Nama Buku : Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi Penerbit : Rajawali pers Tanggal Diterbitkan : 20 maret 2005 Halaman Buku : 367 Jumlah Halaman Yang Digunakan : 12 hlmn (144-155)
Alamat Link Medsos :
https://www.instagram.com/p/CWimIhXv3jSZB4R2A0f5Akx2TcCGOw0zVjtc2Q0/? utm_medium=copy_link ERA REFORMASI
Mundurnya Presiden Soeharto dilatarbelakangi krisis moneter sejak 1997. Kondisi
ekonomi Indonesia pada saat itu tengah sangat melemah dan merosot sehingga menimbulkan ketidakpuasan masyarakat. Ketidakpuasan ini kemudian semakin membesar dan memicu terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh berbagai aksi mahasiswa di wilayah Indonesia. Kerusuhan-kerusuhan terjadi hampir di setiap daerah di Indonesia. Akibatnya, pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pun mendapat banyak tekanan politik baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari luar negeri, Amerika Serikat secara terbuka meminta agar Soeharto mengundurkan dari jabatannya sebagai Presiden. Sedangkan dari dalam negeri, terjadinya gerakan mahasiswa yang turun ke jalan menuntut agar Soeharto lengser dari jabatannya. Kepemimpinan Soeharto semakin menjadi sorotan sejak terjadinya Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998, di mana empat mahasiswa tertembak mati dan memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari kemudian. Tekanan dari para massa terhadap Soeharto pun memuncak ketika sekitar 15.000 mahasiswa mengambil alih Gedung DPR/MPR yang berakibat proses politik nasional lumpuh. Soeharto yang saat itu sudah terdesak masih berusaha untuk menyelamatkan kursi kepresidenannya dengan melakukan perombakan kabinet dan membentuk Dewan Reformasi. Tetapi, pemberontakan yang dilakukan oleh para mahasiswa ini membuat Presiden Soeharto tidak memiliki pilihan lain selain mengundurkan diri. Pada 21 Mei 1998 di Istana Merdeka, Presiden Soeharto secara resmi menyatakan dirinya berhenti menjabat sebagai Presiden Indonesia. Melalui UUD 1985 Pasal 8, Soeharto segera mengatur agar Wakil Presiden BJ Habibie disumpah untuk menjadi penggantinya di hadapan Mahkamah Agung. Sejak saat itu, kepemimpinan beralih dari Soeharto ke BJ Habibie dan terbentuk Era Reformasi.
Peristiwa pada Era Reformasi
Nilai tukar tertinggi rupiah pada masa Habibie adalah Rp6.500 per dollar AS. Kabinet Reformasi Pembangunan di masa ini mengeluarkan sejumlah upaya perbaikan di bidang ekonomi dan politik, di antaranya: - Kebebasan rakyat dalam menyalurkan aspirasi. - Menghapus SIUPP yang sering jadi alat memberangus pers. - Mempersiapkan Pemilu 1999. - Mengesahkan UU no 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli Atau Persaingan Tidak Sehat. - Mengesahkan UU no 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Setelah era Habibie, posisi presiden dijabat oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sejak Oktober 1999. Setelah menjabat, pemerintah Gus Dur menerapkan beberapa perubahan kebijakan politik, di antaranya: - Departemen Penerangan dibubarkan, dianggap mengganggu kebebasan pers. - Departemen Sosial dibubarkan, dianggap sebagai sarang korupsi. - Menyetujui penggantian nama Irian Jaya pada Desember 1999 menjadi Papua. - Masyarakat etnis Tionghoa diperbolehkan beribadah dan merayakan Imlek. Tahun 2001, Megawati Soekarnoputri terpilih sebagai Presiden RI menggantikan Abdurrahman Wahid. Perekonomian Indonesia di masa pemerintahannya mengalami pertumbuhan kenaikan ekonomi hingga mencapai 5 persen. Di samping itu, persentase penduduk di garis kemiskinan turun menjadi 18 persen dari 28 persen. Pemilihan umum kembali digelar tahun 2004, Susilo Bambang Yudhoyono terpilih menjadi presiden dan menjabat selama dua periode (2004-2009, 2009-2014). Kemudian pada Pemilu 2014, Joko Widodo terpilih dan kembali menang di Pemilu 2019, sampai saat ini masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Perubahan Konstitusi Dan Reformasi Ketatanegaran Indonesia
Sejak keluarnya Dekrit 5 juli 1959 yang memerintahkan kembali ke UUD 1945 sampai berakhirnya kekuasaan presiden soeharto, praktis UUD 1945 belum pernah diubah untuk disempurnakan. Era ini melahirkan sistem diktator dalam kepemimpinan negara titik ketika Soeharto naik ke panggung politik menggantikan soekarno menjadi presiden penyelewengan terhadap UUD 1945 kembali berulang. UUD 1945 tidak boleh disentuh oleh siapapun dengan berbagai ancaman dan stigma subversif yang dituduhkan bagi yang akan menyentuhnya. Bahkan, hanya pemerintah orde baru (Soeharto) yang boleh menafsirkan makna yang terkandung dalam UUD 1945, sementara MPR tinggal mengesahkan nya saja. Disamping itu, tidak ada pembatasan masa jabatan bagi presiden dan wakil presiden, asal masih dipilih oleh MPR berapa kali pun tidak menjadi masalah. Hasilnya, soeharto berhasil menduduki kursi presiden selama kurang lebih 32 tahun sementara wakil presiden yang selalu berganti. Bahkan tidak sedikit yang melakukan kampanye “pembodohan” pada masyarakat dengan mengatakan jika UUD 1945 diubah negara akan kacau atau hancur bahkan gagasan perubahan UUD 1945 dianggap sebagai tindakan subversif dan musuh utama negara. Akibatnya, seluruh celah kekurangan UUD 1945 bukannya disempurnakan tetapi ditutupi dengan bingkai yuridis berupa ketetapan MPR No.1/ MPR /1978 tentang peraturan tata tertib MPR yang berisi kebulatan tekad anggota majelis yang akan mempertahankan UUD 1945 tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadap peserta akan melaksanakan secara murni dan konsekuen. Gagasan perubahan UUD 1945 menjadi tuntutan yang tidak bisa dielakan lagi. Berbagai alasan dapat dikemukakan mengapa perubahan itu penting dan harus dilakukan. Secara filosofis, pentingnya perubahan UUD 1945 adalah pertama, karena UUD 1945 adalah moment opname dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi yang dominan pada saat dirumuskannya konstitusi itu. Kedua, UUD 1945 disusun oleh manusia yang sesuai kodratnya tidak akan pernah sampai kepada tingkat kesempurnaan. Pekerjaan yang dilakukan manusia tetap memiliki berbagai kemungkinan kelemahan maupun kekurangan Dari aspek historis. Sedari mula pembuatannya UUD 1945 bersifat sementara, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ir. Soekarno (Ketua PPKI), dalam rapat pertama 18 Agustus 1945. hari sebelumnya, yakni 17 Agustus 1945 dan statusnya adalah sementara. Di samping itu, para per UUD 1945 belum mempunyai pengalaman mengurus negara, sehingga masih mencari-cari pola dan bentuk negara macam apa yang akan didirikan serta bagaimaba menjalankan roda pemerintahan. Untuk itu, mereka (perumus UUD 1945) membuat pasal perubahan di dalam UUD 1945, yaitu Pasal 37. Secara substantif, UUD 1945 banyak sekali mengandung kelemahan. Hal itu dapat diketahui antara lain, pertama ; kekuasaan eksekutif terlalu besar disertai oleh prinsip checks and balances yang memadai sehingga UUD 1945 biasa disebut executive heavy, dan menguntungkan bagi siapa saja yang menduduki jabatan Presiden. Menurut istilah Soepomo: "concentration er and responsibility upon the president"; kedua, rumusan ketentuan UUD 1945 sebagian besar bersifat sangat sederhana, umum, bahkan tidak jelas (vague) sehingga banyak pasal yang menimbulkan multitafsir; ketiga unsur-unsur konstitusionalisme tidak dielaborasis memadai dalam UUD 1945; keempat, UUD 1945 terlalu menekankan pada semangat penyelenggara negara; kelima, UUD 1945 memberikan atribusi kewenangan yang terlalu besar kepada Presiden untuk mengatur berbagai hal penting dengan UU. Akibatnya, banyak UU yang subsransinya hanya menguntungkan si pembuatnya (Presiden dan DPR) ataupun saling bertentangan satu sama lain. Keenam, banyak materi muatan yang penting justru diatur di dalam Penjelasan UUD, tetapi tidak tercantum di dalam pasal-pasal UUD 1945.Tetapi ketentuan dalam Pasal 37 sangat simple karena harus mengatur segi pengambilan putusan belaka sehingga sulit untuk diterapkan karena tidak dijelaskan bagian mana yang boleh dan yang tidak boleh untuk diubah, bagaimana mengubahnya dan seterusnya. Fraksi- fraksi di MPR menyepakati bahwa perubahan UUD 1945 tidak menyangkut dan mengganggu eksistensi negara, tetapi dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan penyelenggaraan negara agar lebih demokratis, seperti disempurnakannya sistem checks and balances dan disempurnakannya pasal-pasal mengenai HAM. Sebagai konsekuensi logis dari kesepalkatan itu, perubahan dilakukan terhadap pasal-pasal, bukan terhadap Pembukaan UUD 1945 dan seterusnya. Proses pembahasan perubahan UUD 1945 PAH I menyusun kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945. Kesepakatan dasar itu terdiri dari lima butir, yaitu: 1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; 2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial; 4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-haj normatif dalam Penjelasan dimasukkan ke dalam pasal-pasal; 5. Perubahan dilakukan dengan cara “aderidum”. Dalam pasal-pasal UUD 1945 tidak ada satu pasal pun yang melarang untuk mengubah Pembukaan UUD 1945. Akan tetapi, oleh sebagian besar Anggota MPR sebagaimana diuraikan di atas, disepakati Pembukaan UUD 1945 sebagai cita-cita luhur bangsa Indonesia sehingga tidak boleh diubah serta dipandang sudah final. Pembukaan UUD 1945 memuat dasar filosofis dan dasar normatif yang mendasari seluruh pasal dalam UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 mengandung staatsidee berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tujuan (haluan) negara, serta dasar negara yang harus tetap dipertahankan. Kesepakatan untuk tetap mempertahankan bentuk negara Indonesia, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didasari pertimbangan bahwa negara kesatuan adalah bentuk negara ini ditetapkan sejak awal berdirinya negara dan yang dipandang paling tepat untuk mewadahi ide persatuan sebuah bangsa yang majemuk ditinjau dari berbagai latar belakang. Kesepakatan dasar untuk mempertegas sistem pemerintahan presidensial bertujuan untuk memperkukuh sistem pemerintahan yang stabil dan demokratis yang dianut oleh negara Republik Indonesia dan telah dipilih oleh pendiri negara pada tahun 1945. Dalam sistem ini, terdapat lima prinsip penting, yaitu: (1) Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggaraan kekuasaan eksekutif negara yang tertinggi di bawah Undang-Undang Dasar. (2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung dan karena itu secara politik tidak bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat atau lembag2a parlemen, melainkan bertanggung jawab langsung kepada sakyat yang memilihnya. (3) Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum apabila Presiden dan/atau Wakii Presiden melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi. (4) Para menteri adalah pembantu Presiden. Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan karena itu bertanggung jawab kepada Presiden, bukan dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen. (5) Untuk membatasi kekuasaan Presiden yang kedudukannya dalam sistem presidensial sangat kuat sesuai kebutuhan untuk menjamin stabilitas pemerintahan, ditentukan pula bahwa masa jabatan Presiden lima tahunan tidak boleh dijabat oleh orang yang Sama lebih dari dua masa jabatan. Penjelasan UUD 1945 menjadi tidak relevan lagi setelah UUD 1945 diubah sampai keempat kalinya. Setelah diperkuat dalam Aturan Tambahan Pasal I Perubahan Keempat UUD 1945, yang menegaskan “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”, dengan adanya penegasan ini maka Penjelasan UUD 1945 dihapus karena materinya sudah ditarik masuk ke dalam pasal-pasal UUD 1945. Kesepakatan perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara “adendum”, yakni perubahan UUD 1945 dilakukan dengan retap mempertahankan naskah asli UUD 1945 sebagaimana rerdapat dalam Lembaran Negara No. 75 Tahun 1959 hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan naskah perubahan-perubahan UUD 1945 diletakkan melekatpada naskah asli.