OLEH:
KELOMPOK V
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS FARMASI
KENDARI
2017
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmannirrohiym...
Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah swt, karena atas
limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis masih diberikan
kesehatan dan kekuatan untuk membuat dan menyelesaikan makalah
farmakoterapi lanjut yang berjudul “PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF
KRONIK”. Tidak lupa pula penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang telah mendukung penulis, sehingga makalah ini dapat
terselesaikan dengan tepat pada waktunya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa
masih banyak kekurangan dalam makalah ini olehnya itu saran dan kritik yang
membangun tetap penulis nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tingkat kesejahteraan di Indonesia berubah, sehingga pola penyakit saat
ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya
penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke
penyakit tidak menular (noncommunicable disease).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu dari
kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan
dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu semakin
banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta
pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat
kerja
Data WHO tahun 2001 menunjukkan angka mortalitas PPOK adalah 4,8%
dan menduduki urutan keempat penyebab kematian di dunia. Di Indonesia,
PPOK adalah salah satu dari 10 penyebab kematian utama. Estimasi prevalensi
PPOK di 28 negara adalah 7,6%.3 Estimasi prevalensi PPOK di Indonesia pada
laki-laki umur > 30 tahun sebesar 1,6% dan perempuan 0,9%.Penyakit Paru
Obstruksi Kronik (PPOK) juga termasuk urutan ke sepuluh sebagai penyakit
yang menjadi beban dunia.
Prevalensi PPOK meningkat dengan meningkatnya usia. Prevalensi ini
juga lebih tinggi pada pria dari pada wanita. Kemudian prevalensi PPOK lebih
tinggi pada negara-negara dimana merokok merupakan gaya hidup, yang
menunjukan bahwa rokok merupakan faktor resiko yang utama.
Dua gangguan yang terjadi pada ppok adalah bronkitis kronis dan
emfisema. Bronkitis kronis kronis adalah kondisi dimana terjadi sekresi mukus
berlebihan kedalam cabang bronkus yang bersifat kronis dan kambuhan,
disertai batuk yang terjadi pada hampir setiap harinya yang terjadi dalam 3
bulan setiap tahunnya.
B. RUMUSAN MASLAH
a. Apa yang dimksud dengan PPOK ?
b. Bagaimanakah cara pengobatan pada penyakit PPOK ?
c. Obat-obat apa sajakah yang digunakan pada penyakit PPOK ?
C. TUJUAN
a. Untuk mengetahui apa itu PPOK.
b. Untuk mengetahui cara pengobatan asama.
c. Untuk mengetahui obat-obata apa sajakah yang digunakan pada penyakit
PPOK.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFENISI
The Global Initiative for ChronicObstructive Lung Disease (GOLD)
guidelines mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan
gangguan pernafasan yang irreversibel, progresif, dan berkaitan dengan respon
inflamasi yang abnormal pada paru akibat inhalasi partikel-partikel udara atau
gas-gas yang berbahaya (Prodyanatasari, 2015).
PPOK adalah penyakit dengan karakteristik keterbatasan saluran napas
yang tidak sepenuhnya reversible dan dapat dicegah. Keterbatasan saluran
napas tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi
dikarenakan bahan yang merugikan atau gas. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) bukan penyakit tunggal tetapi merupakan istilah umum yang
digunakan untuk menggambarkan penyakit paru kronisyang menyebabkan
keterbatasan dalam aliran udara paru. Istilah lebih umum bronkitis kronis dan
emfisema tidak lagi digunakan, tetapi sekarang termasuk dalam diagnosis
PPOK (Naser dkk, 2016)
Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit
paru kronis ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel. Hambatan aliran udara ini biasanya progresif dan berhubungan
dengan respon inflamasi abnormal pada jaringan paru terhadap paparan
partikel atau gas berbahaya. Hal ini berkaitan dengan variasi kombinasi dari
kelainan saluran napas dan parenkim.Adanya gejala sesak napas, berkurangnya
kapasitas kerja dan kekambuhan yang sering berulang menyebabkan
menurunnya kualitas hidup penderit (Taringan, 2015).
B. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika, kasus kunjungan pasienPPOK di instalasi gawat
daruratmencapai angka 1,5 juta. 726.000 memerlukan perawatan di rumahsakit
dan 119.000 meninggal selamatahun 2000.Sebagai penyebabkematian, PPOK
mendudukiperingkat ke empat setelah penyakitjantung, kanker dan penyakti
serebrovascular. Dimana angkakesakitannya meningkat denganbertambahnya
usia dan lebih besarterjadi pada pria daripada wanita,kematian akibat PPOK
sangat rendahpada pasien dibawah usia 45 tahundan meningkat dengan
bertambahnyausia.
Penderita penyakit ini semakinbanyak dan menjadi salah satupenyebab
utama kematian Kejadiankesakitan dan kematian yangdisebabkan PPOK
berbeda padasetiap kelompok atau negara, hal initergantung banyaknya
jumlahperokok, polusi dari industri danasap kenderaan yang menjadi
faktorresiko dari PPOK. WHOmemperkirakan pada tahun 2020prevalensi
PPOK akan terusmeningkat dari peringkat ke-6menjadi peringkat ke-3 di dunia
dandari peringkat ke-6 menjadiperingkat ke-3 penyebab kematiantersering. Di
seluruh dunia terdapat 3juta kematian akibat PPOK setiaptahunnya.
Data The Asia Pacific COPDRoundtable Group pada 2006menunjukkan
jumlah penderitaPPOK mencapai 56,6 juta denganprevalensi 6 persen.
Indonesia beradadiurutan ketiga penderita PPOKterbesar di dunia dengan 4,8
persenpenderita, setelah Cina (38 juta) danJepang (5 juta).
Jumlahnyadiperkirakan meningkat akibatbanyaknya jumlah perokok.Sebab,90
persen penderita PPOK adalahperokok atau mantan perokok.PPOKadalah salah
satu penyakit yangmakin meningkat dari tahun ketahun, serta tengah bersaing
denganhipertensi, jantung, stroke, diabetesmelitus, asma, penyakit sendi,
dankanker.
Di Indonesia berdasarkan padaSurvei Kesehatan Rumah Tangga(SKRT)
1986, PPOK mendudukiperingkat ke-5 sebagai penyebabkesakitan terbanyak
dari 10penyebab kesakitan utama.SKRTDepkes RI 1992 menunjukkan
angkakematian karena PPOK mendudukiperingkat ke-6 dari 10
penyebabtersering kematian di Indonesia
Di Indonesia tidak ditemukan dataakurat tentang kekerapan PPOK.Pada
tahun 1997 penderita PPOKyang rawat inap di Rumah SakitPersahabatan
sebanyak 124 orang,sedangkan rawat jalan 1.837 orang.Di Rumah Sakit Dr.
MoewardiSurakarta tahun 2003 ditemukanpenderita PPOK rawat inap
sebanyak444 orang dan rawat jalan 2.368orang, dan data yang di dapat
diRSUP Sanglah Denpasar pada tahun2006 berjumlah 284 orang, tahun2007
berjumlah 287.
Di Sumatera Utara khususnyaRumah Sakit Grand Medistra LubukPakam
di dapatkan data berdasarkanhasil rekam medik di dapat penderitaPPOK. Pada
tahun 2009 terdapatpenderita PPOK sebanyak 56 orang,5 diantaranya
meninggal dunia,sedangkan pada tahun 2010 terdapat43 orang, 6 di antaranya
meninggaldunia, dan pada tahun 2011ditemukan 49 oramg, 3
diantaranyameninggal dunia.
Di Sulawesi Tenggara Khususnya di Rumah Sakit Bahteramas Kendari
pada tahun 2014-2016 di peroleh data prevalensi pasie penderita PPOK yang
masukyaitu, pada tahun 2014 penderita rawat inap 120 orang, rawat jalam 74
orang, pada tahun 2015 penderita rawat inap 95 orang, rawat jalan 81 orang,
dan pada tahun 2016 pasien rawat inap berjumlah 107, dan rawat jaln 190
orang.
C. FAKTOR RESIKO
Ada bebebrapa resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan
menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host.
a) Faktor lingkkungan
1. Rokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan
resiko 30 kali lebih besar pada perokok dibandingan yang bukan
perokok dan merupakan penyebab dari 85 sampai 90% kasus PPOK.
Kemudian kurang lebih 15 sampai 20% perokok akan mengalami
PPOK. Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang
dihisap, umur mula merokok, dan status merokok yang treakhir saat
PPOK berkembang. Namun tidak semua penderita PPOK adalah
perokok. Kurang lebih 10% orang yang tidak merokok mungkin
menderita PPOK. PPOK pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap
rokok) juga berisisiko menderita PPOK.
2. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batubara, industri gelas dan
keramik yang terpapar debu dan silika atau pekerja yang terpapar debu
katun dan gandum, tolueane diisiosianat mempunya resiko yang lebih
besar daripada yang bekerja daripada ditempat lain yang diatas
3. Polusi udara
Polusi udara mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk
karna adanya gejala polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah
maupun dari dalam rumah. Dari luar yaitu asap kendaraan bermotor dll,
kemudian yang dari dalam rumah yaitu asap dapur.
4. Infeksi
Kolonisasi bakteri pada saluran pernapasan secara kronis
merupakan suatu pemicu inflamsi neutrofilik pada saluran napas,
terlepas dari paparan rokok adanya kolonisasi bakteri menyebabkan
peningkatan inflamasi yang dapa diukur dari peningkatan sputum,
peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan fungsi paru sehingga
ini akan meningkatan resiko kejadian PPOK.
b) Faktor host atau pasien
1. Usia.
Semakin bertambah usia maka semakin besar menderita PPOK.
Pada pasien yang didiagnosa pada PPOK sebelum usia 40 tahun,
kemungkinan besar dia menderita gangguan genetik berupa defisiensi
al-antitripsin, namun kejadian ini hanya dialami kurang lebih 1% PPOK.
2. Jenis Kelamin
Laki-laki berisiko menderita PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait
kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecenderungan prefelensi
PPOK pada wanita karna meningkatnya jumlah wanita yang merokok.
D. PATOGENESIS
Saluran penghantarudara yang membawa udara ke dalam paruadalah
hidung, faring, laring, trakea,bronkus, bronkiolus2. Saluran pernapasan
darihidung sampai bronkiolus dilapisi olehmembran mukosa bersilia. Ketika
masukrongga hidung, udara disaring, dihangatkandan dilembabkan. Ketiga
proses inimerupakan fungsi utama dari mukosarespirasi yang terdiri dari epitel
thorakbertingkat, bersilia dan bersel goblet.Permukaan epitel diliputi oleh
lapisan akanmenyuplai panas ke udara inspirasi2. Jadiudara inspirasi telah
disesuaikan sedemikanrupa sehingga udara yang mencapai faringsudah bebas
debu, bersuhu mendekati suhutubuh dan kelembabnya mencapai 100%.
Patofisiologi dari PPOK adalahbahwa hambatan aliran udara napas
kronikdihasilkan oleh suatu respon inflamasiabnormal dari partikel dan gas
yang terhirupmasuk ke saluran napas, dimana reaksiinflamasi yang abnormal
ini dapat jugadideteksi pada sirkulasi sistemik1. Banyakpenelitian menemukan
bahwa responinflamasi paru terhadap pajanan gas atau asaprokok ditandai
dengan peningkatan jumlahneutrofil, makrofag dan limfosit T yangdidominasi
oleh CD8+, peningkatankonsentrasi sitokin proinflamasi sepertileukotrien B4,
IL-8 dan TNF-α dan buktibahwa stress oksidatif disebabkan olehinhalasi asap
rokok atau yang diaktifkan olehsel inflamasi. Peningkatan jumlah limfosit
Tyang didomisasi oleh CD8+ tidak hanyaditemukan pada jaringan paru tetapi
juga padakelenjar.
Makrofag yang diaktifkan asap rokokdan zat iritan lainnya akan
melepaskannetrofil, IL8 dan TNFα yang kembalimenstimulasi makrofag dan
netrofilmengeluarkan zat-zat protease seperti netrofilelastase, capthesin dan
Matriks MetaloProtease (MMP) yang merusak dindingalveoli, jaringan
penunjang pada parenkhimparu dan juga menstimuli terjadinyahipersekresi
mucus. Asap rokok ini juga mengaktifkan sel epitel di saluran pernapasanuntuk
mengaktifkan T limfosit khususnyaCD8 yang dapat langsung
membuatkerusakan pada dinding alveoli dan jugadengan mengeluarkan
berbagai macammediator inflamasi, salah satunya TNFα. Selepitel yang
terpapar asap rokok akanmenyebabkan pembentukan fibroblasmeningkat
sehingga menyebabkan terjadinyafibrosis. Fibroblas akan diaktifasi
olehGrowth Factor yang dilepaskan olehmakrofag dan sel epitel. Enzim-enzim
inipada kondisi normal akan diatasi olehprotease inhibitor, termasuk alpha
1antitripsin, SLPI dan Tissue Inhibitor MetaloProtease (TIMP)2,10.
Karakteristik PPOKadalah peradangan kronik mulai dari salurannapas,
parenkim paru sampai strukturvaskular pulmoner. Diberbagai bagian
parudijumpai peningkatan makrofag, limfosit T(terutama CD8) dan netrofil.
Sel-sel radangyang teraktivasi akan mengeluarkan berbagaimediator seperti
leukotrien B4, IL8, TNF danlain-lain yang mampu merusak struktur parudan
atau mempertahankan inflamasinetrofilik. Selain proses inflamasi terdapat
2proses lain yang diduga berperan dalampatogenesis PPOK yaitu
keseimbanganproteinase–antiproteinase dan keseimbanganbeban oksidan dan
antioksidan.
Perubahan patologis yang khas dariPPOK dijumpai di saluran napas
besar,saluran napas kecil, parenkim paru danvaskular pulmoner. Sel inflamasi
menginfiltrasi permukaan epitel saluran napassentral, mengakibatkan
perubahan epitelmenjadi squamous metaplasia. Terjadipembesaran kelenjar
mucus dan peningkatansel goblet. Perubahan tersebut mengakibatkanterjadi
hipersekresi mucus. Perubahan padasaluran napas kecil akibat
inflamasimenyebabkan airway remodelling sehinggamenyempitkan lumen
saluran napas yangnonreversibel.
Gejala ini mungkin terjadi beberapa ahun sebelum kemudia sesak napas
menjadi semakin nyata yang membuat pasien mencari bantuan medik.
G. KLASIFIKASI PPOK
Menurut GOLD 2010, PPOK digolongkan menjadi 4 tingkatan
berdasarkan keparahannya yaitu I, II, III, dan IV (lihat tabel 7-1). Untuk
memastikan tingkat obstruksi dan reversibilitas obstruksi, sebelumnya
dilakukan uji dengan spirometri. Test sebaiknya dilakukan pada saat pasien
dalam kondisi stabil dan bebas infeksi. Pasien tidak boleh menggunakan
bronkodilator aksi pendek dalam waktu 6 jam sebelum test atau teofilin lepas
lambat 24 jam sebelum test dilakukan. FEV1 harus diukur sebelum pemberian
inhalasi bronkodilator (misalnya dengan 400 µg β-agonis atau 80 µg
antikolinergik, atau kombinasi keduanya). FEV1 diukur lagi 30-45 menit
setelah pemberian bronkodilator. Peningkatan FEV1 lebih besar dari 200 ml
atau 12% dianggap signifikan. Tabel 7-1 menunjukkan klarifikasi keparahan
PPOK berdasarkan hasil spirometrinya.
Tabel 7-1, Tingkat keparahan PPOK berdasarkan nilai FEV1 dan gejala
menurut GOLD 2010.
Tingkat Nilai FEV1 dan gejala
I FEV1/FVC < 70%, FEV1 >80% dan
Ringan umumnya, tapi tidak selalu, ada gejala
batuk kronis dan produksi sputum. Pada
tahap ini, pasien biasanya bahkan belum
merasa bahwa paru-parunya bermasalah.
II FEV1 /FVC < 70 %, 50% < FEV1 < 80%,
Sedang gejala biasanya mulai
progresif/memburuk, dengan nafas
pendek-pendek.
III FEV1/FVC < 70%, 30% < FEV1 < 50%.
Berat Terjadi eksasorbasi berulang yang mulai
mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Pada tahap ini pasien mulai mencari
pengobatan karena mulai dirasakan sesak
nafas atau serangan penaykit.
IV FEV1/FVC < 70%, FEV1< 30% atau <
Sangat berat 50% plus kegagalan respirasi kronis.
Pasien bisa digolongkan masuk tahap IV
jika walaupun FEV1> 30%, tapi pasien
mengalami kegagalan pernafasan atau
gagal jantung kanan atau cor pulmunale.
Pada tahap ini, kualitas hidup sangat
terganggu dan serangan mungkin
mengancam jiwa.
BAB III
PENATALAKSANAAN TERAPI
A. GUIDELINE TERAPI
Menurut GOLD 2010, penatalaksanaan PPOK terdiri dari 4 komponen
utama yaitu (1) pemantauan dan assesmant penyakit, (2) pengurangan faktor
resiko, (3) penatalaksanaan PPOK stabil, dan (4) penatalaksanaan eksaserbasi
akut PPOK. Komponen 1 dan2 dalam buku ini dikelompokkan pada terapi non-
farmakologi, sedangkan komponen 3 dan 4 digolongkan dalam terapi
farmakologi.
B. TUJUAN TERAPI
Terapi PPOK dapat dibedakan menjadi terapi untuk pemeliharaan pada
PPOK yang stabil dan pada eksaserbasi akut. Tujuan terapi PPOK pada PPOK
stabil adalah memperbaiki keadaan obstruksikronik, mencegah dan mengatasi
eksaserbasi akut, menurunkan percepatan perkembangan penyakit,
meningkatkan keadaan fisik dan psikologis pasien, sehingga pasien dapat
melaksanakan kegiatan sehari-hari, menurunkan jumlah hari tinggal di rumah
sakit, dan menurunkan jmlah kematian. Terapai pada eksaserbasi akut adalah
untuk memelihara fungsi pernapasan dan memperpanjang survival.
C. STRATEGI TERAPI
1. Terapi non-farmakologi
Penatalaksanaan terapi PPOK secara non farmakologi diawali dengan
assesment dan pemantauan penyakit pasien. Assesment yang perlu
dilakukan antara lain
a. Bagaimana paparan terhadap faktor resiko, termasuk intensitas dan
durasinya.
b. Seperti apa riwayat kesehatannya, meliputi penyakit asma, alergi,
sinusitis, polip hidung, infeksi saluran napas, atau penyakit paru lainnya.
c. Apakah ada riwayat keluarga PPOK dan penyakit paru kronis lainnya
d. Seperti apa pola perkembangan gejalanya.
e. Seperti apa penyakit penyerta seperti penyakit jantung atau reumatik,
yang mungkin mempengaruhi aktivitasnya
f. Seperti apa riwayat eksaserbasi atauperawatan RS sebelumnya
g. Dan lain-lain.
Terapi pada PPOKterdiri dari terapi untuk PPOK yang stabil, dan
terapu untuk eksaserbasi akut.
c. Penatalaksanaan di rumah
b. Bronkodilator
Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan
dengan peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila
digunkan dengan cara yang tepat, nebuliser dapat digunakan agar
bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan
nebuliser yang memakai oksigen sebagai kompressor, karena
penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat
menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin diberikan bersama-
sama dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek
memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit,
bronkodilator diberikan secara intravena dan nebuliser, dengan
pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya
palpitasi sebagai efek samping bronkodilator.
c. Kortikosteroid tidak selalu diberikan tergantung derajat berat
eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan
prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat
diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak
memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak
menimbulkan efek samping.
Penatalaksanaan Menurut Derajat PPOK
DERAJAT KARAKTERISTIK REKOMENDASI PENGOBATAN
Semua Hindari faktor pencetus
derajat Vaksinasi influenza
Derajat I VEP1 / KVP < 70 % a. Bronkodilator kerja singkat (SABA,
(PPOK VEP1 80% Prediksi antikolinergik kerja pendek) bila perlu
Ringan) b. Pemberian antikolinergik kerja lama
sebagai terapi pemeliharaan
Derajat II VEP1 / KVP < 70 % 1. Pengobatan reguler Kortikosteroid
(PPOK 50% VEP1 80% dengan bronkodilator: inhalasi bila uji
sedang) a.
Prediksi dengan atau Antikolinergik kerja steroid positif
tanpa gejala lama sebagai terapi
pemeliharaan
b. LABA
c. Simptomatik
2. Rehabilitasi
Derajat III VEP1 / KVP < 70%;
1. Pengobatan reguler Kortikosteroid
(PPOK 30% VEP1 50% dengan 1 atau lebih inhalasi bila uji
Berat) prediksi bronkodilator: steroid positif
Dengan atau a.
tanpa Antikolinergik kerja atau
gejala lama sebagai terapi eksaserbasi
pemeliharaan berulang
b. LABA
c. Simptomatik
2. Rehabilitasi
Derajat IV VEP1 / KVP < 70%;
1. Pengobatan reguler dengan 1 atau
(PPOK VEP1 < 30% prediksi lebih bronkodilator:
sangat berat) atau gagal nafas atau
a. Antikolinergik kerja lama sebagai
gagal jantung kanan terapi pemeliharaan
b. LABA
c. Pengobatan komplikasi
d. Kortikosteroid inhalasi bila
memberikan respons klinis atau
eksaserbasi berulang
2. Rehabilitasi
3. Terapi oksigen jangka panjang bila gagal
nafaspertimbangkan terapi bedah
D. OBAT-OBAT YANG DIGUNAKA
Tabel 1. Obat-Obat yang Biasa Digunakan untuk Terapi PPOK (GOLD, 2009)
Obat Inhaler (µg) Larutan Oral Vial Durasi
Nebulizer injeksi (jam)
(mg/ml) (mg)
Adrenergik (β2-agonis)
Fenoterol 100-200 (MDI) 1 0,5% (sirup) 4-6
Salbutamol 100, 200 MDI&DPI 5 5mg (pil), 0,1 ; 0,5 4-6
0,24% (sirup)
Terbutaline 400,500 (DPI) 2,5 ; 5 (pil) 0,2; 4-6
0,25
Formoterol 4,5-12 MDI&DPI 12+
Salmeterol 25-50 MDI&DPI 12+
Antikolinergik
Ipatropium bromide 20,40(MDI) 0,25-0,5 6-8
DATA PASIEN
Nama : LA HUMPE
Umur : 79 tahun
Kerja : Wiraswasta
RIWAYAT SINGKAT
Sesak
Cepat lelah
KONDISI TIBA
Suhu : 39 oc
Tensi : 140/90
Nadi : 88
PPOK
DM tipe 2
Ht. St.1
CATATAN DOKTER
- Anamnesis
Sesak napas dipengaruhi oleh akifitas dan posisi
Batuk-batuk
Nyeri dada
- Kondisi Fisik
J. Aminofilin 1g
J. Ceftriaksone 1g
Ambrokxol 3x1
Dosis : oral 100-300 mg, 3-4 kali sehari sdsudah makan; injeksi
24 mg/ml
- Ceftriakson
Efek sampig : diare dan kolitis yang disebabkan oleh antibiotik (keduany
a karena penggunaan dosis tinggi), mual dan muntah, rasa
tidak enak pada saluran cerna, sakit kepala, reaksi alergi
berupa ruam, pruritus, urtikaria, serum sickness-like
reactions dengan ruam, demam dan artralgia, anafilaksis,
sindroma stevens-johnson, nekrolisis epidermal toksis,
gangguan fungsi hati, hepatitis transien dan kolestatik
jaundice; eosinofil, gangguan darah (trombositopenia,
leukopenia, agranulositosis, anemia aplastik, anemia
hemolitik); nefritis interstisial reversibel, gangguan tidur,
hiperaktivitas, bingung, hipertonia dan pusing, nervous.
Dosis : pemberian secara injeksi intramuskular dalam, bolus
intravena atau infus. 1 g/hari dalam dosis tunggal. Pada
infeksi berat: 2-4 g/hari dosis tunggal. Dosis lebih dari 1 g
diberikan pada dua tempat atau lebih. Anak di atas 6
minggu: 20-50 mg/kg bb/ hari, dapat naik sampai 80 mg/kg
bb/hari. Diberikan dalam dosis tunggal. Bila lebih dari 50
mg/kg bb, hanya diberikan secara infus intravena. Gonore
tanpa komplikasi: 250 mg dosis tunggal. Profilaksis bedah:
1 g dosis tunggal. Profilaksis bedah kolorektal: 2 g.
- Kaptopril
Indikasi : hipertensi ringan sampai sedang (sendiri atau dengan
terapi tiazid) dan hipertensi berat yang resisten terhadap
pengobatan lain; gagal jantung kongestif (tambahan);
setelah infark miokard; nefropati diabetik (mikroalbuminuri
lebih dari 30 mg/hari) pada diabetes tergantung insulin.
Kontra indikasi : hipersensitif terhadap penghambat ace (termasuk
angiodema); penyakit renovaskuler (pasti atau dugaan);
stenosis aortik atau obstruksi keluarnya darah dari jantung;
kehamilan
Efek samping : hipotensi; pusing, sakit kepala, letih, astenia, mual
(terkadang muntah), diare, (terkadang konstipasi), kram
otot, batuk kering yang persisten, gangguan kerongkongan,
perubahan suara, perubahan pencecap (mungkin disertai
dengan turunnya berat badan), stomatitis, dispepsia, nyeri
perut; gangguan ginjal; hiperkalemia; angiodema, urtikaria,
ruam kulit (termasuk eritema multiforme dan nekrolisis
epidermal toksik), dan reaksi hipersensitivitas (lihat
keterangan di bawah untuk kompleks gejala), gangguan
darah (termasuk trombositopenia, neutropenia,
agranulositosis, dan anemia aplastik); gejala-gejala saluran
nafas atas, hiponatremia, takikardia, palpitasi, aritmia,
infark miokard, dan strok (mungkin akibat hipotensi yang
berat), nyeri punggung, muka merah, sakit kuning
(hepatoseluler atau kolestatik), pankreatitis, gangguan tidur,
gelisah, perubahan suasana hati, parestesia, impotensi,
onikolisis, alopesia.
Dosis : hipertensi, digunakan sendiri, awalnya 12,5 mg 2 kali
sehari; jika digunakan bersama diuretika (lihat keterangan),
atau pada usia lanjut; awalnya 6,25 mg 2 kali sehari (dosis
pertama sebelum tidur); dosis penunjang lazim 25 mg 2 kali
sehari; maksimal 50 mg 2 kali sehari (jarang 3 kali sehari
pada hipertensi berat).
- Ambroksol
Indikasi : sebagai sekretolitik pada gangguan saluran nafas akut dan
kronis khususnya pada eksaserbasi bronkitis kronis dan
bronkitis asmatik dan asma bronkia
Interaksi : pemberian bersamaan dengan antibiotik (amoksisilin
sefuroksim, eritromisin, doksisiklin) menyebabkan
peningkatan penerimaan antibiotik kedalam jaringan paru-
paru
Kontra indikasi : hipersensitif terhadap ambroksol.
Efek saming : reaksi intoleran setelah pemberian ambroksol pernah
dilaporkan tetapi jarang; efek samping yang ringan pada
saluran saluran cerna pernah dilaporkan pada beberapa
pasien; reaksi alergi (jarang); reaksi alergi yang ditemukan:
reaksi pada kulit, pembengkakan wajah, dispnea, demam;
tidak diketahui efeknya terhadap kemampuan mengendarai
atau menjalankan mesin
Dosis : dewasa: kapsul lepas lambat 1 kali sehari 75 mg, sesudah
makan. Dewasa dan anak di atas 12 tahun:1 tablet (30 mg)
2-3 kali sehari; anak 6-12 tahun: 1/2 tablet 2-3 kali sehari.
Sirup tetes (drops): 15 mg/ml drops (1 ml= 20 tetes): anak
s/d 2 tahun: 0,5 ml (10 tetes) 2 kali sehari; ambroksol drops
dapat dicampur bersama dengan sari buah, susu atau
air.sirup 15 mg/5 ml (1 sendok takar = 5 ml): anak usia 6-
12 tahun: 2-3 kali sehari 1 sendok takar; 2-6 tahun: 3 kali
sehari 1/2 sendok takar; di bawah 2 tahun: 2 kali sehari
1
/2 sendok takar.
- Novomix
Indikasi : diabetes militus.
Peringatan : penggunaan anak jika manfaat mrip insulin soluble
Efek samping : udema sementara, reaksi lokal dan hipertrofi lemak pada
daerah injkesi, jarang terjadi reaksi hipersensitifitas
termasuk urtikaria, rua, kelebihan dosis menyebabkan
hioglikemia.
Dosis : - dengan injeksi subkutan, segera sebelum makan atau jika
diperlukan secepatnya setelah makan, sesuai kebutuhan.
- dengan infus subkutan, injeksi intravena atau infus
intravena, sesuai kebutuhan.