Anda di halaman 1dari 21

III.

2 -Rinitis Alergi
.

BUKU ACUAN
ALERGI IMUNOLOGI

MODUL III.2
RINITIS ALERGI

EDISI II

KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER

0
III.2 -Rinitis Alergi
.

2015

1
III.2 -Rinitis Alergi
.

DAFTAR ISI

A. TUJUAN PEMBELAJARAN .........................................................................2


B. KOMPETENSI.................................................................................................3
C. REFERENSI.....................................................................................................4
D. GAMBARAN UMUM.....................................................................................4
E. MATERI BAKU...............................................................................................5

2
III.2 -Rinitis Alergi
.

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Proses, materi dan metoda pembelajaran yang telah disiapkan bertujuan


untuk alih pengetahuan dan ketrampilan serta perilaku yang terkait dengan
pencapaian kompetensi dan ketrampilan yang diperlukan dalam mengenali dan
menatalaksana penyakit Rinitis Alergi tersebut diatas, yaitu :
1. Menguasai menjelaskan patogenesis timbulnya gejala dan tanda rinitis
alergi.
2. Trampil melakukan dan menginterpretasi hasil anamnesis dan pemeriksaan
fisik penderita rhinitis alergi
3. Mampu menetapkan diagnosis klinik RA dan mengklasifikasikan RA yang
dihadapi
4. Mampu melakukan dan menginterpretasi pemeriksaan tes kulit.
5. Memutuskan pemeriksaan penunjang laboratorium yang diperlukan dan
menginterpretasi hasil nya.
6. Mampu memberikan pengobatan yang sesuai dengan guideline RA dan
kemampuan ekonomi serta pekerjaan penderita .
7. Mampu memberikan edukasi kepada penderita tentang RA.
8. Mampu menentukan indikasi IT dan melakukannya jika fasilitas tersedia

Tujuan Pembelajaran Umum


Setelah mengikuti sesi ini setiap peserta didik diharapkan mampu untuk :
1. Mengenali gejala dan tanda rhinitis alergi
2. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik penderita rhinitis alergi
3. Mengenali adanya manifestasi penyakit alergi lain seperti asma bronkhial,
urtika, alergi obat , alergi makanan dan adanya riwayat keluarga alergi.
4. Mampu menetapkan diagnosis klinik RA dan mengklasifikasikan RA yang
dihadapi
5. Memutuskan pemeriksaan penunjang /laboratorium yang diperlukan dan
6. menginterpretasi hasil pemeriksaan penunjang.
7. Mampu memutuskan pengobatan yang sesuai .
8. Mampu memberikan penyuluhan / penjelasan tentang RA.
9. Mampu mengenali komplikasi RA seperti OME, sinusitis dan polip hidung

Tujuan Pembelajaran Khusus


Setelah mengikuti sesi ini setiap peserta didik diharapkan mampu :
1. Menjelaskan patogenesis gejala dan tanda rhinitis alergi
2. Menetukan diagnosis klinik RA berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
hidung.
3. Mengklasifikan RA yang dihadapi menurut klasifikasi WHO-ARIA.

3
III.2 -Rinitis Alergi
.

4. Menjelaskan pengobatan yang harus diberikan kepada penderita dan dapat


memberikan arahan sesuai dengan penyakit dan daya beli penderita.
5. Mengenali berbagai jenis antihistamin, dekongestan hidung dan steroid,
efektifitas, dosis dan efek samping dari obat-obat tersebut
6. Menentukan indikasi, kontra indikasi untuk dilakukan tes alergi
7. Mempersiapkan penderita untuk dilakukan tes alergi/ tes kulit
8. Melakukan tes kulit dan menginterpretasikan hasilnya
9. Mengenali dan mengatasi jika terjadi komplikasi reaksi sistemik/ anafilaksi
selama tes kulit.
10. Menginterpretasi dan menjelaskan kepada penderita tentang hasil tes alergi
11. Menentukan indikasi dan kontra indikasi pemberian IT allergen spesifik pada
pend RA
12. Memilih allergen dan melakukan IT allergen spesifik pada pend RA.
13. Menentukan dosis terapi dari IT allergen spesifik pada pend RA
14. Mengenali gejala dan tanda jika terjadi reaksi sistemik selama IT dan
mengatasinya.

B. KOMPETENSI

Mampu membuat diagnosis Rinitis alergi berdasarkan anamnesis dan


pemeriksaan fisik serta dapat melakukan / menginterpretasikan hasil
pemeriksaan penunjang. Dokter dapat memutuskan terapi yang sesuai dengan
guideline penyakit dan kemampuan / situasi penderita dan dapat melakukan
edukasi yang tepat kepada penderita

Keterampilan:
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil dalam :
1. Mengenali gejala dan tanda rhinitis alergi
2. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik penderita rhinitis alergi dan
menginterpretasi hasilnya.
3. Mengenali adanya manifestasi penyakit alergi lain seperti asma bronkhial,
urtika, alergi obat, alergi makanan dari anamnesis/ pemeriksaan fisik.
4. Memutuskan pemeriksaan penunjang /laboratorium yang diperlukan dan
menginterpretasi hasil pemeriksaan
5. Menetapkan diagnosis dan mengklasifikasikan RA yang dihadapi
6. Memutuskan dan memberikan pengobatan RA yang sesuai dengan
guideline .
7. Mengevaluasi hasil pengobatan dan merencanakan tindakan selanjutnya
sesuai guideline
8. Memberikan penyuluhan / penjelasan tentang RA untuk mengurangi paparan
sehingga mencegah kekambuhan

4
III.2 -Rinitis Alergi
.

9. Mampu memutuskan kapan seorang penderita RA perlu mendapat IT dan


dapat melakukannya jika terdapat fasilitas di tempat pelayanannya.
10. Mampu mengenali adanya komplikasi Rinitis alergi pada kasus yang datang
seperti sinusitis, OME dan polip nasi.

C. REFERENSI :

1. John H Krause, Stephen J Chadwick, Bruce R Gordon, M Jennifer Derebery .


Allergy and Immunology An Otolaringic approach, Lippincott Williams &
Wilkins A Walters Kluwer Co, Philadelphia. Baltimore. New York. London
2002 part I, II, III and V.
2. Byron J Bailey . Head and Neck Surgery – Otolaryngology , Lippicontt
Williams & Wilkins A Wolter Kluwer Co. Philadhelpia 2014 p 274-290.
3. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Celluler and Moleculer Immunology
Philadelphia: WB Saunders Co; 2014.

D. GAMBARAN UMUM

Rinitis alergi ( RA) merupakan manifestasi penyakit alergi yang banyak


dijumpai di klinik THT baik pada anak maupun dewasa. Pada survey anak
sekolah usia 13 dan 14 tahun didapatkan gejala RA sebanyak 18%. Penderita
sering mengeluhkan penyakitnya sudah berlangsung bertahun-tahun. Bagi
dokter, gejala klinik RA cukup jelas sehingga mudah dikenali, meskipun
demikian untuk memastikan apakah betul suatu RA harus dilakukan anamnesis ,
pemeriksaan fisik yang teliti dan jika memungkinkan dipastikan dengan
pemeriksaan alergi baik in vitro maupun in vivo. Masalahnya penderita sering
merasa terganggu dengan gejala RA, tetapi belum mengetahui faktor
pencetusnya sehingga mereka merasa tidak dapat menghindarinya. Penderita
juga sering khawatir bila terus menerus harus minum obat. Jika sudah diketahui
pasti bahwa penyakitnya adalah RA maka dapat dilakukan edukasi kepada
penderita sehingga dapat mengurangi paparan terhadap alergen penyebab.
Dengan menguasai patofisologi RA dan mengetahui berbagai obat anti alergi
maka sebagian besar gejala RA dapat diatasi dengan pengobatan yang tepat
( aman dan terjangkau). Jika memungkinkan dapat diberikan terapi yang dapat
merubah perjalanan penyakit RA seperti pemberian imunoterapi alergen spesifik.
Jika terdapat kasus yang sudah dengan komplikasi seperti sinusitis dan polip
hidung atau asma bronkhial maka pengobatan RA bersamaan dengan
pengobatan komplikasinya, dapat mengurangi kemungkinan terulangnya terjadi
komplikasi tersebut.

5
III.2 -Rinitis Alergi
.

E. MATERI BAKU

Rinitis Alergi

Pendahuluan

Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang banyak dijumpai, tetapi


karena tidak bersifat fatal maka sementara ini belum mendapat perhatian yang
serius baik dari penderita maupun petugas kesehatan. Prevalensi rinitis alergi
terus meningkat pada dekade terakhir, dan menjadi masalah kesehatan dunia yang
harus mendapat perhatian, terutama di negara-negara berkembang. Prevalensinya
antara 10-30% dari populasi dunia atau terjadi pada lebih dari 400 juta orang di
seluruh dunia, angka kejadian rinitis alergi bervariasi di berbagai negara, di Eropa
prevalensinya sekitar 4-32% sedangkan di Amerika Serikat prevalensinya antara
3-19%. Asia Pasifik lebih dari 150 juta orang, India, Pakistan dan negara
sekitarnya lebih dari 100 juta orang, Amerika Tengah dan Selatan lebih dari 75
juta orang. Di kawasan Asia-Pasifik yaitu di negara Australia, China, Hongkong,
Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam, prevalensi rinitis alergi rerata berkisar
antara 4,2-13,2%.
Data epidemiologik secara nasional belum didapatkan di Indonesia. Angka
yang ada biasanya di dasarkan pada kejadian di Rumah sakit atau dari survey
yang tidak cukup menggambarkan kejadian di seluruh masyarakat. Pedoman ini
penatalaksanaan RA sebagian besar didasarkan pada konsep dokumen ARIA
( Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) yang disusun berdasarkan atas
inisiatif kelompok kerja WHO. Konsep semacam guidelines untuk
penatalaksanaan rinitis alergi ini disesuaikan dengan kemungkinan fasilitas yang
ada di berbagai RS di Indonesia.

1. Definisi
Rinitis alergi adalah reaksi inflamasi dari muosa hidung yang diperantai oleh
IgE yang ditandai kongesti/obstruksi hidung, rinorea, gatal hidung dan atau gatal
mata dan atau bersin.

2. Klasifikasi
Berdasarkan konsensus ARIA-WHO 2008 (Allergic Rhinitis and Its impact on
Asthma- World Health Organization), rinitis alergi diklasifikasikan menurut
adanya gangguan kualitas hidup menjadi ringan, dan sedang-berat, sedangkan
berdasar waktu dibagi menjadi intermiten dan persisten.

6
III.2 -Rinitis Alergi
.

Intermiten Persisten
Gejala: Gejala:
 < 4 hari per minggu  4 hari per minggu
 Atau < 4 minggu  Dan > 4 minggu

Ringan Sedang-Berat
Satu atau lebih gejala
 Tidur normal  Tidur terganggu
 Aktifitas sehari-hari saat olahraga  Aktifitas sehari-hari, saat olahraga
dan saat santai normal dan saat santai terganggu
 Bekerja dan sekolah normal  Saat bekerja dan sekolah terganggu
 Tidak ada keluhan yang  Ada keluhan yang mengganggu
mengganggu
Tabel 1. Klasifikasi rinitis alergi

Berdasarkan ARIA-WHO dikenal klasifikasi rinitis alergi sebagai berikut:


1. Rinitis alergi intermiten ringan
2. Rinitis alergi intermiten sedang berat
3. Rinitis alergi persisten ringan
4. Rinitis alergi persisten sedang berat

3. Diagnosis dan identifikasi alergi

3.1. Anamnesis
Anamnesis dimulai dengan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan
dengan pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung termasuk
keterangan mengenai tempat tinggal / kerja dan pekerjaan penderita.
Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah :
- Bersin (lebih dari 5 kali setiap kali serangan), rinore (ingus bening encer)
- Hidung tersumbat (menetap/ berganti-ganti), gatal di hidung, tenggorok,
langit-langit atau telinga.
- Kadang disertai : Mata gatal, berair atau kemerahan, hiposmia / anosmia,
posterior nasal drip atau batuk kronik
Frekuensi serangan, beratnya penyakit, lama sakit, intermiten atau
persisten.
Pengaruh terhadap kualitas hidup seperti adakah gangguan terhadap pekerjaan,
sekolah, tidur dan aktifitas sehari-hari.
Komorbid di organ lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis alergi
Rinosinusitis, asma bronkhial, eosinofilik otitis media, hipertrofi tonsil
adenoid, dermatitis atopik, urtikaria, alergi makanan

7
III.2 -Rinitis Alergi
.

Riwayat atopi di keluarga


Apakah ada anggota keluarga (ayah, ibu, saudara sekandung) yang pernah
menderita salah satu penyakit alergi tersebut diatas (Riwayat atopik keluarga).
Faktor pemicu timbulnya gejala rinitis alergi
Lingkungan misalnya polutan, asap rokok, udara dingin, polutan, bau kimia
seperti parfum, bau deodoran dan olah raga. Selain itu terdapat juga
hipersensitifitas dan hiperesponsif.
Riwayat pengobatan dan hasilnya
Efektifitas obat yang dipergunakan sebelumnya dan macam pengobatan yang
sudah
diterima dan kepatuhan berobat

3. 2. Pemeriksaan Fisik
- Rinoskopi anterior menggunakan cahaya yang cukup dan spekulum
hidung
Perhatikan adanya edem dari konka inferior / media yang diliputi sekret
encer bening, mukosa pucat. Keadaan anatomi hidung lainnya seperti
septum nasi. Perhatikan pula kemungkinan adanya polip nasi.
- Nasoendoskopi (bila fasilitas tersedia)
Pemeriksaan ini dapat menilai patologi hidung dan sinus paranasalis yang
tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Dapat menggunakan
endoskopi tipe rigid atau flexible. Gambaran konka inferior livid/ pucat
dan dapat juga ditemukan konka yang hipertrofi.
- Terdapat tanda khas penderita rinitis alergi:
- Allergic shinner: warna kehitaman pada orbita dan palpebral
- Nasal crease/linea nasalis: Penebalan serta timbulnya skar pada hidung
- Allergic shalutte: biasanya terdapat pada anak, hal ini karena anak
mencoba mengurangi rasa gatal di hidung.

3. 3. Pemeriksaan Penunjang
Pertimbangkan keadaan / kondisi di seluruh R.S
Tes Kulit Tusuk (Prick test)
- Intradermal skin test / Skin End Point Titration Test (bila tersedia)
- IgE serum spesifik ( mahal )
- IgE serum total (kurang bermanfaat), nilai normal dewasa 100 – 150 IU/ml
- Pemeriksaan sitologis hidung, bila diperlukan untuk :
a. Menentukan antara alergi / non alergi dan rinitis akibat infeksi
b. Menindak lanjuti respons terhadap terapi
c. Melihat sel eosinofil, basofil dan sel mast
Pemeriksaan ini lebih sering dilakukan untuk keperluan penelitian.

8
III.2 -Rinitis Alergi
.

- Test provokasi hidung/ nasal challenge test (bila tersedia), dilakukan bila ada
keraguan dan kesulitan dalam mendiagnosis rinitis alergi, dimana riwayat
rinitis alergi positif, tetapi hasil tes alergi selalu negatif.
Pemeriksaan ini bermanfaat untuk hal-hal sebagai berikut :
- Untuk mendiagnosis rinitis okupasi
- Untuk mendiagnosis rinitis alergi lokal
- Untuk penelitian.
- Foto polos sinus paranasal : bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal
- CT Scan / MRI sinus paranasal : atas indikasi, dilakukan bila :
a. Untuk menentukan adakah komplikasi seperti rinosinusitis
b. Tidak ada respons terhadap terapi
c. Direncanakan tindakan operatif

Teknik melakukan tes alergi/ tes kulit.


Persiapan tes kulit :
1. Jelaskan apa yang akan dilakukan pada penderita dan tujuannya.
2. Istirahat cukup, tidak boleh olah raga sebelum dan sesudah hari
pemeriksaan tes kulit tusuk
3. Waktu bebas obat :
- Antihsitamin minimal 2-7 hari tergantung dari macam antihistamin
- Steroid topikal kulit minimal 7 hari, steroid oral tidak mempengaruhi tes
kulit
4. Periksa tekanan darah sebelum tes alergi untuk membandingkan jika
sewaktu-waktu terjadi reaksi sistemik
5. Pastikan tidak mengalami serangan alergi berat 24 jam sebelumnya ( asma
bronkhial ).
6. Sediakan jarum suntik 1 cc dan epineprin ampul
7. Jelaskan kemungkinan timbul tanda dan gejala reaski alergi sistemik dari
ringan sampai berat selama tes alergi
8. Tanda tangan informed consent.
9. Desinfeksi daerah lokasi tes kulit ( bagian volar lengan bawah)

1. Desinfeksi bagian volar lengan bawah yang akan dilakukan tes dengan
kapas alcohol 70%.
2. Gambar kotak-kotak dengan spidol yang jumlahnya sesuai dengan jumlah
ekstrak alergen yang akan di tes, dengan jarak 2 cm.
3. tambahkan kotak untuk kontrol negatif dan kontrol positif pada setiap tes.
4. Tiap kotak diberi nomor sesuai dengan penomoran jenis ekstrak alergen,
selanjutnya kotak tersebut ditetesi dengan ekstrak alergen masing-
masing.
5. Kemudian dilakukan cukit pada masing-masing kotak dengan

9
III.2 -Rinitis Alergi
.

menggunakan jarum steril no.26 dengan sudut kemiringan ± 45° pada


epidermis.
6. Lakukan pembacaan hasil setelah 15-20 menit dengan mengukur
diameter horizontal dan vertikal dari bintul (wheal) yang terjadi.
7. Setelah itu penderita tetap dipantau selama 30 menit setelah dilakukan
prosedur untuk melihat ada tidaknya efek samping.
Pembacaan tes kulit
Dengan mengukur diameter bintul vertikal dan horizontal
a. Negatif :<3
mm
Positif :3
atau
> mm

Perhatikan selama tes kulit : kemungkinan terjadi reaksi alergi sistemik.


Gejala : Nadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun, pasien mendadak
mengeluh lemes, mual, seperti mau pingsan, penderita tampak pucat. Bila
terdapat gejala tersebut penderita lakukan tatalaksana anafilaktik. Jika
terdapat gejala tersebut : segera tidurkan penderita tanpa bantal, periksa
tensi dan nadi .Bila ada gejala shock : suntikan epineprin 0.2 cc subkutan/
intramuskular. Amati nadi, tensi dan pernapasan dalam 5 menit. Jika
belum ada perbaikan dapat ulangi epineprin setelah 10 menit diikuti
pemberian steroid im, pasang infus dan konsul spesialis anestesi.

Diferensial diagnosis
Penyakit yang perlu dibedakan dengan rinitis alergi adalah :
1. Rinitis vasomotor
2. Rinitis gustatorik
3. Rinitis Hormonal
4. Rinitis medikamentosa
5. Rinitis karena okupasi / pekerjaan
6. Rinitis akibat kelainan anatomi
7. NARES
8. Rinitis atropi

10
III.2 -Rinitis Alergi
.

4. Patogenesis Rinitis Alergi


Alergen memiliki peranan penting dalam reaksi alergi. Alergen
merupakan protein yang berasal dari partikel udara termasuk serbuk sari, tungau
debu ,partikel kotoran, residu kecoa, dan bulu binatang.
Tahap sensitisasi merupakan tahap pertamakali kontak dengan alergen.
Terjadinya reaksi alergi diawali dengan pengenalan antigen atau alergen oleh sel
makrofag, monosit atau sel dendritik, yang ketiganya berperan sebagai sel penyaji
(APC/ antigen presenting cells) yang berada di mukosa saluran nafas (antara lain
dalam mukosa hidung). Alergen yang terhirup oleh hidung, akan menempel pada
permukaan mukosa hidung. Alergen pertama kali akan ditangkap oleh sel
dendritik yang berfungsi sebagai penyaji antigen, secara bersamaan mukosa
hidung sebagai barier fisik akan mengeluarkan sitokin sebagai mekanisme
nonspesifik, yaitu IL-25, IL-33, TSLP (thymic Stromal lymphopoietin ) yang akan
mengaktifkan sel dendritik , ILC 2 ( Innate Lymphoid Cell 2) dan basofil. ILC-2
memproduksi IL-13, yang berperan dalam pematangan dan migrasi sel dendititk
ke jaringan limfoid. Basofil akan menghasilkan IL-4 yang akan mengaktifkan
TH0 menjadi TH2.
Alergen yang ditangkap oleh sel dendritik ( APC ) akan dipecah menjadi
alergenik peptida ( peptida antigen ) di dalam sel APC oleh lisosim, APC akan
membawa alergen menuju nodus limfe ,dimana dalam nodus limfe fragmen
peptida tersebut akan dipresentasikan ke permukaan sel APC lewat MHC kelas 2
sehingga dapat dikenali oleh Limfosit T naif ( T Helper 0 ) . Limfosit T naif ( T
Helper 0 ) akan berikatan dengan MHC kelas 2 lewat reseptor sel-T spesifik pada
permukaan sel T dan ligasi reseptor kostimulatori dari CD28 pada sel T dengan
kostimulator molekul CD80 dan CD86 pada APC yang akan mengaktifkan Th1
atau Th 2. Respon basofil menghasilkan sitokin IL-4 mengakibatkan aktifasi Th2.
Aktifasi Th 2 meghasilkan sirokin IL 4 dan IL 13. Sinyal IL 4 dan IL 13 dapat
diikat pada reseptor permukanan limfosit B , sehingga limfosit B menjadi aktif
dan menghasilkan IgE dengan menginduksi e-germline gen transkripsi. Sinyal
kedua adalah interaksi kostimulator antara ligan CD40 pada permukaan sel T
dengan CD40 pada permukaan limfosit B, sinyal ini dapat merstimulus limfosit B
menghasilkan IgE. IgE yang dihasilkan akan berikatan dengan FCR pada
permukaan mastosit dan basofil yang mengakibatkan degranulasi dari mastosit
dan basofil sehinga dilepaskannya mediator inflamasi.
Fase cepat merupakan reaksi alergi yang terjadi beberapa menit setelah
kontak dengan alergen sampai 1 jam setelah kontak dengan alergen. Alergen akan
berikatan dengan IgE spesifik , IgE tersebut akan berikatan dengan reseptor pada
permukaan sel mast dan basofil mengakibatkan degranulasi mast sel dan basofil
mengeluarkan mediator seperti histamin, tyrptase, cyctein leukotriene ( LTC4,
LTD 4, LTE 4 ) dan prostaglandin.
Pada Fase lambat terjadi 4-6 jam setelah terpapar dengan alergen sampai 18-24
jam . Pada fase lambat ditandai dengan aktifasi dan masuknya berbagai sel
11
III.2 -Rinitis Alergi
.

inflamasi di mukosa hidung yaitu limfosit T, eosinofil, basofil , netrofil dan


monosit . Setelah terpapar alergen, mastosit banyak ditemukan di epitel , limfosit
T banyak ditemukan pada jaringan, eosinofil dan netrofil paling banyak
ditemukan dalam sekresi di mukosa hidung.
Mediator yang dilepaskan saat reaksi fase lambat adalah leukotrien,
kinin, histamin, sitokin dan kemokin yaitu IL-4, IL-13 . Sitokin IL-4 dan IL-13
dapat mengaktifkan vaskular adhesi sel molekul 1 (VCAM-1) pada sel endotel
sehingga limfosit dan basofil yang berada dalam pembuluh darah dapat
bermigrasi ke mukosa hidung. Influk sel inflamasi selain aktivasi VCAM-1 dapat
disebabkan oleh kemokin yang dilepaskan oleh epitel seperti RANTES, eotaksin,
MCP-4 dsn TARC , yang berfungsi sebagai kemoatractan yang dapat menarik
eosinofil, basofil dan limfosit T menuju mukosa hidung.

Gambar 2.11 Mekanisme rinitis alergi

12
III.2 -Rinitis Alergi
.

5. Eliminasi Alergen
4.1. Yang sangat berperan pada rinitis alergi di negara tropis seperti Indonesia
adalah
house dust mite (tungau debu rumah), pet dander dan alergen kecoa.
Cara menghindari :
Esensial :
- Membungkus kasur dan bantal dengan bahan khusus ( yang tidak tembus
mite), tetapi
mahal sehingga tidak dapat diterapkan pada semua kasus.
- Mencuci alas tidur, sarung bantal dan selimut seminggu sekali, bila mungkin
dengan air panas (> 55oC). Hasil yang sama mungkin dapat dicapai dengan
menjemur cucian dibawah sinar matahari langsung.
Optimal :
a. Menggunakan lantai rumah dengan bahan yang dapat dibersihkan seperti :
- dari keramik, bahan plastik, kayu
b. Sedikit mungkin menggunakan furniture dari kain/kain berbulu
c. Menggunakan penghisap debu integral dengan filter HEPA dan kantong
yang
bahannya tebal
d.Gunakan korden yang dapat dicuci
e. Mainan dari kain/berbulu yang dapat dicuci.

4.2. Binatang piaraan ( kucing dan anjing)


Anjing dan kucing merupakan masalah alergi di beberapa daerah/keluarga.
Bersifat alergenik tidak hanya dander nya saja, tetapi juga saliva, sekresi sebasea
 yang membentuk partikel di udara dalam waktu yang cukup lama. Oleh
karena itu usaha pencegahan sulit. Cara yang paling sederhana tetapi kadang
sangat sulit yaitu dengan tidak memelihara binatang tersebut dan bila pernah,
membersihkan karpet, kasur dan kursi dengan penghisap debu berulang.
Pada dasarnya menghindari alergen tampaknya efektif , hanya saja
penderita seringkali penderita sensitif terhadap beberapa alergen, sukar dicapai
hasil yang maksimal. Bagaimanapun sulitnya, karena pada penderita alergi
paparan alergen akan memicu timbulnya gejala, maka penjelasan dengan edukasi
tentang alergen apa yang harus dihindari dan bagaimana menghindarinya harus
dijelaskan kepada penderita rinitis alergi.

5. Tatalaksana Rinitis Alergi


Tujuan pengobatan rinitis alergi adalah :
1. Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan
inflamasi.

13
III.2 -Rinitis Alergi
.

2. Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas


sehari-hari.
3. Mengurangi efek samping pengobatan
4. Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan
terhadap penyakitnya
5. Merubah jalannya penyakit/ pengobatan kausal

Untuk mencapai tujuan pengobatan rinitis alergi, dapat ditempuh dengan


terapi kombinasi antara cuci hidung, antihistamin, dekongestan, sodium kromolin,
kortikosteroid intranasal,.

5.1. Cuci hidung


Cuci hidung menggunakan larutan salin termasuk terapi adjuvan yang efektif
dan tidak mahal. Berguna untuk menurunkan mediator inflamasi ( histamin,
prostaglandin D2 dan leukotrien C4), membersihkan sekret hidung serta
menurunkan gejala hidung. Cuci hidung dengan larutan NaCl fisiologis/
hipertonik telah diketahui mempunyai efek anti inflamasi dan menurunkan
basofil dan sel inflamasi lain. Penggunaan 2 kali sehari selama 3-6 minggu
secara signifikan memperlihatkan perbaikan gejala. Penggunaan larutan NaCl
hipertonik 3 kali sehari dapat mengurangi penggunaan antihistamin

5.2.Terapi Antihistamin
Antihistamin menghambat kerja reseptor H1 dan bekerja sebagai reverse
agonist. Golonga obat ini mempunyai efek anti inflamasi melalui modulasi
nuclear factor kapa B (NFkB) dan meredam ekspresi ICAM-1.
Dosis :
Anti Histamin Nama obat
Generasi 1 Dexchlorpheniramine
Chlorpheniramin maleat
Tripolidin
Generasi 2 Cetirizin
Loratadin
Feksofenadin
Levocetirizin
Desloratadin
Bepostatin Besilat
Rupatadin

14
III.2 -Rinitis Alergi
.

5.3.Dekongestan hidung

Dekongestan oral berguna untuk vasokonstriksi, namun tidak mempunyai efek


anti inflamsi. Obat golongan ini bersifat simpatomimetik sehingga kontraindikasi
bagi penderita hipertensi. Efek samping yang dapat ditimbulkan palpitasi, agitasi,
tremor, insomnia, sakit kepala, membran mukosa kering, retens urin, eksaserbasi
glaukoma.
Dekongestan intranasal merupakan dekongestan topikal, mempunyai efek
yang sama dengan oral tetapi kemampuan lenih rendah. Termasuk dalam
golongan ini oksimetazolin. Obat ini tidak boleh diberikan lebih dari 10 hari
karena akan menimbulkan terjadi rinitis medika mentosa.

5.4 Kombinasi antihistamin dan dekongestan oral


Kombinasi kedua obat ini dimaksud untuk mengatasi obstruksi hidung yang
tidak
dipengaruhi oleh antihistamin.
Tetapi harus diingat bahwa :
- Farmakokinetik kedua obat ini tidak sama dan biasanya diberikan BID.
- Sedikit trial klinik yang menunjukan kelebihannya dibanding dengan
pemakaian antihistamin saja.
- Kombinasi antihistamin sedatif dengan dekongestan oral, efek sedasinya
tidak berkurang karena stimulasi vasokonstriktor.

5.5 Glukokortikoid topikal


Pemakaian glukokortikoid digunakan untuk menekan reaksi alergi mulai
dari sensitisasi, fase cepat dan fase lambat. Sediaan topikal mempunyai efek anti-
inflamasi yang kuat dan mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptornya dengan
risiko efek sistemik yang minimal.

Beberapa sediaan glukokortikoid topikal :


- Budesonide
- Triamcinolone acetonide
- Fluticasone furoat
- Mometasone furoat

Efek samping :
Preparat glukokortikoid topikal dapat dipakai dalam waktu lama tanpa atrofi
mukosa. Efek yang dilaporkan : rasa kering, terbentuk krusta, epistaksis ringan,

15
III.2 -Rinitis Alergi
.

5.6. Golongan kromolin


Yang dipakai pada rinitis alergi adalah disodium kromoglikat dan sodium
nedocromil. Efeknya adalah menstabilkan sel mast dari proses degranulasi/
pelepasan mediator. Efeknya terhadap gejala bersin, rinore lebih baik dari
pada terhadap hidung tersumbat.
- Meskipun efektif kromolin pada rinitis alergi kurang dibanding anti H1.
- Pada anak dan wanita hamil, kromolin dapat dianjurkan pemakaiannya
karena sangat aman.
Namun kesulitannnya, penggunaan obat 4 kali sehari membuat kepatuhan
pasien tidak dapat diandalkan.

5.7. Anti Leukotrien


Golongan obat ini menekan sisteinil leukotrien yang merupakan mediator
utama penyebab obstruksi hidung. Termasuk golongan obat ini zafirlucast,
montelucast.

6.Imunoterapi
Imunoterapi spesifik (ITS) adalah suatu pemberian alergen spesifik yang
berulang teratur dengan dosis meningkat secara bertahap kepada pasien dengan
hipersensitifitas tipe 1, dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap
timbulnya gejala alergi dan reaksi inflamasi akibat paparan alergen. ITS
mempunyai keuntungan jangka panjang dapat bertahan sampai 3 tahun setelah
selesai pemberian imunoterapi.
ITS dapat dilakukan dengan cara berdasarkan hasil tes kulit tusuk atau
berdasarkan skin endpoint titration test. Pemberian imunoterapi berdasarkan tes
kulit tusuk dikenal sebagai metode konvensional. Ditinjau dari jenis alergen ITS
dapat dilakukan alergen tunggal (rekomendasi AAAAI) dan menggunakan
alergen multipel. Pemilihan alergen untuk ITS dilakukan berdasarkan hasil tes
kulit atau tes alergi in vitro dengan mempertimbangkan alergen dominan dengan
hasil positif.
Pasien yang menjadi kandidat ITS adalah pasien rinitis alergi dengan tingkat
hipersensitifitas berdasarkan tes kulit tusuk +3 atau lebih dan dengan hasil
endpoint tertentu dari tes kulit intradermal. Pasien tersebut tidak ingin minum
obat antihistamin atau tidak nyaman dengan efek saming obat antihistamin atau
tidak menunjukan respon yang adekuat terhadap terapi medikamentosa dan
menghindari alergen. Indikasi tambahan dari imunoterapi ialah dermatitis atopik
dan pada alergi bisa ular yang mempunyai reaksi lokal yang besar.
Cara pemberian ITS suntikan ada beberapa cara yaitu konvensional, cara cepat
(rush), cara cluster (mirip rush) dan modifikasinya. Jadwal penyuntikan terdiri
dari 2 fase yaitu fase inisial (eskalasi) dimana dosis vaksin alergen diberikan
secara bertahap sampai mencapai dosis maksimal dengan interval waktu dua kali
seminggu, dan fase pemeliharaan yaitu dosis maksimal dilanjutkan sampai jangka
16
III.2 -Rinitis Alergi
.

waktu 6 bulan sekali sampai kurang lebih tiga tahun. Selain dengan pemberian
dosis yang meningkat secara bertahap, untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya efek samping sistemik maka ITS tidak dianjurkan pada penderita yang
mempunyai resiko tinggi seperti umur lebih dari 50 tahun, fungsi paru <70% dan
riwayat asma berat serta mendapat terapi beta blocker.
Risiko reaksi sistemik pada imunoterapi sangat kecil namun bila terjadi syok
anafilaktik perlu penanganan yang segera supaya tidak terjadi reaksi yang lebih
buruk. Setelah imunoterapi, setidaknya pasien harus berada di klinik selama 30
menit untuk observasi bila terjadi reaksi sistemik, karena sebagian besar reaksi
sistemik tejadi dalam 30 menit setelah imunoterapi. Pada pasien yang mengalami
asma, imunoterapi tidak direkomendasikan imunoterapi kecuali telah stabil
penyakit asmanya. Pada pasien asma dapat meningkatkan resiko reaksi sistemik
yang dapat lebih fatal terjadi.
Saat ini imunoterapi subkutan dan imunoterapi sublingual menjadi pilihan rute
pemberian. Imunoterapi subkutan diberikan secara suntikan subkutan dengan
menggunakan suntikan, alergen yang digunakan berupa cairan ekstrak alergen
cair, sedangkan metode sublingual dilakukan dengan cara meletakan atau
menghisap tablet di bawah lidah. Metode subkutan cenderung memberikan
perbaikan klinis yang lebih baik. Namun metode sublingual mempunyai
keuntungan kepada pasien karena dapat dilakukan di rumah sesuai anjuran dosis
yang diberikan, sedangkan metode subkutan harus dilakukan di tempat klinik
atau rumah sakit.

17
III.2 -Rinitis Alergi
.

Mekanisme efek imunoterapi dan peran sel T regulator dalam reaksi alergi.

Perubahan imunologis saat dilakukan imunoterapi.

Mekanisme imunoterapi spesifik secara molekuler dan seluler dapat terjadi


dalam beberapa mekanisme. Aktivitas mastosit dan basofil menurun pada fase
awal yaitu beberapa jam setelah imunterapi pertama dilakukan sehingga
mengurangi risiko reaksi anafilaksis. Pembentukan sel T regulator dan sel B
regulator yang meningkat dan penurunan sel T efektor. Mekanisme yang ketiga
adalah regulasi antibodi terutama penurunan jumlah IgE dan meningkatnya kadar
IgG4. Mekanisme yang keempat terjadi setelah beberapa bulan imunoterapi, ialah
penurunan jumlah mastosit dan eosinofil di jaringan serta penurunan produksi
mediator-mediatornya.
Pada penelitian lain disebutkan bahwa sel limfosit T regulator
Foxp3+CD4+CD25+ berkontribusi pada kontrol respon imun spesifik alergen
tertentu dalam beberapa cara yaitu penekanan sel dendritik yang menghasilkan sel
T efektor, inhibisi produksi sel TH2 beserta efektornya, penurunan alergen-IgE
spesifik dan induksi IgG4, IgA, atau keduanya, penurunan mastosit, basofil, dan
eosinofil, dan penurunan migrasi sel T efektor ke jaringan.

18
III.2 -Rinitis Alergi
.

Imunoterapi alergen spesifik


Indikasi :
1. IT hanya diberikan kepada penderita RA yang mempunyai hasil tes kulit
positip dan alergen yang positip secara klinis ada hubungannya dengan
timbulnya gejala RA.
2. IT diberikan pada penderita RA persisten sedang sampai berat yang tidak
puas/ berhasil dengan pengobatan medika mentosa.
3. IT diberikan pada penderita yang bersedia berobat dengan teratur dan waktu
lama.
4. Penderita yang setuju dengan IT ( informed consent).

Prosedur Pemberian IT.


1. Metoda suntikan (sub kutan)
2. Dosis dinaikan bertahap setiap minggu / 2X seminggu yang tiap kali naik
0,1cc, sampai dosis maksimal bisa diterima (1 cc), atau dosis maksimal yang
dapat diterima
3. Extrak yang dipilih sesuai hasil tes kulit ( yang hasil baik terhadap mite/
house dust mite).
4. Jika sudah tercapai dosis optimum/ maksimum dilajutkan dengan dosis
maintenance 1 minggu sekali sampai gejala klinis membaik dan stabil atau
10 X. Dilanjutakan dengan 2minggu sekali . Jika tetap stabil sampai 5X
dilanjutkan dengan 1 bulan sekali sampai total waktu pengobatan 2- 3 tahun .
5. Perhatikan waktu suntikan : kemungkinan terjadi reaksi sistemik saperti
waktu tes kulit. Kemungkinan lebih besar terutama saat menaikan dosis. Jika
terjadi reaksi diatasi seperti pada tes kulit. Jika terjadi reaksi sistemik maka
dosis suntikan selanjutnya diturunkan dan ditetapkan sebagai dosis maksimal.
6. Reaksi sistemik yang paling sering terjadi antara 10-20 menit setelah suntik
sehingga penderita tidak diperkenankan langsun g pulang setelah IT.
7. Selama IT diperbolehkan memberikan obat simptomatik jika perlu. Yang perlu
dihindari adalah steroid sistyemik yang lama (lebih dari 1 minggu).

Imunoterapi hanya boleh dilakukan jika :


1. Jelas disebabkan oleh adanya IgE ( tes kulit atau IgE spesifik)
2. Bila jelas ada hubungan klinis antara hasil tes kulit dan timbulnya gejala
3. Oleh/ atas tanggungjawab dokter karena adanya resiko reaksi anafilaksi.
4. Berat dan lamanya keluhan ( ukuran obyektif seperti gangguan sekolah/ kerja)
perhatikan fungsi paru: penderita asma berat tidak dianjurkan. Untuk pend
asaa harus ada monitoring fungsi paru.
5. Bila respon terhadap pengobatan lain ( farmakoterapi) tidak memuaskan
penderita.
6. Tersedia vaksin/allergen yang terstandarisasi dan berkualitas.

19
III.2 -Rinitis Alergi
.

7. Kontraindikasi relatif : menggunakan beta bloker, terdapat penyakit


imunologis,
penderita yang tidak dapat taat berobat
8. Faktor sosial : beaya, pekerjaan penderita

20

Anda mungkin juga menyukai