Anda di halaman 1dari 17

Kebijakan Presiden BJ.

Habibi sampai
Presiden Megawati
Pemerintahan BJ. Habibi

Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden Republik Indonesia yang ketiga B.J. Habibie membentuk
kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet itu terdiri atas 16 orang
menteri, dan para menteri itu diambil dari unsur-unsur militer (ABRI), Golkar, PPP, dan PDI.
Dalam bidang ekonomi, pemerintahan Habibie berusaha keras untuk melakukan perbaikan. Ada
beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie untuk memperbaiki perekonomian
Indonesia antaranya :
Merekapitulasi perbankan
Merekonstruksi perekonomian Indonesia.
Melikuidasi beberapa bank bermasalah.
Manaikkan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga di bawah Rp.10.000,-
Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang di syaratkan oleh IMF.
Presiden Habibie sebagai pembuka sejarah perjalanan bangsa pada era reformasi mengupayakan
pelaksanaan politik Indonesia dalam kondisi yang transparan serta merencanakan pelaksanaan
pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilihan umum yang
akan diselenggarakan di bawah pemerintahan Presiden Habibie merupakan pemilihan umum
yang telah bersifat demokratis. Habibie juga membebaskan beberapa narapidana politik yang
ditahan pada zaman pemerintahan Soeharto. Kemudian, Presiden Habibie juga mencabut
larangan berdirinya serikat-serikat buruh independen. Hal-hal yang dilakukan pada masa
pemerintahan Habibie :

1. Bidang Ekonomi
Untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, BJ Habibie melakukan
langkah-langkah sebagai berikut :
a) Melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN dan unit
Pengelola Aset Negara
b) Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah
c) Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dollar hingga di bawah Rp. 10.000,00
d) Membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri
e) Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF
f) Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang
Tidak Sehat
g) Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

2. Bidang Politik
a) Memberi kebebasan pada rakyat untuk menyalurkan aspirasinya sehingga banyak
bermunculan partai-partai politik baru yakni sebanyak 48 partai politik
b) Membebaskan narapidana politik (napol) seperti Sri Bintang Pamungkas dan Mochtar
Pakpahan
c) Mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruh independen
d) Membentuk tiga undang-undang yang demokratis yaitu :
(1) UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik
(2) UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilu
(3) UU No. 4 tahun 1999 tentang Susduk DPR/MPR
e) Menetapkan 12 Ketetapan MPR dan ada 4 ketetapan yang mencerminkan jawaban dari
tuntutan reformasi yaitu :
(1) Tap MPR No. VIII/MPR/1998, tentang pencabutan Tap No. IV/MPR/1983
tentangReferendum
(2) Tap MPR No. XVIII/MPR/1998, tentang pencabutan Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang
Pancasila sebagai azas tunggal
(3) Tap MPR No. XII/MPR/1998, tentang pencabutan Tap MPR No. V/MPR/1978 tentang
Presiden mendapat mandat dari MPR untuk memiliki hak-hak dan Kebijakan di luar batas
perundang-undangan
(4) Tap MPR No. XIII/MPR/1998, tentang Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil
Presiden maksimal hanya dua kali periode
12 Ketetapan MPR antara lain :
a. Tap MPR No. X/MPR/1998, tentang pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka
penyelematan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara
b. Tap MPR No. XI/MPR/1998, tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi,
kolusi, dan nepotisme
c. Tap MPR No. XIII/MPR/1998, tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden
Republik Indonesia
d. Tap MPR No. XV/MPR/1998, tentang penyelenggaraan Otonomi daerah
e. Tap MPR No. XVI/MPR/1998, tentang politik ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi
f. Tap MPR No. XVII/MPR/1998, tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
g. Tap MPR No. VII/MPR/1998, tentang perubahan dan tambahan atas Tap MPR No.
I/MPR/1998 tentang peraturan tata tertib MPR
h. Tap MPR No. XIV/MPR/1998, tentang Pemilihan Umum
i. Tap MPR No. III/V/MPR/1998, tentang referendum
j. Tap MPR No. IX/MPR/1998, tentang GBHN
k. Tap MPR No. XII/MPR/1998, tentang pemberian tugas dan wewenang khusus kepada
Presiden/mandataris MPR dalam rangka menyukseskan dan pengamanan pembangunan nasional
sebagai pengamalan pancasila
l. Tap MPR No. XVIII/MPR/1998, tentang pencabutan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila

3. Bidang Pers
Dilakukan pencabutan pembredelan pers dan penyederhanaan permohonan SIUPP untuk
memberikan kebebasan terhadap pers, sehingga muncul berbagai macam media massa cetak,
baik surat kabar maupun majalah.

4. Bidang Hukum
Pada masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dilakukan reformasi di bidang hukum. Reformasi
hukum itu disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang dimasyarakat. Tindakan yang
dilakukan
oleh Presiden Habibie untuk mereformasi hukum mendapatkan sambutan baik dari berbagai
kalangan masyarakat, karena reformasi hukum yang dilakukannya mengarah kepada tatanan
hukum yang ditambakan oleh masyarakat.Ketika dilakukan pembongkaran terhadap berbagai
produk hukum atau undang-undang yang dibuat pada masa Orde Baru, maka tampak dengan
jelas adanya karakter hukum yang mengebiri hak-hak. Selama pemerintahan Orde Baru, karakter
hukum cenderung bersifat konservatif, ortodoks maupun elitis. Sedangkan hukum ortodoks lebih
tertutup terhadap kelompok-kelompok sosial maupun individu didalam masyarakat. Pada hukum
yang berkarakter tersebut, maka porsi rakyat sangatlah kecil, bahkan bisa dikatakan tidak ada
sama sekali. Oleh karena itu, produk hukum dari masa pemerintahan Orde Baru sangat tidak
mungkin untuk dapat menjamin atau memberikan perlindungan terhadap Hak-hak Asasi Manusia
(HAM),berkembangnya demokrasi serta munculnya kreativitas masyarakat.

5. Bidang Hankam
Di bidang hankam diadakan pembaharuan dengan cara melakukan pemisahan Polri dan ABRI.

6. Pembentukan kabinet
Presiden BJ Habibie membentuk kabinet baru yang diberi nama Kabinet Reformasi
Pembangunan yang terdiri atas 16 menteri, yang meliputi perakilan dari ABRI, Golkar, PPP, dan
PDI.

7. Kebebasan Menyampaikan Pendapat


Pada masa pemerintahan Habibie, orang bebas mengemukakan pendapatnya di muka umum.
Presiden Habibie memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin menyampaikan pendapat, baik
dalam bentuk rapat-rapat umum maupun unjuk rasa atau demonstrasi. Namun khusus
demonstrasi, setiap organisasi atau lembaga yang ingin melakukan demonstrasi hendaknya
mendapatkan izin dari pihak kepolisian dan menentukan tempat untuk melakukan demonstrasi
tersebut. Hal ini dilakukan karena pihak Kepolisian mengacu kepada UU No. 28 tahun 1997
tentang Kepolisian Republik Indonesia yang menyatakan bahwa untuk kepentingan umum,
pejabat Polri dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dapat bertindak sesuai dengan
penilaiannya sendiri.
Namun ketika menghadapi para pengunjuk rasa, pihak kepolisian sering menggunakan pasal
yang berbeda-beda, walaupun mereka melakukan aksi unjuk rasa secara bersamaan. Untuk
menjamin kepastian hukum bagi para pengunjuk rasa, pemerintah bersama DPR berhasil
merampungkan perundang-undangan yang mengatur tentang unjuk rasa atau demonstrasi yaitu
UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan pendapat di Muka Umum. Adanya
undang-undang tersebut menunjukkan pemerintah memulai pelaksanaan sistem demokrasi yang
sesungguhnya, yaitu dengan memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengemukakan
apa yang diinginkannya. Namun sayangnya, UU itu belum memasyarakat atau belum
disosialisasikan dalam kehidupan masyarakat. Sosialisasi ini dimaksudkan agar masyarakat yang
ingin menyampaikan tuntutan, dapat berjalan dengan baik dan aman.

8. Masalah Dwi Fungsi ABRI


Ada beberapa perubahan yang muncul pada masa pemerintah Habibie yaitu :
a) Jumlah anggota ABRI yang duduk di MPR dikurangi, dari 75 orang menjadi 38 orang
b) Polri memisahkan diri dari ABRI dan menjadi kepolisian negara sejak tanggal 5 Mei 1999
c) ABRI diubah menjadi TNI yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan laut dan
Angkatan Udara

Pemerintahan Abdurrahman Wahid ( Gus Dur)

Pada tanggal 20 Oktober 1999, MPR berhasil memilih Presiden Republik Indonesia yang ke-4
yaitu KH. Abdurrahman Wahid dengan wakilnya Megawati Soekarnoputri. Pada masa
pemerintahan Gus Dur, ada beberapa persoalan yang dihadapi yang merupakan warisan dari
pemerintahan Orde Baru yaitu :
1) Masalah praktik KKN yang belum terselesaikan
2) Pemulihan ekonomi
3) Masalah BPPN
4) Kinerja BUMN
5) Pengendalian Inflasi
6) Mempertahankan kurs rupiah
7) Masalah jejaring pengamanan sosial ( JPS)
8) Masalah disintegrasi dan konflik antarumat beragama
9) Penegakan hukum dan penegakan Hak asasi manusia (HAM)
Pembaharuan yang dilakukan pada masa Pemerintahan Gus Dur adalah :

1) Membentuk Kabinet Kerja


Untuk mendukung tugas dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, Gus Dur membentuk
kabinet kerja yang diberi nama Kabinet Persatuan Nasional yang anggotanya diambil dari
perwakilan masing-masing partai politik yang dilantik pada tanggal b28 Oktober 1999. Di dalam
Kabinet Persatuan Nasional terdapat dua departemen yang dihapuskan, yaitu Departemen Sosial
dan Departemen Penerangan.

2) Bidang Ekonomi
Untuk mengatasi krisis moneter dan memperbaiki ekonomi Indonesia, dibentuk Dewan Ekonomi
Nasional (DEN) yang bertugas untuk memecahkan perbaikan ekonomi Indonesia yang belum
pulih dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Dewan Ekonomi nasional diketuai oleh Prof. Dr.
Emil Salim, wakilnya Subiyakto Tjakrawerdaya dan sekretarisnya Dr. Sri Mulyani Indraswari.

3) Bidang Budaya dan Sosial


Untuk mengatasi masalah disintegrasi dan konflik antarumat beragama, Gus Dur memberikan
kebebasan dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Hak itu dibuktikan dengan adanya
beberapa keputusan presiden yang dikeluarkan, yaitu :
a) Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 mengenai Pemulihan Hak Sipil Penganut Agama
Konghucu. Etnis Cina yang selama Orde Baru dibatasi, maka dengan adanya Keppres No. 6
dapat memiliki kebebasan dalam menganut agama maupun menggelar budayanya secara terbuka
seperti misalnya pertunjukan Barongsai.
b) Menetapkan Tahun Baru Cina (IMLEK) sebagai hari besar agama, sehingga menjadi hari libur
nasional.
Disamping pembaharuan-pembaharuan di atas, Gus Dur juga mengeluarkan berbagai kebijakan
yang dinilai Kontroversial dengan MPR dan DPR, yang dianggap berjalan sendiri, tanpa mau
menaati aturan ketatanegaraan, melainkan diselesaikan sendiri berdasarkan pendapat kerabat
dekatnya, bukan menurut aturan konstitusi negara. Kebijakan-kebijakan yang menimbulkan
kontroversial dari berbagai kalangan yaitu :
1) Pencopotan Kapolri Jenderal Polisi Roesmanhadi yang dianggap Orde Baru.
2) Pencopotan Kapuspen Hankam Mayjen TNI Sudradjat, yang dilatarbelakangi oleh adanya
pernyataan bahwa Presiden bukan merupakan Panglima Tinggi.
3) Pencopotan Wiranto sebagai Menkopolkam, yang dilatarbelakangi oleh hubungan yang tidak
harmonis dengan Gus Dur.
4) Mengeluarkan pengumuman tentang menteri Kabinet Pembangunan Nasional yang terlibat
KKN sehingga mempengaruhi kinerja kabinet menjadi merosot.
5) Gus Dur menyetujui nama Irian Jaya berubah menjadi Papua dan mengizinkan pengibaran
bendera Bintang Kejora.
Puncak jatuhnya Gus dur dari kursi kepresidenan ditandai oleh adanya Skandal Brunei Gate dan
Bulog Gate yang menyebabkan ia terlibat dalam kasus korupsi, maka pada tanggal 1 Februari
2006 DPR-RI mengeluarkan memorandum yang pertama sedangkan memorandum yang kedua
dikeluarkan pada tanggal 30 Aril 2001. Gus Dur menanggapi memorandum tersebut dengan
mengeluarkan maklumat atau yang biasa disebut Dekrit Presiden yang berisi antara lain :
1) Membekukan MPR / DPR-RI
2) Mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan
yang diperlukan untuk pemilu dalam waktu satu tahun.
3) Membubarkan Partai Golkar karena dianggap warisan orde baru
Dalam kenyataan, Dekrit tersebut tidk dapat dilaksanakan karena dianggap bertentangan dengan
konstitusi dan tidak memiliki kekuaran hokum, maka MPR segera mengadakan Sidang Istimewa
pada tanggal 23 Juli 2001 dan Megawati Soekarnoputri terpilih sebagai Presiden RI
menggantikan Gus Dur berdasarkan Tap MPR No. 3 tahun 2001 dengan wakilnya Hamzah Haz.

Pemerintahan Megawati Soekarnoputri

Presiden Megawati Soekarno Puteri dilantik menjadi Presiden RI pada tanggal 23 Juli 2001,
yang merupakan presiden pertama wanita di Indonesia. Ia merupakan presiden pertama peletak
dasar ke arah kehidupan demokrasi. Pembaharuan yang dilakukan sebagian besar di bidang
ekonomi dan politik, sebab pada pemerintahannya, masalah yang dihadapi kebanyakan
merupakan warisan pemerintahan Orde Baru yaitu masalah krisis ekonomi dan penegakan
hukum. Ada beberapa perubahan yang dilakukan Megawati yaitu :

1) Bidang Ekonomi
Untuk mengatasi masalah ekonomi yang tidak stabil, ada beberapa kebijakan yang dikeluarkan
Megawati yaitu :
a) Untuk mengatasi utang luar negeri sebesar 150,80 milyar US$ yang merupakan warisan Orde
baru, dikeluarkan kebijakan yang berupa penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar,
sehingga hutang luar negeri dapat berkurang US$ 34,66 milyar.
b) Untuk mengatasi krisis moneter, Megawati berhasil menaikkan pendapatan per kapita sebesar
US$ 930.
c) Kurs mata uang rupiah dapat diturunkan menjadi Rp 8.500,00.
d) Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menekan nilai inflasi, dikeluarkan kebijakan
yang berupa privatisasi terhadap BUMN dengan melakukan penjualan saham Indosat sehingga
hutang luar negeri dapat berkurang.
e) Memperbaiki kinerja ekspor, sehingga ekspor di Indonesia dapat ditingkatkan.
f) Untuk mengatasi korupsi, dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
2) Bidang Politik
a) Mengadakan pemilu yang bersifat demokratis yang dilaksanakan tahun 2004 dan melalui dua
periode yaitu :
1. Periode pertama untuk memilih anggota legislatif secara langsung.
2. Periode kedua untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung.
Pemilu tahun 2004 merupakan pemilu pertama yang dilaksanakan secara langsung artinya rakyat
langsung memilih pilihannya.
b) Pemerintahan Megawati berakhir setelah hasil pemilu 2004 menempatkan pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai pemenang. Hal ini merupakan babak baru
pemerintahan di Indonesia dimana Presiden dan Wakil Presiden terpilih dipilih langsung oleh
rakyat.

Kebijakan Orde Baru

a.Bidang Politik
1. Menata kehidupan politik berbangsa dan bernegara
- tanggal 20 Juni 1966 MPRS sidang umum menghasilkan ketetapan MPRS
- tanggal 7-12 Maret 1967 mPRS sidang Istimewa dan menghasilkan 4
ketetapan Pemerintah Orde Baru juga menetapkan Penataran P-4 bagi warga
negara .
2. Politik Luar Negeri
a. Indonesia kembali menjadi anggota PBB
b. Mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia
3. Politik Dalam Negeri : kebijakan penyederhanaan jumlah partai politik
melahirkan 3 partai besar :
-Partai Demokrasi Indonesia (Partai Khatolik, Murba, Pni, Parkindo,IPKI
-- Partai persatuan pembangunan (NU, PSII, Perti, Parmusi
- Partai golkar ( dari berbagai organisasi profesi)
B. Bidang Ekonomi
-11 Agustus 1966 dibentuk Dewan Stabilitas Ekonomi Nasional
-1 April 1969 dimulai Repelita
-Sasaran pembangunan menurut Repelita : Sandang, pangan,perbaikan prasarana,
perumahan rakyat, lapangan kerja, kesejahteraan rohani
-Bertumpu pada trilogi pembangunan
-Asas pembangunan Orde baru
-Modal Dasar pembangunan nasional
-Faktor dominan yang menggerakkan Modal Dasar
Pembangunan nasional : pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
masyarakat Indonesia seluruhnya. Berdasarkan pola dasar pembangunan
nasional disusun pola umum pembangunan jangka panjang (kurun 25-30
tahun).Selain itu disusun pula pola umum jangka Pendek yaitu 5 tahun
terpusat pada pertanian.
C. Bidang Sosial Budaya
-Meningkatnya pelayanan kesehatan
-Fasilitas pendidikan dasar sudah semakin merata
Pemerataan pendidikan
<=
"" a="" height="300" width="600">

Helen Herlington's Blog


Find your information in here
Apr 13

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN
1. 1. KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

Kebijakan Pembangunan (Periode tiap Pelita)


Kehidupan Ekonomi Masa Orde Baru
Pada masa Demokrasi Terpimpin, negara bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh
kegiatan ekonomi sehingga mematikan potensi dan kreasi unit-unit ekonomi swasta. Sehingga,
pada permulaan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi
nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan
pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya
kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 %
setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah
direncanakan pemerintah. Oleh karena itu pemerintah menempuh cara sebagai berikut.

1. Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi


Keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan masa Demokrasi Terpimpin,pemerintah
menempuh cara :
Mengeluarkan Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijakan ekonomi,
keuangan dan pembangunan.
MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan, program
stabilitas dan rehabilitasi, serta program pembangunan.
Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional terutama stabilisasi
dan rehabilitasi ekonomi. Stabilisasi berarti mengendalikan inflasi agar harga barang-barang
tidak melonjak terus. Sedangkan rehabilitasi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana
ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang
menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila.
Langkah-langkah yang diambil Kabinet AMPERA mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah
sebagai berikut.
1) Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan
kemacetan, seperti :
rendahnya penerimaan Negara
tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran Negara
terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank
terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri
penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
2) Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
3) Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.

Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara:

1. Mengadakan operasi pajak


2. Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan kekayaan dengan menghitung
pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
3. Penghematan pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan rutin), serta menghapuskan
subsidi bagi perusahaan negara.
4. Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.
Program Stabilisasi dilakukan dengan cara membendung laju inflasi.
Hasilnya bertolak belakang dengan perbaikan inflasi sebab harga bahan kebutuhan pokok
melonjak namun inflasi berhasil dibendung (pada tahun akhir 1967- awal 1968)
Sesudah kabinet Pembangunan dibentuk pada bulan Juli 1968 berdasarkan Tap MPRS
No.XLI/MPRS/1968, kebijakan ekonomi pemerintah dialihkan pada pengendalian yang ketat
terhadap gerak harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu
kestabilan ekonomi nasional relatif tercapai sebab sejak 1969 kenaikan harga bahan-bahan pokok
dan valuta asing dapat diatasi.
Program Rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi.
Selama 10 tahun mengalami kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana ekonomi dan sosial.
Lembaga perkreditan desa, gerakan koprasi, perbankan disalah gunakan dan dijadikan alat
kekuasaan oleh golongan dan kepentingan tertentu. Dampaknya lembaga tidak dapat
melaksanakan fungsinya sebagai penyusun dan perbaikan tata hidup masyarakat.

2. Kerja Sama Luar Negeri


Keadaan ekonomi Indonesia pasca Orde Lama sangat parah, hutangnya mencapai 2,3-2,7 miliar
sehingga pemerintah Indonesia meminta negara-negara kreditor untuk dapat menunda
pembayaran kembali utang Indonesia. Pemerintah mengikuti perundingan dengan negara-negara
kreditor di Tokyo Jepang pada 19-20 September 1966 yang menanggapi baik usaha pemerintah
Indonesia bahwa devisa ekspornya akan digunakan untuk pembayaran utang yang selanjutnya
akan dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku. Perundingan dilanjutkan di Paris, Perancis
dan dicapai kesepakatan sebagai berikut.
Utang-utang Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1968 ditunda pembayarannya hingga
tahun 1972-1979.
Utang-utang Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1969 dan 1970 dipertimbangkan untuk
ditunda juga pembayarannya.
Perundingan dilanjutkan di Amsterdam, Belanda pada tanggal 23-24 Februari 1967.
Perundingan itu bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta
kemungkinan pemberian bantuan dengan syarat lunak yang selanjutnya dikenal dengan IGGI
(Inter Governmental Group for Indonesia). Melalui pertemuan itu pemerintah Indonesia
berhasil mengusahakan bantuan luar negeri. Indonesia mendapatkan penangguhan dan
keringanan syarat-syarat pembayaran utangnya.

3. Pembangunan Nasional
Dilakukan pembagunan nasional pada masa Orde Baru dengan tujuan terciptanya masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan
ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan nasionalnya
adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut
adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang
stabil. Isi Trilogi Pembagunan adalah sebagai berikut.
1) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
2) Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3) Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Pelaksanaannya pembangunan nasional dilakukan secara bertahap yaitu,
Jangka panjang mencakup periode 25 sampai 30 tahun
Jangka pendek mencakup periode 5 tahun (Pelita/Pembangunan Lima Tahun), merupakan
jabaran lebih rinci dari pembangunan jangka panjang sehingga tiap pelita akan selalu saling
berkaitan/berkesinambungan.
Selama masa Orde Baru terdapat 6 Pelita, yaitu :

1. Pelita I
Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal
pembangunan Orde Baru.
Tujuan Pelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar
bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.
Sasaran Pelita I : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan
kerja, dan kesejahteraan rohani.
Titik Berat Pelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar
keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas
penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari
1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan
kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi
ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia.
Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang.

2. Pelita II
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Sasaran utamanya adalah
tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat dan
memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil pertumbuhan ekonomi rata-
rata mencapai 7% per tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan
pada akhir Pelita I laju inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II,
inflasi turun menjadi 9,5%.

3. Pelita III
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 hingga 31 Maret 1984. Pelita III pembangunan masih
berdasarkan pada Trilogi Pembangunan dengan penekanan lebih menonjol pada segi pemerataan
yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu:
Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya sandang, pangan, dan perumahan.
Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Pemerataan pembagian pendapatan
Pemerataan kesempatan kerja
Pemerataan kesempatan berusaha
Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan
kaum perempuan
Pemerataan penyebaran pembagunan di seluruh wilayah tanah air
Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

4. Pelita IV
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya adalah sektor
pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan
mesin industri sendiri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap
perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal
sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.

5. Pelita V
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya pada sektor
pertanian dan industri. Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan pertumbuhan
ekonomi rata-rata 6,8 % per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran
yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
6. Pelita VI
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya masih pada
pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta
pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor
ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis
moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter
dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde
Baru runtuh.

1. 2. KEBIJAKAN MONETER

Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai
tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan
moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, margin requirement, kapitalisasi
untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan
melalui negosiasi dengan pemerintah lain.

Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai
keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan
pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta
tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan
kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang.
Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat
dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan
dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil. [1]

Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi
secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan
tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara
persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan
kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang.Kebijakan moneter dilakukan antara
lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga,
giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank
untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.

Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau
mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu : [2]

1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy

Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar

1. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy


Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan
kebijakan uang ketat (tight money policy)

Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu
antara lain : [3]

1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)

Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau
membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang
beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang
yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada
masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari
Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.

1. Fasilitas Diskonto (Discount Rate)

Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga
bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan uang
sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah
menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi
membuat uang yang beredar berkurang.

1. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)

Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah
dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang,
pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar,
pemerintah menaikkan rasio.

1. Himbauan Moral (Moral Persuasion)

Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan
memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi
kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan
menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang
beredar pada perekonomian.

1. KEBIJAKAN FISKAL

Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi
perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran
pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar,
namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan
erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh
pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat
dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan
menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.

1. KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER SEKTOR LUAR NEGERI

Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter satu sama lain saling berpengaruh dalam kegiatan
perekonomian. Masing masing variabel kebijakan tersebut, kebijakan fiskal dipengaruhi oleh
dua variabel utama, yaitu pajak (tax) dan pengeluaran pemerintah (goverment expenditure).
Sedangkan variabel utama dalam kebijakan moneter, yaitu GDP, inflasi, kurs, dan suku bunga.
Berbicara tentang kebijakan fiskal dan kebijakan moneter berkaitan erat dengan kegiatan
perekonomian empat sektor, dimana sektor sektor tersebut diantaranya sektor rumah tangga,
sektor perusahaan, sektor pemerintah dan sektor dunia internasional/luar negeri. Ke-empat sektor
ini memiliki hubungan interaksi masing masing dalam menciptakan pendapatan dan
pengeluaran.

Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan negara dan pengeluaran
negara. Disamping pengaruh dari selisih antara penerimaan dan pengeluaran (defisit atau
surplus), perekonomian juga dipengaruhi oleh jenis sumber penerimaan negara dan bentuk
kegiatan yang dibiayai pengeluaran negara.

Di dalam perhitungan defisit atau surplus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN),
perlu diperhatikan jenis-jenis penerimaan yang dapat dikategorikan sebagai penerimaan negara,
dan jenis-jenis pengeluaran yang dapat dikategorikan sebagai pengeluaran negara. Pada dasarnya
yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan yang
dipungut pemerintah dari perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan kontraksi dalam
perekonomian. Dengan demikian hibah dari negara donor serta pinjaman luar negeri tidak
termasuk dalam penerimaan negara. Di lain sisi, yang dimaksud dengan pengeluaran negara
adalah semua pengeluaran untuk operasi pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor
negara ataupun badan usaha milik negara. Dengan demikian pembayaran bunga dan cicilan
hutang luar negeri tidak termasuk dalam perhitungan pengeluaran negara.

Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, akan diperoleh besarnya surplus
atau defisit APBN. Dalam hal terdapat surplus dalam APBN, hal ini akan menimbulkan efek
kontraksi dalam perekonomian, yang besarnya tergantung kepada besarnya surplus tersebut .
Pada umumnya surplus tersebut dapat dipergunakan sebagai cadangan atau untuk membayar
hutang pemerintah (prepayment).

Dalam hal terjadi defisit, maka defisit tersebut dapat dibayai dengan pinjaman luar negeri
(official foreign borrowing) atau dengan pinjaman dalam negeri. Pinjaman dalam negeri dapat
dalam bentuk pinjaman perbankan dan non-perbankan yang mencakup penerbitan obligasi
negara (government bonds) dan privatisasi. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa penerbitan
obligasi negara merupakan bagian dari pembiayaan defisit dalam negeri non-perbankan yang
nantinya diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih tinggi. Hal yang paling penting
diperhatikan adalah menjaga agar hutang luar negeri atau hutang dalam negeri tersebut masih
dalam batas-batas kemampuan negara (sustainable).

Pada dasarnya defisit dalam APBN akan menimbulkan efek ekspansi dalam perekonomian .
Dalam hal defisit APBN dibiayai dengan pinjaman luar negeri, maka hal ini tidak menimbulkan
tekanan inflasi jika pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang-barang
impor, seperti halnya dengan sebagian besar pinjaman dari CGI selama ini. Akan tetapi bila
pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang dan jasa di dalam negeri,
maka pembiayaan defisit dengan memakai pinjaman luar negeri tersebut akan menimbulkan
tekanan inflasi. Dilain pihak, pembiayaan defisit APBN dengan penerbitan obligasi negara akan
menambah jumlah uang yang beredar dan akan menimbulkan tekanan inflasi.

Adapun pembiayaan defisit dengan menggunakan sumber dari pinjaman luar negeri akan
berpengaruh pada neraca pembayaran khususnya pada lalu lintas modal pemerintah . Semakin
besar jumlah pinjaman luar negeri yang dapat ditarik, lalu lintas modal Pemerintah cenderung
positif. Adapun kinerja pemerintah dapat dilihat dari besarnya nilai lalu lintas moneter. Nilai lalu
lintas moneter yang positif menunjukkan adanya cash inflow.

Pada dasarnya, kebijaksanaan moneter ditujukan agar likuiditas dalam perekonomian berada
dalam jumlah yang tepat sehingga dapat melancarkan transaksi perdagangan tanpa
menimbulkan tekanan inflasi. Umumnya pelaksanaan pengaturan jumlah likuiditas dalam
perekonomian ini dilakukan oleh bank sentral, melalui berbagai instrumen , khususnya open
market operations (OMOs).

Dalam melaksanakan OMO, pada umumnya bank sentral menjual atau membeli obligasi negara
jangka panjang. Jika likuiditas dalam perekonomian dirasakan perlu ditambah, maka bank sentral
akan membeli sejumlah obligasi negara di pasar sekunder, sehingga uang beredar bertambah, dan
dilain pihak bila bank sentral ingin mengurangi likuiditas dalam perekonomian, bank sentral
akan menjual sebagian obligasi negara yang berada dalam portofolio bank sentral. Perlu
difahami bahwa portofolio obligasi negara di bank sentral tersebut memberikan pendapatan
kepada bank sentral berupa bunga obligasi.

Dalam kasus Indonesia, sampai saat ini Bank Indonesia belum memiliki obligasi negara yang
dapat dipakai untuk OMO. Walaupun pemerintah Indonesia telah menerbitkan obligasi, yang
dimulai pada masa krisis untuk rekapitalisasi bank-bank yang bermasalah, tetapi pasar sekunder
bagi obligasi negara baru pada tahap awal dan volume transaksi jual beli di pasar sekunder
tersebut masih sedikit. Selama ini Bank Indonesia masih mempergunakan Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) untuk melaksanakan OMOs. Disamping menimbulkan beban pada Bank
Indonesia, karena BI harus membayar bunga SBI yang cukup tinggi, jangka waktu SBI juga
sangat pendek, umumnya 1 (satu) bulan, sehingga instrumen ini sebenarnya kurang memadai
untuk dipakai dalam OMOs

Anda mungkin juga menyukai