Perpolitikan Indonesia pada masa demokrasi terpimpin sudah keluar dari aturan yang benar.
Demokrasi bukan dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan akan tetapi dipimpin oleh institusi
kepresidenan yang sangat otoriter yang jauh dari nilai-nilai demokrasi universal. Soekarno
memiliki kuasa absolut dan berwenang penuh atas penyelenggaraan negara. Beberapa
kebijakan masa demokrasi terpimpin yakni:
Era baru dalam pemerintahan dimulai setelah melalui masa transisi yang singkat yaitu
antara 1966-1968. Ketika Jenderal Soeharto dipilih menjadi Presiden Republik Indonesia.
Era pemerintahan pada masa Soeharto dikenal sebagai Orde Baru dengan konsep
Demokrasi Pancasila. Visi utama pemerintahan Orde Baru ini adalah untuk melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam setiap aspek kehidupan
masyarakat Indonesia. Dengan visi tersebut, Orde Baru memberikan harapan bagi rakyat
Indonesia. Terutama yang berkaitan dengan perubahan-perubahan politik. Perubahan politik
dari yang bersifat otoriter pada masa demokrasi terpimpin di bawah Presiden Soekarno
menjadi lebih demokratis pada Orde Baru.
Rakyat percaya terhadap pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto
atas dasar beberapa hal, yaitu:
1. Soeharto sebagai tokoh utama Orde Baru dipandang sebagai sosok pemimpin yang
mampu mengeluarkan bangsa Indonesia dari keterpurukan.
Tetapi harapan rakyat tersebut tidak sepenuhnya terwujud. Karena sebenarnya tidak ada
perubahan subtantif dari kehidupan politik Indonesia. Antara Orde Baru dan Orde lama
sebenarnya sama sama otoriter. Dalam perjalanan politik pemerintahan Orde Baru,
kekuasaan Presiden merupakan pusat dari seluruh proses politik di Indonesia.
Lembaga kepresidenan adalah pengontrol utama lembaga negara lain yang bersifat
suprastruktur (DPR, MPR, DPA, BPK, dan MA) maupun infrastruktur (LSM, Partai Politik dan
sebagainya).
Soeharto mempunyai sejumlah legalitas yang tidak dimiliki oleh siapa pun seperti
Pengemban Supersemar, Mandataris MPR, Bapak Pembangunan dan Panglima Tertinggi
ABRI. Berdasarkan kondisi tersebut, pelaksanaan demokrasi Pancasila masih jauh dari
harapan.
Lengsernya Soeharto
Tekanan massa mencapai puncaknya ketika sekitar 15.000 mahasiswa mengambil alih
Gedung DPR/MPR. Akibatnya proses politik nasional praktis lumpuh.
Soeharto ingin menyelamatkan kursi kepresidenan dengan menawarkan berbagai langkah.
Seperti perombakan (reshuffle) kabinet dan membentuk Dewan Reformasi.
Tetapi pada akhirnya Presiden Soeharto tidak punya pilihan lain kecuali mundur dari
jabatannya.
Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 di Istana Merdeka menyatakan berhenti sebagai
Presiden. Dengan menggunakan UUD 1945 pasal 8, Soeharto segera mengatur agar Wakil
Presiden Habibie disumpah sebagai penggantinya di hadapan Mahkamah Agung. Karena
DPR tidak dapat berfungsi akibat mahasiswa mengambil alih gedung DPR.
Kepemimpinan Indonesia segera beralih dari Soeharto ke BJ Habibie. Hal ini merupakan
jalan baru demi terbukanya proses demokratisasi di Indonesia.
Kendati diliputi kontroversi tentang status hukumnya, pemerintahan Presiden BJ Habibie
mampu bertahan selama satu tahun kepemimpinan.