Anda di halaman 1dari 9

MANAJEMEN FARMAKOLOGI PASIEN FRAKTUR

1. Ketorolak
Ketorolak termasuk anti inflamasi non-steroid dengan sifat analgesik yang kuat
dan efek antiinflamasi sedang. Ketorolak bekerja secara selektif menghambat COX-1.
Absorpsi ketorolak berlangsung cepat, baik itu melalui oral, maupun intramuskular. Ketorolak
dapat dipakaisebagai pengganti morfin dan penggunaannya dengan analgesik opioid dapat
mengurangikebutuhan opioid sebesar 20-50%. Dosis intramuskular ketorolak sebesar 30-60
mg, secaraintravena sebesar 15-30 mg, dan secara oral sebesar 5-30 mg. Ketorolak bersifat
toksik pada beberapa organ, seperti hati, lambung, dan ginjal jika digunakan dalam jangka
waktu lebih dari5 hari (Weinstein SL, Buckwalter JA, 2005).
2. Morfin

Morfin bekerja secara agonis pada reseptor µ. Morfin menimbulkan analgesia dengancara
berikatan pada reseptor opioid pada SSP dan medula spinalis yang berperan pada transmisi
dan modulasi nyeri. Reseptor opioid terdapat pada saraf yang mentransmisi nyeri di
medulaspinalis dan aferen primer yang merelai nyeri. Reseptor opioid membentuk g-protein
coupled receptor. Morfin yang ditangkap reseptor aferen primer akan mengurangi
pelepasan neurotransmitter yang selanjutnya akan menghambat saraf yang mentransmisi nyeri di
kornudorsalis medula spinalis. Selain itu, morfin juga menghasilkan efek inhibisi pascasinaps
melalui reseptor µ di otak. Analgesi pada penggunaan morfin dapat timbul sebelum pasien
tidurdan kadang tanpa disertai tidur. Pemberian morfin dalam dosis kecil (5-10 mg)
akanmenyebabkan euforia pada pasien yang sedang nyeri. Namun, pemberian morfin dengan
dosis15-20 mg, pasien akan tertidur cepat dan nyenyak. Efek analgetik morfin dan opioid
lain sangatselektif dan tidak disertai hilangnya fungsi sensorik lain. Yang terjadi adalah
perubahan reaksiterjadap stimulus nyeri, jadi stimulus nyeri tetap ada namun reaksinya
berbeda (Weinstein SL, Buckwalter JA, 2005).

Pada umumnya, morfin diberikan secara oral maupun parenteral dengan efek analgetik
yangditimbulkan pemberian oral jauh lebih rendah daripada pemberian parenteral. Kemudian,
morfin akan mengalami konyugasi dengan asam glukoronat di hati. Ekskresi morfin terutama
dilakukanoleh ginjal dan sebagian kecil morfin bebas terdapat di tinja dan keringat (Wilmana
PF, Gan S , 2007). Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan nyeri
hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Morfin sering digunakan untuk
nyeri pada penyakit

1) infark miokard

2) neoplasma

3) kolik renal atau kolik empedu

4) oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal, atau coroner

5) perikarditis akut, pleuritis, dan pneumotoraks spontan,

6) trauma misalnya luka bakar, fraktur, dan nyeri pasca bedah

Morfin bersifat adiksi yang menyangkut tiga fenomena, yaitu


1) Habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga pasien ketagihan morfin
2) Ketergantungan fisik, yaitu ketergantungan kerena faal dan biokimia tubuh tidak
berfungsilagi tanpa morfin
3) Adanya toleransi

3. Metadon
Efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama kuat dengan efek 10 mg morfin. Metadon
dapat diberikan secara oral dan parenteral. Setelah masuk ke darah, biotransformasi
metadon terutama akan berlangsung di hati. Setelah itu, sebagian besar metadon akan
diekskresikan melalui utindan tinja. Metadon diberikan untuk meredakan jenis nyeri yang
dapat dipengaruhi morfin. Padadosis yang ekuianalgetik, metadon sedikit lebih kuat daripada
morfin. Efek analgetik mulaitimbul 10-20 menit setelah pemberian parenteral dan 30-60
menit setelah pemberian oral.Metadon biasanya digunakan sebagai pengganti morfin untuk
mencegah timbulnya gejalaputus. Gejala putus obat yang ditimbulkan oleh metadon tidak
sekuat yang ditimbulkan olehmorfin, tetapi berlangsung lebih lama. Dosis pemberian metadon
secara oral adalah 2,5-15 mgdan 2,5-10 mg untuk pemberian secara parenteral (Wilmana PF,
Gan S, 2007).
Selain sebagai penghilang rasa nyeri yang ada, manajemen farmakologi pada
fraktur juga bersifat profilaksis. Hal ini dilakukannya khususnya pada fraktur terbuka dan
fraktur yangakan segera dilakukan fiksasi interna. Umumnya, diberikan antibiotik
cephalosporin generasi 1dengan dosis 1 gram pada fraktur yang akan segera difiksasi interna.
Untuk fraktur terbuka,antibiotik yang diberikan disesuaikan besar luka yang terbentuk. Jika
lukanya bersih danluasnya kurang dari 1 cm, cephalosporin generasi pertama dengan dosis 1
gram sudah cukup.Jika lukanya lebih luas, harus ditambahkan pemberian antibiotik khusus
gram negatif. Jikalukanya tampak agak kotor, pemberian 1,5 mg gentamicin juga harus
dilakukan dan jikalukanya tampak sangat kotor harus dilakukan pemberian penicillin untuk
mencegah infeksi clostridium (Furst DE, Ulrich RW, 2007).
4. Cefazolin
Menurut Carr, et al (2018) Cefazolin adalah antibiotik golongan sefalosporin yang
digunakan untuk mengobati dan mencegah infeksi bakteri dengan cara membunuh bakteri.
Tidak jarang juga antibiotik ini diberikan kepada pasien sebelum, saat atau setelah melalui
prosedur operasi tertentu untuk mencegah terjadinya infeksi. Cefazolin adalah antibiotik yang
bisa diberikan kepada penderita yang memiliki reaksi alergi terhadap antibiotik jenis penisilin,
meski penggunaannya tetap harus dimonitor karena tetap berisiko menimbulkan reaksi alergi.
Infeksi saluran pernapasan, saluran kemih, kulit, kemaluan, darah, tulang dan sendi,
saluran empedu, dan jantung adalah beberapa kondisi yang bisa diobati dengan cefazolin.
Obat ini juga aman digunakan untuk mengantisipasi infeksi pada wanita sebelum dan sesudah
persalinan.
Menurut Peppard, et al (2017) dosis dan penggunaan cefazolin yang harus diberikan
adalah sebagai berikut :
a. Dosis Cefazolin

Kondisi Dosis awal

Dewasa:1 gram per hari. Dosis dapat ditingkatkan


menjadi 3-5 gram.Anak dan bayi: 20-40 mg/kg BB
Mengobati infeksi
yang dibagi menjadi 2-4 dosis kecil. Dosis anak dapat
ditingkatkan sampai 100 mg/kg BB

Sebelum operasi: 1 gram diberikan 30 menit hingga


1 jam, dilanjutkan 0.5-1 gram saat operasi yang
Profilaksis bedah berdurasi panjang.Setelah itu, dapat ditambah 0,5-1
gram tiap 6-8 jam setelah operasi hingga 24 jam, atau
dapat dilanjutkan hingga 5 hari.
Dosis cefazolin dapat berubah sewaktu-waktu disesuaikan dengan usia, berat badan, kondisi
fisik, serta kesehatan pasien.

b. Penggunaan Cefazolin
Cefazolin diberikan dengan cara disuntikkan ke pembuluh darah atau otot oleh seorang
tenaga medis profesional yang terlatih. Selama mengonsumsi cefazolin, hindari mengonsumsi
obat lain tanpa sepengetahuan dokter, termasuk jenis obat-obatan kimia, herba, atau suplemen
yang mengandung kalsium yang diperoleh secara bebas atau dengan resep. Antibiotik juga dapat
berpengaruh kepada hasil pemeriksaan kesehatan sehingga sebaiknya memberi tahu tenaga
medis yang bertugas bahwa Anda sedang mengonsumsi cefazolin maupun obat-obatan lain jika
ada.

c. Efek Samping dan Bahaya Cefazolin

Peppard, et al (2017) cefazolin sama seperti obat-obatan lain, cefazolin bisa menyebabkan reaksi
efek samping. Beberapa reaksi yang umum terjadi setelah mengonsumsi obat ini, yaitu:

 Diare
 Sakit perut
 Muntah
 Ruam
 Pusing
 Kelelahan
 Gatal-gatal
 Hepatitis yang bersifat sementara

5. Tramadol

Menurut Sansone, RA. Sansone, LA (2009) tramadol adalah salah satu obat pereda
rasa sakit kuat yang digunakan untuk menangani nyeri sedang hingga berat (misalnya nyeri
setelah operasi). Tramadol bekerja dengan cara memengaruhi reaksi kimia di dalam otak dan
sistem saraf yang pada akhirnya mengurangi sensasi rasa sakit. Merek dagang: Contram 50,
Orasic, Tradosik, Tramofal, Dolgesik, Radol, Tramal
a. Dosis Tramadol

Beakley, et al. (2015) mengatakan bahwa Dosis penggunaan tramadol tergantung pada tingkat
keparahan nyeri yang dirasakan oleh pasien. Meskipun begitu, konsumsi obat ini tidak boleh
melebihi 400 mg per hari.

Tujuan Dosis dan Frekuensi

Untuk mengurangi rasa sakit secara cepat 50-100 mg per 4-6 jam

Dosis penggunaan tramadol untuk jangka waktu yang lebih panjang akan diatur oleh
dokter sesuai dengan kondisi kesehatan dan perkembangan pemulihan pasien. Untuk anak-
anak usia di bawah 12 tahun, dosis dan penggunaan tramadol akan disesuaikan. Sementara
itu, bagi manula yang berusia di atas 75 tahun, dianjurkan untuk tidak mengonsumsi tramadol
lebih dari 300 mg per hari.

b. Penggunaan Obat
Menurut Beakley, et al. (2015) beberapa risiko yang mungkin terjadi jika menggunakan
tramadol bersamaan dengan obat-obatan tertentu, di antaranya:

 Meningkatkan potensi efek samping yang fatal, seperti risiko kejang, apabila digunakan
bersama dengan obat antidepresan yang mengandung monoamine oxidase inhibitor
(MAOi). MAOi merupakan kontraindikasi dalam penggunaan tramadol. Dengan kata
lain, kedua obat ini tidak boleh digunakan bersamaan.
 Meningkatkan risiko kejang atau sindrom serotonin jika digunakan bersama
dengan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SRRI), Serotonin-Norepinephrine
Reuptake Inhibitor (SNRI), antidepresan trisiklik (TCA), dan obat antikejang (misalnya
bupropion, mirtazapine, dan, tetrahydrocannabinol).
 Meningkatkan efek antidepresan dari norepinephrine, 5-HT agonists, atau litium, dan
meningkatkan risiko perdarahan jika digunakan bersama dengan obat-obatan derivat
kumarin, misalnya warfarin.
 Carbamazepine dapat mengurangi kadar tramadol dalam darah.

c. Efek Samping Tramadol


Menurut Beakley, et al. (2015) Beberapa efek samping yang umum terjadi setelah
menggunakan tramadol adalah:

 Pusing dan limbung.


 Lelah dan mengantuk.
 Mual dan muntah.
 Konstipasi dan sulit buang air kecil.
 Mulut kering.
 Perut kembung.
 Diare.
Pengaruh Nutrisi terhadap Penyembuhan Fraktur

Menurut Wilmana PF, Gan S (2007) setiap tahapan dari penyembuhan fraktur
menyebabkan peningkatan kebutuhan nutrisi. Prosespenyembuhan membutuhkan energi dari
kalori dalam makanan yang lebih banyak, protein, danaliran darah yang adekuat.

a. Sediakan energi yang cukup

Pada orang dewasa sehat dengan aktivitas normal, kalori yang dibutuhkan per hari
sebesar 2500 kalori, sedangkan orang dewasa dengan fraktur multipel membutuhkan kalori
sebesar6000 kalori per hari untuk proses penyembuhannya.3

b. Tingkatkan asupan protein


Jika dihitung berdasarkan volume, 50% tulang terdiri atas protein. Ketika fraktur
terjadi,tubuh akan mensintesis matriks protein struktural tulang yang baru. Kekurangan
protein saatproses penyembuhan dapat menyebabkan terbentuknya rubbery callus.
Penelitianmenunjukkan bahwa orang dengan fraktur membutuhkan peningkatan asupan
protein 10-20gram per harinya.3
c. Tingkatkan asupan mineral
a) Zinc
Zinc berfungsi terutama dalam proliferasi sel, dimana dalam kasus fraktur akanmembantu
pembentukan kalus, mempercepat produksi pembentukan protein tulang.
b) Tembaga
Tembaga membantu pembentukan kolagen tulang.

c) Kalsium dan fosfor


Mineral utama pada tulang adalah kalsium dan fosfor yang membentuk kristal
kalsiumhidroksiapatit. Pembentukan ulang jaringan tulang membutuhkan supply yang
cukup dari kalsium dan fosfor sebagai salah satu penyusun utama tulang. Oleh karena
itu,kalsium dan fosfor harus dikonsumsi dalam jumlah yang optimal setiap harinya.
d) Silikon
Silikon bioaktif (silika) berperan penting dalam sintesis kolagen tulang.3
d. Tingkatkan asupan vitamin
a) Vitamin C
Vitamin C sangat penting dalam sintesis kolagen tulang. Vitamin C juga
merupakansalah satu nutrien antioksidan dan anti-inflamasi yang paling penting.
b) Vitamin D
Peran vitamin D sangat penting dalam penyembuhan fraktur. Vitamin D adalah
regulatorabsorpsi kalsium. Peneiltian menunjukkan kadar vitamin D yang rendah
mengakibatkanpenyembuhan fraktur suboptimal dan peningkatan asupan vitamin D
mengakibatkanpercepatan mineralisasi kalus. Selain itu, vitamin D bersama dengan
vitamin Kmenginduksi transformasi stem cell untuk membentuk osteoblas.
c) Vitamin K
Vitamin K adalah bagian penting dalam proses biokimia yang mengikat kalsium ketulang
untuk pembentukan tulang.
d) Vitamin B6
Vitamin B6 memodulasi efek vitamin K pada tulang melalui serangkaian proses biokimia
yang kompleks.3
DAFTAR PUSTAKA

Weinstein SL, Buckwalter JA. Turek’s Orthopaedics Principles and Their Application. 6 th
ed.Iowa: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p. 88-932.
Wilmana PF, Gan S. Analgesik-Antipiretik, Analgesik Anti-inflamasi Nonsteroid, dan Obat
Gangguan Sendi Lainnya. In: Gan S, editor. Farmakologi dan Terapi. 5 th ed. Jakarta:
BadanPenerbit FKUI; 2007.5.
Furst DE, Ulrich RW.Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs, Disease-ModifyingAntirheumatic
Drugs, Nonopioid Analgesics, & Drugs Used in Gout. In: Katzung BG, editor.Basic and
Clinical Pharmacology. 10 th ed. Boston: McGraw-Hill; 2007
Carr, et al. (2018). A Comparison of Cefazolin Versus Ceftriaxone for The Treatment of
Methicilin-Susceptible Staphylococcus aureus Bacteremia In A Tertiary Care VA Medical
Center. Open Forum Infectious Disease, 5(5), pp. 89.
Peppard, et al. (2017). Association Between Pre-Operative Cefazolin Dose and Surgical Site
Infection in Obese Patient. Surgical Infections, 18(4), pp. 485-490.
Beakley, et al. (2015). Tramadol, Pharmacology, Side Effects, and Serotonin Syndrome: A
Review. Pain Physician, 18(4), pp. 395-400.
Sansone, RA. Sansone, LA. (2009). Tramadol: Seizures, Serotonin Syndrome, and
Coadministered Antidepressants. Psychiatry, 6(4), pp. 17-21.

Anda mungkin juga menyukai