dalam melaksanakan pengawasan, Komisi Yudisial dan/atau Mahkamah Agung wajib:
a.menaati norma dan peraturan perundang-undangan;
b.berpedoman pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim; dan
c.menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang diperoleh.
g) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung(Pasal 41).
h) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim (Pasal
42).
i) Hakim yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim diperiksa oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial (Pasal 43).
j) Pengawasan hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.

9.c. Perubahan Kedua UU Mahkamah Agung


Perubahan kedua terhadap UU tentang Mahkamah Agung (UU No. 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004) sebagai respons
atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006, di mana
dalam putusannya tersebut telah menyatakan Pasal 34 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan ketentuan pasal-pasal yang menyangkut mengenai pengawasan
hakim dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kedudukan, tugas, dan kewenangan Mahkamah Agung berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 (Perubahan
pertama) dan UU No. 3 Tahun 2009 (Perubahan kedua), kedudukan, tugas, dan kewenangan
Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:
1) Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 UU No. 5
Tahun 2004 Perubahan I).
2) Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan,
yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-
pengaruh lain.
3). Susunan Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, dan seorang
sekretaris. Pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung adalah hakim agung. Jumlah
hakim agung paling banyak 60 (enam puluh) orang.54 (Pasal 4 UU No. 5 Tahun 2004
Perubahan I)
4). Pimpinan Mahkamah Agung terdiri atas atas seorang ketua,2 (dua) wakil ketua, dan
beberapa orang ketua muda.
a) Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah Agung selama 5 (lima)
tahun;
b) 2 (dua) wakil ketua , terdiri dari wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang
non-yudisial). Pada setiap pembidangan, Mahkamah Agung dapat melakukan
pengkhususan bidang hukum tertentu yang diketuai oleh ketua muda.
c) wakil ketua bidang yudisial membawahi :
i) ketua muda perdata,

54
Pasal 4 UU No. 5 Tahun 2004 (perubahan pertama)
ii) ketua muda pidana,
iii) ketua muda agama,
iv) ketua muda militer, dan
v) ketua muda tata usaha negara.
d) wakil ketua bidang non-yudisial membawahi
i) ketua muda pembinaan dan
ii) ketua muda pengawasan (Pasal 5 UU No. 3 Tahun 2009 Perubahan Kedua).
5) Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum. (Pasal 6A UU No. 3 Tahun 2009 Perubahan Kedua)

6) Pengisian Ketua, Wakil Ketua, Kedua Muda, dan Hakim Agung Mahkamah Agung

a) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah
pejabat negara yang melaksanakan tugas Kekuasaan Kehakiman.( Pasal 6 UU No. 14
Tahun 1985)
b) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung dan
ditetapkan oleh Presiden. Keputusan Presiden mengenai penetapan Ketua, Wakil Ketua
Mahkamah Agung, dan Ketua Muda Mahkamah Agung dilakukan paling lama 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pengajuan nama calon diterima Presiden
(Pasal 8 UU No. 3 Tahun 2009 Perubahan Kedua).
c) Ketua Muda Mahkamah Agung ditetapkan oleh Presiden di antara hakim agung yang
diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung.
d) pengisian, pemilihan, dan penetapan Hakim Agung
i) Calon hakim agung berasal dari hakim karier dan berasal dari nonkarier. Calon
hakim agung yang berasal dari hakim karier adalah calon hakim agung yang
berstatus aktif sebagai hakim pada badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung yang dicalonkan oleh Mahkamah Agung.Calon hakim agung
yang juga berasal dari nonkarier adalah calon hakim agung yang berasal dari luar
lingkungan badan peradilan. ( Pasal 6B dan Penjealasan Pasal 6B UU No. 3 Tahun
2009 Perubahan Kedua)
ii) Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial diajukan dan disetujui  oleh
DPR 1 (satu) orang dari 1 (satu) nama calon  untuk setiap lowongan.
Persetujuan  calon hakim agung oleh DPR dilakukan paling lama 30 (tiga puluh)
hari sidang terhitung sejak tanggal nama calon diterima Dewan� Perwakilan
Rakyat. ( Pasal 8 UU No. 3 Tahun 2009 Perubahan Kedua)
ii) Calon hakim agung yang disetujui oleh DPR (dari nama calon yang diusulkan oleh
Komisi Yudisial) diajukan ke Presidan.
Pengajuan calon hakim agung oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden
dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sidang terhitung sejak tanggal nama
calon disetujui dalam Rapat Paripurna. ( Pasal 8 UU No. 3 Tahun 2009 Perubahan
Kedua)
iii) Hakim agung ditetapkan oleh Presiden dari nama calon yang diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat. Presiden menetapkan hakim agung dari nama calon yang
diajukan oleh DPR paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
pengajuan nama calon diterima Presiden.( Pasal 8 UU No. 3 Tahun 2009 Perubahan
Kedua).
7) Pemberhentian Hakim Agung
a) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda Mahkamah Agung, dan hakim agung diberhentikan
dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung karena:
i. meninggal dunia;
ii. telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun;
iii. atas permintaan sendiri secara tertulis;
iv. sakit jasmani atau rohani secara terus menerus selama 3 (tiga) bulan berturut-turut
yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; atau
v. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya." ( Pasal 11 UU No. 3 Tahun
2009 Perubahan Kedua)
b) Hakim agung hanya dapat diberhentikan tidak dengan hormat dalam masa jabatannya
apabila:
i. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Usul pemberhentian
diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden;
i i. berdasar keputusan Majelis Kehormatan, karena
- melakukan perbuatan tercela. Usul pemberhentian diajukan oleh Mahkamah
Agung dan/atau Komisi Yudisial;
- melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus-menerus
selama 3 (tiga) bulan. Usul pemberhentian diajukan oleh Ketua Mahkamah
Agung;
- melanggar sumpah atau janji jabatan. Usul pemberhentian diajukan oleh Ketua
Mahkamah Agung;
- melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
Usul pemberhentian diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung; atau
- melanggar kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim. Usul pemberhentian
diajukan oleh Komisi Yudisial. ( Pasal 12 UU No. 3 Tahun 2009 Perubahan
Kedua)
c) Majelis Kehormatan Hakim
i. Sebelum Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial mengajukan usul
pemberhentian, hakim agung mempunyai hak untuk membela diri di hadapan
Majelis Kehormatan Hakim.
ii. Majelis Kehormatan Hakim dibentuk oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usul
pemberhentian.
iii. Keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim terdiri atas:
- 3 (tiga) orang hakim agung; dan
- 4 (empat) orang anggota Komisi Yudisial.
iv. Majelis Kehormatan Hakim melakukan pemeriksaan usul pemberhentian paling lama
14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pembentukan Majelis Kehormatan
Hakim.
v. Dalam hal pembelaan diri ditolak,
- Majelis Kehormatan Hakim menyampaikan keputusan usul pemberhentian
kepada Ketua Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial paling lama 7 (tujuh) hari
kerja terhitung sejak tanggal pemeriksaan selesai.
- Ketua Mahkamah Agung menyampaikan usul pemberhentian kepada Presiden
paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
keputusan usul pemberhentian dari Majelis Kehormatan Hakim.
- Keputusan Presiden mengenai pemberhentian ditetapkan paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usul pemberhentian dari
Ketua Mahkamah Agung.
vi. Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, tata kerja, dan tata cara pengambilan
keputusan Majelis Kehormatan Hakim diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial." ( Pasal 11A UU No. 3 Tahun 2009 Perubahan Kedua)

8) Kekuasaan Mahkamah Agung


a) Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
i. permohonan kasasi;
- Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan
Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari semua Lingkungan Peradilan. (Pasal
29 UU No 14 Tahun 1985)
- Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan
pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:
a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan.
ii. sengketa tentang kewenangan mengadili;
iii. permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. (Pasal 30 UU No. 5 Tahun 2004 Perubahan I)
Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim agung wajib menyampaikan pertimbangan
atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari putusan. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat
bulat, pendapat hakim agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. (Pasal 30 UU No. 5
Tahun 2004 Perubahan I)
b) Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang. (Pasal 31 UU No. 3 Tahun 2009);
c) Mahkamah Agung berwenang melakukan pengawasan
i. Mahkamah Agang melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan
peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
(Pasal 32 UU No. 3 Tahun 2009 Perubahan II);
ii. Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para Hakim di semua
lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya. (Pasal 32 UU No. 3 Tahun
2009 Perubahan II))
iii. Pengawasan dan kewenangan tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara.
iv. Pengawasan internal atas tingkah laku hakim agung dilakukan oleh Mahkamah
Agung. Pengawasan eksternal atas perilaku hakim agung dilakukan oleh Komisi
Yudisial. (Pasal 32A UU No. 3 Tahun 2009 Perubahan II);)
v. Pengawasan berpedoman kepada kode etik dan pedoman perilaku hakim. Kode etik
dan pedoman perilaku hakim ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah
Agung.(Pasal 32A UU No. 3 Tahun 2009 Perubahan II);)
d) Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang
kewenangan mengadili:
i. antara Pengadilan di lingkungan Peradilan yang satu dengan Pengadilan di
Lingkungan Peradilan yang lain;
ii. antara dua Pengadilan yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Tingkat Banding
yang berlainan dari Lingkungan Peradilan yang sama;
iii. antara dua Pengadilan Tingkat Banding di Lingkungan Peradilan yang sama atau
antara lingkungan Peradilan yang berlainan. (Pasal 33 UU No 14 Tahun 1985)
e) Mahkamah Agung berwenang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir, semua
sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang
Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku. (Pasal 33 UU No 14 Tahun
1985)’
f) Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada
tingkat pertama dan terakhir atas putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Bab IV Bagian Keempat
Undang-undang ini.(Pasal 34 UU No 14 Tahun 1985)
g) Mahkamah Agung memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam
permohonan grasi dan rehabilitasi. (Pasal 35 UU No. 5 Tahun 2004 Perubahan I)
h) Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan
Notaris. (Pasal 36 UU No 14 Tahun 1985)
i) Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum
baik diminta maupun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain. (Pasal 37 UU No
14 Tahun 1985)
j) Di samping tugas dan kewenangan tersebut dalam Bab ini Mahkamah Agung dapat
diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang (Pasal 39 UU No 14
Tahun 1985).

9.d. Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan TUN Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006
Perubahan kedua UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama, dan UU Peradilan TUN antara
lain dilatarbelakangi dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006
tanggal 23 Agustus 2006, di mana dalam putusannya tersebut telah menyatakan Pasal 34 ayat (3)
UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan ketentuan pasal-pasal yang
menyangkut mengenai pengawasan hakim dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Sebagai konsekuensi logis-yuridis dari putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut, dikeluarkan UU Kekuasaan Kehakiman yang baru yaitu UU No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dilakukan perubahan kedua atas Undang-Undang
Mahkamah Agung berdasarkan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung serta UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial.
Perubahan tersebut berdampak pada perlunya sinkroniasi dan perubahan terhadap UU
peradilan umum, UU Peradilan Agama, dan UU Peradilan TUN dengan dikeluarkannya:
- UU No 49 Thaun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum yang telah diubah berdasakan UU No. 8 Tahun
2004 (Perubahan I)
- UU No. 50 Tahun 2009 tenteng Perubahan Kedua atas UU 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006
(Perubahan I)
- UU No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas No 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan TUN (sebagaimana telah diubah dengan UU No 9 Tahun 2004 (Perubahan
I).
Materi penting dalam Perubahan Kedua antara lain sebagai berikut:
1. penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh Mahkamah Agung
maupun pengawasan eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi
Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim;
2. memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada pengadilan negeri
maupun hakim pada pengadilan tinggi, antara lain melalui proses seleksi hakim yang
dilakukan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif serta harus melalui proses
atau lulus pendidikan hakim;
3. pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc.
4. pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim;
5. kesejahteraan hakim;
6. transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan;
7. transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban
biaya perkara;
8. bantuan hukum;
9. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim.55

Pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi juga telah menguji dan memutuskan dalam
Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015 yang intinya adalah Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU No.
55
Penjelasan Umum UU No. 49 Tahun 2009, Penjelasan Umum UU No. 50 Tahun 2009, Penjelasan Umum UU No.
51 Tahun 2009.
49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU No. 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU No. 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) bertetangan dengan UUD dan dinyatakan tidakmempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Berdasarkan Perubahan Ke dua pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-
IV/2006 dan Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015, Pengawasan, pengangkatan, dan
pemberhentian hakim pengadilan di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan
TUN adalah, sebagai berikut:
1) Peradilan Umum, PeradilanAgama, dan Peradilan TUN
Peradilan umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
pada umumnya. (Pasal2 UU No. 8 Tahun 2004).
Peradilan Agama adalah Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini. (Pasal2 UU No. 3 Tahun 2006). .
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara." (Pasal4 UU No. 8 Tahun 2004).

2) Pelaksana kekuasaan kehakiman


a) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi.
b) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan
Agama dam Pengadilan Tinggi Agama.
c) Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh
Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
d) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum , di lingkungan Peradilan
Agama, dan di lingkungan Peradilan TUN berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai
Pengadilan Negara Tertinggi. (Pasal 3 UU No.3 Tahun 2006, Pasal 3 UU No. 50 Tahun
2009, Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1986)

3) Pengadilan Khusus
a. Di masing-masing lingkungan peradilan dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur
dengan undang-undang. Pada pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad hoc (Pasal 8
UU No. 49 Tahun 2009, Pasal 3A UU No. 50 Tahun 2009, Pasal 9A UU No. 51 Tahun
2009)
b. Di Lingkungan peradilan umum, Yang dimaksud dengan "diadakan pengkhususan
pengadilan" ialah adanya diferensiasi/spesialisasi di lingkungan peradilan umum di mana
dapat dibentuk pengadilan khusus, misalnya pengadilan anak, pengadilan niaga,
pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan
industrial, pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, sedangkan
yang dimaksud dengan "yang diatur dengan undang-undang" adalah susunan, kekuasaan,
dan hukum acaranya. (Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU No. 49 Tahun 2009)
c. di Lingkungan Peradilan Agama,
- Yang dimaksud dengan "diadakan pengkhususan pengadilan" adalah adanya
diferensiasi/spesialisasi di lingkungan peradilan agama di mana dapat dibentuk
pengadilan khusus, misalnya pengadilan arbitrase syariah, sedangkan yang dimaksud
dengan "yang diatur dengan undang-undang" adalah susunan, kekuasaan, dan hukum
acaranya. (Penjelasan Pasal 3A Ayat (1) UU No. 50 Tahun 2009)
- Peradilan Syari'ah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan
pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya
menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam
lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan
peradilan umum. (Pasal 3A Ayat (1) UU No. 50 Tahun 2009))
d. di Lingkungan Peradilan TUN, Pengadilan khusus merupakan diferensiasi atau
spesialisasi di lingkungan peradilan tata usaha negara, misalnya pengadilan pajak.
( Penjelasan Pasal 9A Ayat (1) UU No. 51 Thaun 2009

4) Hakim
a. Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman. .(Pasal
12 UU No. 8 Tahun 2004, Pasal 11 UU No. 3-2006, Pasal 12 UU No. 9 Tahun 2004)
b. Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, profesional,
bertakwa dan berakhlak mulia, serta berpengalaman di bidang hukum. Hakim wajib
menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. (Pasal 13B UU No 49 Tahun 2009,
Pasal 12B UU No 50 Tahun 2009, Pasal 13B UU No 51 Tahun 2009 )
5) Pembinaan dan pengawasan
a. Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial Pengadilan
dilakukan oleh Mahkamah Agung..(Pasal 5 UU No. 8 Tahun 2004, Pasal 5 UU No. 3-
2006, Pasal 7 UU No. 9 Tahun 2004)
b. Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah
Agung. .(Pasal 13 UU No. 8 Tahun 2004, Pasal 12 UU No. 3-2006, Pasal 13 UU No. 9
Tahun 2004)
c. Pembinaan tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara. (Pasal 5 dam Pasal 13 UU No. 8 Tahun 2004, Pasal 5 dan Pasal 12 UU No. 3-
2006, Pasal 7 dan Pasal 13 UU No. 9 Tahun 2004))
d. Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.
e. Pengasan eksternal pengawasan eksternal atas perilaku hakim untuk menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan oleh
Komisi Yudisial. (Pasal 13A UU No 49 Tahun 2009, Pasal 12A UU No 50 Tahun
2009, Pasal 13A UU No 51 Tahun 2009 ),
i) Dalam melaksanakan pengawasan eksternal, Komisi Yudisial mempunyai tugas
melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim.
ii) Komisi Yudisial berwenang:
a). menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat dan/atau informasi
tentang dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
b). memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran atas Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim;
c). dapat menghadiri persidangan di pengadilan;
d). menerima dan menindaklanjuti pengaduan Mahkamah Agung dan badan-
badan peradilan di bawah Mahkamah Agung atas dugaan pelanggaran Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
e). melakukan verifikasi terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada huruf
a dan huruf d;
f). meminta keterangan atau data kepada Mahkamah Agung dan/atau
pengadilan;
g). melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari hakim yang diduga
melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim untuk kepentingan
pemeriksaan; dan/atau
h). menetapkan keputusan berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada huruf b (Pasal 13D UU No 49 Tahun 2009, Pasal 12D UU No
50 Tahun 2009, dan Pasal 13D UU No 51 Tahun 2009).
f, Dalam melakukan pengawasan hakim, Komisi Yudisial melakukan koordinasi dengan
Mahkamah Agung. Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil pengawasan internal yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung dan hasil pengawasan eksternal yang dilakukan oleh
Komisi Yudisial, pemeriksaan bersama dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial. (Pasal 13C UU No 49 Tahun 2009, Pasal 12C UU No 50 Tahun 2009, dan
Pasal 13C UU No 51 Tahun 2009)
g. Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim."
(Pasal 13F UU No 49 Tahun 2009 Perubagan II)

6) Pengangkatan hakim pengadilan


a. Komisi Yudisial tidak berwenang ikut dalam pengangkatan Hakim Pengadilan
Pada Perubahan kedua UU Peradilan umum, UU Peradilan Agama, dan UU Peradilan
TUN pada tahun 2009 menentukan seleksi hakim pengadilan dilakukan bersama oleh
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang diatur pada Pasal 14A UU Peradilan
Umum, Pasal 13A UU Peradilan Agama, dan Pasal 14A UU Peradiilan TUN, yang
berbunyai
(1) Pengangkatan hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan melalui proses
seleksi yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.
(2) Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan
bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial."
Pada tahun 2015, dilakukan pengujian di Mahkamah Konsitusi terhadap Pasal 14A ayat
(2) dan ayat (3) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan
ayat (3) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2) dan
ayat (3) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Mahkamah Konsitiusi dalam Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015, menyatakan, yang
intinya adalah, bahwa :
1) kata “bersama” dan frasa “Komisi Yudisial” dalam Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3)
UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3)
UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2) dan ayat
(3) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
bertetangan dengan UUD dan dinyatakan tidakmempunyai kekuatan hukum
mengikat.
2) Pasal 14A ayat (2) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A
ayat (2)) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2)
UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN),
selengkapnya berbunyi, ‘Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri
dilakukan oleh Mahkamah Agung”
3) Pasal 14A ayat (3) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A
ayat (3) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (3)
UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN),
selengkapnya berbunyi, ‘Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur
oleh Mahkamah Agung’
Berdasarkan putusan Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015, ketentuan Pasal 14A UU
Peradilan Umum, Pasal 13A UU Peradilan Agama, dan Pasal 14A UU Peradiilan TUN,
selengkapnya berbunyi:

(1) Pengangkatan hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan melalui proses
seleksi yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.
(2) Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan oleh
Mahkamah Agung.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung."

b. Hakim pengadilan diangkat oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Ketua dan
wakil ketua pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung. (Pasal
16 UU Peradilan Umum, Pasal 15 UU Peradilan Agama, Pasal 16 UU Peradilan TUN)
7) Pemberhentian Hakim Pengadilan
a. Hakim pengadilan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung
dan/atau Komisi Yudisial melalui Ketua Mahkamah Agung. Usul pemberhentian hakim
yang dilakukan oleh Komisi Yudisial hanya dapat dilakukan apabila hakim yang
bersangkutan melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. (Pasal 16 ayat (1a)
dan ayat (1b) UU Peradilan Umum, Pasal 15 ayat (1a) dan ayat (1b) UU Peradilan
Agama, Pasal 16 ayat (1a) dan ayat (1b) UU Peradilan TUN)
b. Pemberhentian dengan hormat (Pasal 19 UU Peradilan Umum, Pasal 18 UU Peradilan
Agama, Pasal 19 UU Peradilan TUN)

1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya karena:
a). atas permintaan sendiri secara tertulis;
Dalam hal ketua atau wakil ketua pengadilan diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya karena atas permintaan sendiri secara tertulis, tidak dengan
sendirinya diberhentikan sebagai hakim." (Pasal 21 UU Peradilan Umum, Pasal
20 UU Peradilan Agama, Pasal 21 UU Peradilan TUN)
b). sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus;
c). telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim
pengadilan negeri, dan 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi ketua, wakil ketua,
dan hakim pengadilan tinggi; atau
d). ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
2) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan yang meninggal dunia dengan sendirinya
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden."
c. Pemberhentian tidak dengan hormat (Pasal 20 UU Peradilan Umum, Pasal 19 UU
Peradilan Agama, Pasal 20 UU Peradilan TUN)
1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan tidak dengan hormat dari
jabatannya dengan alasan:
a). dipidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Usul pemberhentian diajukan
oleh Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden.
b). melakukan perbuatan tercela. Usul pemberhentian diajukan oleh Mahkamah
Agung dan/atau Komisi Yudisial.
c). melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus-menerus
selama 3 (tiga) bulan; Usul pemberhentian diajukan oleh Ketua Mahkamah
Agung
d). melanggar sumpah atau janji jabatan; Usul pemberhentian diajukan oleh Ketua
Mahkamah Agung
e). melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; Usul
pemberhentian diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung
f). melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Usul pemberhentian
diajukan oleh Komisi Yudisial
2) Sebelum Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial mengajukan usul
pemberhentian, hakim pengadilan mempunyai hak untuk membela diri di hadapan
Majelis Kehormatan Hakim.
3) Majelis Kehormatan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
d. Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan sebelum diberhentikan tidak dengan hormat,
dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.
Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusulkan oleh
Komisi Yudisial. Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku paling lama 6 (enam) bulan.(Pasal 22 UU Peradilan Umum, Pasal 21 UU
Peradilan Agama, Pasal 22 UU Peradilan TUN)

Anda mungkin juga menyukai