Anda di halaman 1dari 8

A.

KONSEP TEORI
1. Pengertian
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan salah satu penyakit reaksi
autoimun. Penyakit autoimun ini bersifat kronis dan multi sistem yang disebabkan
oleh pengendapan kompleks imun dengan manifestasi klinis yang beragam pada
beberapa organ tubuh (C.Zhao dkk, 2012). Antibodi yang seharusnya melindungi
tubuh terhadap berbagai antigen asing yang mengakibatkan gangguan pada tubuh
bmalah malah merusak organ tubuh itu sendir (Kwok, 2011). Lupus Eritematosus
Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya inflamasi
tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini
berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga
mengakibatan kerusakan jaringan (Gill JM, 2003). Beberapa organ tubuh yang
terkena diantaranya kulit, sistem syaraf, darah, musculoskeletal, ginjal, jantung,
paru dan bahkan bisa menyebabkan terjadinya kelumpuhan ( Varghese, 2011).
2. Etiologi
Hingga kini penyebab SLE belum diketahui dengan jelas (Zhao, 2012).
Namun diperkirakan berkaitan erat dengan beberapa faktor antara lain autoimun,
genetik, lingkungan dan obat – obatan (Simon, 2000).
a. Autoimun
Mekanisme primer SLE adalah autoimunitas, suatu proses kompleks
dimanan sistem imun pasien menyerang selnya sendiri. Pada SLE, sel T
menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan berusaha
mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut terjafdi stimulasi limfosit
B untuk menghasilkan antibodi, suatu molekul yang dibentuk untuk menyerang
antigen spesifik. Ketika antibodi tersebut menyerang sel tubuhnya sendiri, maka
disebut autoantibodi. Sel B menghasilkan sitokin. Sitokin tersbut interleukin,
seperti IL 10 dan IL 6 yang memegang peranan penting pada SLE yaitu dengan
mengatur sekresi autoantibodi oleh sel B (Simon, 2000).
Pada sebagian besar pasien SLE, antinuklear antibodi (ANA) adalah antibodi
spesifik yang menyerang yang menyerang nukleas dan DNA yang sehat. Terdapat
dua tipe ANA, yaitu anti double stranded DNA (anti ds DNA) yang memegang
peranan penting pada proses autoimun dan anti-Sm antibodies yang hanya spesifik
untuk pasien SLE (Simon, 2000).bersama dengan antigen spesifik, ANA
membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi sehingga pengaturan
sistem imun pada SLE terganggu, yaitu berupa gangguan
klirens kompleks imun yang larut, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam
hati dan penurunan uptake kompleks imun oleh ginjal, sehingga menyebabkan
terjadinya fiksasi komplemem pada organ tersebut dan aktivasinya menghasilkan
substansi yang menyebabkan radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan
keluhan pada organ yang bersangkutan. Sekitar setengah dari pasien SLE memiliki
antibodi antifosfolipid. Antibodi ini menyerang fosfolipid, suatu kumpulan lemak
pada membran sel. Antifosfolipid meningkatkan resiko menggumpalnya darah dan
mungkin berperan dalam penyempitan pembuluh darah. Antibodi tersebut
termasuk lupus antikoagulan (LAC) dan antibodi antikardiolipin (ACAs).
Mungkin berupa golongan IgG, IgM, IgA yang berdiri sendiri – sendiri ataupun
kombinasi (Simon, 2000).
b. Genetik
Jika seorang ibu menderita SLE makan kemungkinan anak perempuannya
untuk menderita penyakit yang sama adalah 1 :40 sedangkan anak laki –laki 1:25
(Lamont, 2004). Penelitian terakhir menunjukkan adanyan peran dari gen –gen
yang mengkode unsur –unsur sistem imun.
Genome-wide assosiation studies (GWAS) menggunakan ratusan hingga
ribuan marker single nucleotide polymoprhism (SNP) untuk penyakit SLE. GWAS
telah mengkonfirmasi kepentingan dari gen yang berkaitan dengan respon imun
dan inflamasi (HLA-DR, PTPN22, STAT4, IRF5, BLK, OX40L, FCGR2A, BANK1,
SPP1, IRAK1,TNFAIP3, C2, C4, CIq, PXK), DNA repairs (TREX1), adherence of
inflammatory cells to the endothelium (ITGAM), dan tissue response to injury
(KLK1, KLK3). Temuan ini mengedepankan pentingnya jalur sinyal Toll-like
receptor (TLR) dan interferon tipe 1 (IFN). Gen STAT4 yang merupakan faktor
risiko genetik terhadap artritis rheumatoid dan SLE dikaitkan dengan kejadian
SLE berat. Salah satu komponen penentu dari jalur-jalur ini adalah TNFAIP3 yang
telah diketahui berperan dalam 6 (enam) kelainan autoimun termasuk SLE
(Bertsias G, 2011).
c. Lingkungan
Pemicu SLE termasuk flu, kelelahan, stres, kontrasepsi oral, bahan kimia, sinar
matahari, dana beberapa obat – obatan (Simon, 2000). Pemicu yang paling sering
menyebabkan gangguan pada sel T adalah virus. Beberapa penelitian menyebutkan
adanya hubungan antara virus Epstein Barr cytomegalovirus dan parvovirus-B19
dengan SLE (Simon, 2000). Selain virus, sinar UV juga sangat penting sebagai
pemicu terjadinya SLE. Ketika mengenai kulit UV dapat mengubah sturuktur
DNA dari sel di bawah kulit dan sistem imun menganggap perubahan tersebut
(Simon, 2000). Drug induced lupus merupakan lupus yang terjadi setelah pasien
menggunakan obat – obatan tertentu dan mempunyai gejala yang sama dengan
SLE. Lupus jenis ini jarang terjadi nefritis dan gangguan SSP. Jika obat – obatan
tersebut dihentikan maka dapat terjadi perbaikan manifestasi klinik dan hasil
laboratorium (Lamont, 2001).
3. Manifestasi Klinis
Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini
tidaklah mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi
sebagai penyakit lain misalnya artritis reumatoid, glomerulonefritis, anemia,
dermatitis dan sebagainya. Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE
menjadi penting. Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2
(dua) atau lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat
badan.
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi membrana
mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11.Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik mielitis
transversus,gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria di atas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas
85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis.
Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA
positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi
jangka panjang diperlukan.
4. Patofisiologi
5. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat


pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga bisa ditemukan pada
penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga
pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari
kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus
memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein
yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya,
mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit.
b. Pemeriksaan Urin
Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein. Proteinuria menetap
>0,5 gram/hari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
c. Radiologi
Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
d. Imunologi
ANA test

6. Fase Paliative

a. Konsep Paliative

penderita SLE masih mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas berat seperti
memindahkan perabotan, mengecat atau menghias rumah dengan kondisi kesehatan fisik
yang dimiliki. Menaiki tangga juga merupakan salah satu kegiatan yang banyak dihindari
oleh penderita SLE. Mereka melaporkan sering mengalami sesak nafas atau kelelahan yang
berlebihan setelah menaiki tangga.

Gangguan emosional yang paling sering mereka rasakan adalah rasa cemas atau khawatir.
Kondisi kesehatan yang kian memburuk terkadang membuat mereka cemas dan khawatir
akan kondisi di masa depan. Pada penderita SLE yang memberikan hasil penilaian mencapai
75 hingga 100, mereka mengaku sangat jarang mengalami gangguan emosional. Mereka
merasa lebih optimis baik mengenai kondisi kesehatan saat ini ataupun masa depan yang
mereka miliki. Hal ini menyebabkan amarah, kekecewaan, depresi ataupun rasa cemas
mengenai kondisi kesehatan dan perubahan fisik saat ini sangat jarang mereka rasakan.
Mereka mengaku tidak pernah menghindari kegiatan sosial atau acara pertemuan karena
perubahan fisik yang mereka alami tersebut. Mereka selalu melakukan perawatan kulit
khusus yang terbuat dari bahan alami seperti tomat untuk mengurangi warna kemerahan
pada tubuh mereka dan agar bercak tersebut tidak meninggalkan bekas kehitaman di kulit
mereka. Mereka mengaku selalu menggunakan riasan wajah untuk menutupi flare yang ada
pada wajah ataupun tubuh mereka serta menggunakan pakaian yang dapat menutupi bekas
luka di tubuh mereka. Pada penderita yang mengalami penambahan berat badan akibat
pengobatan SLE merasa gemuk tidak hanya bisa disebabkan oleh penggunaan steroid.
Orang sehat pun dapat menjadi gemuk sehingga mereka tidak merasa malu dengan citra diri
mereka saat ini.

Mereka juga mengaku terkadang mengalami kesulitan tidur di malam hari akibat rasa sakit
yang mereka rasakan. Hal ini menyebabkan ia selalu tidur larut malam. Rasa sakit itu tidak
hanya mengganggu pola tidur penderita SLE namun juga kualitas tidur yang mereka miliki,
mereka mengaku jarang memperoleh tidur yang nyenyak saat rasa sakit muncul. Pada
seorang penderita SLE menyatakan bahwa sakit yang ia alami hampir setiap hari
mengganggu aktivitas yang ingin dia lakukan. Rasa sakit itu juga mengganggu kemampuan
mobilitas yang ia miliki, sehingga ia tidak bisa menghadiri beberapa acara ataupun kegiatan
sosial yang sangat ingin ia ikuti.

. Kelelahan dan rasa sakit memiliki pengaruh berbeda terhadap pola tidur mereka. Rasa
sakit akan menyebabkan mereka sulit tidur malam namun kelelahan menyebabkan mereka
tidur lebih cepat di malam hari. Pada pagi hari mereka harus rela menghabiskan beberapa
waktu untuk duduk di atas tempat tidur terlebih dahulu sebelum beraktivitas akibat dari
rasa lelah yang muncul.

Mereka mengaku status lajang yang mereka bukan disebabkan oleh SLE yang diderita.
Mereka masih tertarik untuk melakukan hubungan dengan lawan jenis seperti berpacaran
bahkan menikah, namun terkadang justru penolakan muncul dari pihak lawan jenis yang
ragu untuk memulai hubungan. Mereka mengaku banyak hal yang perlu dipertimbangkan
bagi lawan jenis yang ingin berhubungan dengan mereka. Para pria tersebut selalu menjadi
ragu untuk melangkah ke depan setelah mengetahui wanita yang mereka dekati adalah
seorang penderita SLE.

penderita tersebut ia merasa masih bergantung pada keluarga akibat dari SLE yang diderita.
Hal ini disebabkan ia masih membutuhkan banyak bantuan dari pihak keluarga dalam
melakukan beberapa pekerjaan. Ia juga masih merasa bahwa penyakit yang ia miliki
mengakibatkan keluarga dan teman dekatnya merasa cemas atau khawatir. Terkadang
bahkan ia merasa telah membuat keluarga atau kerabat dekat tertekan dengan kondisi ini.
Semakin baik nilai yang diperoleh penderita pada aspek ini menunjukkan semakin jarang ia
merasa menjadi ketergantungan bagi keluarga ataupun kerabat terdekat mereka.
Perubahan fisik banyak dialami oleh penderita SLE, yakni perubahan pada bentuk wajah
yang membulat (moon face), penambahan berat badan, kerontokan, dan ruam pada wajah
serta tubuh (Waluyo dan Putra, 2012). Pada saat SLE kembali menyerang tubuh penderita
sebagai akibat rangsangan dari luar, maka akan muncul ruam atau bercak merah pada wajah
atau tubuh penderita SLE. Bercak merah tersebut merupakan salah satu gejala umum yang
diderita penderita SLE. Bercak kemerahan tersebut akan meninggalkan bekas kehitaman di
permukaan kulit saat kondisi tubuh telah membaik. Penurunan nilai citra diri dirasakan
penderita SLE sebagai akibat dari gejala yang berhubungan dengan kulit seperti ruam pada
wajah dan tubuh, dan alopecia serta pertambahan berat badan sebagai efek samping dari
penggunaan obat steroid (McElhone, dkk., 2010). Penderita cukup sering menghawatirkan
penambahan berat badan yang mereka alami selama pengobatan terhadap penampilan
mereka di masa depan. Mereka merasa tidak puas dengan citra diri yang mereka miliki saat
ini sehingga memperbesar nilai ketidakpuasan mereka terhadap pengobatan yang saat ini
mereka jalani (Hale, dkk., 2014). Hal yang berbeda ditemukan dalam penelitian ini,
penderita mengaku tidak terlalu memikirkan penambahan berat badan yang mereka alami
ataupun bercak kemerahan yang ada pada wajah dan tubuh mereka. Penderita SLE yang
berdomisili di Inggris menyatakan bahwa mereka telah kehilangan kemampuan mandiri
yang dimiliki sehingga harus bergantung pada orang lain untuk melakukan beberapa
pekerjaan (McElhone, dkk., 2010). Hal ini juga dinyatakan oleh penderita SLE yang
tergabung dalam sebuah penelitian kualitatif mengenai dampak kelelahan pada penderita
SLE. Mereka bahkan merasa hal tersebut memberikan tekanan tersendiri bagi keluarga dan
teman dekat mereka. Hal ini disebabkan mereka terpaksa melakukan pekerjaan lebih yakni
beberapa pekerjaan baik ringan ataupun berat seperti memasak, mengangkat atau
memindahkan barang, pekerjaan rumah yang lain seperti menyapu dan mengepel lantai,
menata ruangan. Semua hal itu sangat sulit dilakukan oleh penderita SLE sebagai akibat dari
menurunnya kesehatan fisik yang mereka miliki dan kelelahan yang sering mereka rasakan
(Sterling, dkk., 2014). Pada penelitian ini pun terdapat satu orang yang masih merasa sangat
bergantung pada orang terdekat baik keluarga ataupun teman baik.

Perubahan fisik yang dialami (pertambahan/ penurunan berat badan, moon face,
munculnya jerawat, rambut rontok, adanya rambut halus pada wajah) mengakibatkan
penurunan kepuasan pada citra diri penderita SLE. Kekhawatiran yang paling banyak
dirasakan oleh penderita adalah mengenai penampilan dan penambahan berat badan yang
mereka alami selama proses pengobatan (Hale dkk, 2014). Penderita SLE tidak hanya
mengalami perubahan fisik sebagai akibat dari SLE yang mereka derita, namun mereka juga
mengalami penurunan pada kesehatan fisik secara signifikan. Penderita SLE terpaksa
melepaskan pekerjaan yang mereka miliki karena sulitnya menyelesaikan pekerjaan dengan
kondisi kesehatan fisik yang mereka miliki (McElhone, dkk., 2010).

Anda mungkin juga menyukai