Anda di halaman 1dari 39

III.

2 -Rinitis Alergi
.

MODUL UTAMA
ALERGI IMUNOLOGI

MODUL III.2
RINITIS ALERGI

EDISI II

0
III.2 -Rinitis Alergi
.

KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
2015

1
III.2 -Rinitis Alergi
.

DAFTAR ISI

A. WAKTU ...........................................................................................................2
B. PERSIAPAN SESI............................................................................................2
C. REFERENSI.....................................................................................................2
D. KOMPETENSI.................................................................................................3
E. GAMBARAN UMUM.....................................................................................3
F. CONTOH KASUS DAN DISKUSI..................................................................4
G. TUJUAN PEMBELAJARAN..........................................................................5
H. METODE PEMBELAJARAN.........................................................................6
I. EVALUASI .....................................................................................................10
J. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF..............................12
K. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI PSIKOMOTOR.....................14
L. DAFTAR TILIK PENILAIAN KINERJA......................................................17
M. MATERI PRESENTASI................................................................................19
N. MATERI BAKU ............................................................................................24
O. KEPUSTAKAAN MATERI BAKU...............................................................38

2
III.2 -Rinitis Alergi
.

A. WAKTU

Proses pengembangan kompetensi Alokasi waktu


Sesi dalam kelas …x… menit (classroom session)
Sesi praktikum … menit (coaching session)
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi … menit (facilitation and assessment)

B. PERSIAPAN SESI

 Materi presentasi:
LCD 1 : Definisi RA, klasifikasi RA
LCD 2 : Patogenesis reaksi alergi tipe I
LCD 3 : Patofisiologi reaksi alergi pada Rinitis Alergi
LCD 4 : Metoda diagnostik Rinitis Alergi
LCD 5. : Guideline Penatalaksanaan Rinitis Alergi dari ARIA WHO

 Kasus : Rinitis alergi tanpa komplikasi

 Sarana dan Alat Bantu Latih :


o Penuntun belajar (learning guide) terlampir
o Tempat belajar (training setting): bangsal THT, Poliklinik THT.
o Video
o Demo prosedur

C. REFERENSI :

1. John H Krause, Stephen J Chadwick, Bruce R Gordon, M Jennifer


Derebery . Allergy and Immunology An Otolaringic approach,
Lippincott Williams & Wilkins A Walters Kluwer Co, Philadelphia.
Baltimore. New York. London 2002 part I, II, III and V.
2. Byron J Bailey . Head and Neck Surgery – Otolaryngology , Lippicontt
Williams & Wilkins A Wolter Kluwer Co. Philadhelpia 2014 p 274-
290.
3. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Celluler and Moleculer Immunology
Philadelphia: WB Saunders Co; 2014.

D. KOMPETENSI

Mampu membuat diagnosis Rinitis alergi berdasarkan anamnesis dan


pemeriksaan fisik serta dapat melakukan / menginterpretasikan hasil
3
III.2 -Rinitis Alergi
.

pemeriksaan penunjang. Dokter dapat memutuskan terapi yang sesuai dengan


guideline penyakit dan kemampuan / situasi penderita dan dapat melakukan
edukasi yang tepat kepada penderita

Keterampilan:
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil dalam :
1. Mengenali gejala dan tanda rhinitis alergi
2. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik penderita rhinitis alergi dan
menginterpretasi hasilnya.
3. Mengenali adanya manifestasi penyakit alergi lain seperti asma bronkhial,
urtika, alergi obat, alergi makanan dari anamnesis/ pemeriksaan fisik.
4. Memutuskan pemeriksaan penunjang /laboratorium yang diperlukan dan
menginterpretasi hasil pemeriksaan
5. Menetapkan diagnosis dan mengklasifikasikan RA yang dihadapi
6. Memutuskan dan memberikan pengobatan RA yang sesuai dengan
guideline .
7. Mengevaluasi hasil pengobatan dan merencanakan tindakan selanjutnya
sesuai guideline
8. Memberikan penyuluhan / penjelasan tentang RA untuk mengurangi paparan
sehingga mencegah kekambuhan
9. Mampu memutuskan kapan seorang penderita RA perlu mendapat IT dan
dapat melakukannya jika terdapat fasilitas di tempat pelayanannya.
10. Mampu mengenali adanya komplikasi Rinitis alergi pada kasus yang datang
seperti sinusitis, OME dan polip nasi.

E. GAMBARAN UMUM

Rinitis alergi ( RA) merupakan manifestasi penyakit alergi yang banyak


dijumpai di klinik THT baik pada anak maupun dewasa. Pada survey anak
sekolah usia 13 dan 14 tahun didapatkan gejala RA sebanyak 18%. Penderita
sering mengeluhkan penyakitnya sudah berlangsung bertahun-tahun. Bagi
dokter, gejala klinik RA cukup jelas sehingga mudah dikenali, meskipun
demikian untuk memastikan apakah betul suatu RA harus dilakukan anamnesis ,
pemeriksaan fisik yang teliti dan jika memungkinkan dipastikan dengan
pemeriksaan alergi baik in vitro maupun in vivo. Masalahnya penderita sering
merasa terganggu dengan gejala RA, tetapi belum mengetahui faktor
pencetusnya sehingga mereka merasa tidak dapat menghindarinya. Penderita
juga sering khawatir bila terus menerus harus minum obat. Jika sudah diketahui
pasti bahwa penyakitnya adalah RA maka dapat dilakukan edukasi kepada
penderita sehingga dapat mengurangi paparan terhadap alergen penyebab.
Dengan menguasai patofisologi RA dan mengetahui berbagai obat anti alergi
4
III.2 -Rinitis Alergi
.

maka sebagian besar gejala RA dapat diatasi dengan pengobatan yang tepat
( aman dan terjangkau). Jika memungkinkan dapat diberikan terapi yang dapat
merubah perjalanan penyakit RA seperti pemberian imunoterapi alergen spesifik.
Jika terdapat kasus yang sudah dengan komplikasi seperti sinusitis dan polip
hidung atau asma bronkhial maka pengobatan RA bersamaan dengan
pengobatan komplikasinya, dapat mengurangi kemungkinan terulangnya terjadi
komplikasi tersebut.

F. CONTOH KASUS

Tn M , umur 40 tahun datang ke klinik THT-KL dengan keluhan sering


mengalami bersin-bersin > 5 kali hampir setiap pagi selama kurang lebih 7
tahun. Selain bersin-bersin juga disertai hidung gatal dan keluar ingus cair, jernih
dan banyak dari kedua lubang hidung. Hidung tersumbat pada malam hari,
tetapi tidurnya tidak terganggu. Keluhan bertambah hebat jika penderita terkena
debu dan keluhan berkurang setelah minum obat flu yang dibeli sendiri.
Penderita belum pernah berobat ke dokter. Penderita masih dapat melakukan
kegiatan sehari-hari, tetapi dirasakan terganggu dalam pekerjaanya. Tidak ada
gangguan tidur, tidak demam dan tidak batuk. Daya penciuman berkurang saat
keluhan muncul dan membaik setelah minum obat.
Riwayat alergi lain seperti asama pada penderita tidak ada. Anak ke dua
penderita menderita sakit yang sama. Riwayat alergi pada orang tua penderita
tidak diketahui dan sudah meninggal. Pada pemeriksaan fisik hidung didapatkan
mukosa hidung pucat, konka edem dan ingus cair. Septum nasi deviasi ringan
ke kiri. Telinga dan tenggorok dalam batas normal. Tes kulit cara prick hasilnya
positif ( +++) terhadap alergen tungau debu rumah ( D farinei dan D
pterinosinus), human danders dan kecoa.

Jawaban :
Rinitis alergi dapat mengenai semua umur dan jenis kelamin. Keluhan /
gejala klinik yang berupa hidung gatal, rinore dan obstruksi hidung mungkin
dapat dijumpai semua pada seorang penderita dengan derajat gangguan yang
bervariasi. Untuk mendapat riwayat manifestasi alergi keluarga dapat ditanya
dari orang tua, saudara kandung atau anak penderita.
Septum deviasi dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit RA, tetapi
untuk melakukan koreksi operatif harus dipertimbangkan kontribusinya terhadap
gejala klinik / keluhan penderita karena keluhan dari RA penderita tidak akan
hilang setelah dilakukan operasi.
Selain pemeriksaan tersebut pemeriksaan naso endoskopi perlu dilakukan
jika setelah pengobatan RA tidak ada perbaikan yang nyata, untuk menilai derajat
obstruksi dari septum deviasinya atau kemungkinan kelainan anatomi lain.

5
III.2 -Rinitis Alergi
.

G. TUJUAN PEMBELAJARAN

Proses, materi dan metoda pembelajaran yang telah disiapkan bertujuan


untuk alih pengetahuan dan ketrampilan serta perilaku yang terkait dengan
pencapaian kompetensi dan ketrampilan yang diperlukan dalam mengenali dan
menatalaksana penyakit Rinitis Alergi tersebut diatas, yaitu :
1. Menguasai menjelaskan patogenesis timbulnya gejala dan tanda rinitis alergi
.
2. Trampil melakukan dan menginterpretasi hasil anamnesis dan pemeriksaan
fisik penderita rhinitis alergi
3. Mampu menetapkan diagnosis klinik RA dan mengklasifikasikan RA yang
dihadapi
4. Mampu melakukan dan menginterpretasi pemeriksaan tes kulit.
5. Memutuskan pemeriksaan penunjang laboratorium yang diperlukan dan
menginterpretasi hasil nya.
6. Mampu memberikan pengobatan yang sesuai dengan guideline RA dan
kemampuan ekonomi serta pekerjaan penderita .
7. Mampu memberikan edukasi kepada penderita tentang RA.
8. Mampu menentukan indikasi IT dan melakukannya jika fasilitas tersedia

Tujuan Pembelajaran Umum


Setelah mengikuti sesi ini setiap peserta didik diharapkan mampu untuk :
1. Mengenali gejala dan tanda rhinitis alergi
2. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik penderita rhinitis alergi
3. Mengenali adanya manifestasi penyakit alergi lain seperti asma bronkhial,
urtika, alergi obat , alergi makanan dan adanya riwayat keluarga alergi.
4. Mampu menetapkan diagnosis klinik RA dan mengklasifikasikan RA yang
dihadapi
5. Memutuskan pemeriksaan penunjang /laboratorium yang diperlukan dan
6. menginterpretasi hasil pemeriksaan penunjang.
7. Mampu memutuskan pengobatan yang sesuai .
8. Mampu memberikan penyuluhan / penjelasan tentang RA.
9. Mampu mengenali komplikasi RA seperti OME, sinusitis dan polip hidung

Tujuan Pembelajaran Khusus


Setelah mengikuti sesi ini setiap peserta didik diharapkan mampu :
1. Menjelaskan patogenesis gejala dan tanda rhinitis alergi
2. Menetukan diagnosis klinik RA berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
hidung.
3. Mengklasifikan RA yang dihadapi menurut klasifikasi WHO-ARIA.
4. Menjelaskan pengobatan yang harus diberikan kepada penderita dan dapat
memberikan arahan sesuai dengan penyakit dan daya beli penderita.
6
III.2 -Rinitis Alergi
.

5. Mengenali berbagai jenis antihistamin, dekongestan hidung dan steroid,


efektifitas, dosis dan efek samping dari obat-obat tersebut
6. Menentukan indikasi, kontra indikasi untuk dilakukan tes alergi
7. Mempersiapkan penderita untuk dilakukan tes alergi/ tes kulit
8. Melakukan tes kulit dan menginterpretasikan hasilnya
9. Mengenali dan mengatasi jika terjadi komplikasi reaksi sistemik/ anafilaksi
selama tes kulit.
10. Menginterpretasi dan menjelaskan kepada penderita tentang hasil tes alergi
11. Menentukan indikasi dan kontra indikasi pemberian IT allergen spesifik pada
pend RA
12. Memilih allergen dan melakukan IT allergen spesifik pada pend RA.
13. Menentukan dosis terapi dari IT allergen spesifik pada pend RA
14. Mengenali gejala dan tanda jika terjadi reaksi sistemik selama IT dan
mengatasinya.

H. METODE PEMBELAJARAN

Tujuan 1. Mampu menjelaskan patogenesis timbulnya gejala serta tanda


rinitis alergi
Untuk mencapai tujuan ini dipilih metoda/proses pembelajaran dengan
cara :
 Interactive lecture
 Small group discussion
 Text book review
Peserta didik harus tahu :
1. Definisi RA
2. Fase-fase reaksi alergi ( sensitisasi, aktifasi dan elisistasi)
3. Berbagai mediator pada reaksi alergi yang berperan pada gejala RA

Tujuan 2. Trampil melakukan dan menginterpretasi hasil anamnesis dan


pemeriksaan
fisik penderita rhinitis alergi
Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses /pembelajaran melalui:
 Small group discussion
 Stase di klinik alergi
 Presentasi kasus
Peserta didik harus tahu :
1. RA merupakan penyakit yang diturunkan dan dapat mempunyai
manifestasi
penyakit alergi yang berbeda-beda pada penderitanya maupun pada
keluarganya.

7
III.2 -Rinitis Alergi
.

2. Gejala serta tanda Rinitis alergi yang khas/ sering didapatkan

Tujuan 3. Mampu menetapkan diagnosis klinik RA dan mengklasifikasikan


RA yang
dihadapi
Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran
melalui:
 Text book review
 Small group discussion
 Stase di klinik alergi
Peserta didik harus tahu :
1. Gejala dan tanda Rinitis alergi
2 . Konsep tentang kualitas hidup
3. Klasifikasi RA menurut WHO-ARIA.

Tujuan 4. Mampu melakukan dan menginterpretasi pemeriksaan tes kulit


Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran
melalui:
 Text book review
 Stase di klinik alergi
 Presentasi kasus
Peserta didik harus tahu :
1. Imunoglobulin yang berperan pada penyakit alergi
2. Mekanisme imunologis tes alergi
3. Teknik pemeriksaan in vivo untuk diagnosis penyakit alergi
4. Macam-macam teknik pemeriksaan tes kulit, kelebihan dan
kekurangan dari masing-masing pemeriksaan
5. Persiapan, teknik yang dipilih dan interpretasi hasil tes kulit.

Tujuan 5. Memutuskan pemeriksaan penunjang laboratorium yang


diperlukan dan menginterpretasi hasil nya.
Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran
melalui :
 Text book review
 Small group discussion
 Stase di klinik alergi
Peserta didik harus tahu :
1 Prinsip pemeriksaan in vitro dan metoda pemeriksaan in vitro
untuk IgE.
2. Indikasi pemeriksaan in vitro dan nilai normalnya
3. Peran hasil pem in vitro dalam menegakan diagnosis RA.
8
III.2 -Rinitis Alergi
.

Tujuan 6. Mampu memberikan pengobatan yang sesuai dengan guideline


RA
(ARIA -WHO) dan kemampuan ekonomi serta pekerjaan
penderita .
Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran
melalui :
 Text book review
 Small group discussion
 Stase di klinik alergi
Peserta didik harus tahu :
1. Guideline penatalaksanaan RA dari WHO-ARIA
2. Berbagai macam antihistamin yang ada : klasifikasi, prinsip kerja
efektifitas, dosis dan keamanan masing –masing .
3. Kortikosteroid : indikasi, efektifitas, jenis sediaan, dosis , cara
pakai dan keamanan
4. Macam-macam dekongestan hidung: indikasi, dosis cara pakai
dan keamanan
5. Indikasi untuk pemberian IT dan menjelaskan kepada penderita
tentanmg teknik, keterbatasan dan keuntungan IT
6. Menentukan indikasi terapi operatif pada RA

Tujuan 7. Mampu memberikan edukasi kepada penderita tentang RA.


Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran
melalui:
 Text book review
 Small group discussion
 Stase di klinik alergi
 Presentasi kasus
Peserta didik harus tahu :
1. Cara menjelaskan terjadinya gejala rhinitis alergi kepada
penderita
2. Berbagai jenis allergen yang sering berperan penting pada
penyakit alegi hidung
3. Ekologi dermatophagoides ( dust mite) yang sangat berperan
pada rhinitis alergi di daerah tropis
4. Cara menjelaskan kepada penderita teknik mengurangi paparan
alergen
5. Cara menjelaskan prognosis penyakit alergi dengan berbagai
cara pengobatan yang dipilih.

9
III.2 -Rinitis Alergi
.

Tujuan 8. Mampu menentukan indikasi IT dan melakukannya jika fasilitas


tersedia.
Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran
melalui:
o Text book review
o Small group discussion
o Stase di klinik alergi

Peserta didik harus tahu :


1. Mekanisme kerja IT
2. Indikasi dan kontra indikasi pemberian IT
3. Macam teknik IT
4. Cara IT dengan suntikan konvensional
5. Efek samping dan cara mengatasi bila terjadi selama IT.

Tujuan 9. Mampu mengenali komplikasi RA seperti sinusitis, OME dan


polip hidung
Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran
melalui:
 Text book review
 Small group discussion
 Stase di klinik alergi
 Presentasi kasus

Peserta didik harus tahu :


1. Patogenesis sinusitis, OME dan polip hidung pada penderita RA .
2. Tanda dan gejala sinusitis, OME dan polip hidung
3. Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis pasti sinusitis, polip
hidung dan OME.

Rangkuman
Rinitis alergi adalah penyakit yang banyak ditemukan, dapat mengenai
semua jenis kelamin dan umur. Meskipun tidak fatal, RA menurunkan kualitas
hidup serta produktifitas penderitanya dan dapat komplikasi. Pengobatan dapat
secara medika mentosa dan imunoterapi. Hal penting yang harus diberikan
kepada penderita selain pengobatan adalah edukasi.

I. EVALUASI

1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-test dalam bentuk tertulis ( essay) dan
oral sesuai dengan tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai

10
III.2 -Rinitis Alergi
.

pengetahuan awal yang dimiliki peserta didik dan peserta didik dapat
mempunyai gambaran apa yang harus diketahui dan dipelajari sehingga dapat
diidentifikasi kekurangan yang ada .
Materi pre tes terdiri dari :
- Anatomi & fisiologi hidung
- Reaksi hipersensitifitas ( klasifikasi dari Gel & Combs)
- Patogenesis dan klasifikasi RA
- Diagnosis klinik dan terapi RA
- Indikasi dan kontra indikasi, persiapan dan teknik tes kulit serta
interpretasinya
- Guideline penatalaksanaan RA dari WHO ARIA
- Konsep kualitas hidup
- Macam –macam farmakoterapi untuk RA
- Indikasi, dosis, teknik IT alergen spesifik pada RA
- Tanda , gejala dan cara mengatasi jika terjadi reaksi sistemik/ anafilaksis
pada tes kulit dan IT.
- Cara penyuluhan/ penjelasan kepada penderita untuk menghindari
allergen.

2. Dilakukan diskusi dengan instruktur/ pembimbing untuk membahas


kekurangan yang teridentifikasi, membahas hal-hal yang tercantum dalam
penuntun belajar , kesempatan yang akan diperoleh selama bedside teaching
dan proses penilaiannya.

3. Setelah mempelajari penuntun belajar, peserta didik diwajibkan untuk melihat


dan memperhatikan aplikasi langkah – langkah yang tertera dalam penuntun
belajar yang dilakukan oleh kakak kelasnya pada Standardized Patient (SP)
yang sedang bekerja pada penderita/ kasus RA. Pada saat tersebut peserta
didik belum diperkenankan untuk mengerjakan sendiri, tetapi boleh
membawa penuntun belajar sambil memperhatikan yang dikerjakan oleh
peserta didik yang lebih senior. Setelah melihat, dilakukan diskusi dengan
pembimbing untuk membicarakan hal-hal yang belum jelas dari penuntun
belajar. Baru kemudian peserta didik diberi kesempatan untuk
mengaplikasikan penuntun belajar dibawah pengawasan pembimbing / kakak
seniornya dengan pedoman penuntun belajar. Setelah dianggap cukup,
peserta didik diberi kesempatan untuk melakukan pada berbagai kasus yang
datang di klinik alergi dan diharuskan membicarakan / mendiskusikan rencana
pengelolaan pasien yang di hadapinya dengan pembimbing.
Pada saat pelaksanaan , evaluator/ senior melakukan pengawasan langsung
dan mengisi formulir penilaian yang isinya sebagai berikut :
Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau sebagian langkahnya
tidak dilaksanakan
11
III.2 -Rinitis Alergi
.

Cukup : pelaksanaan sudah benar tapi tidak efisisen, misalnya


memerlukan waktu lama atau
membuat pasien tidak nyaman.
Baik : pelaksanaan sudah benar dan efisien.

4. Setelah selesai bedsideteaching, dilakukan kembali diskusi untuk


mendapatkan penjelasan dari berbagai hal yang tidak memungkinkan
dibicarakan di depan pasien dan memberikan masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.

5. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan menggunakan penuntun


belajar

6. Pendidik/ fasilitator
Pengamatan langsung dengan menggunakan evaluation chek list form
( teralampir)
Penjelasan lisan dari peserta didik/ diskusi
Kriteria penilaian keseluruhan : Cakap, Tidak cakap, Lalai

7. Di akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi
tugas yang dapat memperbaiki kinerja ( task-based medical education).

8. Pencapaian pembelajaran
Ujian akhir stase oleh unit kerja oleh masing-masing sentra pendidikan
Ujian akhir kognitif dilakukan di akhir tahap oleh masing-masing sentra
dilanjutkan
Ujian kognitif dilakukan dengan ujian tulis dan OSCA oleh Kolegium IK
THT –KL.

12
III.2 -Rinitis Alergi
.

J. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF

A. Kuesioner sebelum pembelajaran ( Pre tes )

Seorang anak wanita usia 8 tahun dikonsulkan dari dokter spesialis anak dengan
keluhan hidung beringus dan riwayat asma terkontrol. Keluhan hidung beringus
disertai sumbat hidung, bersin berulang, rasa menelan lendir di tenggorok, batuk
dahak , gatal hidung, kadang mimisan, mata berair dan gangguan penciuman.
Keluhan memberat sejak 5 tahun lalu, hampir setiap hari dalam seminggu dan
Keluhan muncul bila berdebu, makan kacang tanah, asap rokok, bau parvum.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan transnasal crease, allergic shiners, Dennie-
Morgan line, mukosa hidung warna pucat kebiruan dan hipertrofi konka inferior
bilateral, sekret hidung jernih. IgE serum 30 IU/mL, SPT = Der p +1, Der f +2,
Cocroach +1, Mix fungi +2. Riwayat pengobatan antihistamin sirup sejak 2 tahun
lalu. Riwayat ayah asma.
1. Pada kasus diatas SPT menunjukkan hasil negative, tes alergi apalagi
yang akan saudara lakukan untuk membuktikan adanya sensitivitas yang
diperantai oleh IgE:
A. Tes Intradermal *
B. Serum IgE spesifik
C. Multiple Quantitative Test
D. Apus sekret mukosa hidung
E. SPT ulang 2 minggu yang akan datang

2. Pada pemeriksaan fisik kasus diatas ditemukan Dennie-Morgan line


sebagai akibat:
A. Edema periorbital kronik
B. Gerakan cuping hidung kronik
C. Stasis vena kelopak mata bawah *
D. Gerakan mengosok hidung kronik
E. Warna gelap dibawah kelopak mata bawah

3. Pada kasus di atas keluhan sumbat hidung, beringus, bersin, gatal hidung,
mimisan dapat disebabkan berbagai preformed mediators yang dilepaskan
oleh sel mastosit, antara lain:
A. Eotaxin
B. Leukotrienes C4
C. Prostaglandin D2
D. Chondroitin Sulfate *
E. Platelet Activating Factor

13
III.2 -Rinitis Alergi
.

4. Pada kasus di atas keluhan muncul akibat iritan spesifik dan nonspesifik,
hal ini menunjukkan adanya:
A. Fase selular
B. Fase lambat
C. Fase priming *
D. Fase humoral
E. Fase sensitasi

B. Kuesioner tengah pembelajaran

1. Yang menyebabkan kegagalan tes kulit adalah :


A. Minum obat yang mengandung anti histamin
B. Penderita sedang mengalami serangan alergi berat
C. Penderita yang takut suntik
D. Penderita yang tidak alergi
2. Jika terjadi tanda-tanda reaksi sistemik selama tes alergi atau sesudah IT,
maka yang harus dilakukan pertama kali adalah :
A. Berikan oksigen
B. Ukur tensi dan nadi
C. Berikan adrenalin sub kutan/im
D. Berikan antihistamin
E. Berikan kortikosteroid

Jawaban :
1. A 2. B

14
III.2 -Rinitis Alergi
.

K. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI PSIKOMOTOR

PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR TES ALERGI

Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang
seharusnya atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya
(jika harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan
atau membantu untuk kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja
yang sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)

Nama Peserta ........................... Tanggal : ..........................

15
KEGIATAN KASUS

 Nama
III.2 -Rinitis Alergi
.  Diagnosis
 Informed Choice & Informed Consent
 Rencana Tindakan
 Persiapan Sebelum Tindakan

II. PERSIAPAN PROSEDUR TES ALERGI

 Pastikan kelengkapan peralatan, bahan dan


obat-obatan esensial untuk prosedur TES
ALERGI yang telah tersedia dan lengkap,
yaitu :
1. Emergensi kit ( epineprin, seteroid,
antihistamin, spuit disposibel 1cc
tuberkulin), tensimeter, stetoskup, Oksigen.
2. Ekstrak alergen dan jarum disposibel ( no
26 ) atau lanset darah disposibel.
3. Formulir hasil tes kulit dan inform consent.
4. Pastikan penderita tidak mengkonsumsi obat
anti alergi atau obat yang menekan reaksi
histamin selama 3 hari sebelumnya
5. Pastikan penderita tidak mengalami
serangan aleregi berat pada malam hari atau
sehari sebelumnya.

III. PROSEDUR TES ALERGI

1. Desinfeksi daerah volar lengan bawah , jika


perlu cuci dulu dengan sabun ( jika sebelumnya
pasien mengenakan body lotion)
2. Teteskan larutan kontrol positif ( histamin) dan
kontrol negatif ( phenol/ bufer fosfat, saline)
dari KIT tes alergi yang tersedia pada bagian
proksimal lengan bawah dengan jarak minimal
2 cm. Biasakan daerah ulnar kontrol (+)
histamin dan daerah radial kontrol (-) larutan
saline. Tusuk dengan jarum disposibel ukuran
26 G atau lanset darah atau alat tes kulit yang
lain intra kutan/ dengan tusukan superfisial
tanpa mengeluarkan darah.
3. Tunggu kurang lebih 5-10 menit, dan baca
hasilnya. Beri tanda dan ukur bentol pada
histamin dan pada kontrol.
4. Jika terdapat bentol diameter minimal 3 mm
pada histamin dan negatif pada saline,
lanjutkan dengan teteskan jenis alergen yang
tersedia dengan jarak tetesan minimal 2 cm
dan lakukan tusukan yang sama. Hasilnya 16
ditunggu paling lama 15 menit.
5. Ukur bentol yang terjadi pada masing-masing
jenis alergen dan bandingkan dengan besar
bentol dari kontrol histamin. Jika sama atau
lebih besar dari kontrol histamin dinilai positip (
+++).
6. Selama tes kulit perhatikan penampilan pasien
dan tanyakan jika terdapat keluhan, ngantuk,
lemes atau terasa mual karena keadaan
III.2 -Rinitis Alergi
.

L. DAFTAR TILIK PENILAIAN KINERJA


PROSEDUR TES ALERGI

Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan


oleh peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan
seperti yang diuraikan dibawah ini:
: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau
panduan standar
: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai
dengan prosedur atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan
oleh peserta selama proses evaluasi oleh pelatih

PESERTA: _______________________ TANGGAL :______________

KEGIATAN NILAI
I. PERSIAPAN TES KULIT TUSUK
1. Menyiapkan alat dan ekstrak alergen untuk tes alergi
2. Periksa obat emergensi untuk mengatasi jika terjadi reaksi
sistemik/ anafilaksi
3. Menyiapkan posisi pasien
4. Melakukan tindakan desinfeksi pada lokasi tes alergi
5. Menyiapkan formulir hasil dan inform consent
II. PROSEDUR TES KULIT TUSUK
1. Desinfeksi daerah volar lengan bawah , jika perlu cuci
dulu dengan sabun ( jika sebelumnya pasien mengenakan
body lotion)
2. Teteskan larutan kontrol positif ( histamin) dan kontrol
negatif ( phenol/ bufer fosfat, saline pada bagian
proksimal lengan bawah dengan jarak minimal 2 cm.
3. Daerah ulnar kontrol (+) histamin dan daerah radial
kontrol (-) larutan saline.
4. Tusuk dengan jarum disposibel ukuran 26 G atau lanset
darah atau alat tes kulit yang lain intra kutan/ dengan
tusukan superfisial tanpa mengeluarkan darah.
5. Tunggu kurang lebih 5-10 menit, dan baca hasilnya. Beri

17
III.2 -Rinitis Alergi
.

KEGIATAN NILAI
tanda dan ukur bentol pada histamin dan pada kontrol.
6. Jika terdapat bentol diameter minimal 3 mm pada
histamin dan negatif pada saline, lanjutkan dengan
teteskan jenis alergen yang tersedia dengan jarak tetesan
minimal 2 cm dan lakukan tusukan yang sama. Hasilnya
ditunggu paling lama 15 menit.
7. Ukur bentol yang terjadi pada masing-masing jenis alergen
dan bandingkan dengan besar bentol dari kontrol histamin.
Jika sama atau lebih besar dari kontrol histamin dinilai
positip.
8. Selama tes kulit perhatikan penampilan pasien dan
tanyakan jika terdapat keluhan, ngantuk, lemes atau terasa
mual karena keadaan tersebut dapat merupakan petanda
reaksi sistemik.
9. Jika terdapat gejala reaksi sistemik, segera pasien
dibaringkan tanpa bantal, ukur tensi dan nadi.
10. Meskipun belum selesai penilaian, bila ada ancaman reaksi
sistemik berupa shock segera berikan adrenalin sub kutan
dan tes alergi dihentikan dan dapat diulang lain kali dengan
persiapan pengobatan sebelumnya

18
III.2 -Rinitis Alergi
.

L. MATERI PRESENTASI

LCD 1 : Definisi dan klasifikasi Rinitis Alergi

Rinitis alergi : kelainan hidung karena proses inflamasi mukosa hidung yang
dimediasi oleh hipersensitifitas tipe I, dengan gejala hidung gatal, bersin-bersin,
rinore dan hidung tersumbat yang bersifat reversibel secara spontan maupun
dengan pengobatan.
Klasifikasi RA :
Berdasarkan terdapatnya simptom :
1. RA Intermiten, 2. RA Persisten
kurang dari 4 hari/ minggu , lebih dari 4hari/ minggu
atau bila kurang dari 4 minggu sudah lebih dari 4 minggu

Berdasarkan beratnya gejala :


1. Ringan, 2. Sedang sampai berat
jika tidak terdapat salah satu Jika didapatkan satu atau lebih hal
dari hal-hal sebagai berikut : hal sebagai berikut

gangguan tidur
gangguan aktifitas sehari-hari/ malas/ olah raga
gangguan pekerjaan atau sekolah
simptom dirasakan mengganggu.

19
III.2 -Rinitis Alergi
.

LCD 2 : Patogenesis rekasi alergi tipe I


Skema patogenesis rekasi alergi tipe I
Alergen

Sel APC
(mukosa) alergen dipecah
peptida ( 7-14 aa.)
+ MHC klas II kel limfe + Lien

sel Th0 ( TCR + mol CD4) orang atopy


MHC klas II + ligand pd APC

(+)

Th1 Th2
( IL-2 , IFN- ) IL-3, IL-4, IL-5, IL-9

sel B sel eosinofil

IgE

Sirkulasi jaringan
sel basofil sel mast

IgE pd sel mast dan basofil


( penderita sudah sensitif/
tersensitisasi )
Paparan alergen
ulang yang sama
Degranulasi sel mast dan basofil

Mediator penyebab gejala RA

20
III.2 -Rinitis Alergi
.

LCD 3 : Patofisiologi reaksi alergi pada Rinitis Alergi

Skema patogenesis reaksi alergi pada Rinitis Alergi


Sel mast/ basofil degranulasi
Mediator

Preformed mediators Newly mediators


Histamin Prostaglandin
Heparin Leukotrien C4, D4, E4
Triptase Leukotrien B
Kininogenase

Efek mediator kimia pada rinitis alergi

Saraf Kelenjar Pembuluh darah

Gatal mukus vasodelatasi


Refleks eksositosis penebalan mukosa
Bersin rinore permaibilitas meningkat
malaise

LCD 4 : Metoda diagnostik Rinitis Alergi


21
III.2 -Rinitis Alergi
.

ANAMNESIS
Anamnesis dimulai dengan pertanyaan yang meliputi gejala di
hidung
Gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah :
- Bersin-bersin (lebih dari 5 kali setiap kali serangan)
- Rinore (ingus bening encer)
- Hidung tersumbat ( menetap/ berganti-ganti)
- Gatal di hidung, tenggorok, langit-langit atau telinga
Selain itu perlu ditanyakan :
- Frekuensi serangan, beratnya penyakit, lama sakit, intermiten atau
persisten. .
- Manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan
timbulnya rinitis
- Riwayat atopi di keluarga
- Faktor pemicu timbulnya gejala rinitis alergi
Pemeriksaan penunjang :
- Tes alergi
- Naso endoskopi
- Pemeriksaan IgE spesifik

LCD 5. Guideline Penatalaksanaan Rinitis Alergi dari ARIA WHO


22
III.2 -Rinitis Alergi
.

Diagram panajemen Rinitis Alergi


Dengan co
morbid
RINITIS ALERGI
Tanpa co morbid
RA tdk terkontrol Asma br
Co morbid terkontrol  kontrol
Kel
anatomi 
operasi
intermitent persistent Infeksi 
AB
Polip 
operasi
ringan Sedang- berat Sedang- berat Sinusitis
ringan
kronik 
operasi

Edukasi + avoidance Edukasi + Edukasi + avoidance


* avoidance * *
Antihistamin oral/ Antihistamin oral *
*Topical Antihistamin oral * Steroid topical **
Kromolin sodium Nasal dekongestan Decongestan *

Tak terkontrol ? Tak terkontrol ?

Steroid topical
**
IMUNOTERAPI SPESIFIK * / ** / ***
Tak terkontrol ?
Tak terkontrol ?

Keterangan :
Obstuksi Rinore >>
* Rumah sakit Kabupaten
** RS Provinsi/ RS Pendidikan Sp THT
atau bila tersedia di aapotik
*** RS rujukan Nas/ RS pendidikan Sp THT
Operatif BAKU
M. MATERI antikholinergik
23
III.2 -Rinitis Alergi
.

Rinitis Alergi

Pendahuluan

Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang banyak dijumpai, tetapi


karena tidak bersifat fatal maka sementara ini belum mendapat perhatian yang
serius baik dari penderita maupun petugas kesehatan. Prevalensi rinitis alergi
terus meningkat pada dekade terakhir, dan menjadi masalah kesehatan dunia yang
harus mendapat perhatian, terutama di negara-negara berkembang. Prevalensinya
antara 10-30% dari populasi dunia atau terjadi pada lebih dari 400 juta orang di
seluruh dunia, angka kejadian rinitis alergi bervariasi di berbagai negara, di Eropa
prevalensinya sekitar 4-32% sedangkan di Amerika Serikat prevalensinya antara
3-19%. Asia Pasifik lebih dari 150 juta orang, India, Pakistan dan negara
sekitarnya lebih dari 100 juta orang, Amerika Tengah dan Selatan lebih dari 75
juta orang. Di kawasan Asia-Pasifik yaitu di negara Australia, China, Hongkong,
Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam, prevalensi rinitis alergi rerata berkisar
antara 4,2-13,2%.
Data epidemiologik secara nasional belum didapatkan di Indonesia. Angka
yang ada biasanya di dasarkan pada kejadian di Rumah sakit atau dari survey
yang tidak cukup menggambarkan kejadian di seluruh masyarakat. Pedoman ini
penatalaksanaan RA sebagian besar didasarkan pada konsep dokumen ARIA
( Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) yang disusun berdasarkan atas
inisiatif kelompok kerja WHO. Konsep semacam guidelines untuk
penatalaksanaan rinitis alergi ini disesuaikan dengan kemungkinan fasilitas yang
ada di berbagai RS di Indonesia.

1. Definisi
Rinitis alergi adalah reaksi inflamasi dari muosa hidung yang diperantai oleh
IgE yang ditandai kongesti/obstruksi hidung, rinorea, gatal hidung dan atau gatal
mata dan atau bersin.

2. Klasifikasi
Berdasarkan konsensus ARIA-WHO 2008 (Allergic Rhinitis and Its impact on
Asthma- World Health Organization), rinitis alergi diklasifikasikan menurut
adanya gangguan kualitas hidup menjadi ringan, dan sedang-berat, sedangkan
berdasar waktu dibagi menjadi intermiten dan persisten.

Intermiten Persisten
24
III.2 -Rinitis Alergi
.

Gejala: Gejala:
 < 4 hari per minggu  4 hari per minggu
 Atau < 4 minggu  Dan > 4 minggu

Ringan Sedang-Berat
Satu atau lebih gejala
 Tidur normal  Tidur terganggu
 Aktifitas sehari-hari saat olahraga  Aktifitas sehari-hari, saat olahraga
dan saat santai normal dan saat santai terganggu
 Bekerja dan sekolah normal  Saat bekerja dan sekolah terganggu
 Tidak ada keluhan yang  Ada keluhan yang mengganggu
mengganggu
Tabel 1. Klasifikasi rinitis alergi

Berdasarkan ARIA-WHO dikenal klasifikasi rinitis alergi sebagai berikut:


1. Rinitis alergi intermiten ringan
2. Rinitis alergi intermiten sedang berat
3. Rinitis alergi persisten ringan
4. Rinitis alergi persisten sedang berat

3. Diagnosis dan identifikasi alergi

3.1. Anamnesis
Anamnesis dimulai dengan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan
dengan pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung termasuk
keterangan mengenai tempat tinggal / kerja dan pekerjaan penderita.
Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah :
- Bersin (lebih dari 5 kali setiap kali serangan), rinore (ingus bening encer)
- Hidung tersumbat (menetap/ berganti-ganti), gatal di hidung, tenggorok,
langit-langit atau telinga.
- Kadang disertai : Mata gatal, berair atau kemerahan, hiposmia / anosmia,
posterior nasal drip atau batuk kronik
Frekuensi serangan, beratnya penyakit, lama sakit, intermiten atau
persisten.
Pengaruh terhadap kualitas hidup seperti adakah gangguan terhadap pekerjaan,
sekolah, tidur dan aktifitas sehari-hari.
Komorbid di organ lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis alergi
Rinosinusitis, asma bronkhial, eosinofilik otitis media, hipertrofi tonsil
adenoid, dermatitis atopik, urtikaria, alergi makanan

Riwayat atopi di keluarga


25
III.2 -Rinitis Alergi
.

Apakah ada anggota keluarga (ayah, ibu, saudara sekandung) yang pernah
menderita salah satu penyakit alergi tersebut diatas (Riwayat atopik keluarga).
Faktor pemicu timbulnya gejala rinitis alergi
Lingkungan misalnya polutan, asap rokok, udara dingin, polutan, bau kimia
seperti parfum, bau deodoran dan olah raga. Selain itu terdapat juga
hipersensitifitas dan hiperesponsif.
Riwayat pengobatan dan hasilnya
Efektifitas obat yang dipergunakan sebelumnya dan macam pengobatan yang
sudah
diterima dan kepatuhan berobat

3. 2. Pemeriksaan Fisik
- Rinoskopi anterior menggunakan cahaya yang cukup dan spekulum
hidung
Perhatikan adanya edem dari konka inferior / media yang diliputi sekret
encer bening, mukosa pucat. Keadaan anatomi hidung lainnya seperti
septum nasi. Perhatikan pula kemungkinan adanya polip nasi.
- Nasoendoskopi (bila fasilitas tersedia)
Pemeriksaan ini dapat menilai patologi hidung dan sinus paranasalis yang
tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Dapat menggunakan
endoskopi tipe rigid atau flexible. Gambaran konka inferior livid/ pucat
dan dapat juga ditemukan konka yang hipertrofi.
- Terdapat tanda khas penderita rinitis alergi:
- Allergic shinner: warna kehitaman pada orbita dan palpebral
- Nasal crease/linea nasalis: Penebalan serta timbulnya skar pada hidung
- Allergic shalutte: biasanya terdapat pada anak, hal ini karena anak
mencoba mengurangi rasa gatal di hidung.

3. 3. Pemeriksaan Penunjang
Pertimbangkan keadaan / kondisi di seluruh R.S
Tes Kulit Tusuk (Prick test)
- Intradermal skin test / Skin End Point Titration Test (bila tersedia)
- IgE serum spesifik ( mahal )
- IgE serum total (kurang bermanfaat), nilai normal dewasa 100 – 150 IU/ml
- Pemeriksaan sitologis hidung, bila diperlukan untuk :
a. Menentukan antara alergi / non alergi dan rinitis akibat infeksi
b. Menindak lanjuti respons terhadap terapi
c. Melihat sel eosinofil, basofil dan sel mast
Pemeriksaan ini lebih sering dilakukan untuk keperluan penelitian.
- Test provokasi hidung/ nasal challenge test (bila tersedia), dilakukan bila ada
keraguan dan kesulitan dalam mendiagnosis rinitis alergi, dimana riwayat
rinitis alergi positif, tetapi hasil tes alergi selalu negatif.
26
III.2 -Rinitis Alergi
.

Pemeriksaan ini bermanfaat untuk hal-hal sebagai berikut :


- Untuk mendiagnosis rinitis okupasi
- Untuk mendiagnosis rinitis alergi lokal
- Untuk penelitian.
- Foto polos sinus paranasal : bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal
- CT Scan / MRI sinus paranasal : atas indikasi, dilakukan bila :
a. Untuk menentukan adakah komplikasi seperti rinosinusitis
b. Tidak ada respons terhadap terapi
c. Direncanakan tindakan operatif

Teknik melakukan tes alergi/ tes kulit.


Persiapan tes kulit :
1. Jelaskan apa yang akan dilakukan pada penderita dan tujuannya.
2. Istirahat cukup, tidak boleh olah raga sebelum dan sesudah hari
pemeriksaan tes kulit tusuk
3. Waktu bebas obat :
- Antihsitamin minimal 2-7 hari tergantung dari macam antihistamin
- Steroid topikal kulit minimal 7 hari, steroid oral tidak mempengaruhi tes
kulit
4. Periksa tekanan darah sebelum tes alergi untuk membandingkan jika
sewaktu-waktu terjadi reaksi sistemik
5. Pastikan tidak mengalami serangan alergi berat 24 jam sebelumnya ( asma
bronkhial ).
6. Sediakan jarum suntik 1 cc dan epineprin ampul
7. Jelaskan kemungkinan timbul tanda dan gejala reaski alergi sistemik dari
ringan sampai berat selama tes alergi
8. Tanda tangan informed consent.
9. Desinfeksi daerah lokasi tes kulit ( bagian volar lengan bawah)

1. Desinfeksi bagian volar lengan bawah yang akan dilakukan tes dengan
kapas alcohol 70%.
2. Gambar kotak-kotak dengan spidol yang jumlahnya sesuai dengan jumlah
ekstrak alergen yang akan di tes, dengan jarak 2 cm.
3. tambahkan kotak untuk kontrol negatif dan kontrol positif pada setiap tes.
4. Tiap kotak diberi nomor sesuai dengan penomoran jenis ekstrak alergen,
selanjutnya kotak tersebut ditetesi dengan ekstrak alergen masing-
masing.
5. Kemudian dilakukan cukit pada masing-masing kotak dengan
menggunakan jarum steril no.26 dengan sudut kemiringan ± 45° pada
epidermis.
6. Lakukan pembacaan hasil setelah 15-20 menit dengan mengukur

27
III.2 -Rinitis Alergi
.

diameter horizontal dan vertikal dari bintul (wheal) yang terjadi.


7. Setelah itu penderita tetap dipantau selama 30 menit setelah dilakukan
prosedur untuk melihat ada tidaknya efek samping.
Pembacaan tes kulit
Dengan mengukur diameter bintul vertikal dan horizontal
a. Negatif :<3
mm
Positif :3
atau
>
mm

Perhatikan selama tes kulit : kemungkinan terjadi reaksi alergi sistemik.


Gejala : Nadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun, pasien mendadak
mengeluh lemes, mual, seperti mau pingsan, penderita tampak pucat. Bila
terdapat gejala tersebut penderita lakukan tatalaksana anafilaktik. Jika
terdapat gejala tersebut : segera tidurkan penderita tanpa bantal, periksa
tensi dan nadi .Bila ada gejala shock : suntikan epineprin 0.2 cc subkutan/
intramuskular. Amati nadi, tensi dan pernapasan dalam 5 menit. Jika
belum ada perbaikan dapat ulangi epineprin setelah 10 menit diikuti
pemberian steroid im, pasang infus dan konsul spesialis anestesi.

Diferensial diagnosis
Penyakit yang perlu dibedakan dengan rinitis alergi adalah :
1. Rinitis vasomotor
2. Rinitis gustatorik
3. Rinitis Hormonal
4. Rinitis medikamentosa
5. Rinitis karena okupasi / pekerjaan
6. Rinitis akibat kelainan anatomi
7. NARES
8. Rinitis atropi

4. Patogenesis Rinitis Alergi


Alergen memiliki peranan penting dalam reaksi alergi. Alergen
merupakan protein yang berasal dari partikel udara termasuk serbuk sari, tungau
debu ,partikel kotoran, residu kecoa, dan bulu binatang.

28
III.2 -Rinitis Alergi
.

Tahap sensitisasi merupakan tahap pertamakali kontak dengan alergen.


Terjadinya reaksi alergi diawali dengan pengenalan antigen atau alergen oleh sel
makrofag, monosit atau sel dendritik, yang ketiganya berperan sebagai sel penyaji
(APC/ antigen presenting cells) yang berada di mukosa saluran nafas (antara lain
dalam mukosa hidung). Alergen yang terhirup oleh hidung, akan menempel pada
permukaan mukosa hidung. Alergen pertama kali akan ditangkap oleh sel
dendritik yang berfungsi sebagai penyaji antigen, secara bersamaan mukosa
hidung sebagai barier fisik akan mengeluarkan sitokin sebagai mekanisme
nonspesifik, yaitu IL-25, IL-33, TSLP (thymic Stromal lymphopoietin ) yang akan
mengaktifkan sel dendritik , ILC 2 ( Innate Lymphoid Cell 2) dan basofil. ILC-2
memproduksi IL-13, yang berperan dalam pematangan dan migrasi sel dendititk
ke jaringan limfoid. Basofil akan menghasilkan IL-4 yang akan mengaktifkan
TH0 menjadi TH2.
Alergen yang ditangkap oleh sel dendritik ( APC ) akan dipecah menjadi
alergenik peptida ( peptida antigen ) di dalam sel APC oleh lisosim, APC akan
membawa alergen menuju nodus limfe ,dimana dalam nodus limfe fragmen
peptida tersebut akan dipresentasikan ke permukaan sel APC lewat MHC kelas 2
sehingga dapat dikenali oleh Limfosit T naif ( T Helper 0 ) . Limfosit T naif ( T
Helper 0 ) akan berikatan dengan MHC kelas 2 lewat reseptor sel-T spesifik pada
permukaan sel T dan ligasi reseptor kostimulatori dari CD28 pada sel T dengan
kostimulator molekul CD80 dan CD86 pada APC yang akan mengaktifkan Th1
atau Th 2. Respon basofil menghasilkan sitokin IL-4 mengakibatkan aktifasi Th2.
Aktifasi Th 2 meghasilkan sirokin IL 4 dan IL 13. Sinyal IL 4 dan IL 13 dapat
diikat pada reseptor permukanan limfosit B , sehingga limfosit B menjadi aktif
dan menghasilkan IgE dengan menginduksi e-germline gen transkripsi. Sinyal
kedua adalah interaksi kostimulator antara ligan CD40 pada permukaan sel T
dengan CD40 pada permukaan limfosit B, sinyal ini dapat merstimulus limfosit B
menghasilkan IgE. IgE yang dihasilkan akan berikatan dengan FCR pada
permukaan mastosit dan basofil yang mengakibatkan degranulasi dari mastosit
dan basofil sehinga dilepaskannya mediator inflamasi.
Fase cepat merupakan reaksi alergi yang terjadi beberapa menit setelah
kontak dengan alergen sampai 1 jam setelah kontak dengan alergen. Alergen akan
berikatan dengan IgE spesifik , IgE tersebut akan berikatan dengan reseptor pada
permukaan sel mast dan basofil mengakibatkan degranulasi mast sel dan basofil
mengeluarkan mediator seperti histamin, tyrptase, cyctein leukotriene ( LTC4,
LTD 4, LTE 4 ) dan prostaglandin.
Pada Fase lambat terjadi 4-6 jam setelah terpapar dengan alergen sampai 18-24
jam . Pada fase lambat ditandai dengan aktifasi dan masuknya berbagai sel
inflamasi di mukosa hidung yaitu limfosit T, eosinofil, basofil , netrofil dan
monosit . Setelah terpapar alergen, mastosit banyak ditemukan di epitel , limfosit
T banyak ditemukan pada jaringan, eosinofil dan netrofil paling banyak
ditemukan dalam sekresi di mukosa hidung.
29
III.2 -Rinitis Alergi
.

Mediator yang dilepaskan saat reaksi fase lambat adalah leukotrien,


kinin, histamin, sitokin dan kemokin yaitu IL-4, IL-13 . Sitokin IL-4 dan IL-13
dapat mengaktifkan vaskular adhesi sel molekul 1 (VCAM-1) pada sel endotel
sehingga limfosit dan basofil yang berada dalam pembuluh darah dapat
bermigrasi ke mukosa hidung. Influk sel inflamasi selain aktivasi VCAM-1 dapat
disebabkan oleh kemokin yang dilepaskan oleh epitel seperti RANTES, eotaksin,
MCP-4 dsn TARC , yang berfungsi sebagai kemoatractan yang dapat menarik
eosinofil, basofil dan limfosit T menuju mukosa hidung.

Gambar 2.11 Mekanisme rinitis alergi

5. Eliminasi Alergen
4.1. Yang sangat berperan pada rinitis alergi di negara tropis seperti Indonesia
adalah
30
III.2 -Rinitis Alergi
.

house dust mite (tungau debu rumah), pet dander dan alergen kecoa.
Cara menghindari :
Esensial :
- Membungkus kasur dan bantal dengan bahan khusus ( yang tidak tembus
mite), tetapi
mahal sehingga tidak dapat diterapkan pada semua kasus.
- Mencuci alas tidur, sarung bantal dan selimut seminggu sekali, bila mungkin
dengan air panas (> 55oC). Hasil yang sama mungkin dapat dicapai dengan
menjemur cucian dibawah sinar matahari langsung.
Optimal :
a. Menggunakan lantai rumah dengan bahan yang dapat dibersihkan seperti :
- dari keramik, bahan plastik, kayu
b. Sedikit mungkin menggunakan furniture dari kain/kain berbulu
c. Menggunakan penghisap debu integral dengan filter HEPA dan kantong
yang
bahannya tebal
d.Gunakan korden yang dapat dicuci
e. Mainan dari kain/berbulu yang dapat dicuci.

4.2. Binatang piaraan ( kucing dan anjing)


Anjing dan kucing merupakan masalah alergi di beberapa daerah/keluarga.
Bersifat alergenik tidak hanya dander nya saja, tetapi juga saliva, sekresi sebasea
 yang membentuk partikel di udara dalam waktu yang cukup lama. Oleh
karena itu usaha pencegahan sulit. Cara yang paling sederhana tetapi kadang
sangat sulit yaitu dengan tidak memelihara binatang tersebut dan bila pernah,
membersihkan karpet, kasur dan kursi dengan penghisap debu berulang.
Pada dasarnya menghindari alergen tampaknya efektif , hanya saja
penderita seringkali penderita sensitif terhadap beberapa alergen, sukar dicapai
hasil yang maksimal. Bagaimanapun sulitnya, karena pada penderita alergi
paparan alergen akan memicu timbulnya gejala, maka penjelasan dengan edukasi
tentang alergen apa yang harus dihindari dan bagaimana menghindarinya harus
dijelaskan kepada penderita rinitis alergi.

5. Tatalaksana Rinitis Alergi


Tujuan pengobatan rinitis alergi adalah :
1. Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan
inflamasi.
2. Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas
sehari-hari.
3. Mengurangi efek samping pengobatan
4. Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan
terhadap penyakitnya
31
III.2 -Rinitis Alergi
.

5. Merubah jalannya penyakit/ pengobatan kausal

Untuk mencapai tujuan pengobatan rinitis alergi, dapat ditempuh dengan


terapi kombinasi antara cuci hidung, antihistamin, dekongestan, sodium kromolin,
kortikosteroid intranasal,.

5.1. Cuci hidung


Cuci hidung menggunakan larutan salin termasuk terapi adjuvan yang efektif
dan tidak mahal. Berguna untuk menurunkan mediator inflamasi ( histamin,
prostaglandin D2 dan leukotrien C4), membersihkan sekret hidung serta
menurunkan gejala hidung. Cuci hidung dengan larutan NaCl fisiologis/
hipertonik telah diketahui mempunyai efek anti inflamasi dan menurunkan
basofil dan sel inflamasi lain. Penggunaan 2 kali sehari selama 3-6 minggu
secara signifikan memperlihatkan perbaikan gejala. Penggunaan larutan NaCl
hipertonik 3 kali sehari dapat mengurangi penggunaan antihistamin

5.2.Terapi Antihistamin
Antihistamin menghambat kerja reseptor H1 dan bekerja sebagai reverse
agonist. Golonga obat ini mempunyai efek anti inflamasi melalui modulasi
nuclear factor kapa B (NFkB) dan meredam ekspresi ICAM-1.
Dosis :
Anti Histamin Nama obat
Generasi 1 Dexchlorpheniramine
Chlorpheniramin maleat
Tripolidin
Generasi 2 Cetirizin
Loratadin
Feksofenadin
Levocetirizin
Desloratadin
Bepostatin Besilat
Rupatadin

5.3.Dekongestan hidung

Dekongestan oral berguna untuk vasokonstriksi, namun tidak mempunyai efek


anti inflamsi. Obat golongan ini bersifat simpatomimetik sehingga kontraindikasi
bagi penderita hipertensi. Efek samping yang dapat ditimbulkan palpitasi, agitasi,
32
III.2 -Rinitis Alergi
.

tremor, insomnia, sakit kepala, membran mukosa kering, retens urin, eksaserbasi
glaukoma.
Dekongestan intranasal merupakan dekongestan topikal, mempunyai efek
yang sama dengan oral tetapi kemampuan lenih rendah. Termasuk dalam
golongan ini oksimetazolin. Obat ini tidak boleh diberikan lebih dari 10 hari
karena akan menimbulkan terjadi rinitis medika mentosa.

5.4 Kombinasi antihistamin dan dekongestan oral


Kombinasi kedua obat ini dimaksud untuk mengatasi obstruksi hidung yang
tidak
dipengaruhi oleh antihistamin.
Tetapi harus diingat bahwa :
- Farmakokinetik kedua obat ini tidak sama dan biasanya diberikan BID.
- Sedikit trial klinik yang menunjukan kelebihannya dibanding dengan
pemakaian antihistamin saja.
- Kombinasi antihistamin sedatif dengan dekongestan oral, efek sedasinya
tidak berkurang karena stimulasi vasokonstriktor.

5.5 Glukokortikoid topikal


Pemakaian glukokortikoid digunakan untuk menekan reaksi alergi mulai
dari sensitisasi, fase cepat dan fase lambat. Sediaan topikal mempunyai efek anti-
inflamasi yang kuat dan mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptornya dengan
risiko efek sistemik yang minimal.

Beberapa sediaan glukokortikoid topikal :


- Budesonide
- Triamcinolone acetonide
- Fluticasone furoat
- Mometasone furoat

Efek samping :
Preparat glukokortikoid topikal dapat dipakai dalam waktu lama tanpa atrofi
mukosa. Efek yang dilaporkan : rasa kering, terbentuk krusta, epistaksis ringan,

5.6. Golongan kromolin


Yang dipakai pada rinitis alergi adalah disodium kromoglikat dan sodium
nedocromil. Efeknya adalah menstabilkan sel mast dari proses degranulasi/
pelepasan mediator. Efeknya terhadap gejala bersin, rinore lebih baik dari
pada terhadap hidung tersumbat.
- Meskipun efektif kromolin pada rinitis alergi kurang dibanding anti H1.

33
III.2 -Rinitis Alergi
.

- Pada anak dan wanita hamil, kromolin dapat dianjurkan pemakaiannya


karena sangat aman.
Namun kesulitannnya, penggunaan obat 4 kali sehari membuat kepatuhan
pasien tidak dapat diandalkan.

5.7. Anti Leukotrien


Golongan obat ini menekan sisteinil leukotrien yang merupakan mediator
utama penyebab obstruksi hidung. Termasuk golongan obat ini zafirlucast,
montelucast.

6.Imunoterapi
Imunoterapi spesifik (ITS) adalah suatu pemberian alergen spesifik yang
berulang teratur dengan dosis meningkat secara bertahap kepada pasien dengan
hipersensitifitas tipe 1, dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap
timbulnya gejala alergi dan reaksi inflamasi akibat paparan alergen. ITS
mempunyai keuntungan jangka panjang dapat bertahan sampai 3 tahun setelah
selesai pemberian imunoterapi.
ITS dapat dilakukan dengan cara berdasarkan hasil tes kulit tusuk atau
berdasarkan skin endpoint titration test. Pemberian imunoterapi berdasarkan tes
kulit tusuk dikenal sebagai metode konvensional. Ditinjau dari jenis alergen ITS
dapat dilakukan alergen tunggal (rekomendasi AAAAI) dan menggunakan
alergen multipel. Pemilihan alergen untuk ITS dilakukan berdasarkan hasil tes
kulit atau tes alergi in vitro dengan mempertimbangkan alergen dominan dengan
hasil positif.
Pasien yang menjadi kandidat ITS adalah pasien rinitis alergi dengan tingkat
hipersensitifitas berdasarkan tes kulit tusuk +3 atau lebih dan dengan hasil
endpoint tertentu dari tes kulit intradermal. Pasien tersebut tidak ingin minum
obat antihistamin atau tidak nyaman dengan efek saming obat antihistamin atau
tidak menunjukan respon yang adekuat terhadap terapi medikamentosa dan
menghindari alergen. Indikasi tambahan dari imunoterapi ialah dermatitis atopik
dan pada alergi bisa ular yang mempunyai reaksi lokal yang besar.
Cara pemberian ITS suntikan ada beberapa cara yaitu konvensional, cara cepat
(rush), cara cluster (mirip rush) dan modifikasinya. Jadwal penyuntikan terdiri
dari 2 fase yaitu fase inisial (eskalasi) dimana dosis vaksin alergen diberikan
secara bertahap sampai mencapai dosis maksimal dengan interval waktu dua kali
seminggu, dan fase pemeliharaan yaitu dosis maksimal dilanjutkan sampai jangka
waktu 6 bulan sekali sampai kurang lebih tiga tahun. Selain dengan pemberian
dosis yang meningkat secara bertahap, untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya efek samping sistemik maka ITS tidak dianjurkan pada penderita yang
mempunyai resiko tinggi seperti umur lebih dari 50 tahun, fungsi paru <70% dan
riwayat asma berat serta mendapat terapi beta blocker.

34
III.2 -Rinitis Alergi
.

Risiko reaksi sistemik pada imunoterapi sangat kecil namun bila terjadi syok
anafilaktik perlu penanganan yang segera supaya tidak terjadi reaksi yang lebih
buruk. Setelah imunoterapi, setidaknya pasien harus berada di klinik selama 30
menit untuk observasi bila terjadi reaksi sistemik, karena sebagian besar reaksi
sistemik tejadi dalam 30 menit setelah imunoterapi. Pada pasien yang mengalami
asma, imunoterapi tidak direkomendasikan imunoterapi kecuali telah stabil
penyakit asmanya. Pada pasien asma dapat meningkatkan resiko reaksi sistemik
yang dapat lebih fatal terjadi.
Saat ini imunoterapi subkutan dan imunoterapi sublingual menjadi pilihan rute
pemberian. Imunoterapi subkutan diberikan secara suntikan subkutan dengan
menggunakan suntikan, alergen yang digunakan berupa cairan ekstrak alergen
cair, sedangkan metode sublingual dilakukan dengan cara meletakan atau
menghisap tablet di bawah lidah. Metode subkutan cenderung memberikan
perbaikan klinis yang lebih baik. Namun metode sublingual mempunyai
keuntungan kepada pasien karena dapat dilakukan di rumah sesuai anjuran dosis
yang diberikan, sedangkan metode subkutan harus dilakukan di tempat klinik
atau rumah sakit.

Mekanisme efek imunoterapi dan peran sel T regulator dalam reaksi alergi.

35
III.2 -Rinitis Alergi
.

Perubahan imunologis saat dilakukan imunoterapi.

Mekanisme imunoterapi spesifik secara molekuler dan seluler dapat terjadi


dalam beberapa mekanisme. Aktivitas mastosit dan basofil menurun pada fase
awal yaitu beberapa jam setelah imunterapi pertama dilakukan sehingga
mengurangi risiko reaksi anafilaksis. Pembentukan sel T regulator dan sel B
regulator yang meningkat dan penurunan sel T efektor. Mekanisme yang ketiga
adalah regulasi antibodi terutama penurunan jumlah IgE dan meningkatnya kadar
IgG4. Mekanisme yang keempat terjadi setelah beberapa bulan imunoterapi, ialah
penurunan jumlah mastosit dan eosinofil di jaringan serta penurunan produksi
mediator-mediatornya.
Pada penelitian lain disebutkan bahwa sel limfosit T regulator
Foxp3+CD4+CD25+ berkontribusi pada kontrol respon imun spesifik alergen
tertentu dalam beberapa cara yaitu penekanan sel dendritik yang menghasilkan sel
T efektor, inhibisi produksi sel TH2 beserta efektornya, penurunan alergen-IgE
spesifik dan induksi IgG4, IgA, atau keduanya, penurunan mastosit, basofil, dan
eosinofil, dan penurunan migrasi sel T efektor ke jaringan.

Imunoterapi alergen spesifik


Indikasi :
1. IT hanya diberikan kepada penderita RA yang mempunyai hasil tes kulit
positip dan alergen yang positip secara klinis ada hubungannya dengan
timbulnya gejala RA.

36
III.2 -Rinitis Alergi
.

2. IT diberikan pada penderita RA persisten sedang sampai berat yang tidak


puas/ berhasil dengan pengobatan medika mentosa.
3. IT diberikan pada penderita yang bersedia berobat dengan teratur dan waktu
lama.
4. Penderita yang setuju dengan IT ( informed consent).

Prosedur Pemberian IT.


1. Metoda suntikan (sub kutan)
2. Dosis dinaikan bertahap setiap minggu / 2X seminggu yang tiap kali naik
0,1cc, sampai dosis maksimal bisa diterima (1 cc), atau dosis maksimal yang
dapat diterima
3. Extrak yang dipilih sesuai hasil tes kulit ( yang hasil baik terhadap mite/
house dust mite).
4. Jika sudah tercapai dosis optimum/ maksimum dilajutkan dengan dosis
maintenance 1 minggu sekali sampai gejala klinis membaik dan stabil atau
10 X. Dilanjutakan dengan 2minggu sekali . Jika tetap stabil sampai 5X
dilanjutkan dengan 1 bulan sekali sampai total waktu pengobatan 2- 3 tahun .
5. Perhatikan waktu suntikan : kemungkinan terjadi reaksi sistemik saperti
waktu tes kulit. Kemungkinan lebih besar terutama saat menaikan dosis. Jika
terjadi reaksi diatasi seperti pada tes kulit. Jika terjadi reaksi sistemik maka
dosis suntikan selanjutnya diturunkan dan ditetapkan sebagai dosis maksimal.
6. Reaksi sistemik yang paling sering terjadi antara 10-20 menit setelah suntik
sehingga penderita tidak diperkenankan langsun g pulang setelah IT.
7. Selama IT diperbolehkan memberikan obat simptomatik jika perlu. Yang perlu
dihindari adalah steroid sistyemik yang lama (lebih dari 1 minggu).

Imunoterapi hanya boleh dilakukan jika :


1. Jelas disebabkan oleh adanya IgE ( tes kulit atau IgE spesifik)
2. Bila jelas ada hubungan klinis antara hasil tes kulit dan timbulnya gejala
3. Oleh/ atas tanggungjawab dokter karena adanya resiko reaksi anafilaksi.
4. Berat dan lamanya keluhan ( ukuran obyektif seperti gangguan sekolah/ kerja)
perhatikan fungsi paru: penderita asma berat tidak dianjurkan. Untuk pend
asaa harus ada monitoring fungsi paru.
5. Bila respon terhadap pengobatan lain ( farmakoterapi) tidak memuaskan
pend.
6. Tersedia vaksin/allergen yang terstandarisasi dan berkualitas.
7. Kontraindikasi relatif : menggunakan beta bloker, terdapat penyakit
imunologis,
penderita yang tidak dapat taat berobat
8. Faktor sosial : beaya, pekerjaan penderita

37
III.2 -Rinitis Alergi
.

N. KEPUSTAKAAN MATERI BAKU

1. John H Krause, Stephen J Chadwick, Bruce R Gordon, M Jennifer Derebery .


Allergy and Immunology An Otolaringic approach, Lippincott Williams &
Wilkins A Walters Kluwer Co, Philadelphia. Baltimore. New York. London
2010 part I, II, III and V.
2. Byron J Bailey . Head and Neck Surgery – Otolaryngology , Lippicontt
Williams & Wilkins A Wolter Kluwer Co. Philadhelpia 2014 p 274-90.
3. Niels Mygind . NASAL ALLERGY Blackwell Scientific Publications,Second
edition 2. 2010.
4. Couwenberge P, Bachert C, Passalacqua G, Bousquet J, Canonica GW,
Durham SR, at al. Position paper : Consensus statement on the treatment of
allergic rhinitis Allergy 2013 ; 55: 116-34.
5. Bosquet J, van Cauwenberge P, Khaltaev N. Allergic rhinitis and its impact on
asthma J Allergy Clin Immunol 2013; 108 : S 147-334.
6. Baraniuk JN. Pathogenesis of Allergic rhinitis J Allergy Clin Immunol 1997;
99: S763-72.
7. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Celluler and Moleculer Immunology
Philadelphia: WB Saunders Co; 2014.
8. Nalbone VP, Naclerio RM. Allergy and Immunology In Bailey BJ, Pillsbury
III HC, Driscoll BP, editors, Head and Neck Surgery –Otolaryngology.
Second edit Philadelphia : Lippincot-Raven 2012: 101-16.

38

Anda mungkin juga menyukai