Anda di halaman 1dari 22

TUGAS

METODE PENELITIAN DAN PENULISAN KARYA ILMIAH HUKUM

PENULISAN BAB I SKRIPSI

RELEVANSI KETETAPAN MPRS NOMOR 25 TAHUN 1966 TERHADAP


PASAL 28 UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945

Oleh :
Nama : TRI YUDHA FATHURRAHMAN
No.DP :

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KRISNADWIPAYANA
JAKARTA
2016
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pasca Reformasi sekaligus pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan pada tahun 1999 sampai dengan tahun

2002 telah membawa perubahan yang mendasar dalam kedudukan, tugas dan wewenang

lembaga-lembaga negara, tak hanya itu Amandemen Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 membawa Indonesia menjadi sedikit lebih baik dalam

hal penegakkan Hukum. Amandemen tersebut diikuti dengan semangat Reformasi yang

menggebu-gebu dimana seluruh Masyarakat Indonesia telah bebas dan lepas dari suatu

belenggu. Dalam hal perubahan kedudukan, tugas dan wewenang lembaga-lembaga

negara, tak luput dari Lembaga Negara yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR). Keberadaan MPR yang dulunya merupakan lembaga tertinggi negara sebagai

pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, kini berdasarkan Pasal 1 ayat

(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kedaulatan berada

ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan adanya

perubahan kewenangannya tersebut, juga telah membuat lembaga ini kehilangan

kewenangan untuk membentuk ketetapan-ketetapan yang bersifat mengikat keluar, yang

dapat mengikat seluruh rakyat Indonesia, akibatnya tentu berdampak pada status hukum

dari ketetapan-ketetapan MPRS/MPR yang telah ada sejak tahun 1960 sampai tahun

2002.

1
Atas dasar itulah sehingga sesuai dengan amanat Pasal 1 Aturan Tambahan

1
Undang-Undang Dasar Negara Rebulik Indonesia Tahun 1945 pasca amandemen, MPR

ditugasi untuk melakukan pengkajian terhadap materi dan status hukum dari Ketetapan
MPRS/MPR tersebut.
Setelah terbitnya TAP MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap

Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS/MPR RI Tahun 1960-2002, Ketetapan MPR

beradadi simpang jalan. Berdasarkan TAP MPR tersebut maka produk lembaga MPR
2
dapat digolongkan sebagai berikut :

1. Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003, Pasal 1 TAP MPRS/TAP MPR yang

dicabut dan dinyatakan tidak berlakuterdiri atas 8 (delapan) TAP, yaitu:

a. Ketetapan MPRS RI Nomor X/MPRS/1966 tentangKedudukan Semua Lembaga-


Lembaga Negara TingkatPusat Dan Daerah Pada Posisi Dan Fungsi Yang
DiaturDalam Undang - Undang Dasar 1945
b. Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/1973 tentangKedudukan Dan Hubungan
Tata-Kerja LembagaTertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga
Tinggi Negara
c. Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR.1973 tentangKeadaan Presiden dan/atau
Wakil Presiden RepublikIndonesia Berhalangan
d. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/1978 tentangKedudukan Dan Hubungan
Tata Kerja Lembaga TertinggiNegara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga
TinggiNegara
e. Kertetapan MPR RI Nomor III/MPR/1988 tentangPemilihan Umum
f. Ketetapan MPR RI Nomor XIII/MPR/1998 tentangPembatasan Masa Jabatan
Presiden Dan Wakil PresidenRepublik Indonesia
g. Ketetapan MPR RI Nomor XIV/MPR/1998 tentangPerubahan Dan Tambahan
Atas Ketetapan MajelisPermusyawaran Rakyat Republik Indonesia
NomorIII/MPR/1998 tentang Pemilhan Umum
h. Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 Tentang HakAsasi
ManusiaKedelapan TAP tersebut telah berakhir masa berlakunyadan/atau telah
diatur di dalam Undang - Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945

1
Pasal 1 aturan tambahan UUD 1945 paskah amandemen berbunyi “MPR ditugasi untuk
melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum ketetapan MPRS dan ketetapan MPR
untuk diambil putusan pada sidang MPR tahun 2003”
2
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bahan Tayangan Materi Sosialisasi UUD NRI Tahun 1945
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Sekretarian Jendral MPR RI 2014,
hal.60.
2
Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003, Pasal 2 TAP MPRS/TAP MPR yang
3
dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan. Dalam hal ini ada 3(tiga) TAP yaitu :

a. Ketetapan MPRS RI Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai


Politik Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Di Seluruh
Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan
Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham
Atau Ajaran Komunisme /Marxixme-Leninisme (tetap berlaku dengan ketentuan:
seluruh ketentuan dalam Ketetapan MPRS RI Nomor XXV/MPRS 1966 ini, ke
depan diberlakukan dengan BERKEADAILAN dan MENGHORMATI
HUKUM, PRINSIP DEMOKRASI dan HAK ASASI MANUSIA)
b. Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam
Rangka Demokrasi Ekonomi (tetap berlaku dengan ketentuan: pemerintah
berkewajiban mendorong keberpihakan poltik ekonomi yang lebih memberikan
kesempatan dukungan dan pengembangan ekonomi, usaha kecil menegah, dan
koperasi sebagai pilar ekonomi dalam membangkitkan terlaksananya
pembangunan nasional dalam rangka demokrasi ekonomi sesuai dengan hakikat
Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945)
c. Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/1999 Tentang Penentuan Pendapat di Timor
Timur (tetap berlaku dengan ketentuan: ketetapan ini tetap berlaku sampai
terlaksananya ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Ketetapan MPR RI Nomor
V/MPR/1999. (Karena masih adanya masalah-masalah kewarganegaraan,
pengungsian, pengembalian asset Negara, dan hak perdata perseorangan)

Berdasarkan penetapan dalam TAP MPR No. I/MPR/2003 tersebut terlihat


bahwa hingga saat ini masih ada TAP MPRS/MPR yang masih berlaku dengan
ketentuan sampai terbentuknya undang-undang, dan ketetapan itu masih memiliki daya
laku (validity)dan daya guna (efficiency).
Sementara itu, penulis menemukan suatu hal yang kontra dalam hal TAP
MPRS/MPR yang masih berlaku tersebut diatas. Dalam Ilmu Hukum, terdapat asas
diberlakukannya suatu Undang-Undang yaitu “Lex superior derogot legi inferiori”4,
dimana Undang-Undang (dalam hal ini TAP MPRS/MPR) yang dibuatt oleh penguasa
lebih tinggi mempunyai derajat yang lebih tinggi. Di Indonesia peraturan yang paling
tinggi ialah Konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dimana peraturan-peraturan yang ada dibawahnya tidak boleh bertentangan
dengan Konstitusi.

3
Ibid., hal.61.
4
Dr. Erna Widjajati, SH, MH, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Jalur, 2011), hal.22.

2
Salah satu TAP MPRS/MPR sebagaimana yang telah ditulis diatas tadi
menurut penulis secara Yuridis telah bertentangan dengan Konstitusi. TAP
MPRSMPR yang dimaksud ialah Ketetapan MPRS RI Nomor XXV/MPRS/1966
tentang Pembubaran Partai Politik Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai
Organisasi Terlarang Di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai
Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau
Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunisme /Marxixme-Leninisme.
Ketetapan MPRS tersebut kontra dengan BAB X Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Warga Negara dan Penduduk pada Pasal
28 berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
Pasal ini juga terkait dengan Pasal 28E yang berbunyi “Setiap orang berhak atas
kebebasan atas berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” Menurut
MPR itu sendiri, Ketetapan MPRS RI Nomor XXV/MPRS 1966 ini, ke depan
diberlakukan dengan BERKEADAILAN dan MENGHORMATI HUKUM,
PRINSIP DEMOKRASI dan HAK ASASI MANUSIA 5, menurut analisa penulis
dengan menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai Organisasi Terlarang dan
melarang segala kegiatan menyebarkan dan mengembangkan faham/ajaran
Komunisme /Marxixme-Leninisme, ialah suatu wujud ketidak adilan dan Hak
Asasi Manusia dan suatu wujud tidak diamalkannya Konstitusi dalam
membentuk suatu Ketetapan/Peraturan yang ada dibawahnya.
Dari latar belakang penelitian sebagaimana telah diuraikan di atas, maka penulis
tertarik untuk membahasnyadalam bentuk suatu penelitian ilmiah dengan judul

“RELEVANSI KETETAPAN MPRS NOMOR 25 TAHUN 1966 TERHADAP


PASAL 28 UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945”

5
Ibid., hal.61.
8
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka penulis memfokuskan

pembahasan pada rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah bentuk relevansi TAP MPRS No.XXV Tahun 1966 terhadap Pasal 28

UUD NRI 1945 ?

2. Bagaimanakah kedudukan dan status hukum TAP MPRS No.XXV Tahun 1966 yang

ideal sebagaimana cita-cita UUD NRI 1945 ?

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan Permasalahan yang dikemukakan sebelumnya, maka tujuan yang

hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui bagaimanakah bentuk relevansi TAP MPRS


No.XXV Tahun 1966 terhadap Pasal 28 UUD NRI 1945.

b. Untuk mengetahui bagaimanakah kedudukan dan status hukum TAP


MPRS No.XXV Tahun 1966 yang ideal sebagaimana cita-cita UUD NRI
1945.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoretis

Untuk pengembangan ilmu Hukum Tata Negara khususnya ilmu peraturan

perundang-undangan mengenai kesesuaian TAP MPRS/MPR dengan UUD

NRI 1945 dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku

saat ini.
b. Kegunaan Praktis

Untuk menambah sumbangan pemikiran bagi instansi pada bidang yang

dibahas dalam penelitian ini merubah paradigma masyarakat bahwa

Marxisme, Leninisme dan Komunisme bukanlah selalu hal yang buruk.

D. Kerangka Teoritis Dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka Teoritis adalah kerangka penelitian yang menghubungkan variabel

penelitian yang satu dengan yang lain berdasarkan teori-teori yang berkaitan dengan
9
permasalahan yang diteliti didalam skripsi.

a. Teori Negara Hukum

Dalam UUD 1945 sebelum perubahan (amandemen) tidak ditemukan istilah

negara hukum dalam batang tubuh, tetapi dalam penjelasan umum yaitu dalam

Penjelasan “sistem pemerintahan negara”angka 1 disebutkan bahwa “Indonesia

ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)”. Namun dalam perubahan

10
ketiga UUD 1945. Dibandingkan dengan rumusan dalam studi literatur tentang

negara hukum maka di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 mengenai Negara
Hukum sangat singkat dan berbunyi: “Indonesia adalah Negara Hukum”. Dari

9
Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Strata satu (S-1) Fakultas Hukum Universitas
Krisnadwipayana, Cetakan Ke-6 (edisi revisi), 2013, hal.12.
10
Ahmad Muliadi, Politik Hukum (Padang: Akademia Permata, 2013), hal.63.
rumusan yang singkat ini telah tercermin bahwa Negara Indonesia menganut

prinsip-prinsip Negara Hukum yang berlaku umum.

Pada abad ke-19 muncul konsep rechtsstaat dari Freidrich Julius Stahl, yang

diilhami oleh Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechtsstaat)

adalah :

a. Perlindungan hak-hak asasi manusia.


b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu.
c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
11
d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Menurut Immanuel Kant tujuan dari negara hukum adalah menjamin


12
kedudukan hukum dari individu-individu dalam masyarakat.

Pada saat yang bersamaan muncul pula konsep Negara Hukum (rule of law)

dari A.V. Dicey, yang mengemukakan unsur-unsur rule of law sebagai berikut :

a. Supremasi aturan-aturan hukum (Supremacy of law).


b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (Equality before the law).
c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan
13
pengadilan.

Dalam pada itu pendapat Burkens seperti dikutip oleh A. Hamid Attamini

mengemukakan pengertian negara hukum, yaitu Negara yang menempati hukum

sebagai dasar kekuasaan dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala


14
bentuknya dilakukan dibawah kekuasaan hukum.

11 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik(Jakarta: Gramedia, 1982), hal.57-58.


12 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, edisi Revisi (Jakarta: Radar Jaya
Pratama, 2000), hal.132.
13 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hal.3-
4.
14 A. Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik, (Malang:
In-Trans, 2003), hal.9.
11

Dari pandangan sederhana ini mengandung arti bahwa kekuasaan

pemerintah dalam suatu negara bersumber pada hukum dan sebaliknya untuk

melaksanakan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara harus

berdasarkan pada kekuasaan.

b. Teori Konstitusi

Menurut Sri Soemantri, tidak ada suatu negara pun di dunia ini yang tidak

memiliki konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Negara dan konstitusi merupakan


15
dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

Istilah konstitusi pada mulanya berasal dari bahasa latin yaitu, Constitutio
16
yang berkaitan dengan kata jus atau ius yang berarti hukum atau prinsip.

Konstitusi menurut C.F. Strong adalah“a frame of political society,

organized through and by law, that is to say on which law has established

permanent institutions with recognized function and definite rights.”Dari definisi di

atas pengertian konstitusi dapat disederhanakan sebagai kerangka negara yang

diorganisir dengan dan melalui hukum, dalam hal mana hukum menetapkan

pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen, fungsi dari alat-


17
alat kelengkapan dan hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.

15
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi (Bandung: Alumni, 1987), hal.2-3.
16
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan KonstitusionalismeIndonesia(Jakarta: Konpress, 2005), hal.1. 17
C.F.Strong, Modern Political Constitution, (London: Sidgwick& Jackson Limited, 1960),
hal.9.
12

Sedangkan Wirjono Projodikoro mengartikan konstitusi sebagai permulaan

dari segala peraturan mengenai suatu negara. Dengan demikian, suatu konstitusi

memuat suatu peraturan pokok mengenai soko guru atau sendi-sendi pertama untuk
18
menegakkan bangunan besar yang bernama negara.

Dalam perkembangannya, pengertian konstitusi jauh lebih luas dari Undang-

undang dasar. Pengertian tersebut dikemukakan oleh Herman Heller dalam bukunya

Verfassunglehre. Ia membagi konstitusi dalam tiga tingkatan yaitu :

1. Konstitusi sebagai pengertian sosial politik.


2. Konstitusi sebagai pengertian hukum.
3. Konstitusi sebagai suatu peraturan

19
tertulis.

c. Teori Perundang-undangan

Negara pada dasarnya merupakan perwujudan dari tata hukum nasional,

sehingga negara sama dengan hukum. Maksud dari suatu tata hukum nasional

adalah bukan merupakan suatu hukum yang simpang siur, tetapi merupakan suatu

pertingkatan hukum nasional, dimana hukum yang lebih rendah harus bersumber

pada hukum yang lebih tinggi. Demikian seterusnya sampai akhirnya mencapai

suatu norma dasar (grundnorm) yang menjadi sumber dari seluruh hukum yang
20
berlaku. Teori pertingkatan hukum ini disebut dengan Stufenbouw des Recht.
18
Zulkarnaen dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Konstitusi, (Bandung: Pustaka Setia, 2012),
hal.34.
19
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012),
hal.100.
20
Padmo Wahyono, Kuliah-Kuliah Ilmu Negara, Cetakan 1 (Jakarta: Indo-Hill, 1966), hal.18.
13

Stufenbouw des Recht atau dikenal dengan stufentheorie berasal dari seorang

sarjana bernama Adolf Merkel yang tidak lain adalah murid Hans Kelsen. Adolf

Merkel dalam teori pertingkatan hukumnya mengungkapkan bahwa suatu norma

21
hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das Dopperlte Rechtsantlitz). Menurut

Adolf Merkel suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma

diatasnya tetapi ke bawah ia juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma

hukum dibawahnya, sehingga norma hukum mempunyai masa berlaku yang relatif,

oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum

yang berada di atasnya. Apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau

dihapus, pada dasarnya norma-norma hukum yang berada di bawahnya akan


22
tercabut atau terhapus pula.

Berkaitan dengan teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen bahwa setiap

aturan harus ada hierarkinya. Dimulai dari norma dasar yang menjadi tolak ukur

validitas bagi norma yang ada di bawahnya. Menurut Hans Kelsen, norma yang ada

dalam suatu negara bukanlah berdiri sejajar atau bersifat koordinatif, melainkan
23
masing-masing norma mempunyai tingkatan-tingkatan yang berbeda.

Hans Nawiasky mengembangkan teori jenjang norma dalam kaitannya

dengan suatu negara. Hans Nawiasky dalam bukunya yang berjudul Allgemeine

Rechtslehre mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen, maka suatu

21
Maria Farida Indrati, Op.cit., hal.41.
22
Ibid., hal.42.
23
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, diterjemahakan oleh Raisul
Mattaqien, Cet. 5 (Bandung: Nusa Media, 2010), hal.179.
14

norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang.

Norma yang dibawah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih
24
tinggi yang disebut dengan norma dasar.

Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan

berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-

kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas
25
empat kelompok besar yaitu :

1. Kelompok I
Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
2. Kelompok II
Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara atau Aturan Pokok Negara)
3. Kelompok III
Formell Gesetz (Undang-Undang Formal)
4. Kelompok IV
Verordnung & AutonomeSatzung (Aturan Pelaksanan dan Aturan Otonom)

Dalam ketentuan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011

ditetapkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah


26
sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1925


2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota

24
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,
(Yogyakarta: Kanisius, 2007), hal.44.
25
Ibid., hal.44-45.
26
Aziz Syamsuddin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang. Edisi kedua, Cetakan
Pertama (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal.6.
15

d. Teori Politik Hukum

Secara etimologi kata “Politik” berhubungan dengan policy dan kebijakan.

Politik berasal dari bahasa Belanda = politiek, dan bahasa Inggris = Politics, yang

sama-sama bersumber dari bahasa Yunani = Politika (yang berhubungan dengan

negara) dengan asal katanya Polites (warga negara) dan polis (negara kota) atau

stadstaat, yang secara historis dapat dikatakan bahwa politik mempunyai hubungan
27
dengan negara politik mempunyai hubungan dengan negara .

Sedangkan pengertian hukum menurut Soedikno Mertokusumo adalah

keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu

kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu

kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan sanksi. Disisi

lain Mochtar Kusumaatmadja menyebutkan sebagai keseluruhan atas asas dan

kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat, juga meliputi

lembaga (institusi) dan proses yang mewujudkan kaidah tersebut dalam

bermasyarakat.

Berdasarkan pengertian politik dan hukum sebagaimana disebutkan diatas,

maka untuk pengertian politik hukum sebagai patokan dan perbandingan dapat

diambil dari berbagai pandangan yaitu :

1. Pandangan Teori Hukum Politik Murni (pure yuridis theoritis)

Politik hukum adalah suatu disiplin ilmu yang membahas perbuatan aparat yang

berwenang dengan memilih beberapa alternatif yang tersedia untuk


27
Ahmad Muliadi, Op.cit., hal.1.
16

memproduksi (melahirkan) suatu produk hukum guna mewujudkan tujuan


28
negara.

2. Menurut Bryan A. Garner

Political law atau political science berarti The branch of learning concerned

with the study of the principles and conduct of government. Olso termed

29
political law. Dalam terjemahan bebas diartikan bahwa politik hukum adalah

suatu cabang ilmu yang berkenaan dengan pengkajian mengenai prinsip-prinsip

dan tindakan pemerintah.

3. Menurut Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih

Politik hukum adalah suatu kebijakan yang diambil oleh Negara melalui

lembaganya atau pejabatnya untuk menetapkan hukum yang mana yang perlu

diganti, diubah, dipertahankan atau hukum tentang apa yang perlu diatur atau

dikeluarkan agar dengan kebijakan tersebut penyelenggaraan negara dan

pemerintahan dapat berlangsung dengan baik, tertib, dan aman sehingga tujuan

30
negara secara bertahap dan terencana dapat terwujud.

28
Ibid.,
29
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary (St. Paul: MNN, West Group, Seventh Edition,
1999), hal.1179.
30
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem
UUD 1945, (Jakarta: Gramedia, 1978), hal.15.
17

2. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah rumusan konsep-konsep dari variabel yang

31
diteliti, yang digunakan oleh penulis skripsi dalam penelitian. Adapun kerangka

yang penulis maksudkan adalah berhubungan dengan konsep-konsep sebagaimana

tercantum dalam judul penelitian. Konsep tersebut meliputi definisi operasional

sebagai berikut :

a. Tata urutan (hierarki) adalah perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-

undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan

yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. Dalam pasal 7 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011

diatur tentang tata urutan (hierarki) peraturan perundang-undangan Republik

Indonesia Tahun 1945 :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


2) Ketetapan MPR/MPRS;
3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4) Peraturan Pemerintah;
5) Peraturan Presiden;
6) Peraturan Daerah Provinsi; dan
7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

b. Tap MPR ( penjelasan pasal 7 (1) huruf b UU No.12 Tahun 2011 ) adalah yang

dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam

31
Pedoman penulisan skripsi sarjana strata satu (S-1) Fakultas Hukum Universitas
Krisnadwipayana, Loc.cit., hal.12.
18

Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status

Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002,

tanggal 7 Agustus 2003.

c. Kedudukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di artikan sebagai : 1) tempat

kediaman; 2) tempat pegawai (pengurus perkumpulan dsb) tinggal untuk

melakukan pekerjaan atau jabatannya; 3) letak atau tempat suatu benda; 4)

tingkat suatu martabat; 5) keadaan yang sebenarnya; 6) status (keadaan atau

32
tingkat orang badan atau negara).

d. Ketatapan dalam Kamus Hukum adalah Perbuatan hukum yang bersegi satu yang

didalam pemerintahan, dilakukan oleh alat pemerintahan berdasarkan kekuasaan

33
istimewa alat pemerintahan itu.

e. Tap MPRS/MPR adalah Putusan MPRS/MPR yang berlaku mengikat ke luar dan

ke dalam MPRS/MPR.

f. Status Hukum adalahkeadaan atau kedudukan hukum dari suatu (badan atau

orang atau peraturan) dalam hubungan dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku saat ini.

32
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1991), hal.245.
33
M. Maryam dan Jimmy P, Kamus Hukum “Dictionary Of Law Complete Edition”, (Jakarta :
Reality Publisher, 2009), hal.358.
19

g. Pasca UU No.12 Tahun 2011 adalah sesudah atau setelah terbit dan berlakunya

UU tersebut.

E. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian merupakan penelitian deskriptif analitis yaitu penelitian hukum

yang ingin memperoleh gembaran yang menyeluruh tentang permasalahan dalam

penelitian ini.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis politis.

Pendekatan yuridis ialah menelaah dan mengkaji secara mendalam atas bunyi teks

peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum serta pendekatan non yuridis

(politis) sebagai dukungan terhadap pendekatan yuridis.

3. Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian ini, penulisan menggunakan data sekunder, yang meliputi :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari:

i. Peraturan Dasar, yaitu terdiri dari:

A. Batang Tubuh UUD 1945 sebelum perubahan dan UUD Perubahan

Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat Negara Republik Indonesia Tahun

1945.
20

B. Ketetapan MPRS RI No. XX/MPRS/1966, Ketetapan MPR RI

No.I/MPR/1973, Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000, Ketetapan MPR

RI No. I/MPR/2003, Ketetapan MPR No. VII/MPR/2004, dan Keputusan

MPR No. I/MPR/2010.

ii. Peraturan Perundang-undangan, yaitu terdiri dari:

A. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan.

B. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan.

C. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi

atau hal-hal yang berkaitan dengan isi sumber hukum primer serta

34
implementasinya, yang terdiri dari hasil pengkajian, laporan penelitian, artikel

ilmiah, buku, makalah, skripsi, tesis, disertasi, dan data-data resmi dari lembaga

negara atau instansi pemerintahan yang berkaitan dengan objek penelitian.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum

sekunder, seperti: abstrak dan ensiklopedia.

34
Sri Mamudji, Metode Penelitian dan penulisan hukum (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal.31.
21

Disamping menggunakan data sekunder tersebut diatas, alat pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara. Wawancara dilakukan dengan

tujuan untuk mendapatkan informasi sebanyak dan seakurat mungkin yang akan

diteliti. Wawancara dilakukan pada narasumber, yaitu orang atau pihak yang

mengetahui permasalahan yang akan diteliti karena sifat keilmuan yang dimilikinya

berkaitan dengan objek penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan metode analisa kualitatif. Analisis data yang

terkumpul kemudian diklasifikasikan dan mengingat data tersebut adalah data kualitatif

maka penelitian dilakukandengan tidak menjawab sesuai statistika data matematika.

Anda mungkin juga menyukai