Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH FARMAKOTERAPI LANJUTAN

“PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK”

OLEH:

KELOMPOK V

LA ODE MUH. HIDAYAT HAOFU O1A1 14 020


ASWAN SUDIMAN O1A1 14 007

FARAHAN SEPTIAN AREMA O1A1 14 073

RIA AGUS IKO F1F1 13 047

WA ODE HASNIAR O1A1 14 112

SIWI MASIGI O1A1 14 051

SUTRIANI O1A1 14 169

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2017
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmannirrohiym...

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah swt, karena atas
limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis masih diberikan
kesehatan dan kekuatan untuk membuat dan menyelesaikan makalah
farmakoterapi lanjut yang berjudul “PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF
KRONIK”. Tidak lupa pula penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang telah mendukung penulis, sehingga makalah ini dapat
terselesaikan dengan tepat pada waktunya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa
masih banyak kekurangan dalam makalah ini olehnya itu saran dan kritik yang
membangun tetap penulis nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Kendari, 22 Februari 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................................


DAFRAR ISI .......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................
A. LATAR BELAKANG ...................................................................................
B. RUMUSAN MASALAH ..............................................................................
C. TUJUAN ........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN .....................................................................................
A. DEFENISI ......................................................................................................
B. EPIDEMIOLOGI ..........................................................................................
C. FAKTOR RESIKO .......................................................................................
D. PATOGENESIS ............................................................................................
E. TANDA DAN GEJALA................................................................................
F. DIAGNOSIS PENYAKIT ............................................................................
G. KLASIFIKASI PPOK ..................................................................................
BAB III PENETALAKSANAAN TERAPI
A. GUIDE LINE TERAPI ................................................................................
B. TUJUAN TERAPI .......................................................................................
C. STRATEGI TERAPI ...................................................................................
1) TERAPI NONFARMAKOLOGI ..........................................................
2) TERAPI FARMAKOLOGI ...................................................................
D. OBAT-OBAT YANG DIGUNAKAN .........................................................
BAB IV MONITORING DAN EVALUASI HASIL TERAPI…....................
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tingkat kesejahteraan di Indonesia berubah, sehingga pola penyakit saat
ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya
penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke
penyakit tidak menular (noncommunicable disease).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu dari
kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan
dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu semakin
banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta
pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat
kerja
Data WHO tahun 2001 menunjukkan angka mortalitas PPOK adalah 4,8%
dan menduduki urutan keempat penyebab kematian di dunia. Di Indonesia,
PPOK adalah salah satu dari 10 penyebab kematian utama. Estimasi prevalensi
PPOK di 28 negara adalah 7,6%.3 Estimasi prevalensi PPOK di Indonesia pada
laki-laki umur > 30 tahun sebesar 1,6% dan perempuan 0,9%.Penyakit Paru
Obstruksi Kronik (PPOK) juga termasuk urutan ke sepuluh sebagai penyakit
yang menjadi beban dunia.
Prevalensi PPOK meningkat dengan meningkatnya usia. Prevalensi ini
juga lebih tinggi pada pria dari pada wanita. Kemudian prevalensi PPOK lebih
tinggi pada negara-negara dimana merokok merupakan gaya hidup, yang
menunjukan bahwa rokok merupakan faktor resiko yang utama.
Dua gangguan yang terjadi pada ppok adalah bronkitis kronis dan
emfisema. Bronkitis kronis kronis adalah kondisi dimana terjadi sekresi mukus
berlebihan kedalam cabang bronkus yang bersifat kronis dan kambuhan,
disertai batuk yang terjadi pada hampir setiap harinya yang terjadi dalam 3
bulan setiap tahunnya.
B. RUMUSAN MASLAH
a. Apa yang dimksud dengan PPOK ?
b. Bagaimanakah cara pengobatan pada penyakit PPOK ?
c. Obat-obat apa sajakah yang digunakan pada penyakit PPOK ?
C. TUJUAN
a. Untuk mengetahui apa itu PPOK.
b. Untuk mengetahui cara pengobatan asama.
c. Untuk mengetahui obat-obata apa sajakah yang digunakan pada penyakit
PPOK.
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFENISI
The Global Initiative for ChronicObstructive Lung Disease (GOLD)
guidelines mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan
gangguan pernafasan yang irreversibel, progresif, dan berkaitan dengan respon
inflamasi yang abnormal pada paru akibat inhalasi partikel-partikel udara atau
gas-gas yang berbahaya (Prodyanatasari, 2015).
PPOK adalah penyakit dengan karakteristik keterbatasan saluran napas
yang tidak sepenuhnya reversible dan dapat dicegah. Keterbatasan saluran
napas tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi
dikarenakan bahan yang merugikan atau gas. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) bukan penyakit tunggal tetapi merupakan istilah umum yang
digunakan untuk menggambarkan penyakit paru kronisyang menyebabkan
keterbatasan dalam aliran udara paru. Istilah lebih umum bronkitis kronis dan
emfisema tidak lagi digunakan, tetapi sekarang termasuk dalam diagnosis
PPOK (Naser dkk, 2016)
Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit
paru kronis ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel. Hambatan aliran udara ini biasanya progresif dan berhubungan
dengan respon inflamasi abnormal pada jaringan paru terhadap paparan
partikel atau gas berbahaya. Hal ini berkaitan dengan variasi kombinasi dari
kelainan saluran napas dan parenkim.Adanya gejala sesak napas, berkurangnya
kapasitas kerja dan kekambuhan yang sering berulang menyebabkan
menurunnya kualitas hidup penderit (Taringan, 2015).

B. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika, kasus kunjungan pasienPPOK di instalasi gawat
daruratmencapai angka 1,5 juta. 726.000 memerlukan perawatan di rumahsakit
dan 119.000 meninggal selamatahun 2000.Sebagai penyebabkematian, PPOK
mendudukiperingkat ke empat setelah penyakitjantung, kanker dan penyakti
serebrovascular. Dimana angkakesakitannya meningkat denganbertambahnya
usia dan lebih besarterjadi pada pria daripada wanita,kematian akibat PPOK
sangat rendahpada pasien dibawah usia 45 tahundan meningkat dengan
bertambahnyausia.
Penderita penyakit ini semakinbanyak dan menjadi salah satupenyebab
utama kematian Kejadiankesakitan dan kematian yangdisebabkan PPOK
berbeda padasetiap kelompok atau negara, hal initergantung banyaknya
jumlahperokok, polusi dari industri danasap kenderaan yang menjadi
faktorresiko dari PPOK. WHOmemperkirakan pada tahun 2020prevalensi
PPOK akan terusmeningkat dari peringkat ke-6menjadi peringkat ke-3 di dunia
dandari peringkat ke-6 menjadiperingkat ke-3 penyebab kematiantersering. Di
seluruh dunia terdapat 3juta kematian akibat PPOK setiaptahunnya.
Data The Asia Pacific COPDRoundtable Group pada 2006menunjukkan
jumlah penderitaPPOK mencapai 56,6 juta denganprevalensi 6 persen.
Indonesia beradadiurutan ketiga penderita PPOKterbesar di dunia dengan 4,8
persenpenderita, setelah Cina (38 juta) danJepang (5 juta).
Jumlahnyadiperkirakan meningkat akibatbanyaknya jumlah perokok.Sebab,90
persen penderita PPOK adalahperokok atau mantan perokok.PPOKadalah salah
satu penyakit yangmakin meningkat dari tahun ketahun, serta tengah bersaing
denganhipertensi, jantung, stroke, diabetesmelitus, asma, penyakit sendi,
dankanker.
Di Indonesia berdasarkan padaSurvei Kesehatan Rumah Tangga(SKRT)
1986, PPOK mendudukiperingkat ke-5 sebagai penyebabkesakitan terbanyak
dari 10penyebab kesakitan utama.SKRTDepkes RI 1992 menunjukkan
angkakematian karena PPOK mendudukiperingkat ke-6 dari 10
penyebabtersering kematian di Indonesia
Di Indonesia tidak ditemukan dataakurat tentang kekerapan PPOK.Pada
tahun 1997 penderita PPOKyang rawat inap di Rumah SakitPersahabatan
sebanyak 124 orang,sedangkan rawat jalan 1.837 orang.Di Rumah Sakit Dr.
MoewardiSurakarta tahun 2003 ditemukanpenderita PPOK rawat inap
sebanyak444 orang dan rawat jalan 2.368orang, dan data yang di dapat
diRSUP Sanglah Denpasar pada tahun2006 berjumlah 284 orang, tahun2007
berjumlah 287.
Di Sumatera Utara khususnyaRumah Sakit Grand Medistra LubukPakam
di dapatkan data berdasarkanhasil rekam medik di dapat penderitaPPOK. Pada
tahun 2009 terdapatpenderita PPOK sebanyak 56 orang,5 diantaranya
meninggal dunia,sedangkan pada tahun 2010 terdapat43 orang, 6 di antaranya
meninggaldunia, dan pada tahun 2011ditemukan 49 oramg, 3
diantaranyameninggal dunia.
Di Sulawesi Tenggara Khususnya di Rumah Sakit Bahteramas Kendari
pada tahun 2014-2016 di peroleh data prevalensi pasie penderita PPOK yang
masukyaitu, pada tahun 2014 penderita rawat inap 120 orang, rawat jalam 74
orang, pada tahun 2015 penderita rawat inap 95 orang, rawat jalan 81 orang,
dan pada tahun 2016 pasien rawat inap berjumlah 107, dan rawat jaln 190
orang.

C. FAKTOR RESIKO
Ada bebebrapa resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan
menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host.
a) Faktor lingkkungan
1. Rokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan
resiko 30 kali lebih besar pada perokok dibandingan yang bukan
perokok dan merupakan penyebab dari 85 sampai 90% kasus PPOK.
Kemudian kurang lebih 15 sampai 20% perokok akan mengalami
PPOK. Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang
dihisap, umur mula merokok, dan status merokok yang treakhir saat
PPOK berkembang. Namun tidak semua penderita PPOK adalah
perokok. Kurang lebih 10% orang yang tidak merokok mungkin
menderita PPOK. PPOK pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap
rokok) juga berisisiko menderita PPOK.
2. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batubara, industri gelas dan
keramik yang terpapar debu dan silika atau pekerja yang terpapar debu
katun dan gandum, tolueane diisiosianat mempunya resiko yang lebih
besar daripada yang bekerja daripada ditempat lain yang diatas
3. Polusi udara
Polusi udara mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk
karna adanya gejala polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah
maupun dari dalam rumah. Dari luar yaitu asap kendaraan bermotor dll,
kemudian yang dari dalam rumah yaitu asap dapur.
4. Infeksi
Kolonisasi bakteri pada saluran pernapasan secara kronis
merupakan suatu pemicu inflamsi neutrofilik pada saluran napas,
terlepas dari paparan rokok adanya kolonisasi bakteri menyebabkan
peningkatan inflamasi yang dapa diukur dari peningkatan sputum,
peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan fungsi paru sehingga
ini akan meningkatan resiko kejadian PPOK.
b) Faktor host atau pasien
1. Usia.
Semakin bertambah usia maka semakin besar menderita PPOK.
Pada pasien yang didiagnosa pada PPOK sebelum usia 40 tahun,
kemungkinan besar dia menderita gangguan genetik berupa defisiensi
al-antitripsin, namun kejadian ini hanya dialami kurang lebih 1% PPOK.
2. Jenis Kelamin
Laki-laki berisiko menderita PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait
kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecenderungan prefelensi
PPOK pada wanita karna meningkatnya jumlah wanita yang merokok.

3. Adanya Gangguan Fungsi Paru Yang Terjadi


Adanya gangguan fungsi paru_paru merupakan faktor resiko terjadinya
PPOK misalnya defisiensi imunoglobin A (IgA/hypogammaglobulin)
atau infeksi pada masa kanak-kanak seperti TBC dan brokioktasis.
Individu fungsi paru-paru mengalami penurunan fungsi paru lebih besar
seiring berjalannya waktu daripada yang fungsi parunya normal
sehingga lebih berisiko berkembangnya PPOK. Termasuk didalamnya
orang yang pertumbuhannya parunya tidak normal karna lahir dengan
berat badan rendah, ia memiliki resiko mengalami PPOK.
4. Predisposisigenetik, Defisiensi Alpa 1 Antitripsin (AAT)
Defisiensi AAT terutama berkaitan dengan kejadian enfisema,
yang berkaitan dengan hilangnya elastisitas jaringan didalam paru-paru
secara progresif karna adanya ketidakseimbangan enzim proteolitik dan
faktor protektif. Makrofag dan neutrofil melepaskan enzim lisosomal
yaitu elastase yang dapat merusak jaringan diparu. Pada keaadan normal
faktor protektif AAT menghambat enzim protalitik sehingga mencegah
kerusakan. Karena itu, kekurangan AAT menyebabkan berkurangnya
faktor proteksi pada kerusakan paru.
AAT diproduksi oleh gen inhibitor protease (N). Satu dari 500
orang adalah homozigot untuk gen resesif (Z). Yang menyebabakan
kadar AAT dalam darah rendah dan berakibat enfisema yang timbul
lebih cepat. Orang yang hetero zigot mempunyai gen (MZ) juga
beresiko menderita emfisema yang makin meningkat kemungkinanya
dengan merokok karena asap rokok juga dapat menginaktivasi AAT.
Wanita kemungkunanmemperoleh perlindungan dari estogen yang akan
menstimulasi sintesis inhibitor protease seperti AAT. Karenanya, faktor
risiko pada wanita lebih rendah dari pada pria.

D. PATOGENESIS
Saluran penghantarudara yang membawa udara ke dalam paruadalah
hidung, faring, laring, trakea,bronkus, bronkiolus2. Saluran pernapasan
darihidung sampai bronkiolus dilapisi olehmembran mukosa bersilia. Ketika
masukrongga hidung, udara disaring, dihangatkandan dilembabkan. Ketiga
proses inimerupakan fungsi utama dari mukosarespirasi yang terdiri dari epitel
thorakbertingkat, bersilia dan bersel goblet.Permukaan epitel diliputi oleh
lapisan akanmenyuplai panas ke udara inspirasi2. Jadiudara inspirasi telah
disesuaikan sedemikanrupa sehingga udara yang mencapai faringsudah bebas
debu, bersuhu mendekati suhutubuh dan kelembabnya mencapai 100%.
Patofisiologi dari PPOK adalahbahwa hambatan aliran udara napas
kronikdihasilkan oleh suatu respon inflamasiabnormal dari partikel dan gas
yang terhirupmasuk ke saluran napas, dimana reaksiinflamasi yang abnormal
ini dapat jugadideteksi pada sirkulasi sistemik1. Banyakpenelitian menemukan
bahwa responinflamasi paru terhadap pajanan gas atau asaprokok ditandai
dengan peningkatan jumlahneutrofil, makrofag dan limfosit T yangdidominasi
oleh CD8+, peningkatankonsentrasi sitokin proinflamasi sepertileukotrien B4,
IL-8 dan TNF-α dan buktibahwa stress oksidatif disebabkan olehinhalasi asap
rokok atau yang diaktifkan olehsel inflamasi. Peningkatan jumlah limfosit
Tyang didomisasi oleh CD8+ tidak hanyaditemukan pada jaringan paru tetapi
juga padakelenjar.
Makrofag yang diaktifkan asap rokokdan zat iritan lainnya akan
melepaskannetrofil, IL8 dan TNFα yang kembalimenstimulasi makrofag dan
netrofilmengeluarkan zat-zat protease seperti netrofilelastase, capthesin dan
Matriks MetaloProtease (MMP) yang merusak dindingalveoli, jaringan
penunjang pada parenkhimparu dan juga menstimuli terjadinyahipersekresi
mucus. Asap rokok ini juga mengaktifkan sel epitel di saluran pernapasanuntuk
mengaktifkan T limfosit khususnyaCD8 yang dapat langsung
membuatkerusakan pada dinding alveoli dan jugadengan mengeluarkan
berbagai macammediator inflamasi, salah satunya TNFα. Selepitel yang
terpapar asap rokok akanmenyebabkan pembentukan fibroblasmeningkat
sehingga menyebabkan terjadinyafibrosis. Fibroblas akan diaktifasi
olehGrowth Factor yang dilepaskan olehmakrofag dan sel epitel. Enzim-enzim
inipada kondisi normal akan diatasi olehprotease inhibitor, termasuk alpha
1antitripsin, SLPI dan Tissue Inhibitor MetaloProtease (TIMP)2,10.
Karakteristik PPOKadalah peradangan kronik mulai dari salurannapas,
parenkim paru sampai strukturvaskular pulmoner. Diberbagai bagian
parudijumpai peningkatan makrofag, limfosit T(terutama CD8) dan netrofil.
Sel-sel radangyang teraktivasi akan mengeluarkan berbagaimediator seperti
leukotrien B4, IL8, TNF danlain-lain yang mampu merusak struktur parudan
atau mempertahankan inflamasinetrofilik. Selain proses inflamasi terdapat
2proses lain yang diduga berperan dalampatogenesis PPOK yaitu
keseimbanganproteinase–antiproteinase dan keseimbanganbeban oksidan dan
antioksidan.
Perubahan patologis yang khas dariPPOK dijumpai di saluran napas
besar,saluran napas kecil, parenkim paru danvaskular pulmoner. Sel inflamasi
menginfiltrasi permukaan epitel saluran napassentral, mengakibatkan
perubahan epitelmenjadi squamous metaplasia. Terjadipembesaran kelenjar
mucus dan peningkatansel goblet. Perubahan tersebut mengakibatkanterjadi
hipersekresi mucus. Perubahan padasaluran napas kecil akibat
inflamasimenyebabkan airway remodelling sehinggamenyempitkan lumen
saluran napas yangnonreversibel.

KONSEP PATOGENESIS PPOK

Gambar.1. Konsep patogenesis PPOK.

E. TANDA DAN GEJALA


Diagnosa PPOK ditegaskan berdasarkan adanya gejala-gejala meliputi
batuk, produksi sputum, dispnea, dan riwayat paparan suatu faktor resiko.
Selain itu adanya obstruksi saluran pernapasa juga harus dikonfirmasi dengan
spirometri. Indikator kunci untuk mempertimbangkan diagnosis PPOK adalah
sebagai berikut :
1. Batuk kronis : terjadi berselang setiap hari, dan sering terjadi sepanjang
hari (tidak seperti asama yang terdapat gejala batuk malam ahri).
2. Produksi sputumsecara kronis : semua pola produksi sputum dapat
mengindikasikan adanya PPOK.
3. Bronkitis akut : terjadi secara berulang
4. Sesak napas : bersifat progresif sepanjang waktu, setiap hari, memburuk
jika berolahraga, dan memburuk jika terkena infeksi pernapasan.
5. Riwayat paparan terhadap faktor resiko : merokok, partikel dan senawa
kimia, asap dapur.

Gejala ini mungkin terjadi beberapa ahun sebelum kemudia sesak napas
menjadi semakin nyata yang membuat pasien mencari bantuan medik.

Sedangkan gejala pada eksaserbasi akut adalah :

1. Peningkatan volume sputum


2. Perburukan pernapasan secara akut
3. Dada terasa berat
4. Peningkatan purulensi sputum.
5. Peningkatan kebutuhan bronkodilator
6. Lelah, lesu
7. Penurunan toleransi terhadap gerakan fisik (cepat lelah, terengah-engah).

Pada gejala berat, dapat terjadi :

1. Cyanosis, terjadi kegagalan respirasi


2. Gagal jantung dan oedema perifer
3. Plethoric complexion, yaitu pasien menunjukan gejala wajah yang
memerah yag disebabkan polycythemia (erytrocytosis,jumlah
eryhtrosityang meningkat), hal ini merupakan respon fisiologis normal
karena kapasitas pengankutan O2 yang berlebih.
F. DIAGNOSIS
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan
tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan
1. Gejala
Gejala yang paling sering terjadi pada pasien PPOK adalah sesak
napas. Sesak napas juga biasanya menjadi keluhan utama pada pasien
PPOK karena terganggunya aktivitas fisik akibat gejala ini. Sesak napas
biasanya menjadi komplain ketika FEV1 <60% prediksi.15 Pasien biasanya
mendefinisikan sesak napas sebagai peningkatan usaha untuk bernapas,
rasa berat saat bernapas, gasping, dan air hunger. Batuk bisa muncul secara
hilang timbul, tapi biasanya batuk kronis adalah gejala awal perkembangan
PPOK. Gejala ini juga biasanya merupakan gejala klinis yang pertama kali
disadari oleh pasien. Batuk kronis pada PPOK bisa juga muncul tanpa
adanya dahak. Faktor risiko PPOK berupa merokok, genetik, paparan
terhadap partikel berbahaya, usia, asmjta/ hiperreaktivitas bronkus, status
sosioekonomi, dan infeksi
2. Riwayat penyakit
Pada penderita PPOK baru diketahui atau dipikirkan sebagai PPOK, maka
riwayat penyakit yang perlu diperhatikan diantaranya:
a) Faktor risiko terpaparnya pasien seperti rokok dan paparan lingkungan
ataupun pekerjaan.
b) Riwayat penyakit sebelumnya termasuk asma bronchial, alergi,
sinusitis, polip nasal, infeksi saluran nafas saat masa anak-anak, dan
penyakit respirasi lainnya.
c) Riwayat keluarga PPOK atau penyakit respirasi lainnya.
d) Riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah sakit untuk penyakit
respirasi.
e) Ada penyakit dasar seperti penyakit jantung, osteoporosis, penyakit
musculoskeletal, dan keganasan yang mungkin memberikan kontribusi
pembatasan aktivitas.
f) Pengaruh penyakit pada kehidupan pasien termasuk pembatasan
aktivitas, pengaruh pekerjaan atau ekonomi yang salah.
g) Berbagai dukungan keluarga dan sosial ekonomi pada pasien.
h) Kemungkinan mengurangi faktor risiko terutama menghentikan
merokok
3. Pemeriksaan Fisik
Pada awal perkembangannya, pasien PPOK tidak menunjukkan
kelainan saat dilakukan pemeriksaan fisik. Pada pasien PPOK berat
biasanya didapatkan bunyi mengi dan ekspirasi yang memanjang pada
pemeriksaan fisik. Tanda hiperinflasi seperti barrel chest juga mungkin
ditemukan.19 Sianosis, kontraksi otot-otot aksesori pernapasan, dan pursed
lips breathing biasa muncul pada pasien dengan PPOK sedang sampai
berat. Tanda-tanda penyakit kronis seperti muscle wasting, kehilangan berat
badan, berkurangnya jaringan lemak merupakan tanda-tanda saat
progresifitas PPOK. Clubbing finger bukan tanda yang khas pada PPOK,
namun jika ditemukan tanda ini maka klinisi harus memastikan dengan
pasti apa penyababnya.1
Spirometri merupakan pemeriksaan penunjang definitif untuk
diagnosis PPOK seperti yang sudah dijelaskan, dimana hasil rasio
pengukuran FEV1/ FVC < 0,7.19 Selain spirometri, bisa juga dilakukan
Analisis Gas Darah untuk mengetahui kadar pH dalam darah, radiografi
bisa dilakukan untuk membantu menentukan diagnosis PPOK, dan
Computed Tomography (CT) Scan dilakukan untuk melihat adanya
emfisema pada alveoli. Beberapa studi juga menyebutkan bahwa
kekurangan α-1 antitripsin dapat diperiksa pada pasien PPOK maupun
asma.
4. Spirometri
Klasifikasi PPOK berdasarkan hasil pengukuran FEV1 dan FVC
dengan spirometri setelah pemberian bronkodilator dibagi menjadi GOLD
1, 2, 3, dan 4. Pengukuran spirometri harus memenuhi kapasitas udara yang
dikeluarkan secara paksa dari titik inspirasi maksimal (Forced Vital
Capacity (FVC), kapasitas udara yang dikeluarkan pada detik pertama
(Forced Expiratory Volume in one second (FEV1)), dan rasio kedua
pengukuran tersebut (FEV1/FVC).1 Pada tabel 1 diperlihatkan klasifikasi
tingkat keparahan keterbatasan aliran udara pada pasien PPOK.
Tabel 1. Klasifkasi tngkat keparahan GOLD berdasarkan hasil
pengukuran spirometri

Pada pasien dengan FEV1/FVC < 0,7

GOLD 1 RINGAN FEV1 ≥ 80% prediksi

GOLD 2 SEDANG 50% ≤ FEV1< 80%


prediksi
GOLD 3 BERAT 30% ≤ FEV1< 50%
prediks
GOLD 4 SANGAT BERAT FEV1< 30% prediksi

G. KLASIFIKASI PPOK
Menurut GOLD 2010, PPOK digolongkan menjadi 4 tingkatan
berdasarkan keparahannya yaitu I, II, III, dan IV (lihat tabel 7-1). Untuk
memastikan tingkat obstruksi dan reversibilitas obstruksi, sebelumnya
dilakukan uji dengan spirometri. Test sebaiknya dilakukan pada saat pasien
dalam kondisi stabil dan bebas infeksi. Pasien tidak boleh menggunakan
bronkodilator aksi pendek dalam waktu 6 jam sebelum test atau teofilin lepas
lambat 24 jam sebelum test dilakukan. FEV1 harus diukur sebelum pemberian
inhalasi bronkodilator (misalnya dengan 400 µg β-agonis atau 80 µg
antikolinergik, atau kombinasi keduanya). FEV1 diukur lagi 30-45 menit
setelah pemberian bronkodilator. Peningkatan FEV1 lebih besar dari 200 ml
atau 12% dianggap signifikan. Tabel 7-1 menunjukkan klarifikasi keparahan
PPOK berdasarkan hasil spirometrinya.

Tabel 7-1, Tingkat keparahan PPOK berdasarkan nilai FEV1 dan gejala
menurut GOLD 2010.
Tingkat Nilai FEV1 dan gejala
I FEV1/FVC < 70%, FEV1 >80% dan
Ringan umumnya, tapi tidak selalu, ada gejala
batuk kronis dan produksi sputum. Pada
tahap ini, pasien biasanya bahkan belum
merasa bahwa paru-parunya bermasalah.
II FEV1 /FVC < 70 %, 50% < FEV1 < 80%,
Sedang gejala biasanya mulai
progresif/memburuk, dengan nafas
pendek-pendek.
III FEV1/FVC < 70%, 30% < FEV1 < 50%.
Berat Terjadi eksasorbasi berulang yang mulai
mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Pada tahap ini pasien mulai mencari
pengobatan karena mulai dirasakan sesak
nafas atau serangan penaykit.
IV FEV1/FVC < 70%, FEV1< 30% atau <
Sangat berat 50% plus kegagalan respirasi kronis.
Pasien bisa digolongkan masuk tahap IV
jika walaupun FEV1> 30%, tapi pasien
mengalami kegagalan pernafasan atau
gagal jantung kanan atau cor pulmunale.
Pada tahap ini, kualitas hidup sangat
terganggu dan serangan mungkin
mengancam jiwa.
BAB III
PENATALAKSANAAN TERAPI
A. GUIDELINE TERAPI
Menurut GOLD 2010, penatalaksanaan PPOK terdiri dari 4 komponen
utama yaitu (1) pemantauan dan assesmant penyakit, (2) pengurangan faktor
resiko, (3) penatalaksanaan PPOK stabil, dan (4) penatalaksanaan eksaserbasi
akut PPOK. Komponen 1 dan2 dalam buku ini dikelompokkan pada terapi non-
farmakologi, sedangkan komponen 3 dan 4 digolongkan dalam terapi
farmakologi.

B. TUJUAN TERAPI
Terapi PPOK dapat dibedakan menjadi terapi untuk pemeliharaan pada
PPOK yang stabil dan pada eksaserbasi akut. Tujuan terapi PPOK pada PPOK
stabil adalah memperbaiki keadaan obstruksikronik, mencegah dan mengatasi
eksaserbasi akut, menurunkan percepatan perkembangan penyakit,
meningkatkan keadaan fisik dan psikologis pasien, sehingga pasien dapat
melaksanakan kegiatan sehari-hari, menurunkan jumlah hari tinggal di rumah
sakit, dan menurunkan jmlah kematian. Terapai pada eksaserbasi akut adalah
untuk memelihara fungsi pernapasan dan memperpanjang survival.

C. STRATEGI TERAPI
1. Terapi non-farmakologi
Penatalaksanaan terapi PPOK secara non farmakologi diawali dengan
assesment dan pemantauan penyakit pasien. Assesment yang perlu
dilakukan antara lain
a. Bagaimana paparan terhadap faktor resiko, termasuk intensitas dan
durasinya.
b. Seperti apa riwayat kesehatannya, meliputi penyakit asma, alergi,
sinusitis, polip hidung, infeksi saluran napas, atau penyakit paru lainnya.
c. Apakah ada riwayat keluarga PPOK dan penyakit paru kronis lainnya
d. Seperti apa pola perkembangan gejalanya.
e. Seperti apa penyakit penyerta seperti penyakit jantung atau reumatik,
yang mungkin mempengaruhi aktivitasnya
f. Seperti apa riwayat eksaserbasi atauperawatan RS sebelumnya
g. Dan lain-lain.

Diagnosa klinis terhadap PPOK perlu dipertimbangkan jika pasien


mengalami sesak napas, batuk kronis atau terjadi produksi sputum
dengan riwayat paparan terhadap faktor resiko. Dignosa sebaiknya
ditegakan dengan pengukuran spirometri untuk mengukur fungsi
pernapasan. Nilai FEV1 /FVC < 70% dan pasca bronkodilator FEV1<80%
menunjukan adanya gangguan pernapasan yang tidak reversibel, yang
merupakan karakteristik PPOK. Penilaia terhadap keparahan PPOK harus
didasarka kepada tingkat gejala pasien, keparahan abnormalitas, hasil uji
spirometri, dan adanya komplikasi.

Pemantauan dan assesment terhadao gejala PPOK perlu dilakukan


baik pada PPOK baru terdiagnosis, amupun PPOK yang sudah lama.
Karena PPOK merupakan penyakit yang progresif, maka pemantauan
hars selalu dilakukan trusmenerus terhadap perkembangan gejala maupun
kemungkinan adanya komplikasi.

Berikutnya termasuk dalam komponen kedua adalah mengurangi faktor


resiko. Penghentian merokok merupakan tahap pertama ang penting
untuk memperlambat perburukan tes fungsi paru, menurunkn gejala dan
meningkatkan kulaitas hidup. Selain itu penghindaran polusi udara dan
menjaga kebersihan untuk mencegah infeksi.

Penatalaksanaan lainyaadalah dengan rehabilitasi paru-paru secara


komerhensif termasuk fisioterapi, latihan pernapasan, latihan relaksasi,
perkusi dada dan drainase postural. Perlu iberika hidrasi secukupnya dan
nutrisi yang tepat, yaotu diet kaya protein dan mencegah makan makanan
berat menjelang tidur. Usu dapat menyebabkan sekeri bronku meningkat
sebaiknya dicegah.
2. Terapi Farmakologi
Karena PPOK adalah penyakit yang progresif, maka prinsip umum
terapiPPOK adalah sebagai berikut
a. Pengobatan kecenderungan akan makin banyak karena status penyakit
umumnya akan memburuk.
b. Terapi secara reguler harus slalu dijaga pada tingkat yang asam, kecuali
ada efek samping signifikan yang terjadi, atau keparahan penyakit
meningkat.
c. Setiap pasien mungkin berespon secara induvidual terhadap pengobatan
maupun dalam mengalami efek samping. Karena itu perlu dilakukan
pemantauan secara hati-hati dalam jangka waktu yang cukup untuk
memastikan bahwa terapi mencapai tujuan yang diinginkan.

Terapi pada PPOKterdiri dari terapi untuk PPOK yang stabil, dan
terapu untuk eksaserbasi akut.

1) Penatalaksanaan PPOK Stabil


a. Kriteria PPOK stabil adalah
a) Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
b) Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas
darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
c) Dahak jernih tidak berwarna
d) Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil
spirometri)
e) Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
f) Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan
b. Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil
a) Mempertahankan fungsi paru
b) Meningkatkan kualiti hidup
c) Mencegah eksaserbasi
Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi
berkala atau dirumahuntuk mempertahankan PPOK yang stabil dan
mencegah eksaserbasi

c. Penatalaksanaan di rumah

Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK


yang stabil. Beberapa hal yangharus diperhatikan selama di rumah, baik
oleh pasien sendiri maupun oleh keluarganya.Penatalaksanaan di rumah
ditujukan juga bagi penderita PPOK berat yang harus
menggunakanoksigen atau ventilasi mekanik.

Tujuan penatalaksanaan di rumah yaitu

a) Menjaga PPOK tetap stabil


b) Melaksanakan pengobatan pemeliharaan
c) Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini
d) Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan
e) Menjaga penggunaan ventilasi mekanik
f) Meningkatkan kualiti hidup

Penatalaksanaan di rumah meliputi

1) Penggunakan obat-obatan dengan tepat.Obat-obatan sesuai klasifikasi


(tabel 2). Pemilihan obat dalam bentuk dishaler, nebuhaler atau tubuhaler
karena penderita PPOK biasanya berusia lanjut, koordinasi neurologis
dan kekuatanotot sudah berkurang. Penggunaan bentuk MDI menjadi
kurang efektif. Nebuliser sebaiknyatidak digunakan secara terus menerus.
Penggunaan nebuliser di rumah sebaiknya bila timbuleksaserbasi,
penggunaan terus menerus, hanya jika timbul eksaserbasi.
2) Terapi oksigen. Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada
PPOK derajat sedang oksigen hanyadigunakan bila timbul sesak yang
disebabkan pertambahan aktiviti. Pada PPOK derajat beratyang terapi
oksigen di rumah pada waktu aktivitas atau terus menerus selama 15 jam
terutamapada waktu tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2 liter
3) Penggunaan mesin bantu napas dan pemeliharaannya. Beberapa
penderita PPOKdapat menggunakan mesin bantu napas di rumah
4) Rehabilitasi
a) Penyesuaian aktivitas
b) Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif (huff cough)
c) "Pursed-lipsbreathing"
d) Latihan ekstremiti atas dan otot bantu napas
5) Evaluasi / monitor terutama ditujukan pada
a) Tanda eksaserbasi
b) Efek samping obat
c) Kecukupan dan efek samping penggunaan oksigen
2) Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan
dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan
infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya
komplikasi.
a. Gejala eksaserbasi :
a) Sesak bertambah
b) Produksi sputum meningkat
c) Perubahan warna sputum

Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga

1. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas


2. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
3. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi
saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan
batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20%
baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline

Penyebab eksaserbasi akut


1. Primer
a. Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)
2. Sekunder
a. Pnemonia
b. Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia
c. Emboli paru
d. Pneumotoraks spontan
e. Penggunaan oksigen yang tidak tepat
f. Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat
g. Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)
h. Nutrisi buruk
i. Lingkunagn memburuk/polusi udara
j. Aspirasi berulang
k. Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)

Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk


eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang
dan berat)

Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh


penderita yang telah diedukasi dengan cara

a. Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah


bentuk bronkodilator yang digunakan dari bentuk inhaler, oral
dengan bentuk nebuliser
b. Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
c. Menambahkan mukolitik
d. Menambahkan ekspektoran

Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke


dokter.Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat
dilakukan secara rawat jalan atau rawatinap dan dilakukan di
a. Poliklinik rawat jalan.
b. Unit gawat darurat
c. Ruang rawat
d. Ruang ICU

Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi


segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila
telah menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian. Beberapa
hal yang harus diperhatikan meliputi :

1. Diagnosis beratnya eksaerbas


a. Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal
b. Kesadaran
c. Tanda vital
d. Analisis gas darah
e. Pneomonia
2. Terapi oksigen adekuat
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang
pertama dan utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan
mencegah keadaan yang mengancam jiwa. dapat dilakukan di ruang
gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Sebaiknya dipertahankan
PaO2 > 60 mmHg, evaluasi ketat hiperkapnia. gunakan sungkup
dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury masks) 24%, 28% atau
32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau nonrebreathing,
tergantung kadar PaO2 dan PaO2. Bila terapi oksigen tidak dapat
mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi
mekanik. Dalam penggunaan ventilasi mekanik usahakan dengan
Noninvasive Positive Pressure Ventilation (NIPPV), bila tidak
berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan intubasi.
3. Pemberian obat-obatan yang maksimal Obat yang diperlukan pada
eksaserbasi akut
a. Antibiotik
a) Peningkatan jumlah sputum
b) Sputum berubah menjadi purulen
c) Peningkatan sesak.

Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan


komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik
di rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk
rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya kombinasidengan
makrolide, bila ringan dapat diberikan tunggal.

b. Bronkodilator
Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan
dengan peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila
digunkan dengan cara yang tepat, nebuliser dapat digunakan agar
bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan
nebuliser yang memakai oksigen sebagai kompressor, karena
penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat
menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin diberikan bersama-
sama dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek
memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit,
bronkodilator diberikan secara intravena dan nebuliser, dengan
pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya
palpitasi sebagai efek samping bronkodilator.
c. Kortikosteroid tidak selalu diberikan tergantung derajat berat
eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan
prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat
diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak
memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak
menimbulkan efek samping.
Penatalaksanaan Menurut Derajat PPOK
DERAJAT KARAKTERISTIK REKOMENDASI PENGOBATAN
Semua Hindari faktor pencetus
derajat Vaksinasi influenza
Derajat I VEP1 / KVP < 70 % a. Bronkodilator kerja singkat (SABA,
(PPOK VEP1 80% Prediksi antikolinergik kerja pendek) bila perlu
Ringan) b. Pemberian antikolinergik kerja lama
sebagai terapi pemeliharaan
Derajat II VEP1 / KVP < 70 % 1. Pengobatan reguler Kortikosteroid
(PPOK 50%  VEP1 80% dengan bronkodilator: inhalasi bila uji
sedang) a.
Prediksi dengan atau Antikolinergik kerja steroid positif
tanpa gejala lama sebagai terapi
pemeliharaan
b. LABA
c. Simptomatik
2. Rehabilitasi
Derajat III VEP1 / KVP < 70%;
1. Pengobatan reguler Kortikosteroid
(PPOK 30%  VEP1  50% dengan 1 atau lebih inhalasi bila uji
Berat) prediksi bronkodilator: steroid positif
Dengan atau a.
tanpa Antikolinergik kerja atau
gejala lama sebagai terapi eksaserbasi
pemeliharaan berulang
b. LABA
c. Simptomatik
2. Rehabilitasi
Derajat IV VEP1 / KVP < 70%;
1. Pengobatan reguler dengan 1 atau
(PPOK VEP1 < 30% prediksi lebih bronkodilator:
sangat berat) atau gagal nafas atau
a. Antikolinergik kerja lama sebagai
gagal jantung kanan terapi pemeliharaan
b. LABA
c. Pengobatan komplikasi
d. Kortikosteroid inhalasi bila
memberikan respons klinis atau
eksaserbasi berulang
2. Rehabilitasi
3. Terapi oksigen jangka panjang bila gagal
nafaspertimbangkan terapi bedah
D. OBAT-OBAT YANG DIGUNAKA
Tabel 1. Obat-Obat yang Biasa Digunakan untuk Terapi PPOK (GOLD, 2009)
Obat Inhaler (µg) Larutan Oral Vial Durasi
Nebulizer injeksi (jam)
(mg/ml) (mg)
Adrenergik (β2-agonis)
Fenoterol 100-200 (MDI) 1 0,5% (sirup) 4-6
Salbutamol 100, 200 MDI&DPI 5 5mg (pil), 0,1 ; 0,5 4-6
0,24% (sirup)
Terbutaline 400,500 (DPI) 2,5 ; 5 (pil) 0,2; 4-6
0,25
Formoterol 4,5-12 MDI&DPI 12+
Salmeterol 25-50 MDI&DPI 12+
Antikolinergik
Ipatropium bromide 20,40(MDI) 0,25-0,5 6-8

Oxitropium bromide 100 (MDI) 1,5 7-9

Tiotropium 18(DPI) 24+


Methylxanthines
Aminophylline 200-600mg 240mg 24
(pil)
Theophylline 100-600mg 24
(pil)
Kombinasi adrenergik & antikolinergik
Fenoterol/Ipatropium 200/80 (MDI) 1,25/0,5 6-8
Salbutamol/Ipatropium 75/15 (MDI) 0,75/4,5 6-8
Inhalasi Glukortikosteroid
Beclomethasone 50-400(MDI&DPI) 0,2-0,4
Budenosid 100,200,400(DPI) 0,20, 0,25, 0,5
Futicason 50-500(MDI &DPI)
Triamcinolone 100(MDI) 40 40
Kombinasi β2 kerja panjang plus glukortikosteroid dalam satu inhaler

Formoterol/Budenoside 4,5/160; 9/320 (DPI)


50/100,250,500(DPI)
Salmoterol/Fluticasone
25/50,125,250(MDI)
Sistemik Glukortikosteroid
Prednisone 5-60 mg(Pil)
4, 8 , 16 mg
Methy-Prednisone (Pil)
Keterangan: MDI = Metered Dose Inhaler; DPI = Dose Per Inhaler
Terapi farmakologi berdasarkan keparahan penyakit
Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi PPOK stabil perlu
disesuaikan dengan keparahan penyakitnya. Pada gambar, disajikan panduan
umum terapi PPOK berdasarkan keparahan penyakitnya menurut GOLD 2010.

Obat-obat yang digunakan


1. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan pengobatan simtomatik utama pada PPOK. Obat
ini bisa digunakan sesuai kebutuhan untuk melonggarkan jalan nafas ketika terjadi
serangan, atau secara reguler untuk mencegah kekambuhan atau mengurangi
gejala. Efek samping obat bronkodilator umumnya dapat diprediksi dan
tergantung dosis. Jarang menimbulkan efek obat yang tidak dikehendaki (adverse
drug reaction), dan kalaupun terjadi umumnya segera hilang jika obat dihentikan.
Beberapa contoh bronkodilator untuk PPOK adalah sbb:
a. Antikolinergik
Digunakan sebagai terapi lini pertama untuk pasien PPOK yang stabil. Hal
ini karena persyarafan utama yang memediasi aksi bronkokonstriksi adalah saraf
kolinergik, di mana pada usia lanjut saraf adrenergik sudah mengalamai down
regulasi dan berkurangnya sensitivitas. Mekanisme utama obat golongan
antikolinergik adalah blokade pada reseptor muskarinik M3. Termasuk
golongan ini adalah ipratropium dan oksitropium (beraksi pendek), dan
tiotropium bromida (beraksi panjang). Penghambatan terhadap reseptor M3
menyebabkan penghambatan terhadap aktivasi enzim fosfolipase yang
menguraikan senyawa fosfatidil inositol difosfat menjadi inositol trifosfat dan
diasilgliserol. Berkurangnya senyawa inositol trifosfat yang beraksi memobilisasi
kalsium dari tempat penyimpanannya menyebabkan relaksasi otot polos bronkus.
b. Simpatomimetik
Obat golongan simpatomimetik yang selektif terhadap reseptor adrenergik
β-2 bersifat bronkodilator dengan menstimulasi enzim adenil siklase untuk
meningkatkan pembentukan adenosine 3’,5’ monophosphate (3’,5’-cAMP).
cAMP akan menghambat aksi myosin light chain kinase, sehingga pada gilirannya
akan mencegah terjadinya kontraksi otot polos bronkus. Golongan ini juga
mungkin meningkatkan pembersihan mukosiliar.
Efek bronkodilatasi β-agonis aksi cepat umumnya berakhir setelah 4-6 jam,
sedangkan β-agonis aksi panjang seperti salmeterol dan formoterol menunjukkan
durasi aksi sampai 12 jam atau lebih, tanpa berkurangnya efektivitas pada malam
hari atau dengan penggunaan teratur pada pasien PPOK.
c. Kombinasi antikolinergik dan simpatomimetik
Penggunaan kedua obat ini secara kombinasi terutama sering digunakan
jika perkembangan penyakitnya meningkat atau gejalanya memburuk. Kombinasi
dua golongan bronkodilator ini mungkin akan lebih efektif dibandingkan
digunakan sendiri-sendiri, selain itu juga dapat menurunkan dosis efektifnya
sehingga menurunkan potensi efek sampingnya. Kombinasi antara suatu β-agonis
aksi pendek maupun panjang dengan antikolinergik terbukti dapat meningkatkan
efek perbaikan gejala dan fungsi paru. Sebuah studi melaporkan bahwa kombinasi
tiotropium bromida dengan formoterol memberikan perbaikan fungsi paru yang
lebih baik daripada kombinasi salmeterol dengan flutikason.
d. Metilxantin
Teofilin dan aminofilin dapat menghasilkan bronkodilatasi dengan
menghambatphosphodiesterase monofosfat (sehingga meningkatkan cAMP),
menghambat masuknya ion kalsium ke dalam otot polos, antagonis prostaglandin,
stimulasi katekolamin endogen,antagonis reseptor adenosin, dan penghambatan
pelepasan mediator dari sel mast dan leukosit. Penggunaan kronis teofilin pada
PPOK menunjukkan perbaikan dalam fungsi paru termasuk kapasitas vital dan
FEV1. Secara subyektif,teofilin telah terbukti mengurangi dyspnea, meningkatkan
toleransi latihan,dan memperbaiki kendali respirasi. Efek nonpulmonary yang
mungkin menyebabkan kapasitas fungsional yang lebih baik termasuk
peningktatan fungsi jantung dan penurunan tekanan arteri pulmonalis.
2. Kortikosteroid
Secara teori, kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai
antiinflamasi dan mempunyai keuntungan pada penanganan PPOK yaitu:
mereduksi permeabilitas kapiler untuk mengurangi mukus, menghambat pelepasan
enzim proteolitik dari leukosit, dan menghambat prostaglandin.
3. Terapi Oksigen jangka panjang (long term)
Penggunaan oksigen berkesinambungan (> 15 jam sehari) dapat
meningkatkan harapan hidup bagi pasien-pasien yang mengalami kegagalan
respirasi kronis, dan memperbaiki tekanan arteri pulmonar, polisitemia
(hematokrit > 55%), mekanik paru, dan status mental.
Terapi oksigen sebaiknya diberikan pada pasien PPOK dengan tingkat
keparahan IV (sangat berat) jika:
a) PaO2 ≤ 7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 ≤ 88%, dengan atau tanpa hiperkapnia,
atau
b) PaO2 antara 55 mmHg – 60 mmHg, atau SaO2 89%, tetapi ada tanda hipertensi
pulmonar, edema perifer yang menunjukkan adanya gagal jantung kongestif, atau
polisitemia.
4. Antibiotik
Sebagian besar eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi, baik
infeksi virus atau bakteri. GOLD pada tahun 2010 merekomendasikan
penggunaan antibiotika pada pasien-pasien yang:
a) Dengan eksaserbasi akut dengan 3 tanda utama yaitu: peningkatan dyspnea
(sesak nafas), peningkatan volume sputum, dan peningkatan purulensi sputum,
atau
b) Dengan eksaserbasi akut dengan 2 tanda utama, jika peningkatan purulensi
sputum merupakan salah satunya, atau
c) Dengan eksaserbasi parah yang membutuhkan ventilasi mekanik, baik invasif
maupun non-invasif
Beberapa bakteri yang biasa menginfeksi adalah Streptococcus pneumonia,
Haemophilus parainfluenzae, dan Moraxella catarrhalis.
Tabel 2. Terapi antibiotika yang direkomendasikan untuk eksaserbasi akut PPOK
Karakteristik pasien Patogen penyebab Terapi yang
yang mungkin direkomendasikan
Eksaserbasi tanpa S pneumoniae, H. Makrolid (azitromisin,
komplikasi Influensa, H. klaritromisin), sefalosporin
< 4 eksaserbasi Paraenfluenzae, dan generasi 2 atau 3,
setahun M. catarrhalis doksisiklin
Tidak ada umumnya tidak
penyakit penyerta resisten
FEV1 > 50%
Eksaserbasi H. Influensa, M. Amoksisilin/klavulanat,
kompleks Catarrhalis, S Fluorokuinolon
Umur > 65 th, pneumoniae penghasil (levofroksasin, gatiflokasin,
4 eksaserbasi pertahun
betalaktamase, moksifloksasin),
FEV1 < 50% tapi Enterobacteraceae (K. Sefalosporin generasi 2 dan
> 35% Pneumoniae, E. coli, 3
Proteus,Enterobacter,
dll)
Eksaserbasi kompleks Seperti di atas, Fluorokuinolo
dengan risiko P. ditambah P. (levofroksasin, gatiflokasin,
aeruginosa aeruginosa moksifloksasin), terapi IV
jika perlu : sefalosporin
generasi 3 atau 4
5. Imunisasi
Vaksin influenza terbukti dapat mengurangi gangguan serius dan kematian
akibat PPOK sampai 50%. Vaksin influenza direkomendasikan bagi pasien PPOK
usia lanjut karena cukup efektif dalam mencegah eksaserbasi akut PPOK. Pasien
PPOK sebaiknya menerima satu atau dua kali vaksin pneumococcal dan vaksinasi
influenza per tahun untuk mengurangi insiden pneumonia. Bila pasien terpapar
pada influenza sebelum divaksinasi, maka dapat digunakan obat antivirus
amantadin dan rimantadin.
6. Mukolitik
Penggunaan mukolitik seperti ambroksol, karbosistein, dan gliserol
teriodinasi telah diteliti pada sejumlah studi dan menunjukkan hasil yang
kontroversial. Meskipun mungkin penggunaannya memberikan manfaat bagi
sebagian pasien, tetapi secara keseluruhan manfaatnya sangat kecil. Karena itu,
menurut GOLD 2010, penggunaannya tidak direkomendasikan berdasarkan bukti-
bukti klinis yang ada.
7. Terapi Pengganti AAT (alpha anti trypsine)
Pada pasien dengan defisiensi AAT secara herediter, selain dengan
mengurangi faktor risiko dan terapi simptomatik menggunakan bronkodilator,
dapat ditambahkan terapi penggantian AAT (AAT replacement therapy). Terapi
ini terdiri dari infus AAT secara rutin (mingguan) untuk memelihara kadar AAT
plasma di atas 10 mikromolar. Regimen dosis yang direkomendasikan adalah 60
mg/kg yang diberikan secara intravena sekali seminggu dengan kecepatan 0.08
mL/kg per menit, disesuaikan dengan toleransi pasien. Saat ini, contoh produk
yang tersedia adalah Prolastin, Aralast, dan Zemaira.
Terapi Pada Komplikasi PPOK (Cor Pulmonale)
Pada keadaaan PPOK berat (tahap IV), pasien seringkali mengalami
komplikasi akibat hipoksemia yang berkepanjangan, yaitu terjadinya
vasokonstriksi kronis pada arteri pulmonary yang menyebabkan terjadinya gagal
jantung kanan atau cor pulmonale. Selain PPOK-nya harus ditangani secara
tersendiri, cor pulmonale juga perlu mendapat penanganan agar tidak membawa
akibat fatal berupa kematian. Di bawah ini dipaparkan beberapa obat yang dapat
dipakai dalam pengatasan cor pulmonale.
a. Terapi Oksigen
Terapi oksigen sangat penting pada pasien PPOK terutama bila diberikan secara
terus-menerus. Pada komplikasi cor pulmonale, tekanan parsial oksigen (PaO2)
cenderung berada di bawah 55 mmHg dan bisa makin menurun dengan kegiatan
fisik atau selama istirahat. Terapi oksigen mengurangi vasokonstriksi paru akibat
hipoksemia, sehingga kemudian meningkatkan curah jantung, dan mengurangi
vasokonstriksi simpatis serta mengurangi hipoksemia jaringan, dan meningkatkan
perfusi ginjal.
b. Diuretik
Diuretik digunakan dalam terapi cor pulmonale, terutama jika volume pengisian
ventrikel kanan meningkat tajam, dan juga pada pengelolaan edema yang terjadi.
Obat diuretik dapat memperbaiki fungsi kedua belah ventrikel, kiri dan kanan,
tetapi diuretik dapat menghasilkan efek samping hemodinamik jika tidak
digunakan secara hati-hati.
c. Vasodilator
Obat vasodilator telah disarankan pada penatalaksanaan jangka panjang pada cor
pulmonale kronis dengan hasil sedang. Golongan penghambat kanal kalsium,
terutama nifedipin oral bentuk sustained-release dan diltiazem, dapat
mengurangu tekanan pulmonar, walaupun obat-obat ini nampaknya lebih efektif
pada hipertensi pulmonar primer daripada sekunder.
d. Glikosida jantung
Penggunaan glikosida jantung seperti digoksin pada pasien cor pulmonale masih
kontroversial, dan manfaatnya tidak sebesar seperti pada penatalaksanaan gagal
jantung kiri. Namun demikian, penelitian telah membuktikan bahwa digitalis
memiliki efek sedang pada cor pulmonale. Obat ini harus dipakai dengan hati-
hati, dan tidak boleh digunakan selama fase akut karena dapat meningkatkan
risiko terjadinya aritmia jantung.
e. Teofilin
Selain memiliki efek bronkodilatasi, teofilin dilaporkan dapat mengurangi
vasokonstriksi paru dan tekanan arteri pulmonary secara akut pada pasien PPOK
dengan cor pulmonale. Teofilin memiliki efek inotropik yang lemah, sehingga
dapat meningkatkan ejeksi ventrikel kiri dan kanan. Teofilin dosis rendah juga
dilaporkan dapat memberikan efek antiinflamasi sehingga dapat mengontrol
penyakit paru seperti PPOK.
BAB IV
MONITORING DAN EVALUASI HASIL TERAPI

Follow up rutin penting pada penatalaksanaan semua pasien


termasuk PPOK. Fungsi paru bisa diperkirakan memburuk, bahkan dengan
pengobatan terbaik. Gejala dan pengukuran objektif dari keterbatasan aliran udara
harus dimonitor untuk menentukan kapan dilakukan modifikasi terapi dan untuk
identifikasi beberapa komplikasi yang bisa timbul. Pemantauan progresifitas
penyakit dan komplikasi
•Spirometri
Penurunan fungsi paru terbaik diukur dengan spirometri, dilakukan sekurang-
kurangnya setiap 1 tahun sekali. Kuesioner seperti CAT bisa dilakukan setiap 2
atau 3 bulan.
•Gejala
Pada setiap kunjungan, tanyakan perubahan gejala dari saat kunjungan terakhir
termasuk batuk dan dahak, sesak napas, fatiq, keterbatassan aktivitas dan
gangguan tidur.
•Merokok
Pada setiap kunjungan, tanyakan status merokok terbaru dan paparan terhadap
rokok. Pemantauan farmakoterapi dan terapi medis lain Agar penyesuaian terapi
sesuai sejalan dengan berjalannya penyakit, setiap follow up harus termasuk
diskusi mengenai regimen terapi terbaru. Dosis setiap obat, kepatuhan terhadap
regimen, teknik penggunaan terapi inhalasi, efektivitas regimen terbaru dalam
mengontrol gejala dan efek samping terapi harus selalu dalam pengawasan.
Modifikasi terapi harus dianjurkan untuk menghindari polifarmasi yang tidak
diperlukan.
Pemantauan Riwayat Eksaserbasi

Evaluasi frekuensi, beratnya dan penyebab terjadinya eksaserbasi. Peningkatan


jumlah sputum, perburukan akut sesak napas dan adanya sputum purulen harus
dicatat. Penyelidikan spesifik terhadap kunjungan yang tidak terjadwal, panggilan
telepon terhadap petugas kesehatan dan penggunaan fasilitas emergensi adalah
penting. Tingkat beratnya eksaserbasi bisa diperkirakan dari peningkatan
penggunaan obat bronkhodilator atau kortikosteroid dan kebutuhan terhadap
terapi antibiotik. Perawatan di rumah sakit harus terdokumentasi, termasuk
fasilitas, lamanya perawatan, dan penggunaan ventilasi mekanik.
Pada PPOK stabil kronis, perlu dilakukan tes fungsi paru secara periodik
untuk mengetahui pengaruh perubahan terapi atau penghentian suatu terapi. Selain
itu juga perlu dipantau skor dispnea, kualitas hidup, frekuensi eksaserbasi,
termasuk jumlah masuk RS karena PPOK. Sedangkan untuk eksaserbasi akut,
perlu dilakukan evaluasi terhadap hitung leukosit, tanda vital, rontgen dada, dan
perubahan dalam frekuensi dispnea, volume sputum, dan purulensi sputum selama
terapi eksaserbasi berlangsung. Pada eksaserbasi yang lebih berat, analisa
saturasi dan gas darah harus dilakukan.
KASUS

 DATA PASIEN

Nama : LA HUMPE

Umur : 79 tahun

Kerja : Wiraswasta

 RIWAYAT SINGKAT

Sesak

Batuk berlendir (warna kuning)

Cepat lelah

 KONDISI TIBA

Suhu : 39 oc

Tensi : 140/90

Pernapasan : 28 x per menit

Nadi : 88

 PEMERIKSAAN KIMIA GLUKOSA DARAH


- Sewaktu : 344 mg/dl rujukan : 70-180 mg/dl
- Puasa :- rujukan : 70-110 mg/dl
- 2 JAM PP :- rujukan : < 140 mg/dl
-
 DIAGNOSA

PPOK

DM tipe 2
Ht. St.1

 CATATAN DOKTER
- Anamnesis
Sesak napas dipengaruhi oleh akifitas dan posisi
Batuk-batuk
Nyeri dada
- Kondisi Fisik

Bp. Br. Vesiculus

- Obat Yang Diberikan

J. Aminofilin 1g

J. Ceftriaksone 1g

Captopril 2x1 12,5 mg

Ambrokxol 3x1

J. Novomix 3x4 unit

 ANALISIS PENGGUNAAN OBAT


A. Fungsi Dan Keterangan Tiap Obat Yang Digukan
- Aminofilin

Indikasi : obstrksi saluran napas reversibel

Peringatan : penyakit jantung, hipertensi, hipertiroidisme, tukak


lambung, gangguan fungsi hati (kurangi dosis, lihat
lampiran 2), epilepsi, kehamilan (lihat lampiran 4),
menyusui (lihat lampiran 5), lansia, demam, hindari pada
porfiria

Interaksi : menimbulkan efek aditif bila digunakan bersama agonis


beta-2 dosis kecil, kombinasi kedua obat tersebut dapat
meningkatkan risiko terjadinya efek samping, termasuk
hipokalemia.

Efek samping : takikardia, palpitasi, mual dan gangguan saluran cerna


yang lain, sakit kepala, stimulasi sistem saraf pusat,
insomnia, aritmia, dan konvulsi terutama bila diberikan
melalui injeksi intravena cepat

Dosis : oral 100-300 mg, 3-4 kali sehari sdsudah makan; injeksi
24 mg/ml

- Ceftriakson

Indikasi : infeksi bakteri gram (+), dan gram (-)

Peringatan : sensitivitas terhadap antibakteri beta-laktam (hindari jika


ada riwayat hipersensitivitas), gangguan ginjal (lampiran
3), kehamilan dan menyusui (tetapi boleh digunakan),
positif palsu untuk glukosa urin (jika diuji untuk penurunan
glukosa), positif palsu pada uji coombs.

Kontra indikasi : alergi terhadap antibiotik golongan sefalosporin.


Kontraindikasi untuk bayi di bawah 6 bulan.

Efek sampig : diare dan kolitis yang disebabkan oleh antibiotik (keduany
a karena penggunaan dosis tinggi), mual dan muntah, rasa
tidak enak pada saluran cerna, sakit kepala, reaksi alergi
berupa ruam, pruritus, urtikaria, serum sickness-like
reactions dengan ruam, demam dan artralgia, anafilaksis,
sindroma stevens-johnson, nekrolisis epidermal toksis,
gangguan fungsi hati, hepatitis transien dan kolestatik
jaundice; eosinofil, gangguan darah (trombositopenia,
leukopenia, agranulositosis, anemia aplastik, anemia
hemolitik); nefritis interstisial reversibel, gangguan tidur,
hiperaktivitas, bingung, hipertonia dan pusing, nervous.
Dosis : pemberian secara injeksi intramuskular dalam, bolus
intravena atau infus. 1 g/hari dalam dosis tunggal. Pada
infeksi berat: 2-4 g/hari dosis tunggal. Dosis lebih dari 1 g
diberikan pada dua tempat atau lebih. Anak di atas 6
minggu: 20-50 mg/kg bb/ hari, dapat naik sampai 80 mg/kg
bb/hari. Diberikan dalam dosis tunggal. Bila lebih dari 50
mg/kg bb, hanya diberikan secara infus intravena. Gonore
tanpa komplikasi: 250 mg dosis tunggal. Profilaksis bedah:
1 g dosis tunggal. Profilaksis bedah kolorektal: 2 g.

- Kaptopril
Indikasi : hipertensi ringan sampai sedang (sendiri atau dengan
terapi tiazid) dan hipertensi berat yang resisten terhadap
pengobatan lain; gagal jantung kongestif (tambahan);
setelah infark miokard; nefropati diabetik (mikroalbuminuri
lebih dari 30 mg/hari) pada diabetes tergantung insulin.
Kontra indikasi : hipersensitif terhadap penghambat ace (termasuk
angiodema); penyakit renovaskuler (pasti atau dugaan);
stenosis aortik atau obstruksi keluarnya darah dari jantung;
kehamilan
Efek samping : hipotensi; pusing, sakit kepala, letih, astenia, mual
(terkadang muntah), diare, (terkadang konstipasi), kram
otot, batuk kering yang persisten, gangguan kerongkongan,
perubahan suara, perubahan pencecap (mungkin disertai
dengan turunnya berat badan), stomatitis, dispepsia, nyeri
perut; gangguan ginjal; hiperkalemia; angiodema, urtikaria,
ruam kulit (termasuk eritema multiforme dan nekrolisis
epidermal toksik), dan reaksi hipersensitivitas (lihat
keterangan di bawah untuk kompleks gejala), gangguan
darah (termasuk trombositopenia, neutropenia,
agranulositosis, dan anemia aplastik); gejala-gejala saluran
nafas atas, hiponatremia, takikardia, palpitasi, aritmia,
infark miokard, dan strok (mungkin akibat hipotensi yang
berat), nyeri punggung, muka merah, sakit kuning
(hepatoseluler atau kolestatik), pankreatitis, gangguan tidur,
gelisah, perubahan suasana hati, parestesia, impotensi,
onikolisis, alopesia.
Dosis : hipertensi, digunakan sendiri, awalnya 12,5 mg 2 kali
sehari; jika digunakan bersama diuretika (lihat keterangan),
atau pada usia lanjut; awalnya 6,25 mg 2 kali sehari (dosis
pertama sebelum tidur); dosis penunjang lazim 25 mg 2 kali
sehari; maksimal 50 mg 2 kali sehari (jarang 3 kali sehari
pada hipertensi berat).

- Ambroksol
Indikasi : sebagai sekretolitik pada gangguan saluran nafas akut dan
kronis khususnya pada eksaserbasi bronkitis kronis dan
bronkitis asmatik dan asma bronkia
Interaksi : pemberian bersamaan dengan antibiotik (amoksisilin
sefuroksim, eritromisin, doksisiklin) menyebabkan
peningkatan penerimaan antibiotik kedalam jaringan paru-
paru
Kontra indikasi : hipersensitif terhadap ambroksol.
Efek saming : reaksi intoleran setelah pemberian ambroksol pernah
dilaporkan tetapi jarang; efek samping yang ringan pada
saluran saluran cerna pernah dilaporkan pada beberapa
pasien; reaksi alergi (jarang); reaksi alergi yang ditemukan:
reaksi pada kulit, pembengkakan wajah, dispnea, demam;
tidak diketahui efeknya terhadap kemampuan mengendarai
atau menjalankan mesin
Dosis : dewasa: kapsul lepas lambat 1 kali sehari 75 mg, sesudah
makan. Dewasa dan anak di atas 12 tahun:1 tablet (30 mg)
2-3 kali sehari; anak 6-12 tahun: 1/2 tablet 2-3 kali sehari.
Sirup tetes (drops): 15 mg/ml drops (1 ml= 20 tetes): anak
s/d 2 tahun: 0,5 ml (10 tetes) 2 kali sehari; ambroksol drops
dapat dicampur bersama dengan sari buah, susu atau
air.sirup 15 mg/5 ml (1 sendok takar = 5 ml): anak usia 6-
12 tahun: 2-3 kali sehari 1 sendok takar; 2-6 tahun: 3 kali
sehari 1/2 sendok takar; di bawah 2 tahun: 2 kali sehari
1
/2 sendok takar.
- Novomix
Indikasi : diabetes militus.
Peringatan : penggunaan anak jika manfaat mrip insulin soluble
Efek samping : udema sementara, reaksi lokal dan hipertrofi lemak pada
daerah injkesi, jarang terjadi reaksi hipersensitifitas
termasuk urtikaria, rua, kelebihan dosis menyebabkan
hioglikemia.
Dosis : - dengan injeksi subkutan, segera sebelum makan atau jika
diperlukan secepatnya setelah makan, sesuai kebutuhan.
- dengan infus subkutan, injeksi intravena atau infus
intravena, sesuai kebutuhan.

 ANALISIS PENGGUNAAN OBART


A. Rekomendasi Penggantian Obat
Aminofilin 1g => Tiotropium Bromida
- Tiotropium Bromida
Indikasi : Obstruksi paru kronik termasuk bronkitis dan emfisema
Peringatan : sebaiknya tidak digunakan untuk terapi awal pada
bronkospasme akut, penderita glaukoma sudut dekat,
hiperplasia prostat, obstruksi leher kandung kemih,
kehamilan dan menyusui.
Interaksi : antikolinergik digunakan bersamaan dalam waktu lama,
tidak direkomendasikan.
KI : hipersensitivitas terhadap atropin atau derivatnya atau
komponen penyusun produk.
Efek samping : dehidrasi, pusing, sakit kepala, insomnia, penglihatan
kabur, peningkatan tekanan intraokular, glaukoma,
takikardi, palpitasi, takikardi supraventikular, atrial
fibrilasi, bronkospasme, epistaksis, laringitis, faringitis,
sinusitis, disfonia, batuk, obstruksi intestinal, stomatitis,
gingivitis, glositis, kandidiasis orofaringeal, refluks
gastroesofagal, disfagia, konstipasi, mulutkering, mual,
karies gigi, reaksi hipersensitivitas, udema angioneurotik,
urtikaria, pruritus, kulit kering, ruam kulit, pembengkakan
sendi, retensi urin, disuria.
Dosis : dewasa (termasuk lansia), 1 kali sehari satu kapsul untuk
inhalasi (22,5 mcg tiotropium bromide setara dengan18
mcg tiotropium), tidak boleh ditelan, tidak boleh digunakan
lebih dari 1 kali sehari.
- METFORMIN
Indikasi : diabetes mellitus tipe 2, terutama untuk pasien dengan
berat badan berlebih (overweight), apabila pengaturan diet
dan olahraga saja tidak dapat mengendalikan kadar gula
darah. Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi atau
dalam kombinasi dengan obat antidiabetik lain atau insulin
(pasien dewasa), atau dengan insulin (pasien remaja dan
anak >10 tahun). Lihat juga keterangan di atas.
KI : gangguan fungsi ginjal, ketoasidosis, hentikan bila terjadi
kondisi seperti hipoksia jaringan (sepsis, kegagalan
pernafasan, baru mengalami infark miokardia, gangguan
hati), menggunakan kontras media yang mengandung iodin
(jangan menggunakan metformin sebelum fungsi ginjal
kembali normal) dan menggunakan anestesi umum
(hentikan metformin pada hari pembedahan dan mulai
kembali bila fungsi ginjal kembali normal), wanita hamil
dan menyusui.
Efek samping : anoreksia, mual, muntah, diare (umumnya sementara),
nyeri perut, rasa logam, asidosis laktat (jarang, bila terjadi
hentikan terapi), penurunan penyerapan vitamin B12,
eritema, pruritus, urtikaria dan hepatitis.
Dosis : dosis ditentukan secara individu berdasarkan manfaat dan
tolerabilitas. Dewasa & anak > 10 tahun: dosis awal 500
mg setelah sarapan untuk sekurang-kurangnya 1 minggu,
kemudian 500 mg setelah sarapan dan makan malam untuk
sekurang-kurangnya 1 minggu, kemudian 500 mg setelah
sarapan, setelah makan siang dan setelah makan malam.
Dosis maksimum 2 g sehari dalam dosis terbag.
DAFTAR PUSTAKA
Khotimah, Siti. 2013. LATIHAN ENDURANCE MENINGKATKAN
KUALITAS HIDUP LEBIH BAIK DARI PADA LATIHAN
PERNAFASAN PADA PASIEN PPOK DI BP4 YOGYAKART.
Sport and Fitness Journal
Volume 1, No. 1 : 20 – 32
Soeroto, A.Y., Suryadinata, H. 2014. Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
JURNAL Ina J Chest Crit and Emerg Med. VOL.1 (2).
Prodyanatasari, A. 2015. Optimalisasi Energi Gelombang Elektromagnetik
Melalui Terapi Infrared Pada Penderita Penyakit Paru Obstruktif
Kronik. Jurnal Wiyata, Vol. 2 (1).
Naser, F.E., Medison, I., Erly. 2016 Gambaran Derajat Merokok Pada
Penderita PPOK Di BagianParu RSUP Dr. M. Djamil. Jurnal
Kesehatan Andalas VOL. 5(2)
TARIGAN, H.N. 2015. Pengaruh Posisi Ortopnea Terhadap Penurunan Sesak
Napas Pada Pasien Asma Di Rsud Deli Serdang
Lubuk Pakam. JURNAL ILMIAH ROGRAM STUDI ILMU
KEPERAWATAN. VOL.4(3)
Perhimpunan Dokter Paru Indonesi. 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( Ppok
) Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai