Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN PALIATIF PADA PASIEN KANKER


PAYUDARA

A. KONSEP TEORI

1. Pengertian

Kanker Payudara adalah tumor ganas yang menyerang jaringan payudara


yang berasal dari kelenjar, saluran kelenjar dan jaringan penunjang payudara.
Kanker payudara terjadi karena adanya kerusakan gen yang mengatur
pertumbuhan dan diferensiasi sehingga sel ini tumbuh dan berkembang biak
tanpa dapat dikendalikan (National Cancer Institute, 2017). Kanker payudara
adalah tumor ganas yang terbentuk dari sel-sel payudara yang tumbuh dan
berkembang tanpa terkendali sehingga dapat menyebar di antara jaringan atau
organ di dekat payudara atau ke bagian tubuh lainnya (Kementerian Kesehatan
RI, 2016).
2. Etiologi
Segala sesuatu yang menyebabkan terjadinya kanker disebut karsinogen.
Karsinogen menimbulkan perubahan pada gen DNA sehingga sering bersifat
mutagenik. Dari berbagai penelitian dapat diketahui bahwa karsinogen dapat
dibagi menjadi 4 golongan, yaitu bahan kimia, virus, radiasi (ion dan non-
ionasi) dan agen biologik (Pringguoutomo, Himawan, & Tjarta, 2002). Selain
itu, para ahli juga mengemukakan bahwa etiologi dari penyakit kanker
payudara belum dapat diketahui secara pasti. Namun, banyak penelitian yang
menunjukkan adanya beberapa faktor yang berhubungan dengan peningkatan
resiko atau kemungkinan untuk terjadinya kanker payudara (Price & Lorraine,
2006). Salah satunya adalah hasil penelitian Yulianti (2016) yang menunjukkan
bahwa ada beberapa faktor risiko yang bisa meningkatkan kemungkinan
terjadinya kanker payudara, diantaranya adalah:
a. Usia
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usia reproduktif (15 – 49 tahun)
memiliki resiko 2,270 kali lebih tinggi untuk terkena kanker payudara. Hal
tersebut diduga berhubungan dengan paparan hormon estrogen dan
progesteron yang berpengaruh terhadap payudara.
b. Usia Menarke
Usia menarche yang lebih awal berhubungan dengan lamanya paparan
hormon estrogen dan progesteron pada wanita yang berpengaruh terhadap
proses proliferasi jaringan termasuk jaringan payudara.
c. Usia Menopause
Hasil penelitian menunjukkan wanita yang mengalami menopause >43
tahun berisiko 1,17 kali lebih besar terkena kanker payudara. Hak tersebut
berkaitan dengan lamanya paparan hormon estrogen dan progesteron yang
berpengaruh terhadap proses poliferasi jaringan payudara.
d. Lama Pemakaian Kontrasepsi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita yang menggunakan
kontarsepsi oral >10 tahun memiliki risiko sebesar 85 % untuk terkena
kanker payudara. Hal tersebut dikarenakan berlebihnya proses poliferasi bila
diikuti dengan hilangnya kontrol atas poliferasi sel dan pengaturan kematian
sel yang sudah terprogram (apoptosis) akan mengakibatkan sel payudara
berpoliferasi secara terus menerus tanpa adanya batas kematian.
e. Lama Menyusui
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama menyusui 4 - 6 bulan
memiliki risiko kanker payudara lebih besar sebanyak 1,375 kali
dibandingkan dengan lama menyusui 7 – 24 bulan. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin lama menyusui dapat mengurangi risiko terjadinya kanker
payudara dari pada tidak pernah menyusui.
f. Pola Konsumsi Makanan Berserat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita yang jarang mengonsumsi
makanan berserat akan beresiko lebih tinggi terkena kanker payudara. Diet
makanan berserat berhubungan dengan rendahnya kadar sebagian besar
aktivitas hormon seksual dalam plasma, tingginya kadar Sex Hormone
Binding Globulin (SHBG), serat akan berpengaruh terhadap mekanisme
kerja penurunan hormon estradiol dan testoteron.
g. Pola Konsumsi Makanan Berlemak
Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita yang sering mengonsumsi
makanan berlemak memiliki 1,105 lebih besar untuk terkena kanker
payudara. Willet et al (1997) melakukan studi prospektif selama 8 tahun
tentang konsumsi makanan berlemak ternyata ada hubungannya dengan
risiko kanker payudara pada perempuan umur 34 sampai dengan 59 tahun.
f. Obesitas
Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita yang obesitas memiliki risiko
lebih besar untuk terkena kanker payudara.
g. Pola Diet
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola diet memiliki risiko 2,63 kali
lebih besar untuk terkena kanker payudara. Faktor diet dan nutrisi serta
aktifitas fisik saat ini menjadi fokus utama dalam penelitian mengenai gaya
hidup yang mempengaruhi kejadian kanker payudara. Penelitian yang
berfokus pada pengaruh aktifitas fisik serta diet dan nutrisi dalam kejadian
kanker payudara dikarenakan gaya hidup mengkonsumsi diet dan nutrisi
yang baik serta melakukan aktifitas fisik secara teratur dilakukan bukan
hanya sebagai pencegahan agar tidak menderita kanker payudara tetapi gaya
hidup tersebut juga dapat dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan
hidup penderita kanker payudara.
h. Perokok Pasif
The U.S. Environmental Protection Agency, The U.S. National
Toxicology Program, The U.S. Surgeon General, dan The International
Agency for Research on Cancer perokok pasif dapat menyebabkan kanker
pada manusia terutama kanker paru-paru. Beberapa penelitian juga
menemukan bahwa perokok pasif diduga meningkatkan risiko kanker
payudara, kanker rongga hidung, dan kanker nasofaring pada orang dewasa
serta risiko leukemia, limfoma, dan tumor otak pada anak-anak.
i. Konsumsi Alkohol
Perempuan yang mengkonsumsi lebih dari satu gelas alkohol per hari
memiliki risiko terkena kanker payudara yang lebih tinggi.
j. Aktivitas Fisik
Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan aktifitas fisik
yang rendah memiliki risiko lebih besar untuk terkena kanker payudara
dibandingkan dengan wanita yang memiliki kebiasaan berolahraga atau
aktifitas fisik yang tinggi. Dengan aktivitas fisik atau berolahraga yang
cukup akan dapat dicapai keseimbangan antara kalori yang masuk dan kalori
yang keluar. Olahraga dihubungkan dengan rendahnya lemak tubuh dan
rendahnya semua kadar hormon yang berpengaruh terhadap kanker payudara
dan akan dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh. Aktivitas fisik atau
olahraga yang cukup akan berpengaruh terhadap penurunan sirkulasi
hormonal sehingga menurunkan proses proliferasi dan dapat mencegah
kejadian kanker payudara (Enger SM, 2013). Dalam mengurangi risiko
kanker payudara aktivitas fisik dikaitkan dengan kemampuan meningkatkan
fungsi kekebalan tubuh, menurunkan lemak tubuh, dan mempengaruhi
tingkat hormon (Vogel 2010).
k. Riwayat Kanker Payudara Pada Keluarga
Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita yang memiliki riwayat
kanker payudara pada keluarga memiliki risiko lebih besar untuk terkena
kanker payudara dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki riwayat
kanker payudara pada keluarga. Hal tersebut karena adanya gen BRCA yang
terdapat dalam DNA yang berperan untuk mengontrol pertumbuhan sel agar
berjalan normal. Dalam kondisi tertentu gen BRCA tersebut dapat
mengalami mutasi menjadi BRCA1 dan BRCA2, sehingga fungsi sebagai
pengontrol pertumbuhan hilang dan memberi kemungkinan pertumbuhan sel
menjadi tak terkontrol atau timbul kanker. Seorang wanita yang memiliki
gen mutasi warisan (termasuk BRCA1 dan BRCA2) meningkatkan risiko
kanker payudara secara signifikan dan telah dilaporkan 5-10% kasus dari
seluruh kanker payudara. Pada kebanyakan wanita pembawa gen turunan
BRCA1 dan BRCA2 secara normal, fungsi gen BRCA membantu mencegah
kanker payudara dengan mengontrol pertumbuhan sel. Namun hal ini tak
berlangsung lama karena kemampuan mengontrol dari gen tersebut sangat
terbatas (Lanfranchi, 2015).

3. Tanda dan Gejala/ Manifestasi Klinik

Gejala dan pertumbuhan kanker payudara tidak mudah dideteksi karena awal
pertumbuhan sel kanker payudara tidak dapat diketahui dengan gejala umumnya
baru diketahui setelah stadium kanker berkembang agak lanjut, karena pada tahap
dini biasanya tidak menimbukan keluhan. Penderita merasa sehat, tidak merasa
nyeri, dan tidak mengganggu aktivitas. Gejala-gejala kanker payudara yang tidak
disadari dan tidak dirasakan pada stadium dini menyebabkan banyak penderita
yang berobat dalam kondisi kanker stadium lanjut. Hal tersebut akan mempersulit
penyembuhan dan semakin kecil peluang untuk disembuhkan. Bila kanker
payudara dapat diketahui secara dini maka akan lebih mudah dilakukan
pengobatan (Wiknjosastro, 2009)
Tanda yang mungkin muncul pada stadium dini adalah teraba benjolan kecil
di payudara yang tidak terasa nyeri. Sedangkan, gejala yang timbul saat penyakit
memasuki stadium lanjut semakin banyak, seperti timbulnya benjolan yang
semakin lama makin mengeras dengan bentuk yang tidak beraturan, saat benjolan
membesar baru terasa nyeri dan terlihat puting susu tertarik ke dalam yang tadinya
berwarna merah muda berubah menjadi kecoklatan, serta keluar darah, nanah, atau
cairan encer dari puting susu pada wanita yang tidak hamil dengan kulit payudara
mengerut seperti kulit jeruk (peau d’orange) (Pulungan, R.M., 2010).
4. Patofisiologi

Faktor predisposisi dan


resiko tinggi hiperplasi Mendesak sel saraf Interupsi sel saraf
pada sel mamae

nyeri

Mendesak jaringan Mensuplai nutrisi ke Mendesak pembuluh darah


sekitar jaringan ca

Aliran darah terhambat

Menekan jaringan Hipermetabolisme


pada mammae ke jaringan
hipoksia

Peningkatan konsistensi  hipermetabolisme


mammae jar lain BB turun Necrosis jaringan

Ketidakseimbangan Bakteri patogen


nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh

Resiko Infeksi

Mammae membengkak Ukuran mammae


abnormal

Massa tumor Mammae asimetrik Defisiensi pengetahuan


mendesak ke jar luar
ansietas

Gangguan citra
tubuh

Perfusi jaringan Infiltrasi pleura


terganggu perietale

ulkus
Ekspansi paru
menurun

Kerusakan integritas Ketidakefektifan


kulit/ jaringan pola nafas
5. Fase Paliative

a. Konsep Paliative

Pelayanan paliatif pasien kanker adalah pelayanan terintegrasi oleh tim


paliatif untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan memberikan dukungan bagi
keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan kondisi pasien
dengan mencegah dan mengurangi penderitaan melalui identifikasi dini, penilaian
yang seksama serta pengobatan nyeri dan masalah-masalah lain, baik masalah
fisik, psikososial dan spiritual, serta pelayanan masa dukacita bagi keluarga
(Kementerian Kesehatan RI, 2015).
Perawatan paliatif juga mencakup pelayanan terintegrasi antara dokter,
perawat, pekerja sosial, psikolog, konselor spiritual, relawan, apoteker dan profesi
lain yang diperlukan. Pendekatan paliatif yang perlu diperhatikan, yaitu: 1)
komunikasi antar tim, 2) manajemen nyeri, 3) bimbingan dan pertimbangan
budaya dalam pengambilan keputusan, dan 4) dukungan emosional dan spiritual
bagi pasien dan keluarga (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Perawatan paliatif diberikan sejak diagnosa ditegakkan sampai akhir hayat.
Artinya tidak memperdulikan pada stadium dini atau lanjut, masih bisa
disembuhkan atau tidak, mutlak perawatan paliatif harus diberikan kepada
penderita. Perawatan paliatif tidak berhenti setelah penderita meninggal, tetapi
masih diteruskan dengan memberikan dukungan kepada anggota keluarga yang
berduka (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Kementerian Kesehatan RI (2013) juga menjelaskan bahwa prinsip
pelayanan paliatif pasien kanker, yaitu: 1) menghilangkan nyeri dan gejala fisik
lain, 2) menghargai kehidupan dan menganggap kematian sebagai proses normal,
3) tidak bertujuan mempercepat atau menunda kematian, 4) mengintegrasikan
aspek psikologis, social dan spiritual, 5) memberikan dukungan agar pasien dapat
hidup seaktif mungkin, 6) memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa
dukacita, 7) menggunakaan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan
keluarganya, 8) menghindari tindakan sia-sia.
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2013) langkah –langkah yang perlu
diperhatikan oleh petugas kesehatan dalam melakukan perawatan paliatif, yaitu
1. Menentukan tujuan perawatan dan harapan pasien
2. Memahami pasien dalam membuat wasiat atau keinginan terakhir
3. Pengobatan penyakit penyerta dan aspek social
4. Tatalaksana gejala
5. Informasi dan edukasi
6. Dukungan psikologis, cultural dan social
7. Respon fase terminal
8. Pelayanan pasien fase terminal
Selain itu, kegiatan/aktivitas paliatif yang diberikan oleh petugas kesehatan
kepada pasien pada saat melakukan perawatan, yaitu :
1. Membantu penderita mendapat kekuatan dan rasa damai dalam menjalan
i kehidupan sehari-hari.
2. Memban tu kemampuan penderita untuk mentolerir penatalaksanaan
medis.
3. Membantu penderita untuk lebih memahami perawatan yang dipilih.
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2015) selain kepada penderitanya,
perawatan paliatif juga memberi dukungan kepada seluruh anggota keluarga dan
pelaku rawat lainnya. kegiatan/aktivitas paliatif yang diberikan oleh petugas
kesehatan kepada keluarga, yaitu :
1. Membantu keluarga memahami pilihan perawatan yang tersedia.
2. Meningkatkan kehidupan sehari-hari penderita, mengurangi
kekhawatiran dari orang yang dicintai (asuhan keperawatan keluarga).
3. Memberi kesempatan sistem pendukung yang berharga.
b. Konsep Berduka/Kehilangan Pada Pasien Paliative
Sastra (2016) mengatakan bahwa setelah didiagnosa kanker payudara,
walaupun masih stadium dini, umumnya penderita akan gangguan ideal diri, syok
dan takut, serta memunculkan suatu penolakan emosi yang begitu hebat. Keadaan
tersebut membuatn pasien banyak pikiran, mulai merasa tidak sempurna lagi bahkan
sampai merasa malu terhadap suaminya jika pasien sudah menikah. Bahkan,
masalah psikologis tersebut akan bertambah setelah pasien melakukan pembedahan
mastektomi, individu merasakan kekhawatiran tentang bentuk tubuh yang dinilai
tidak seimbang karena merasa kehilangan anggota tubuhnya, kehilangan
kepercayaan diri, merasa menjadi orang lain karena adanya perubahan secara fisik,
menurunnya self-esteem (Rahmadhani, 2016).
Kehilangan adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat dialami
individu ketika terjadi perubahan dalam atau berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada,baik sebagian atau keseluruhan (Sari, 2015). Beberapa tahap proses
kehilangan diantaranya fase akut yang berlangsung selama 4 – 8 minggu setelah
kematian,yang terdiri atas tiga proses yaitu syok dan tidak percaya, perkembangan
kesadaran,serta restitusi serta fase jangka panjang yaitu berlangsung selama satu
sampai dua tahun atau lebih lama dan reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan
menjadi penyakit yang tersembunyi dan termanifestasi dalam berbagai gejala fisik
(Nihayati , 2015).
Kubler-Ross tahun 1969 mengungkapkan bahwa tahapan kehilangan yang
dihadapi oleh pasien kanker terdiri dari 5 tahap, yaitu :
1. Penyangkalan dan penolakan diri (denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat
menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan
seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi pada
saya!” umum dilontarkan oleh pasien yang menderita kanker terutama
apabila pasien yang diberi tahu tentang penyakitnya sejak awal.
2. Kemarahan (Anger)
Pada tahap ini individu akan mempertahankan kehilangan dan
mungkin “bertindak lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif
sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping
individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari
kecemasannya menghadapi kehilangan. Pertanyaan yang mungkin
dikatakan pasien adalah ”mengapa aku?”, mengapa bukan orang itu saja?”.
3. Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang
halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering
kali mencari pendapat orang lain.
4. Depresi (Depression)
Pada tahap ini pasien tidak lagi mampu menghindari penyakitnya,
pasien harus menjalani berbagai pembedahan atau perawatan, pasien
semakin lemah dan kurus pasien tersebut tidak akan dapat tersenyum lagi.
Sikap mati rasa atau tabah, serta kemarahannya segera akan di gantikan
rasa kehilangan. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya
melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
5. Penerimaan (Acceptance)
Tahap ini merupakan dimana pasien akan merasakan kehampaan
perasaan, seolah bila rasa sakit hilang, perjuangan pun berakhir dan
datanglah saat untuk istirahat terakhir sebelum perjalanan panjang. Fase ini
adalah pertanda individu sudah mampu menguasai emosi dan pikirannya
dalam menghadapi perubahan hidup sesudah episode kehilangan. Individu
ini sudah mampu meneruskan kehidupan seperti sebelum dalam keaadan
emosi dan perasaan yang stabil.
c. Peran Perawat dalam Perawatan Paliative
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2015) perawat harus memiliki
pengetahuan dan keterampilan sesuai prinsip-prinsip pengelolaan paliatif.
Perawat paliatif bertanggung jawab dalam penilaian, pengawasan, dan
pengelolaan asuhan keperawatan pasien paliatif.
1) Perawat sebagai koordinator layanan paliatif
a) Menyiapkan pelaksanaan program paliatif, baik rawat jalan, rawat inap atau
rawat rumah.
b) Menyiapkan peralatan medis yang diperlukan.
c) Mendistribusikan dan menghubungi tenaga pelaksana kepada anggota tim
atau ke unit layanan lain.
d) Menyusun jadwal kunjungan dan tenaga paliatif yang diperlukan.
e) Mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan program paliatif.
2) Perawat sebagai tenaga pelaksana
a) Menerima permintaan asuhan keperawatan dari koordinator program
paliatif.
b) Berkoordinasi dengan anggota tim lain.
c) Menganalisa, menegakkan dan melakukan asuhan keperawatan sesuai
kebutuhan dan kondisi pasien
d) Menginformasikan dan mengedukasi pelaku rawat atau penanggung jawab
pasien
e) Melaporkan setiap perkembangan pasien kepada dokter penanggung jawab
dan koordinator program paliatif
f) Evalusi asuhan keperawatan yang telah dilakukan secara langsung atau
tidak langsung melalui laporan harian pelaku rawat
g) Mengusulkan asuhan keperawatan baru atau lanjutan kepada dokter
penanggung jawab atau koordinator bila diperlukan
h) Merubah asuhan keperawatan sesuai kesepakatan dan persetujuan dokter
penanggung jawab serta menginformasikan kepada pelaku rawat
i) Melakukan pencatatan dan pelaporan
j) Mengontrol pemakaian obat dan pemeliharaan alat medis
3) Perawat Homecare
a) Menerima permintaan perawatan homecare dari dokter penanggung jawab
pasien melalui koordinator program paliatif.
b) Berkoordinasi dan menganalisa program homecare dan dokter penanggung
jawab dan koordinator program paliatif.
c) Melakukan asuhan keperawatan sesuai program yang direncanakan.
d) Reevaluasi atau evaluasi asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan.
e) Melaporkan setiap perkembangan pasien kepada dokter penangung jawab
pasien.
f) Mengusulkan asuhan keperawatan baru bila diperlukan.
g) Melaksanakan pencatatan dan pelaporan.
4) Pelaku rawat (caregiver)
a) Melakukan atau membantu pasien melakukan perawatan diri dan kegiatan
sehari hari (memandikan, memberi makan, beraktifitas sesuai
kemampuan pasien, dll)
b) Memberikan obat dan tindakan keperawatan sesuai anjuran dokter
c) Melaporkan kondisi pasien kepada perawat
d) Mengidentifikasi dan melaporkan gejala fisik dan gejala lain kepada perawat
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/414/2018 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Tata Laksana Kanker Payudara bahwa pasien kanker payudara harus menjalani
pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan adalah pemeriksaan darah rutin
dan pemeriksaan kimia darah sesuai dengan perkiraan metastasis beserta tumor
marker. Apabila hasil dari tumor marker tinggi, maka perlu diulang untuk
follow up.
2. Pemeriksaan Radiologik
a. Mammografi Payudara
Mammografi adalah pemeriksaan menggunakan sinar X pada jaringan
payudara yang dikompresi. Mammografi bertujuan untuk melakukan
skrining kanker payudara, diagnosis kanker payudara, dan follow up/control
dalam pengobatan. Mammografi dilakukan pada wanita usia diatas 35 tahun,
namun karena payudara orang Indonesia lebih padat, maka hasil terbaik
mammografi sebaiknya dikerjakan pada usia >40 tahun. Pemeriksaan
Mammografi sebaiknya dikerjakan pada hari ke 7-10 dihitung dari hari
pertama masa menstruasi, pada masa ini akan mengurangi rasa tidak nyaman
pada wanita saat di kompresi dan akan memberi hasil yang optimal. Untuk
standarisasi penilaian dan pelaporan hasil mammografi digunakan BIRADS
yang dikembangkan oleh American College of Radiology. Dalam sistem
BIRADS, mammogram dinilai berdasarkan klasifikasi (deskripsi, klasifikasi,
distribusi, dan jumlah), massa (bentuk, margin, densitas), dan distorsi
bentuk. Pada kasus khusus, misal adanya KGB intramammaria, dilatasi
duktus, asimetri global, dan temuan asosiatif berupa retraksi kulit, retraksi
puting, penebalan kulit, penebalan trabekula, lesi kulit, adenopati aksila juga
dinilai. (Level 3).
Gambaran mammografi untuk lesi ganas dibagi atas tanda primer dan
sekunder. Tanda primer berupa densitas yang meninggi pada tumor, batas
tumor yang tidak teratur oleh karena adanya proses infiltrasi ke jaringan
sekitarnya atau batas yang tidak jelas (komet sign), gambaran translusen
disekitar tumor, gambaran stelata, adanya mikroklasifikasi sesuai kriteria
Egan, dan ukuran klinis tumor lebih besar dari radiologis. Untuk tanda
sekunder meliputi retraksi kulit atau penebalan kulit, bertambahnya
vaskularisasi, perubahan posisi puting, kelenjar getah bening aksila (+),
keadaan daerah tumor dan jaringan fibroglandular tidak teratur, kepadatan
jaringan sub areolar yang berbentuk utas.
b. USG Payudara
Salah satu kelebihan USG adalah dalam mendeteksi massa kistik. Serupa
dengan mammografi, American College of Radiology juga menyusun bahasa
standar untuk pembacaan dan pelaporan USG sesuai dengan BIRADS.
Karakteristik yang dideskripsikan meliputi bentuk massa, margin tumor,
orientasi, jenis posterior acoustic, batas lesi, dan pola echo. Gambaran USG
pada benjolan yang harus dicurigai ganas apabila ditemukan tanda-tanda
seperti permukaan tidak rata, taller than wider, tepi hiperekoik, echo interna
heterogen, vaskularisasi meningkat, tidak beraturan, dan masuk kedalam
tumor membentuk sudut 90 derajat. Penggunaan USG untuk tambahan
mammografi meningkatkan akurasinya sampai 7,4%. Namun USG tidak
dianjurkan untuk digunakan sebagai modalitas skrining oleh karena
didasarkan penelitian ternyata USG gagal menunjukkan efikasinya.
c. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Pemeriksaan MRI lebih baik daripada mammografi, namun secara
umum tidak digunakan sebagai pemeriksaan skrining karena biaya mahal
dan memerlukan waktu pemeriksaan yang lama. Akan tetapi MRI dapat
dipertimbangkan pada wanita muda dengan payudara yang padat atau pada
payudara dengan implant, dipertimbangkan pasien dengan resiko tinggi
untuk menderita kanker payudara.

d.PET – PET/CT SCAN


Possitron Emission Tomography (PET) dan Possitron Emission
Tomography/Computed Tomography (PET/CT) merupakan pemeriksaan
atau diagnosa pencitraan untuk kasus residif. Banyak literatur menunjukkan
bahwa PET memberikan hasil yang jelas berbeda dengan pencitraan yang
konvensional (CT/MRI) dengan sensitivitas 89% VS 79% (OR 1.12, 95% CI
1.04-1.21), sedangkan spesifitas 93% VS 83% (OR 1.12, 95% CI 1.01-1.24)
(Level 1). Namun penggunaan PET CT saat ini belum dianjurkan secara
rutin bila masih ada alternatif lain dengan hasil tidak berbeda jauh.
3. Diagnosis Sentinel Node
Biopsi kelenjar sentinel (Sentinel lymph node biopsy) adalah mengangkat
kelenjar getah bening aksila sentinel sewaktu operasi. Kelenjar getah bening
sentinel adalah kelenjar getah bening yang pertama kali menerima aliran
limfatik dari tumor, menandakan mulainya terjadi penyebaran dari tumor
primer. Biopsi kelenjar getah bening sentinel dilakukan menggunakan blue dye,
radiocolloid, maupun kombinasi keduanya. Bahan radioaktif dan/atau blue dye
disuntikkan disekitar tumor, bahan tersebut mengalir mengikuti aliran getah
bening menuju ke kelenjar getah bening (sentinel). Ahli bedah akan
mengangkat kelenjar getah bening tersebut dan meminta ahli patologi untuk
melakukan pemeriksaan histopatologi. Bila tidak ditemukan sel kanker pada
kelenjar getah bening tersebut, maka tidak perlu dilakukan diseksi kelenjar
aksila. Teknologi ideal adalah menggunakan teknik kombinasi blue dye dan
radiocolloid. Perbandingan rerata identifikasi kelenjar sentinel antara blue dye
dan teknik kombinasi adalah 83% VS 92%. Namun biopsi kelenjar sentinel
dapat dimodifikasi menggunakan teknik blue dye saja dengan isosulfan blue
ataupun methylene blue. Methylene blue sebagai teknik tunggal dapat
mengidentifikasi 90% kelenjar sentinel. Studi awal yang dilakukan RS
Dharmais memperoleh identifikasi sebesar - 19 - 95%. Jika pada akhir studi ini
diperoleh angka identifikasi sekitar 905 maka methylene blue sebagai teknik
tunggal untuk identifikasi kelenjar sentinel dapat menjadi alternatif untuk
rumah sakit di Indonesia yang tidak memiliki fasilitas radiocolloid.
4. Pemeriksaan Patologi Anatomik
Pemeriksaan Patologi Anatomik pada kanker payudara meliputi
pemeriksaan sitologi yaitu penilaian kelainan morfologi sel payudara,
pemeriksaan histopatolgi merupakan penilaian morfologi biopsi jaringan tumor
dilakukan dengan proses potong beku dan blok paraffin, pemeriksaan
molekuler berupa immunohistokimia, in situ hibridisasi dan gene array.
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kesehatan RI. 2016. Kanker Pembunuh Papan Atas. Jakarta:


Mediakom. Edisi 55.

National Cancer Institute. 2017. Breast Cancer


Treatment.https://www.cancer.gov/types/breast/patient/breast-treatment-pdq

Pringgoutomo, Sudarto. 2002. Buku Ajar Patologi I (Umum) edisi ke-1. Jakarta:
Sagung Seto

Price, A. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson, 2006, Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, Edisi 6, (terjemahan), Peter Anugrah, EGC, Jakarta.

Yulianti, Iin. 2016. Faktor – Faktor Risiko Kanker Payudara. JURNAL


KESEHATAN MASYARAKAT (e-Journal) Volume 4, Nomor 4, Oktober 2016
(ISSN: 2356-3346) http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkm

Willet Walter C, Fat Energy and Breast Cancer, American Society for Nutritional
Science, 1997.

Vogel VG. 2010. Breast cancer prevention: A review of current evidence. Cancer
Journal for Clinicians 50(3):156-170.

Enger SM, Ross RK, PaganiniHill A, Carpenter CL, Bernstein L. Body size, physical
activity, and breast cancer hormone receptor status: results from two case-control
studies. American Association for Cancer Research. 2013. Volume 9 Issue 7, pp.
681-687.

Lanfranchi A and Brind J. 2015. Breast Cancer : Risk and Prevention, The Edition,
Pounghkeepsie, New York.

Wiknjosastro, Hanifa. 2009, Buku Acuan Nasional Pelayanan KesehatanMaternal,


Jakarta : Yayasan Bina Pustaka,

Pulungan,2010. Pubertas dan Gangguannya Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi


pertama. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI : Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2015. Pedoman Nasional Program Paliatif Kanker.


Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Pedoman Nasional Program Paliatif Kanker.


Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC.

Rahmadhani. 2016. Post Traumatic Growth pada Wanita Penderita Kanker


PayudaraPasca Mastektomi Usia Dewasa. journal.unair.ac.id /download -
fullpapersjpkk88c70fe931full.pdf.

Ross-KublerElisabet. (1998). On Death and Dying Kematian Sebagai Bagian


Kehidupan. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.

Sari, 2015.Pengalaman kehilangan (Loss) danberduka (Grief) ibu preeklampsi


kehilangan bayinya. http://eprints.undip.ac.id/47270/1/bagia n_awal-bab_3.pdf.

Anda mungkin juga menyukai